Minggu, 12 Januari 2014

PASAR MALAM YANG BERBEDA (Kamis 12 Desember 2013)


Laporan : Ismayuni Iswara
 
KONTEMPORER : Koreografer Agung Suharyanto menampilkan tari kontemporer dalam Pasar Malam Musikalissi Puisi di ruang pameran Taman Budaya Sumatera Utara. (foto : Ilham Ilahi)

P
asar Malam Musikalisasi Puisi ini diadakan pada 21-23 November 2013 di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Selama 3 hari berturut-turut itu, saya menyaksikan bagaimana acara ini berjalan, mulai dari persiapan sound, penataan panggung, dekorasi ruangan, pencahayaan, dan dokumentasi.
            Hari pertama, sound-nya sedikit berantakan. Terlihat saat grup musikalinea tampil, ada beberapa kali suara vokalis hilang – timbul. Penataan panggung monoton, karena panggung yang terletak di sisi kiri dan sisi kanan berhadapan langsung dengan yang di depannya. Sehingga, agak sulit penonton sisi kiri untuk melihat pemain dari sisi kanan. Begitu pula sebalikya. Seharusnya, panggung agak sedikit dimiringkan ke tengah.
Uniknya, di Pasar Malam ini saya tidak mendapatkan produk-produk penjualan seperti di pasar malam pada biasanya. Mereka lebih menawarkan keasyikan, kegembiraan nikmatnya sastra dan pengetahuan tentang bagaimana musikalisasi puisi itu, apa saja kesulitan di balik musikalisasi puisi, apakah sama musikalisasi puisi dengan musik dan puisi.
Ternyata untuk merekrut puisi ke dalam musik itu tidak mudah, andaipun mudah, mungkin tak sebagus apa yang diharapkan. Misalnya, bisa saja musik dan lirik puisi tidak selaras. Penyampaian makna dalam puisi tidak tersampaikan. Dan sebagainya. Dalam membuat musikalisasi puisi, komposer harus lebih dulu menafsirkan puisinya. Lalu, mencampurkannya dengan nada-nada yang pas untuk puisi tersebut, apakah itu sedih, senang, ataupun “liar”.
Untuk pencahayaan saya ajukan jempol, berkat para crew yang bekerjasama dengan baik sehingga mendapatkan hasil yang baik pula. Ketika pertunjukan dimulai, cahaya diarahkan hanya kepada pemain saja, hal ini yang membuat nuansa malam itu sangat indah, juga membuat penonton terfokus oleh pemainnya. Selanjutnya pengambilan gambar menggunakan kamera yang berada di belakang penonton ini, sangat efektif dalam memanfaatkan ruangan yang sempit itu.
Hari kedua, hanya kondisi sound yang berubah lebih baik dari sebelumnya. Selanjutnya hari ketiga, semua sama baiknya dengan hari sebelumnya, kecuali perbedaan pada panggung yang sedikit membosankan itu. Diganti dengan menyeluruh pada penggunaan panggung, maksudnya bukan hanya pada sisi kiri dan sisi kanan yang sudah serong ke arah tengah. Lalu, ada tambahan panggung di bagian tengah yang dibuat sedikit mencolok kedalam.
Dalam acara ini, pemain disediakan 3 konsep untuk menggarap musikalisasi puisi, di antaranya : 1) seluruh teks puisi dapat dibacakan sembari diiringi musik; 2) sebagian teks dapat dinyanyikan dan sebagian lagi dibaca; 3) seluruh teks puisi dinyanyikan.
Menurut saya, tidak ada perbedaan dari ketiga konsep karena seperti apapun konsepnya tetap akan terlihat bagus jika pemain dapat menyampaikan makna puisinya kepada penonton. Dengan begitu, kualitas musikalisasi puisinya akan tetap dikenal orang banyak.
            Sudah terlihat bukan? Bahwa pasar malam kali ini berbeda dari biasanya, jujur! Saya yang menonton acara ini selama tiga hari berturut-turut mendapatkan banyak pengetahuan, keakraban, kebersamaan akan musikalisasi puisi itu.
Puisi tidak harus selalu dibaca melalui alunan-alunan sajak ratapan, tetapi juga dapat dinikmati dengan musik yang mungkin akan membuai kita lebih terayun dalam permainan lirik puisi-puisi itu.
            Setiap malamnya ada dua grup yang tampil. Malam pertama ada musikalinea, membawakan tiga puisi yakni Kidung Anak Bangsa karya Ali Rahman Kaban, Tong Potong Roti karya Wiji Thukul dan Sepisaupi karya Sutardji Calzoum Bachri bersama Metronom dengan puisi Tetabuh di Huta Tinggi Laguboti dan Pada Langit, Pada Bumi dan Pada Segalanya keduanya karya M. Raudah Jambak, lalu Kenduri Laut karya Ok Sahril.
Malam kedua, Sanggar Rumput Hijau dengan puisi Sajak Palsu karya Agus R. Sarjono, Puisi karya Saut Sitompul dan Angin Masuk, Masuk Angin karya Hasan Al Banna. Juga, ada Geomusika membawakan puisi Pulang Kampung karya Yulhasni, Kampung Hujan karya Hasan Al Banna, dan Harianboho karya Sitor Situmorang.
Yang terakhir, malam ketiga, ada Cut Seorang dengan puisi Surat dari Ibu karya Sanusi Pane, Lukisan Hijau karya bersama 7 Keliling yang memilih konsep seluruh teks puisi dinyanyikan dengan empat puisi Rindu 1, Rindu 2, Rindu 3, dan Rindu 4 karya Hasan Al Banna.
            Selain itu, ada penampilan Andy Mukly (pembaca puisi humor), Agung Suharyanto (penari kontemporer) dan Putrie Aura Hermawan (pembaca puisi). Dengan slogan, ‘bukan seragam tapi beragam’, kalimat inilah yang dipilih Komunitas Home Poetry untuk Pasar Malam yang berbeda ini.
Ada juga kalimat “musikalisasi puisi ≠ musik + puisi” yang menerangkan kepada masyarakat bahwa musikalisasi puisi bukanlah  musik + puisi atau bukan sekadar puisi yang dimasukkan ke dalam musik juga bukan musik yang disatukan dengan puisi. Tetapi, lebih kepada bagaimana pesan dalam puisi itu tersampaikan — juga penyatuan antara puisi dan musik yang akan menjadi satu barisan.
Karena cukup menuangkan apa yang ada di pikiran kita secara alamiah. Cobalah! Menganggap puisi itu suatu makanan yang lezat, yang bumbunya terasa jika kita meresapi setiap kosakata penuh misteri ini dengan penasaran. Pasti, puisi tidak sesulit itu. Langkah selanjutnya, memadukan kunci-kunci nada pada sajak-sajak puisi. ***

GEOMUSIKA : Kelompok musik Geomusika menunjukkan atraksinya dalam Pasar Malam Musikalisasi Puisi. (foto : Ilham Ilahi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar