Cerpen : Budi Hutasuhut
I
|
nang terlihat lebih tua dari usianya yang baru 45 tahun.
Helai-helai uban memenuhi rambutnya yang selalu ditutup selendang dari bahan
satin yang kehilanga warna aslinya
itu. Anak-anak rambut itu sering keluar dari
dalam selendang, jatuh di
keningnya, dan ia mengembalikannya ke dalam gelungan rambutnya dengan gerakan
seolah ada sisir tergenggam di tangannya.
Ketika melihat Inang menggelung rambut itu, selalu saya bayangkan betapa cantiknya ia
di masa gadisnya, dan sisa-sisa kecantikkan itu jelas terlihat pada bola
matanya yang bening. Kecantikan yang
diwariskannya kepada saya, pada bola mata saya, yang oleh teman-teman di
sekolah dipuji seolah-olah ada telaga dalam mata saya sehingga setiap laki-laki yang melihatnya selalu ingin berubah menjadi
ikan agar bisa berenang di telaga itu. Pengandaian-pengandaian seperti itu
sering membuat tubuh saya mendadak seringan bulu, terbang begitu lepas, seolah
burung yang bersiul riang.
Mungkin, dulu,
saat seusia saya, Inang pernah mendapat pujian seperti itu, dan saya ingin tahu
bagaimana reaksinya saat itu. Apakah Inang merasa tubuhnya mendadak
begitu ringan? Apakah setelah mendapat pujian itu Inang merasa sangat bergairah untuk hidup? Apakah....
Tapi keinginan itu selalu saya urungkan, karena Inang sangat sibuk dengan pekerjaannya. Ia jarang berada di rumah,
lebih banyak berada di halaman pool
bus antarkota antarprovinsi itu, duduk di salah satu sudut halaman parkir pool bus itu menunggui para pembeli
datang menawar salak-salak yang dijajakannya.
Bisa saja saya
menghampiri Inang ke tempatnya berjualan, lalu menanyakan hal-hal
seperti itu, tapi saya takut pertanyaan seperti itu akan mengungkit hal-hal
berkaitan bagaimana Inang bisa bertemu dengan amang. Saya ingat, beberapa waktu lalu, pernah menanyakan kepada Inang kenapa amang jarang pulang. Jawaban yang saya terima justru dimusuhi Inang selama seharian, tidak ditegor, dan tidak disapa. Ketika saya tanyakan
kenapa Inang begitu marah, saat itulah saya tahu segala
pembicaraan berkaitan dengan amang akan membuat Inang sangat
bersedih.
Jangankan Inang, saya sendiri sering merasakan sakit luar biasa setiap kali
mengingat amang. Entah dimana ia sekarang, saya tidak pernah mau mengingat
laki-laki itu. Dari para tetangga saya selalu mendengar cerita bahwa amang pergi merantau ke suatu tempat entah dimana sejak puluhan tahun
lalu, ketika saya masih dalam kandungan Inang, dan menikahi seorang perempuan di sana.
Konon ia sudah punya beberapa anak dari hasil pernikahan itu. Tapi, sudahlah....
Saya tak perduli soal itu. Itu sebabnya, saya tak akan bercerita
tentang ia, karena saya tak mengenalnya. Saya hanya ingin bercerita tentang Inang, tentang keinginan saya menanyakan langsung apakah betul bola
mata saya yang bening seperti telaga ini warisan darinya ibu.
Sering, tanpa
sepengatahuan Inang, saya mencuri-curi menatap bola matanya. Tapi, bola mata itu
terlihat sangat redup, seperti cermin yang sudah lama tak dibersihkan.
Mungkin karena saya selalu melihat bola mata itu saat membukakan pintu
menjelang Subuh ketika Inang pulang dari berjualan salak, dan saat itu rasa
capai dan kantuk menyerangnya, sehingga mata itu tidak terlihat
bening. Ingin rasanya melihat bola mata Inang saat rasa kantuk tuntas dari
mata itu dan kesegaran bermekaran di sana. Saya menunggu-nunggu saat seperti
itu tiba, tapi bola mata Inang selalu terlihat sama,
kelelahan menahan gempuran kantuk yang luar biasa.
Inang selalu pulang berjualan salak menjelang azan Subuh berkumandang, dan ia
langsung ke sumur di belakang rumah untuk mengambil air wudhuk. Sambil menunggu
gema azan mengalun-alun dari kubah masjid, Inang membaca Quran dengan suaranya yang sangat lembut. Saya langsung ke
dapur menjerang air untuk mengaduk kopi, karena Inang sangat suka kopi. Saya juga akan menanak nasi, baru ke sumur mengambil
wudhuk. Saya merentangkan sajadah di belakang Inang, duduk mendengarkan ia mengaji. Ia selalu membacakan Surat Ar
Rahman. Kata Inang, surat itu menyuruh manusia agar selalu bersyukur atas apapun
yang dimilikinya. Saya suka sekali surat itu, terutama pada
pengulangan-pengulangan ayat yang mempertanyakan rasa syukur manusia terhadap
nikmat yang diberikan Allah Swt.
Begitulah, kami
hidup sangat tenang, apalagi jika sedang shalat berjamaah. Tapi kami hanya
berjamaan saat shalat Subuh. Di luar waktu itu, kami shalat sendiri-sendiri.
Saya shalat di rumah, sedangkan ibu di tempatnya berjualan, meskipun sering
muncul keinginan untuk shalat berjamaan di waktu-waktu lain. Tapi keinginan itu
saya abaikan, karena mustahil bisa melakukannya bersama Inang.
Selesai salat
Subuh, Inang bergegas keluar rumah. Pagi-pagi sekali ia harus
ke Lobulayan, sebuah daerah perkebunan salak di Padangsidempuan ini. Ia harus bergegas, harus tiba lebih dahulu dibanding pedagang salak lain, jika ibu
berharap mendapatkan salak yang lebih bagus.
***
BARU saja saya pulang dari sekolah, tiba-tiba terdengar suara
angkot berhenti di depan rumah. Suara Inang melengking, saya
tergopoh-gopoh menyongsongnya, membukakan pintu, dan membantu mengangkati tiga
karung salak dari angkot ke dalam rumah. Begitu berada di dalam rumah,
salak-salak itu kami keluarkan dari karung, menghamparkannya di lantai.
"Kau selesaikan dulu, ibu belum Zuhur. Kau sudah
salat?" katanya, lalu bergerak ke sumur di belakang tanpa melihat saya
mengangguk.
Ketika suara
derit katrol melengking tanda Inang menimba air dari sumur, saya bergegas ke dapur
menghidangkan makan siang di meja dan segelas kopi agar tubuh Inang lebih segar. Setelah itu saya ganti seragam
sekolah. Ketika saya kembali lagi ke dapur, seperti biasa, Inang sudah selesai salat Zuhur dan saya dapati sedang menikmati makan
siangnya di meja makan. Saya mendampinginya dan berharap hari ini bisa mengajak
Inang bercakap-cakap tentang apa saja. Hanya saat makan
siang inilah saya punya kesempatan untuk menanyakan bagaimana perasaannya kalau
orang lain memuji bola matanya. Atau, saat inilah saya bisa melihat dengan
jelas bola matanya, membanding-bandingkannya dengan bola mata saya.
Tapi tidak.
Biasanya, Inang akan makan dengan terburu-buru sambil menanyakan
hal yang sama setiap hari. "Bagaimana sekolahmu?" tanyanya. Jawaban
saya juga sama. "Baik," kata saya. Padahal, saya ingin percakapan
lain, yang
lebih.... Tapi Inang tak punya waktu. Ia harus cepat-cepat
menyelesaikan makan, kemudian mengemas salak-salak yang baru dibawanya. Inang harus sudah membawa salak-salak itu kembali ke tempatnya berjualan
sebelum bus pertama tiba di pool itu
sore ini.
Inang selesai makan, lalu ke ruang tamu, ke tempat salak kami hamparkan. Saya
berusaha merapikan bekas makan di atas meja. Ketika saya ke ruang tamu, Inang sedang memilih-pilih salak yang masih bagus untuk disisihkan dari salak
yang sudah busuk. Yang bagus dilap hingga bersih dari duri-duri kecil, dan
memasukkan ke karung kecil yang terbuat dari daun pandan. Satu karung itu
berisi satu kilogram salak, kemudian menjahit mulut karung itu. Itulah yang
dijajakan kepada para penumpang bus di pool
itu, dan mereka yang membeli tidak akan memeriksa isi karung itu.
Bisa saja Inang memasukkan salak busuk ke dalam karung itu seperti sering dilakukan
teman-temannya. Tapi Inang tidak akan pernah melakukan itu. Inang juga mewanti-wanti agar saya jangan melakukan hal itu, karena
keuntungan yang diperoleh dengan cara seperti itu tidak akan berkah. "Hari
ini memang laku, tapi besok orang tidak akan tertipu kedua kalinya. Malah,
orang-orang tak akan mau lagi membeli salak, karena takut ditipu lagi,"
katanya.
Saya membayangkan kalau setiap penumpang bus di pool itu takut ditipu pedagang salak,
bisa-bisa Inang akan berhenti berdagang. Kalau sampai Inang berhenti berdagang salak, tak ada pekerjaan lain yang bisa
dilakukannya. Hidup kami pun akan terhenti. Dan....
Inilah yang
selalu kami lakukan pada jam yang sama, Inang pulang dari membeli salak di
Lobulayan. Saya membersihkan salak-salak itu, lalu mengemasnya dalam
kantong-kantong pandan. Setelah semua terkemas, Inang akan keluar memanggil tukang becak. Sering Inang menyuruh saya yang memanggilkan tukang becak. Tidak jarang tukang becak
yang datang, karena mereka sudah hapal kapan Inang berangkat bekerja. Tukang becak juga sudah paham kemana harus
membawanya, ke pool bus antarprovinsi
itu.
Di halaman pool bus itu, di salah satu sudut, Inang akan meletakkan salak-salaknya. Di sanalah ia akan duduk sampai larut
malam, menunggu ada pembeli yang datang.
Saya tahu Inang sangat kecapaian. Rasa capai dari Lobulayan belum sembuh betul, Inang sudah harus berada di pool bus itu sebelum bus pertama tiba.
Begitu Inang tiba di pool bus itu,
azan Ashar akan terdengar. Biasanya Inang akan pergi ke mushollah di belakang pool, menyelesaikan kewajiban salatnya.
Setelah itu Inang baru duduk di tempatnya, di salah satu pojok di halaman pool bus itu, menunggu pembeli
mendatanginya.
Sering muncul
keinginan untuk mengunjungi Inang ke tempatnya berjualan, meskipun Inang selalu
melarang saya melakukannya. Pernah sekali saya melanggar larangan itu hanya
karena ingin mengobrol dengan Inang tentang bagaimana ia menghabiskan waktu
gadisnya di masa lalu. Tapi, saya malah jadi sasaran kemarah Inang, sehingga
keinginan itu tidak pernah bisa saya sampaikan.
Inang juga
sering membuat alasan untuk menolak kehadiran saya dengan mengingatkan bahwa
besok pagi saya harus ke sekolah. Tapi saya selalu punya alasan untuk
meyakinkan Inang agar tetap boleh menemaninya. Inang malah marah. Saya sangat
ngotot ingin menemaninya berjualan.
Entah kenapa?
Saya sering berpikir hal lain. Setiap kali berada di dalam rumah sementara
Inang di luar berjualan salak, sulit bagi saya membayangkan hal itu; membayangkan
Inang membawa-bawa salaknya, menjajakannya kepada para penumpang bus
antarprovinsi yang singgah di pool
itu. Saya khawatir terjadi sesuatu terhadapnya, dan kekhawatiran itu membuatku
membayangkan hal-hal tidak masuk akal.
Biar bagaimana
pun, saya tak rela Inang melakukan pekerjaan ini. Saya berharap Inang
membebankan pekerjaan ini kepada saya. Tapi, setiap kali saya singgung soal
itu, Inang selalu bilang saya tidak perlu memikirkan soal seperti itu.
"Yang terpenting, kau sungguh-sungguh sekolah agar kelak tidak seperti
Inang," katanya.
Saya memang
sungguh-sungguh mengikuti pelajaran di sekolah. Tapi, tetap saja sulit untuk
menerima kenyataan bahwa Inang membiayai sekolah saya dengan berjualan seperti
ini. Saya kasihan padanya. Ia sering tidak bisa istirahat. Itu sebabnya ia
sering terkantuk-kantuk saat berjualan. Kalau saya ada di sampingnya, akan saya
biarkan Inang tidur pulas. Saya yang berjaga-jaga, menunggu pembeli datang
menawar salak.
Tapi, tidak,
Inang tak mengizinkan itu.
***
Hari itu saya
tidak bisa tahan untuk tak mengajak Inang ngobrol tentang bagaimana ia
menghadapi masa gadisnya. Pujian dari kawan sekelas saya, Panusuanan, bahwa
bola mata saya sangat bening dan ia ingin masuk ke dalam bola mata saya untuk
menikmati kebeningan itu, betul-betul menumbuhkan dua potong sayap di punggung
saya. Dengan sayap-sayap itu saya melayang, terbang, dan akhirnya tiba di
tempat Inang berjualan.
Saya sudah siap kalau Inang marah, dan berencana akan diam saja
mendengarkan kemarahan Inang. Saya ingin tahu bagaimana pendapat Inang tentang
Panusunan. Apakah pemuda itu mencintai saya, ataukah ia tidak berbeda dengan amang?
Ketika saya
tiba di pool bus itu, ternyata tidak
ada Inang di sana seperti bayangan saya. Beberapa pedagang salak yang saya
tanyai keberadaan Inang malah menatap heran kepada saya. "Kau anaknya
Hindun?" salah seorang pedagang salak bertanya. "Inangmu
baru saja pergi bersama seorang sopir."
Saya tak
percaya. Tapi, semua orang yang saya tanyai keberadaan Inang mengatakan hal
yang sama. "Macam mana kau ini. Aku kasih tahu malah tak percaya. Inangmu
tak pernah berjualan di sini. Setiap hari ia selalu pergi dengan sopir bus,
entah kemana?"
Saya terhenyak
dan berlari meninggalkan pool bus
itu. Saya tak bisa membayangkan hal ini yang saya dapatkan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar