SOSIAL KEAGAMAAN
DALAM PEMILUKADA
G
|
ENDERANG pertarungan politik
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Sumatera Utara tahun 2013 terus
ditabuh. Meski jadwal kampanye belum ada, masing-masing kontestan sudah memraktikkannya.
Penyelenggara pemilu tampaknya membiarkan hal itu.
Tak heran,
tiap sudut kota, jalan dan gang, lorong dan kampung, deretan alat peraga terpampang jelas. Kalau dimaksudkan sekadar
sosialisasi pemilukada oleh para kontestan, boleh-boleh saja, demi
meminimalisasi pemilih. Kalau malah menimbulkan antipati sehingga warga
memboikot alias memilih golput? Wah, wah, wah…. Adakah itu dipikirkan mereka.
Kampanye hitam
nyaris terang-benderang terjadi. Kubu yang ini, memburukkan kubu yang itu.
Polarisasi bakal tak terhindarkan. Namun, bentuknya seperti udara : ada tapi
tak terkata. Contoh terparah adalah munculnya sentimen keagamaan : ‘jangan
pilih yang ini, sebab agamanya yang itu’. Ah!
Sebagaimana
diketahui, empat orang Muslim akan saling bersikut menuju Sumut 1. Mereka yaitu
Gus Irawan Pasaribu, Chairuman Harahap, Amri Tambunan, dan Gatot Pujo Nugroho. Mereka
tak lupa menambahi nama mereka dengan huruf H (baca : Haji). Sementara, Effendi Muara Sakti Simbolon dari
non-Muslim membayangi perebutan kursi gubernur Sumatera Utara 2013-2018.
Andai
pemilukada berlangsung berdasar latar belakang agama, maka masing-masing tokoh
Muslim (Pasaribu, Harahap, Tambunan, Nugroho) akan mendapatkan 16,36 persen
suara dari 12,9 juta jiwa warga Sumatera Utara. Simbolon akan meraih 31,40
persen. Sisanya sebesar 3 persen (Budha, Hindu, keyakinan lain) bisa menambahi
suara mereka.
Dalam
konteks sosiologi, terdapat beberapa cara pandang terhadap peristiwa
sosial-keagamaan. Pertama, pandangan
politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan oleh
persatuan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan.
Serangkaian
peraturan, hukum, pertempuran, sanksi sosial, ternyata dimaksudkan untuk memerebutkan
hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi bagian dari perebutan ini. Pemilukada
Sumut kali ini tampaknya mengapungkan sentimen agama dan etnis untuk berebut
kekuasaan.
Kedua, sudut pandang geografis. Mazhab
ini ingin menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan
oleh kondisi fisiknya. Karenanya, ajaran agama akan sangat dipengaruhi oleh
lingkungannya : apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir, pertanian, pegunungan, daerah
kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah damai atau perang, wilayah
subur ataukah miskin?
Semua itu
dianggap menentukan perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul. Dalam
kasus pemilukada, adakah umat non-Muslim memilih calon Muslim atau sebaliknya.
Apalagi, ada dua pasangan pelangi : Effendi Simbolon-Djumiran Abdi dan Amri
Tambunan-R.E.Nainggolan.
Ketiga, cara pandang Marxian yang melihat fenomena agama dari
pola aktivitas ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong pada mode
pertanian, perdagangan, industri, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi ini
sangat memengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang serta institusi sosial
yang ada.
Lihat saja
bagaimana perilaku calon yang memberikan “sesuatu” kepada orang lain yang bukan
berasal dari latar belakang agamanya. Apalagi, kepada korban bencana alam
semisal kebakaran, banjir atau sumbangan sosial lainnya. Ini jelas akan
mendongkrak suara.
Keempat, analisis Freudian yang berusaha menjelaskan bahwa perilaku masyarakat sangat
dipengaruhi oleh endapan bawah sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan.
Nafsu libido ini memiliki kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan
penyaluran.
Fenomena ini
bisa terlihat dari dampak tayangan televisi, internet, dan bahan-bahan cetakan
yang menyajikan sadisme, pornografi, dan pornoaksi. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang
kelihatannya ramah dan religius ini, namun pada saat tertentu bisa demikian
nekad. Hal ini yang perlu diwaspadai kontestan jika membawa isu sentimen
keagamaan.
Kelima, cara pandang historiko-filosofis yang mengatakan
bahwa sebuah peradaban mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan anak manusia. Ada masa kelahiran,
pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau kematian. Hal ini
dikembangkan aliran filsafat dan tradisi pemikiran Barat, dengan tokohnya
Friedrich Hegel, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbee.
Dalam kondisi
pragmatis hari ini, peradaban Islam yang cemerlang harus terus berhadapan
dengan globalisme yang membawa paham
Marxian dengan segala macam kemudahan. Islam yang sangat ampuh menghempang
perjuangan orientalis yang dibawakan Inggris dan Belanda masa kolonial, kini
berhadapan dengan diri sendiri melalui media-media asing dan dunia maya-digital. Hm, Muslim vs Muslim akan
kita lihat hasilnya.
Keenam, teori teologi-eksistensialisme. Yakni, sebuah mazhab pemikiran yang
menyatakan bahwa sejarah dan realitas sosial tak lebih dari eksistensi para
tokoh elitenya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini sangat kuat. Tak ayal,
banyak calon yang berebut simpati tokoh pesantren, gereja, vihara, dan lainnya.
Ketujuh, pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan
spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata
rantai menuju dunia lain, mendekati Sang Pencipta alam semesta. Dunia adalah
penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh.
Menurut
pandangan platonik-sufistik ini,
tujuan akhir manusia adalah mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan.
Hati-hatilah dengan tipuan kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan
manifestasinya, seperti harta, kedudukan, dan kekuasaan. Aih…adakah yang meniru pandangan ini?
Begitulah
kalau ada yang menggiring sentimen keagamaan dalam pemilukada kali ini. Semoga
berguna. ***
|