Minggu, 12 Januari 2014

CORONG : Penelitian, Kini (Sabtu 14 Desember 2013)


Suyadi San



B
ALAI Bahasa Provinsi Sumatera Utara belum lama ini mengadakan seminar Hasil Penelitian di Theme Park Pantai Cermin, Serdangbedagai, Senin (02/12/2013). Seminar ini baru pertama kali diadakan sejak instansi ini berdiri secara resmi di Medan pada 1999.
            Balai Bahasa Provinsi Sumatera Utara semula bernama Balai Bahasa Medan. Ketika mulai berdiri pada 23 September 1999 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 226/O/1999, instansi ini memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga penelitian, pengembangan, dan pendidikan kebahasaan dan kesastraan Indonesia maupun daerah.
Sejak pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan, instansi ini mengalami penyesuaian tugas pokok dan fungsi, menjadi lembaga penelitian, pengembangan, dan pelindungan bahasa Indonesia.
Maka, sejak awal berdiri Balai Bahasa menjalankan tupoksinya di provinsi berpenduduk hampir 13 juta jiwa lebih ini. Serangkaian program dilaksanakan, seperti penyuluhan bahasa, bengkel sastra, penerbitan jurnal ilmiah, dan penelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut tentu saja mengacu standar kompetensi yang berlaku.
Penyuluhan bahasa merupakan program kegiatan pembinaan bahasa terhadap para pengguna bahasa di instansi atau lembaga formal maupun informal. Sasaran program penyuluhan ini adalah guru, pekerja pers, dan pejabat. Mengapa? Karena, ketiga kelompok profesi inilah yang penggunaan bahasanya sering jadi acuan orang-orang di bawahnya.
Sebagaimana dimahfumi, Indonesia merupakan negara yang menganut budaya faternalistik. Dalam kepemimpinan faternalistik, rakyat atau warga selalu meniru kebiasaan para pemimpinnya, termasuk berbahasa. Pemimpin yang memiliki massa atau pengikut yang jamak itu adalah guru, media massa, dan pejabat.
Pada pagi hingga sore hari, warga menghabiskan waktunya bersama guru ataupun pejabat di dalam lembaga pendidikan maupun kantor pemerintahan dan swasta. Hampir 50 persen waktunya atau setara 8-12 jam dihabiskan di tempat itu. Di rumah, waktu delapan jam ditemani tayangan atau siaran media massa, cetak maupun elektronik.  Sisa waktu berikutnya digunakan untuk istirahat atau tidur.
Dengan demikian, hampir 75 persen  kita menggunakan bahasa kepada lawan bicara kita di kantor dan sekolah serta berinteraksi dengan media massa. Apalagi, fungsi bahasa memang sebagai alat komunikasi. Gaya bahasa apapun yang digunakan para pemimpin kita di kantor dan sekolah akan memengaruhi kosa kata kita tiap harinya.
Karena itu, para panutan itu perlu dibekali dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik baik dan benar. Bahasa yang baik adalah sesuai dengan kaidah dan struktur bahasa yang ada. Bahasa yang benar karena digunakan seusuai konteks situasi berbahasa yang ada. Inilah target penyuluhan bahasayang dilakukan Balai Bahasa.
Tak ayal, instansi ini melatih kompetensi pegawainya sebagai penyuluh melalui pendidikan dan pelatihan yang integral di badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Jakarta. Penyuluh harus memiliki seritifikat nasional agar bias diberi kesempatan menyuluh.
Selain itu, penyuluh bias juga diemban praktisi maupun akademisi yang memiliki kualifikasi untuk itu.
Bagaimana dengan penelitian? Penelitian ini juga harus dilakukan orang yang berkompeten. Kompetensi penelitian di jajaran balai bahasa di Indonesia distandarkan dengan lembaga independen, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sebab itu, para peneliti harus melakukan program Diklat Penelitian secara berjenjang, dimulai dari Tingkat Pertama, Tingkat Muda, sampai Tingkat Madya dan Utama.
Namun, disebabkan ketatnya persaingan mendapatkan pangkat fungsional peneliti, mengakibatkan jumlah peneliti hingga saat ini masih sangat minim.Permasalahan kurangnya jumlah peneliti pernah menjadi permasalahan umum. Rendahnya minat menjadi peneliti disebabkan oleh masih rendahnya jumlah (kesempatan) untuk melakukan penelitian, adanya paradigma bahwa profesi peneliti itu sulit,dan jaminan serta fasilitas pemerintah yang rendah.
Masalah minimnya kuantitas peneliti bukan yang paling penting saat ini, tapi ada masalah lain yang harus ditangani lebih serius, yaitu peningkatan kualitas peneliti dan peningkatan kesempatan untuk melakukan penelitian.
Begitulah. ***

      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar