Cerpen : Otang K.Baddy
I
|
ni kisah sang kembara, seorang penyair tak ternama. Kendati
ada yang menyebut telah gila, namun kedatangannya kusambut sebagai seorang
guru.
Selama berhari-hari, berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Selama kepergiannya itu, ia terombang-ambing
di tengah lautan, di atas sebatang pohon pisang bernama al-baqa. Dipermainkan angin, dihantaman badai ganas dan
musim-musim. Tak dianggapnya suatu petaka atau musibah yang menimpa , melainkan
ia terima sebagai sebuah jalan yang mesti ditempuh.
Laut memang
selalu bergelombang.
Kendatipun air matanya terus meleleh, namun
itu bukan tangis cengeng atau kesedihan. Bukan pula tangis ketakutan. Melainkan
itu tangis kebahagiaan. Bahagia yang tiada tara. Juga tangis insan yang lemah
di hadapan khaliknya. Merasa seorang yang bodoh di hadapan sang guru --seorang
yang kerap mendapinginya dalam pengembaraan ini.
Makanya ia tak
merasa sendiri. Kendati kegetiran demi kegetiran kerap menyergap dan menawarkan
kematian, ia jalani terus. Asalkan jangan kematian itu yang dihendaki, niscaya terkabul dan dijamin keselamatannya.
Kesaksian itu
ia utarakan di dekatku dan kedua orangtuanya. Saat itu ia mau mengambilkan sedikit nasi buat
makan sore setelah sebelumnya ditawar-tawarkan ibunya. Si ayah merasa senang
karena ia datang dari kepergiannya berpuluh tahun. Sempat berguyon dan
menyamakan akan pendapat orang pintar, yang menyatakan ia sudah lama berada di
tepi pesisir selatan. Entah seakan merasa ditebak oleh paranormal yang sok tahu
atau apa, ia menjawabnya: “Bukan di pesisir tapi di tengah lautan,” katanya, ya
seperti dituturkan tadi ceritanya.
Bersambung di lain waktu saat malam santai
seraya minum kopi pahit dan melinting tembakau. Apa yang dialaminya di laut dan
negeri kutub, semata-mata hanya menuruti apa yang diperintahkan gurunya. Meski
timbul keraguan, entah kutub mana yang ia maksud. Sebab ia tak menyebut selatan
atau utara, sementara aku tak berani bertanya. Barangkali aku terbius atau
sengaja membiuskan diri untuk sekedar ingin tahu, kalau tak mau dikatakan berguru.
Dengan catatan: biarlahlah ia mengalirkan kata-kata sepuasnya. Jika lezat akan
kucerna, sebaliknya jika pahit atau asing. akan kujadikan jamu dan bahan
pemikiran ke depan.
Memang
sebelumnya tak diduga kalau ia akan pulang. Menemui kedua orang tuanya yang
sudah dirajai tulang. Terutama ibunya. Sosok yang kian meranggas itu, semakin
gemetaran taktakala anaknya itu datang tak seperti yang ia dambakan. Memang do’a
sebelumnya itu pun sebagian terkabulkan.
Ketika ia kerap mendengar suara-suara sumbang,
ia merelakan kebohongan dukun itu --yang menyatakan anak lelaki semata wayang
itu tak pulang-- alasan sudah punya rasa tanggungjawab dan terikat tata-tertib
pernikahan. Jika datangnya tentu paling tidak sudah beranak dua. Sempat pula
terlonjak dengar kibul seorang yang mengaku punya daya terawang yang tajam. Jika
pun ramalan yang didamba itu tak kena, menjadi tak beban. Asal pulang pun ibu
bahagia nak, begitu saat itu. Ia tak mau mendengar omongan-omongan yang
mengerikan. Suara yang membuat sakit hati seorang ibu.
“Jangan terlalu
dikipirkan, ia telah mati bersama yang lainnya. Orang seperti dia memang
biasanya kena fitnah. Sabar saja ya, ada baiknya kirimi dia al-fatikhah. Biar arwahnya tenang,” begitu kata seseorang.
Saat orde baru
runtuh dan berlanjut ke namanya reformasi. Negara dan pemerintahan seakan
labil. Di tanah jawa bagian selatan, dari ujung timur sampai barat, tiba-tiba
terjadi pembantaian massal. Dengan motif pembersihan tukang santet dan
pernak-perniknya. Semula memang tepat sasaran. Tukang santet banyak tertumpas.
Namun karena situasi keamanan nyaris jatuh ke titik nadir, aksi itu kian
merembet. Orang-orang yang tak berdosa
pun banyak yang korban, misal karena persaingan usaha atau sejenisnya. Asalkan
punya duit, lawan-lawan bisa dienyahkan. Semuanya dibuang ke Ciwayang. Nama
sebuah jembatan yang curam-terjal, dengan air sungai yang dangkal. Dengan ketinggian
lebih dari 40 meter, mayat, --atau yang masih hidup sekalipun-- jika dilempar --kalau
tak hancur berkeping --setidaknya kepala bakal pecah.
“Makanya, sabar
saja, Bi. Mungkin sudah takdirnya ia meninggal dengan cara begitu,” timpal yang
lain. Berita pembantaian itu memang sempat geger, apalagi setelah tragedi itu
tersiar di televisi. “Kabupaten Selatan Berdarah” begitulah topik yang terus diangkat
saban hari dan terus menghangat. Sebagian ada yang puas, namun yang ngeri pun tak
sedikit. Karena hampir tiap pagi mayat selalu bergelimang atau mengambang di
hilir sungai itu. Tak dimandikan –apalagi dishalatkan, mayat itu dikubur
alakadarnya di tepi sungai. Mungkin sekedar menghilangkan rasa bau busuk yang
menyengat semata. Tak ada rasa dan nilai kemanusiaan di situ. Mayat manusia disamakan
seperti bangkai binatang.
***
Seraya mengunyah sirih, sore hari perempuan
itu terduduk di samping rumahnya. Matanya bertatap nanar. Ada-ada saja omongan yang
sampai ke kupingnya. Bukan cuma kasus Ciwayang yang berdarah. Muncul lagi ‘tragedi
tulang-belulang’ dimana telah ditemukan tulang-belulang atau kerangka manusia di
dalam sebuah goa. Mereka adalah korban
penipuan penggandaan uang yang dibunuh. Kalau tak kena kasus Ciwayang, mungkin
ia korban di goa itu. Tulang-belulang yang berserakan di dalam goa itu, pasti
diantaranya tulangnya dia. Sabar saja, Bi. Begitulah yang lain berujar. Betapa
lunglainya, betapa pusingnya, betapa tak enaknya ia makan. Betapa tak
nyenyaknya ia tidur. Betapa…
Juga. Betapa
suara burung itu selalu nyaring terdengar di atas sekitar rumahnya.
Ngiiiiiiiiiiiiiiik……! ,ngiiiiiiiiiiiiiiiik….!nguuuuuuuuk…….! ngeek…ngek…!, begitulah. Hampir tiap malam.
Suaranya melengking, kadang pula merengek-rengek. Seperti sedih. Laksana burung
pengembara yang pulang kehilangan sarang. Kehilangan sangkar. Ruh yang terlepas
dari raga yang rusak, kematian yang masih penasaran karena teraniaya. Gelagat
apalagi kalau bukan pertanda telah terbunuhnya si dia.
“Makanya, segera adakan
tahlil selama tujuh hari berturut-turut. Namun sebelumnya harus diadakan shalat
jenazah dulu, shalat jenazah ga’ib tentunya,” kata seorang tetangga yang kerap
mendengar suara burung itu.
Namun tak sedikit
pun ia percaya akan omongan itu. Ia yakin, bahwa anaknya pasti masih hidup. Tak
mungkin anak bujang sematang wayang itu --yang kerjanya cuma merenung sendiri
pada malam-pagi-siang-sore, tiba-tiba jadi korban kebiadaban. Tak mungkin.
Makanya, pulanglah nak, pulanglah segera. Ibumu rindu menanti.
Seperti apa kata
pepatah, doa ibu selalu dikabulkan Tuhan. Karena Tuhan telah menitipkan kasih
dan sayangnya pada induk manusia itu.
Maka pulanglah dia.
Dan
orang-orang yang telah mematikan dengan kata-katanya sangat tercengang. Sekedar
menghilangkan rasa malu atas kesalahannya dalam bertutur kata, mereka datang
untuk minta maaf. Sekaligus ingin bertemu langsung dengan orang yang selama itu difitnahkan.
***
Eyang. Begitulah
orang-orang menjuluki dirinya. Nama yang populer dibanding nama aslinya, Badin.
Bukan panggilan para cucu-cicit yang memanggil pada kakek atau buyutna –karena
berkeluarga pun ia belum. Bukan pula sebuah kehormatan atas dirinya yang sering
puasa atau tirakat. Bukan. Sebab setahuku tak ada yang hormat atau sanjung-puja
karena dia bukan siapa-siapa. Panggilan Eyang muncul atas tubuhnya yang kurus
serta rambut yang kerap memanjang karena jarang dicukur.
“Orang-orang telah mengira kamu itu telah
mati, Yang,” kataku suatu malam, tatkala sering menyambanginya setelah sekian
lama tak jumpa.
“Mati? Aku tidak
akan mati!” katanya, seakan menyentakku.
“Aku tak akan
mati dan tak pernah mati!”
“Lho?” aku ternganga.
Lalu ia menjawab
ketidak mengertianku. Ia tak akan mati dan tak pernah mengalami mati. Juga tak
pernah tidur, dan tak pernah mengalami tidur. “Buktinya aku masih ingat masa
lalu, aku masih ingat segala macam zaman. Zaman ramayana, mahabrata, majapahit dan
bahkan aku pernah memimpin negeri ini,” ujarnya tanpa dosa.
Wah?!
Mungkin aku
terhipnotis atau sengaja membiuskan diri untuknya, sehingga apa-apa yang
diutarakannya membuat aku mengangguk. Mungkin saja bisa, semua tak ada yang
mustahil jika Tuhan menghendaki. Begitu aku pikir.
Bibirnya yang gosong
terbakar rokok itu, tampak bermantra.
Mantra apa itu
sobat, tanyaku dengan bahasa lain. Kadang aku telah terperangkap dan ikut larut
di dalamnya. Istigfar dan shalawat nabi, jawabnya dengan suara yang lain. Sebanyak-banyaknya.
Terus, sebanyak-banyaknya. Tanpa batas. Tanpa lupa, dan jangan jadi pelupa.
Jangan tidur, dan tak boleh tidur. Dan aku tak pernah tidur, aku tak akan mati
dan belum pernah mati, gumamnya dalam diam.
Tapi benarkah
itu?, keraguan pun kadang menyungkup. Namun dalam keraguan itu aku tetap manggut-manggut.
Aku tahu saat dulu kau jadi anu, katanya. Jadi apa, jelaskan saja, pintaku. Namun,
katanya, tak segampang itu untuk
mengucapkan fakta masa lalu seseorang, selain orang itu harus mendalaminya
sendiri. Cara pertama untuk mengenal itu, selain harus melanggengkan membaca
kalimah thayibah dan shalawat nabi, harus mampu melek selama 45 hari 45 malam. Jika
cara itu tercapai barulah segalanya diketahui. Kenyataan dan kepalsuan dalam
hidup nampak jelas, juga hal-hal lain yang sebelumnya dianggap mustahil. Dengan
kesetiaan tak tidur itulah akan terungkap, katanya.
***
Jika Sang Guru
menyuruh ya patuhilah. Tidur yang kerap mendatangkan lupa dan setengah
kematian, jauhilah. Janganlah terlalu banyak makan jika tak mau mengantuk. Dan
berjalanlah terus agar kematian itu tak datang mengundang. Biarlahlah orang
menganggap gila, dan jangan benci mereka atas tutur katanya yang tak benar. Kebodohan
mereka juga adalah rahmat bagimu. Bagiku. Bagi kita. Bergila demi pengkajian
adalah suatu nikmat yang tak terhingga. Maka berjalanlah terus, majulah dengan satu
tongkatmu, tongkat keabadian.
Seorang lelaki
sepi. Seorang yang bergelut dengan sunyi terus berjalan menapaki jalur yang
dipilihnya. Karena suasana sepinya, kadang ia pun berjalan telanjang. Tanpa
berbaju atau bercelana. Tanpa kain pembalut atau pun perban.Tak malu walau
memasuki keramaian, memasuki pasar dan pusat-pusat perbelanjaan.
Tak ada gemerlap
baginya, tetap sepi dan sunyi. Hingga keberadaannya dianggap tiada. Ada dan
tiada menjadi bukan persoalan. Sebab semua sibuk dengan diri masing-masing.
Namun tiba-tiba
orang-orang di tengah pasar mendadak tercengang tatkala melihat ia melakukan shalat
di tengah orang berlalu-lalang. Di lorong sempit, di jalur yang merayap.
Karenanya timbul kemacetan. Semula orang-orang benci atas kejadian itu, namun kemudian
memakluminya.
”Oh..orang gila,
pantas kalau begitu. Namanya juga sudah gila,” begitulah kata mereka seraya berlalu.
Juga tatkala di sebuah angkot ia mengumandangkan suara adzan, orang-orang tak ambil pusing setelah sebelumnya memaklumi
kalau ia itu orang gila.
Sang guru memang
patut ditiru dan digugu. Suatu malam yang remang sampailah ia pada sebuah
perkampungan yang sepi. Bukan alam lain ia pikir, tokh bangunan rumah cukup
berjejer rapi di sini. Tapi tampak sepi dari penghuni. Kesepiannya bagai
kuburan. Benar-benar mati. Guru bilang, kesepian dan kematian itu timbul akibat
tak seorang pun yang terjaga. Mereka terlelap. Semuanya tertidur pulas. Mereka
tak meronda atas dirinya. Melangkahlah terus ke ujung kampung, kata sang guru.
Namun agak tersentak juga tatkala mendengar
suara-suara cekikikan mencegat langkahnya. Itu adalah para kuntilanak, teruslah
susuri jejaknya. Karena sang guru yang menyuruh, kendatipun bulu-bulu meremang,
ia terus melangkah mencari jejak suara itu. Namun walau sudah beberapa meter
jauhnya, yang disebut kuntilanak itu tak ditemukan. Itu hanya obat kantuk saja,
sebab di tempat yang sunyi tadi kau nyaris terbius dengan kantuk. Begitu kata sang
guru.
Sempat kecewa
pada sang guru, katanya dalam pengembaraan akan dijamin segalanya. Asal jangan
kematian saja yang dikehendak, niscaya akan dikabul. Tapi kenapa kakinya
mendadak korengan. Serupa eksim, hingga tak kuasa ia menahan gatal. Ia tak
mampu untuk tidak menggaruk. Kalau sekiranya nikmat garuklah, kata sang guru.
Maka dalam hari-harinya ia tak henti menggaruk-garuk koreng itu.
Tak ada obat
yang bakal mampu menyembuhkan koreng itu selain harus makan ikan lubang. Sejenis
sidat besar yang belang. Carilah di rawa-rawa atau sungai.
Pagi, siang, malam, ia terus cari ikan itu.
Hingga sampai pada suatu muara, apa yang dicarinya itu tak berhasil. Teruslah
sampai berhasil, bisik sang guru. Namun keberhasilan itu tak juga kunjung,
bahkan gagal total manakala banjir bandang seketika melumat tubuhnya yang kurus
itu hingga kemudian terpelanting ke tengah laut.
“Guru…guruku..!”
pekiknya payah. Tangannya menggapai-gampai mencari sesuatu.
“Berjuanglah
terus, bukankah kau tak ingin kematian yang didapat?”
Ya, iya, asal
jangan kematian yang diinginkan niscaya terkabul.
Semua kembali pada diri sendiri. Mau hidup
atau mati, silahkan mau pilih yang mana. Ya, aku mau tetap hidup, karena
kematian hampir sama dengan tidur. Tidur berarti suatu kemunduran dalam gelap.
Semoga ketibaan itu dijauhkan. Karena pengembaraan ini pun belum selesai.
Aku ingin tetap hidup di antara buih dan
gelombang. Di antara asin laut dan musim-musim tak terbilang.
Tatkala tubuh
nyaris karam. Tenggelam tak sampai ke dasar. Sebatang pohon pisang datang
mengambang, Sariat memang jangan diabaikan. Seperti sariat tak tidur, bukankah
karena rasa takut dan gatal kerap menyergap. Takut adalah obat agar tak
ngantuk, begitu pun gatal. Kantuk sudah hilang sejak dulu, gatal mendadak
hilang terkena asin air laut. Lalu pelajaran apalagi yang diberikan oleh sang
guru, ia tetap menanti.
Berhari-hari,
berminggu-minggu,berbulan-bulan, bertahun-tahun. Selama kepergian dan kepulangannya , bahkan
selama hidupnya. Ia berada di tengah lautan, mengapit sebatang pohon pisang.
Pohon yang kerap basah walau kemarau datang. Ia terus dihantam badai, dipermainkan gelombang
dan angin, juga digilas musim-musim . Namun
tubuh kecilnya tak menggigil, menerima terpaan hujan. Sebelum dan sesudah,
matahari mengajarkan do’a dan keteguhan. Di samudra kehidupan.***
(Ciamis, awal November 2011).
Otang K., penulis cerpen kambuhan, mulai menulis cerpen dan
puisi sejak tahun 1989. Kini tinggal di Ciamis Selatan, Jawa Barat.