Laporan : Ismayuni Iswara
KONTEMPORER : Koreografer Agung Suharyanto menampilkan tari
kontemporer dalam Pasar Malam Musikalissi Puisi di ruang pameran Taman Budaya
Sumatera Utara. (foto : Ilham Ilahi)
|
P
|
asar Malam Musikalisasi
Puisi ini diadakan pada 21-23
November 2013 di Taman Budaya Sumatera
Utara (TBSU). Selama 3 hari berturut-turut
itu, saya menyaksikan bagaimana acara ini berjalan, mulai dari persiapan sound, penataan panggung, dekorasi
ruangan, pencahayaan, dan dokumentasi.
Hari
pertama, sound-nya
sedikit berantakan. Terlihat saat grup musikalinea tampil, ada beberapa kali
suara vokalis hilang – timbul. Penataan panggung monoton, karena panggung yang
terletak di sisi kiri dan sisi kanan berhadapan
langsung dengan yang di depannya.
Sehingga, agak sulit penonton sisi kiri untuk
melihat pemain dari sisi kanan. Begitu pula
sebalikya. Seharusnya, panggung agak sedikit dimiringkan ke
tengah.
Uniknya,
di Pasar Malam ini
saya tidak mendapatkan produk-produk penjualan
seperti di pasar malam pada biasanya. Mereka lebih
menawarkan keasyikan, kegembiraan nikmatnya sastra dan pengetahuan tentang
bagaimana musikalisasi puisi itu, apa saja kesulitan di balik
musikalisasi puisi, apakah sama musikalisasi puisi dengan musik dan puisi.
Ternyata untuk merekrut puisi ke
dalam musik itu tidak mudah, andaipun mudah, mungkin tak sebagus apa yang
diharapkan. Misalnya, bisa
saja musik dan lirik puisi tidak selaras. Penyampaian
makna dalam puisi tidak tersampaikan. Dan
sebagainya. Dalam membuat musikalisasi puisi, komposer harus lebih dulu
menafsirkan puisinya. Lalu,
mencampurkannya dengan nada-nada yang pas
untuk puisi tersebut, apakah itu sedih, senang, ataupun “liar”.
Untuk pencahayaan saya ajukan
jempol, berkat para crew yang bekerjasama dengan baik sehingga mendapatkan
hasil yang baik pula. Ketika pertunjukan dimulai, cahaya diarahkan hanya kepada
pemain saja, hal ini yang membuat nuansa malam itu sangat indah, juga membuat
penonton terfokus oleh pemainnya. Selanjutnya pengambilan gambar menggunakan
kamera yang berada di belakang
penonton ini, sangat efektif dalam memanfaatkan ruangan yang sempit itu.
Hari kedua, hanya kondisi sound
yang berubah lebih baik dari sebelumnya. Selanjutnya hari ketiga, semua sama
baiknya dengan hari sebelumnya, kecuali
perbedaan pada panggung yang sedikit membosankan itu. Diganti dengan menyeluruh
pada penggunaan panggung, maksudnya bukan hanya pada sisi kiri dan sisi kanan
yang sudah serong ke arah tengah. Lalu,
ada tambahan panggung di bagian
tengah yang dibuat sedikit mencolok kedalam.
Dalam acara ini, pemain
disediakan 3 konsep untuk menggarap musikalisasi puisi, di antaranya
: 1) seluruh teks puisi dapat dibacakan sembari diiringi musik; 2) sebagian
teks dapat dinyanyikan dan sebagian lagi dibaca; 3) seluruh teks puisi
dinyanyikan.
Menurut saya, tidak ada perbedaan
dari ketiga konsep karena seperti apapun konsepnya tetap akan terlihat bagus
jika pemain dapat menyampaikan makna puisinya kepada penonton. Dengan begitu,
kualitas musikalisasi puisinya akan tetap dikenal orang banyak.
Sudah
terlihat bukan? Bahwa pasar malam kali ini berbeda dari biasanya, jujur! Saya
yang menonton acara ini selama tiga hari berturut-turut
mendapatkan banyak pengetahuan, keakraban, kebersamaan akan musikalisasi puisi
itu.
Puisi tidak harus selalu dibaca melalui alunan-alunan
sajak ratapan, tetapi juga dapat dinikmati dengan
musik yang mungkin akan membuai kita lebih terayun dalam permainan lirik puisi-puisi
itu.
Setiap
malamnya ada dua grup yang tampil. Malam pertama
ada musikalinea, membawakan tiga puisi yakni Kidung Anak Bangsa karya Ali Rahman
Kaban, Tong Potong Roti karya Wiji
Thukul dan Sepisaupi karya Sutardji
Calzoum Bachri bersama Metronom dengan puisi Tetabuh di Huta Tinggi Laguboti dan Pada Langit, Pada Bumi dan Pada Segalanya
keduanya karya M. Raudah Jambak, lalu Kenduri
Laut karya Ok Sahril.
Malam kedua, Sanggar Rumput
Hijau dengan puisi Sajak Palsu karya Agus R.
Sarjono, Puisi karya Saut Sitompul
dan Angin Masuk, Masuk Angin karya
Hasan Al Banna. Juga, ada Geomusika membawakan
puisi Pulang Kampung karya Yulhasni, Kampung Hujan karya Hasan Al Banna,
dan Harianboho karya Sitor
Situmorang.
Yang terakhir, malam ketiga,
ada Cut Seorang dengan puisi Surat
dari Ibu karya Sanusi Pane, Lukisan
Hijau karya bersama 7 Keliling yang
memilih konsep seluruh teks puisi dinyanyikan dengan empat puisi Rindu 1, Rindu 2, Rindu 3, dan Rindu 4 karya Hasan Al
Banna.
Selain
itu, ada penampilan Andy Mukly (pembaca
puisi humor), Agung Suharyanto (penari kontemporer) dan Putrie Aura Hermawan
(pembaca puisi). Dengan slogan, ‘bukan seragam tapi beragam’, kalimat inilah yang dipilih Komunitas
Home Poetry untuk Pasar Malam
yang berbeda ini.
Ada juga
kalimat “musikalisasi puisi ≠ musik + puisi” yang menerangkan kepada
masyarakat bahwa musikalisasi puisi bukanlah
musik + puisi atau bukan sekadar puisi yang dimasukkan ke dalam musik
juga bukan musik yang disatukan dengan puisi. Tetapi, lebih kepada bagaimana
pesan dalam puisi itu tersampaikan — juga penyatuan antara puisi dan musik yang
akan menjadi satu barisan.
Karena cukup menuangkan apa yang
ada di pikiran kita secara alamiah. Cobalah!
Menganggap puisi itu suatu makanan yang lezat, yang bumbunya terasa jika kita
meresapi setiap kosakata penuh misteri ini dengan penasaran. Pasti, puisi tidak
sesulit itu. Langkah selanjutnya, memadukan kunci-kunci
nada pada sajak-sajak puisi. ***
GEOMUSIKA : Kelompok musik Geomusika menunjukkan atraksinya dalam
Pasar Malam Musikalisasi Puisi. (foto : Ilham Ilahi)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar