M
|
inuman tradisional yang satu ini memang sangat
berkhasiat untuk mengobati batuk dan menghangatkan badan juga mengobati masuk
angin, Saya berkesempatan mewawancarai penjual bandrek di Jalan
Letda Sujono, persis di depan satu bank BUMN.
“Banyak
orang yang kalau sudah minum bandrek pasti masuk anginnya sembuh, makanya kalau
musim hujan seperti ini banyak yang membeli” ujar Pak Sulaiman ketika ditemui di warungnya, Senin(02/12/13).
“Memang
tak tentu penghasilan yang kami dapat,
tapi kalau terjual habis keuntungan bersih dari satu malam itu Rp80.000. Biasanya
bapak kasih sama ibu Rp70.000, karena
Rp10.000 lagi untuk beli rokoknya,” tambah sang istri, Masminah.
Pak Sulaiman
dan Bu Masminah
adalah pasangan suami-istri (pasutri) yang
menjual bandrek asli buatan sendiri. Pasutri yang
sudah menjajakan jualannya selama 17 tahun ini bercerita tentang keluh kesah
dalam penjualannya.
“Ya.....
kadang kalau tidak habis, kami campur lagi dengan yang baru,
karena memakai arang jadi bandreknya tidak
basi, apalagi kalau panas terus,” kata sang
istri.
Menurut Bu Niah,
panggilan akrabnya, sebenarnya dahulu suaminya bekerja
sama dengan orang turunan Pakistan
yang menjual bandrek di lokasinya sekarang.
“Tapi
karena dia sudah tua dan anak-anaknya tidak
mau meneruskan jualan dia, jadi dia berpikir untuk memberikan
gerobak, meja dan kursi ini kepada Bapak
supaya Bapak yang tetap berjualan di sini. Sejak itulah Bapak
jualan, kira-kira tahun 1996,”
tambah Bu Niah.
Minuman yang diracik dengan bahan-bahan
alami ini dapat Anda pesan atau buat sendiri. Bahannya ialah jahe
giling, cengkeh, bunga lawang, kayu manis, gula merah, serai, merica, daun
pandan, dan air.
Cara membuatnya : panaskan air
tapi tidak sampai mendidih, lalu masukkan bahan-bahan. Aduk
sebentar dan tunggulah sampai mendidih. Bisa divariasikan dengan menambah susu
di dalamnya.
Secangkir penghangat tubuh ini
dibandrol dengan harga Rp3000/cangkir. Biasanya
orang menikmatinya dengan sepotong roti lembut yang
disajikan si bapak. Sehabis Magrib,
Pak Sulaiman menjajakan gerobak dari rumahnya
yang tak jauh ke tempatnya berjualan. Kembali
ke rumah sekitar jam 3 pagi.
“Satu
tong yang dibawa Bapak bisa sampai 100 gelas kecil. Dengan
modal Rp150.000, Bapak mampu menyekolahkan anak-anak.
Yang paling besar sudah kelas 1 SMK dan yang kecil kelas 6 SD,” terang Bu Niah.
Bu Niah membantu
penghasilan dengan menjadi seorang guru honor di Sekolah
Dasar (SD) Pasar
9 Tembung dan MDA Muhammadiyah
pada sore harinya. Pasangan yang bekerja
keras untuk menopang ekonomi ini bersyukur dengan apa yang telah diberikan Allah.
“Sering
juga Bapak pulang tapi roti masih banyak,
kadangpun kami kasih-kasih ke tetangga. Ya... alhamdulilah
saat itu mungkin memang hanya segitu rejeki yang diberikan Allah,”
terangnya.
Lalu mengapa dia
berada di dekat gerobak suaminya? “Sebenarnya
ibu ke sini cuma mau mrngantar
nasi untuk makan malam Bapak. Nanti pukul 10
ibu pulanglah, kan anak-anak di rumah, gak mungkin ibu tunggu sampai jam 3,”
kilahnya.
Ia juga
mengatakan,
terkadang karena
asiknya si bapak jam 4 baru pulang. “Nanti jam
5 Bapak udah bangun, siap salat Subuh
baru Bapak tidur lagi. Terus bangun jam 10, bapak
udah mulai belanja beli bahan. Sedangkan airnya
udah ibu panaskan, jadi saat Bapak
pulang dari pasar udah tinggal masukkan bahan aja,”
lugas sang ibu.
“Ibu
dulu sempat berhenti dari kerjaan, karena
setelah melahirkan anak-anak, Bapak gak kasih ibu kerja sampai mereka udah besar-besar. Pas
si Adek Kelas 4
SD, baru ibu ngajar lagi,”tambahnya.
Sementara
itu, sekarang banyak sekali pabrik – pabrik yang menciptakan produk cepat saji,
menawarkan kepada konsumen. Hanya dengan
menambahkan air panas yang bercampur bubuk sachet, orang
dapat menikmati suguhan secangkir bandrek di rumah.
Sebab itulah orang lebih memilih untuk membuat sendiri bandrek praktis
tersebut.
Namun demikian, tidak menyurutkan
semangat Pak Sulaimana dan istrinya untuk terus
berjualan bandrek sendiri dengan pelanggannya yang datang silih berganti. Karena
dia percaya, Allah sudah memberikannya rejeki, makanya
dia tak gentar untuk terus berjualan meski banyak produk yang menyainginya.
Untuk terus mempertahankan
minuman khas Indonesia dari pulau Jawa ini,
kita sepatutnya tidak meminggirkannya. Penggemar minuman yang satu ini memang
banyak dari golongan orang tua. Tidak
banyak pemuda yang menyukai bandrek, yang mereka rasa seperti jamu yang pahit
rasanya. Mereka tidak tertarik dengan minuman ini! *** (Ismayuni
Iswara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar