Sabtu, 26 Januari 2013

CORONG : Suyadi San


 SOSIAL KEAGAMAAN DALAM PEMILUKADA


G
ENDERANG pertarungan politik pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Sumatera Utara tahun 2013 terus ditabuh. Meski jadwal kampanye belum ada, masing-masing kontestan sudah memraktikkannya. Penyelenggara pemilu tampaknya membiarkan hal itu.
Tak heran, tiap sudut kota, jalan dan gang, lorong dan kampung, deretan alat peraga  terpampang jelas. Kalau dimaksudkan sekadar sosialisasi pemilukada oleh para kontestan, boleh-boleh saja, demi meminimalisasi pemilih. Kalau malah menimbulkan antipati sehingga warga memboikot alias memilih golput? Wah, wah, wah…. Adakah itu dipikirkan mereka.
Kampanye hitam nyaris terang-benderang terjadi. Kubu yang ini, memburukkan kubu yang itu. Polarisasi bakal tak terhindarkan. Namun, bentuknya seperti udara : ada tapi tak terkata. Contoh terparah adalah munculnya sentimen keagamaan : ‘jangan pilih yang ini, sebab agamanya yang itu’. Ah!
Sebagaimana diketahui, empat orang Muslim akan saling bersikut menuju Sumut 1. Mereka yaitu Gus Irawan Pasaribu, Chairuman Harahap, Amri Tambunan, dan Gatot Pujo Nugroho. Mereka tak lupa menambahi nama mereka dengan huruf H (baca : Haji).  Sementara, Effendi Muara Sakti Simbolon dari non-Muslim membayangi perebutan kursi gubernur Sumatera Utara 2013-2018.
Andai pemilukada berlangsung berdasar latar belakang agama, maka masing-masing tokoh Muslim (Pasaribu, Harahap, Tambunan, Nugroho) akan mendapatkan 16,36 persen suara dari 12,9 juta jiwa warga Sumatera Utara. Simbolon akan meraih 31,40 persen. Sisanya sebesar 3 persen (Budha, Hindu, keyakinan lain) bisa menambahi suara mereka.
            Dalam konteks sosiologi, terdapat beberapa cara pandang terhadap peristiwa sosial-keagamaan. Pertama, pandangan politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan oleh persatuan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan.
Serangkaian peraturan, hukum, pertempuran, sanksi sosial, ternyata dimaksudkan untuk memerebutkan hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi bagian dari perebutan ini. Pemilukada Sumut kali ini tampaknya mengapungkan sentimen agama dan etnis untuk berebut kekuasaan.
Kedua, sudut pandang geografis. Mazhab ini ingin menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi fisiknya. Karenanya, ajaran agama akan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya : apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir, pertanian, pegunungan, daerah kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah damai atau perang, wilayah subur ataukah miskin?
Semua itu dianggap menentukan perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul. Dalam kasus pemilukada, adakah umat non-Muslim memilih calon Muslim atau sebaliknya. Apalagi, ada dua pasangan pelangi : Effendi Simbolon-Djumiran Abdi dan Amri Tambunan-R.E.Nainggolan.
            Ketiga, cara pandang Marxian yang melihat fenomena agama dari pola aktivitas ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong pada mode pertanian, perdagangan, industri, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi ini sangat memengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang serta institusi sosial yang ada.
Lihat saja bagaimana perilaku calon yang memberikan “sesuatu” kepada orang lain yang bukan berasal dari latar belakang agamanya. Apalagi, kepada korban bencana alam semisal kebakaran, banjir atau sumbangan sosial lainnya. Ini jelas akan mendongkrak suara.
            Keempat, analisis Freudian yang berusaha menjelaskan bahwa perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh endapan bawah sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan. Nafsu libido ini memiliki kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan penyaluran.
Fenomena ini bisa terlihat dari dampak tayangan televisi, internet, dan bahan-bahan cetakan yang menyajikan sadisme, pornografi, dan pornoaksi. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang kelihatannya ramah dan religius ini, namun pada saat tertentu bisa demikian nekad. Hal ini yang perlu diwaspadai kontestan jika membawa isu sentimen keagamaan.
            Kelima, cara pandang historiko-filosofis yang mengatakan bahwa sebuah peradaban mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan anak manusia. Ada masa kelahiran, pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau kematian. Hal ini dikembangkan aliran filsafat dan tradisi pemikiran Barat, dengan tokohnya Friedrich Hegel, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbee.
Dalam kondisi pragmatis hari ini, peradaban Islam yang cemerlang harus terus berhadapan dengan globalisme yang membawa paham Marxian dengan segala macam kemudahan. Islam yang sangat ampuh menghempang perjuangan orientalis yang dibawakan Inggris dan Belanda masa kolonial, kini berhadapan dengan diri sendiri melalui media-media asing dan dunia maya-digital. Hm, Muslim vs Muslim akan kita lihat hasilnya.
            Keenam, teori teologi-eksistensialisme. Yakni, sebuah mazhab pemikiran yang menyatakan bahwa sejarah dan realitas sosial tak lebih dari eksistensi para tokoh elitenya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini sangat kuat. Tak ayal, banyak calon yang berebut simpati tokoh pesantren, gereja, vihara, dan lainnya.
Ketujuh, pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata rantai menuju dunia lain, mendekati Sang Pencipta alam semesta. Dunia adalah penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh.
Menurut pandangan platonik-sufistik ini, tujuan akhir manusia adalah mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan. Hati-hatilah dengan tipuan kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan manifestasinya, seperti harta, kedudukan, dan kekuasaan.  Aih…adakah yang meniru pandangan ini?
Begitulah kalau ada yang menggiring sentimen keagamaan dalam pemilukada kali ini. Semoga berguna.  ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

ESAI : Hendra Purnama



Menafikan Riset, Membuang Penonton

 

A
da pernyataan menarik yang dikeluarkan Manoj Punjabi—Presiden Direktur PT MD Entertaiment—tentang serial Tendangan si Madun (TSM). Dia mengatakan “…Kehadiran TSM tanpa didahului survei, Itu hasil insting saya. Saya kasih ide, lalu tim kreatif dan penulis tampung. Ibaratnya, saya smash kemudian tim balas dengan smash lebih keras, sehingga kami lebih bersemangat menggarapnya…”
Ini menarik karena sadar atau tidak pernyataan itu menyiratkan dua hal—yang kebetulan merupakan masalah pertelevisian Indonesia—pertama: kebanyakan film yang ada di televisi tidak dibuat oleh filmmaker, tapi oleh pedagang. Lalu yang kedua: pembuatan serial televisi Indonesia memang sering sekali mengabaikan riset.

Pedagang-Film: Penonton Urutan Kesekian
Kita bahas yang pertama dulu, fenomena ini cukup jelas tergambar dalam serial TSM. Pada bulan September 2012, serial TSM sudah mencapai season dua. Secara logika, sebuah serial yang mencapai season dua berarti memiliki banyak penggemar yang ingin cerita lebih, atau penonton yang mencintai peran-peran di layar. Masalahnya, untuk kedua hal tersebut rasanya sulit ditemukan dalam serial TSM baik season pertama dan kedua. Singkatnya, secara film TSM memiliki kualitas rendah. Lalu mengapa serial ini berlanjut seolah memang banyak penggemarnya?
Tidak lain karena film ini dibuat oleh pedagang, dimana salah satu skill pedagang adalah: harus mampu mempromosikan barang dagangannya hingga terlihat bagus dan banyak pembeli. Memang berdasar pada rating, TSM cukup fenomenal. Mengacu pada rating Nielsen periode 19-25 Februari 2012, TSM season pertama menempati posisi 2 dengan nilai 5,6 dan share 19,8. Hebatnya, pada Maret 2012 TSM mampu menyodok di peringkat satu dengan share di atas 20.
Namun tinggi pada rating bukan jaminan tinggi pula pada kualitas film. Terlalu banyak trik dalam dunia dagang untuk mempromosikan barang jelek agar terlihat bagus. Bila sudah sampai hal ini maka persoalan semacam, akting jelek, dialog kaku, tata kamera asal-asalan, chemistry tokoh yang tidak ada, realisme yang mati, plot acak-acakan, dan komedi yang tidak lucu, tentu akan langsung mentah. Sebab jika sebuah film dibuat oleh pedagang maka yang akan dibahas bukan kualitas cerita, tapi jumlah iklan masuk, biaya produksi, atau break even point.
Sekadar informasi, untuk serial TSM season pertama saja sudah keluar biaya 20 miliar, biaya itu untuk produksi 115 episode dengan slot iklan 20 menit per episode. Maka tampak wajar sekali bila seorang pedagang-film seperti Manoj ingin 20 miliar miliknya cepat kembali. Caranya dengan promosi gencar, mengejar rating tinggi, lalu menarik iklan sebanyak-banyaknya agar uang masuk ke kantung dia, sementara urusan cerita dan penonton ada di urutan sekian, tidak sempat dipikirkan. Gampangnya: bila dengan film kualitas rendah saja iklan banyak masuk, maka untuk apa membuat film berkualitas tinggi?
Lalu siapa yang jadi korban? Tentulah para penonton, bukan pedagang itu!

Mengapa harus Riset?
Hal kedua adalah soal riset. Kalau Manoj saja membuat lebih dari 100 episode hanya berdasar insting—dan kita sudah tahu kualitasnya filmnya—maka bisa kita pukul rata saja, berapa banyak riset yang sebenarnya sudah dilakukan pembuat serial-serial televisi di Indonesia? Berlebihankan bila dikatakan nol persen? Silahkan diperdebatkan saja. Padahal Lola Amaria (produser film Sanubari Jakarta) menekankan pentingnya riset data dan pentingnya peran konsultan dalam pembuatan film. Untuk perbandingan masalah riset ini, marilah kita ambil contoh dari sebuah serial anak-anak yang jelas-jelas sukses mendunia: Sesame Street
Sejak dibuat pertama pada akhir tahun 60-an, program ini terus mengalami pengembangan dan riset panjang. Hingga pada tahun 2001 tercatat sudah lebih dari seribu kali riset pengembangan yang berkaitan dengan efisiensi, isi pesan, efek Sesame Street pada kultur budaya anak-anak Amerika, dan riset psikologis pada anak-anak yang rutin menonton Sesame Street secara rutin dan yang tidak rutin. Karena jumlah riset inilah seorang penulis bernama Michael Davis mengatakan “…is perhaps the most vigorously researched, vetted, and fretted-over program…”, dan hal ini pun diaminkan oleh co-creator Sesame Street, Joan Ganz Cooney yang berkata “Without research, there would be no Sesame Street!
Riset yang paling mendasar adalah metode “the distractor” dimana peneliti memutar sebuah episode Sesame Street berbarengan dengan slide gambar-gambar lucu yang berganti tiap tujuh detik, tepat di sebelah televisi. Dari sana mereka bisa tahu pada adegan mana saja perhatian anak-anak teralih dari layar televisi ke arah slide. Riset ini memiliki standar tinggi. Jika sebuah episode bisa menarik minimal 80% perhatian anak-anak maka episode itu akan tayang, sementara bila hanya mencapai 50% maka akan disusun ulang, diganti, atau bahkan dihapus.
Dari riset-riset itu, banyak hal yang didapat oleh pembuat Sesame Street, antara lain, penghapusan segmen “A Man from Alphabet” karena mendapat persentase yang rendah, atau untuk Sesame Street yang dijual di Jamaika ternyata harus ada perubahan bentuk acara, karena setelah dilakukan riset ternyata perhatian anak-anak Jamaika menurun drastis saat segmen The Muppets—yang kemungkinan karena kesulitan terjemahan—sebaliknya perhatian mereka tinggi saat segmen musik. Hasilnya setelah diedit lagi, program ini bisa sukses di negara tersebut.
Jadi bila kita memposisikan diri sebagai filmmaker yang ingin menyajikan tontonan bagi masyarakat, riset adalah hal mutlak. Nantinya merekalah yang akan menilai tayangan yang kita buat. Karena sebagai filmmaker kadang sulit menilai karya sendiri, perlu orang lain untuk bereaksi dan mengatakan kelemahan maupun kelebihan film kita. Bila kita tidak mampu atau tidak cukup waktu melakukan riset yang berkaitan dengan kultur budaya, efisiensi, atau psikologi seperti Sesame Street, maka minimal kita harus lakukan test screening sebelum film itu tayang.
Industri film Amerika biasanya mengharuskan test screening dihadiri 300 sampai 400 orang penonton yang dipilih dari berbagai profesi dan umur. Setelah menonton film, mereka akan dimintai pendapat dan kritiknya tentang judul, plot, karakter, musik, ending, trailer, bahkan poster filmnya. Semua masukan dari mereka akan dijadikan bahan untuk final editing.
Tercatat beberapa film mengalami perubahan signifikan setelah dilakukan test screening, misalnya: para tester film Fatal Attraction (Adrian Lyne, 1987) ternyata tidak suka endingnya, maka studio rela mengeluarkan biaya 1,3 juta dollar untuk syuting ulang ending baru. Hasilnya lumayan, film ini mendapat enam nominasi Academy Awards. Sebaliknya, menafikkan hasil riset bisa berakibat fatal seperti yang dialami film Gigli (Martin Brest, 2003). Pada test screening, para tester tidak suka endingnya, tapi karena satu dan lain hal tidak dilakukan perbaikan. Hasilnya Gigli mendapat sembilan nominasi—dan mendapat enam gelar Razzies—di Golden Raspberry Awards 2003 antara lain untuk gambar terburuk, aktor terburuk, aktris terburuk, sutradara terburuk, dan skenario terburuk. Padahal film ini sudah diisi aktor kelas dunia macam Ben Affleck, Jennifer Lopez, dan Al Pacino.

Menghormati Penonton
Lalu bagaimana dengan serial-serial televisi Indonesia yang dibuat tanpa riset? Siapa yang salah?
Sebenarnya tidak ada yang salah bila kita menerima fakta bahwa serial-serial itu dibuat oleh para pedagang. Contohnya kembali pada TSM, disana Manoj Punjabi benar-benar menunjukkan kehebatannya sebagai seorang pedagang. Dengan instingnya dia melempar sebuah produk ke pasar tanpa riset, dia lakukan berbagai trik dagang agar pengiklan masuk, konsumen kenal produknya, dan rating produk dia melonjak tinggi, hingga pada akhirnya dia mendapat untung dari produk itu.
Soal produknya bagus atau tidak itu akan dipikirkan belakangan, karena sekali lagi skill seorang filmmaker adalah membuat film bagus, sementara skill seorang pedagang adalah menjual sebuah produk dengan kualitas apapun hingga mendapat untung yang besar. Kesimpulannya: Manoj Punjabi adalah pedagang, dan pada serial TSM dia “hanya” melakukan pekerjaannya sebagai pedagang, tidak kurang dan tidak lebih.
Tapi bukankah lebih baik jika kita bisa membuat film yang laku di pasaran sekaligus bagus dalam penceritaan? Memang betul, tapi melihat pasar televisi kita dikuasai oleh para pedagang rasanya sedikit yang bisa memahami konsep itu. Sedihnya, kondisi ini juga menunjukkan bahwa belum banyak film televisi di Indonesia yang menghormati penonton.
Mengapa bisa dibilang menghormati? Karena dalam film, ruang untuk keterlibatan penonton harus disediakan, dan keterlibatan ini hanya bisa terjalin bila penonton bisa menikmati film tersebut, Lola Amaria menjelaskan bila film dikemas dengan isi kasus yang dirasakan penonton, maka mereka akan lebih ingin menonton.
Lewat pernyataan Lola itu bisa kita simpulkan bahwa mencari penonton yang pas bagi film kita—sekaligus menentukan waktu penayangan agar film tersebut tepat sasaran—memang penting sekali. Karena sebuah film yang membuang penonton, tidak melibatkannya menjadi bagian film, hanya bergerak sendiri di tataran imajinasi pembuatnya adalah jenis film yang egois, dan siapa di antara kita yang suka pada sifat egois? Tentu saja tidak ada.
Lewat riset, sebuah film mendapat jaminan sukses jangka panjang, bukan hanya jadi ajang mengumpulkan uang dalam sekejap. Namun masalahnya selain film televisi kita dikuasai oleh pedagang, ternyata banyak juga filmmaker (terutama pemula) yang menganggap bahwa riset itu adalah kegiatan yang rumit, karenanya mereka menghindari kegiatan ini. Padahal sebenarnya banyak keuntungan yang bisa diambil bila kita mau sedikit meluangkan waktu dan biaya untuk riset. Kecuali kalau kita memang bermental pedagang, maka silahkan ikuti insting dan gunakan segala kosakata kaum pedagang seperti untung, rugi, break even point, investor, marketing, konsumen, atau pendapatan. Masalahnya penonton televisi Indonesia tidak perlu pedagang, mereka perlu filmmaker yang benar-benar filmmaker.
Jadi sekarang mari kita bekerjasama saja untuk hasil terbaik. Serahkanlah pembuatan film—terutama film televisi yang memiliki basis penonton terbanyak—pada filmmaker agar tercipta film yang bagus. Tapi nanti gunakan seorang pedagang pada fase distribusinya agar produk film itu nanti bisa diperdagangkan dengan baik.
Bukankan ini sebuah kombinasi yang bagus untuk penonton Indonesia?




Bandung, Januari 2013
Penulis adalah editor film, bergiat di Salman Films

Cerpen : Indri



KURUS KERITING DI AEK INTAN

 

D
erak bus mini yang seperti kendaraan pribadi itu masih berdentang dan sesekali menjerit karena harus berperang dengan jalanan dari tanah kuning yang berbatu dan berkelok. Sepicing pun aku tidak bisa memejamkan mataku, kepalaku sesak meskipun oksigen segar disemburkan oleh pohon-pohon yang tumbuh rimbun di sepanjang bibir jalan.
Ada begitu banyak tempat di Negara ini tapi mengapa harus tempat ini. Tempat di mana orang-orang tidak bisa berbelanja kapanpun ia mau, tempat di mana tidak ada lampu warna-warni di malam hari, tempat dimana tidak ada es krim, tempat di mana angkutan umum tidak selalu tersedia mengantar kemana pun kita akan pergi.
Baru setengah perjalanan tapi rindu seperti menusuk di ulu hatiku. Aku rindu rumahku, aku rindu rumah nenek, aku rindu boneka beruang yang tertinggal di rumah, aku rindu rantang kecil tempat makananku yang tertinggal di rumah nenek, aku rindu sepeda kecilku, aku rindu pondok kain di belakang rumah nenek tempat aku bermain, aku rindu teman-temanku, aku rindu sekolahku, aku rindu Pak Ilan penjual es krim, aku rindu semua yang ada di kampung halamanku.
           Rinduku ditambah aroma lengket yang berasal dari latek* bersatu menjadi gumpalan besar di perutku yang tak hentinya meloncat berusaha keluar melewati kerongkonganku. Mengapa harus tempat ini? Tempat yang hanya dihuni oleh barisan pohon-pohon karet, dan setiap 100 km baru akan ditemukan tumpukan rumah penduduk (pondok) yang  berderet dengan bentuk dan warna yang sama yang diapit oleh rimbun pohon karet.
Kompleks SD terpencil, itu tujuan kami, aku, ayah, dan aba**ku. Kami menghabiskan seharian penuh untuk mencapai tempat itu. Kami sampai di pemberhentian bus paling akhir di pondok paling akhir, mungkin itu yang disebut ujung jalan dunia karena setelah tempat itu tidak ada jalan ke tempat lain.
Awalnya, aku sedikit lega setidaknya kami akan tinggal di tempat yang sedikit ramai penghuninya, tapi tunggu ini bukan tujuan kami. Tujuan kami masih ada di seberang sungai. Kami harus menuruni pinggiran bukit kemudian melewati jembatan menyeberangi sungai kembali mendaki dinding bukit.
Di sana, di salah-satu rumah susun untuk guru yang berada berhadapan dengan sekolah, Omak*** sedang menunggu kami. Satu tahun yang lalu Omak ditempatkan di tempat ini setelah ia dinyatakan lulus ujian PNS. Ayah di sini menemani Omak, sedangkan aku dan abaku tinggal di rumah nenek.
Tapi setelah satu tahun ayah merasa tidak bisa bekerja sebagai buruh perkebunan, ayah memutuskan untuk kembali ke kampung dan sebagai gantinya aku dan abaku yang tinggal di sini menemani Omak. Aku sangat merindukan Omak, meskipun setiap sebulan sekali ia datang mengunjungi kami.
Di tempat yang diselubungi rimbunan pohon karet itu hanya ada lima rumah guru, satu kantor dan empat ruang kelas, meskipun yang satu berbentuk seperti rumah yang disulap menjadi sebuah kelas. Untuk menyiasati kekurangan kelas, siswa kelas 1,2 dan 5,6 masuk pagi sementara siswa kelas 3 dan 4 masuk siang.
Setidaknya aku dan abaku beruntung kami pindah ke sekolah ini saat kelas 3. Karena meskipun kompleks SD terpencil, sekolah ini adalah sekolah dengan disiplin yang sangat tinggi yang pernah aku dapati. 06.30 siswa-siswa sudah berdatangan dan tanpa dikomando mereka serentak langsung mengambil sapu lidi yang ada di kelas masing-masing membersihkan serakan daun-daun karet yang kering di halaman sekolah.
Tidak ada sedikitpun celah yang tertinggal, semua dibersihkan. Itu pagi pertama kami di tempat itu. Tubuhku menggulung di dalam selimut, rasanya tidak ingin beranjak sedikitpun tapi itu hari pertama kami di sekolah baru, tepatnya itu hari Senin dan kami harus bergegas mengikuti upacara bendera meskipun kami masuk siang.
Tidak ada kamar mandi di rumah, kami harus menuruni dinding bukit menuju ke pancuran, mata air yang di bendung kemudian dipasang batu besar berdiameter 10cm yang berbentuk seperti pipa. Di manapun aku belum pernah melihat air sebening itu, yang tanpa ragu bisa langsung meminumnya, yang tidak pernah kering meski musim kemarau panjang.
Tempat itu, tidak heran orang-orang di sana menyebutnya ‘aek Intan’, aek berarti air sedangkan Intan berarti permata yang berwarna putih bersih seperti kristal. Aku yang terbiasa tinggal di daerah pantai dengan suhu rata-rata 34˚C ini seketika menggigil saat guyuran kristal cair ini menyentuh tubuhku. Kristal-kristal itu berubah menjadi jarum-jarum kecil yang menusuk kulit hingga sum-sumku.
Hari pertama aku dan abaku seperti tamu istimewa berbaris di podium tersendiri, sigap menantang ke arah matahari. Itu bukan penghargaan melainkan hukuman karena kami datang terlambat. Terlambat datang ke sekolah pada hari Senin adalah pelanggaran peraturan yang sangat fatal.
Dari sekian banyak pelanggaran, ‘terlambat’ adalah hal yang paling besar. Sebut saja saat upacara siswa tidak memakai topi, maka siap-siap mendapatkan benjolan besar di kepala dari lesat gumpalan tangan pemimpin upacara. Meningkat sedikit pembaca UUD 45 atau Janji Siswa terbata-bata saat membaca, ini akan ditangani langsung oleh pembina upacara, dan bisa dibayangkan berapa besar tingkatan hukumannya.
Tidak ada toleransi, meski kami murid baru di sekolah ini, terlambat berarti melanggar peraturan dan kami harus menerima konsekuensinya. Meski kami anak dari salah satu guru di sekolah ini, peraturan tetap peraturan. Tidak memandang siapapun.
Hari pertama tanpa memperkenalkan diri kami langsung terkenal karena ulah guru piket yang secara masal memperkenalkan kami di depan seluruh guru dan siswa, tapi setidaknya kami tidak perlu repot-repot memperkenalkan diri. Catatan di hari pertama, hari Senin adalah hari yang sangat menegangkan di Aek Intan.
Aku dan abaku bukan tipe yang gampang bergaul dengan orang lain, hampir seminggu kami hanya bermain berdua karena hari pertama itu kami merasa tidak punya kepercayaan diri untuk berteman dengan teman-teman baru kami. Aku bahkan tidak berani menatap mata mereka. Sampai seorang anak laki-laki berparas lembut -- dengan rambut keriting dan bertubuh sangat kurus -- datang menghampiri kami. Aku langsung tahu kalau dia juga bukan berasal dari tempat ini karena saat ia berbicara terdengar medok khas Jawa. 
Aku masih ingat waktu itu, aku dan abaku sedang bermain kelereng, di kampungku. Bermain kelereng hanya dengan menembak kelereng lawan. Jika kelereng lawan kena tembakan, kelereng itu akan jadi milik kita. Tapi dia datang dan langsung mengajak kami bermain kelereng dengan versi yang lain, serimbang. Memungut kelereng dengan melemparnya ke atas dan menangkapnya kembali satu persatu dari tumpukan pasir dengan satu tangan sampai semua kelereng terkumpul.
Sejak hari itu kami berteman dan seiring waktu kami hampir berteman dengan semua teman yang sekelas dengan kami, tidak hanya bermain bersama kami bahkan sering dihukum bersama. Waktu itu pelajaran Matematika guru kelas kami Pak Sirait terkenal sangat keras saat mengajar, satu persatu kami dipinta mengerjakan soal di papan tulis.
Aku tidak ingat persis soal apa yang diberikan, tapi yang jelas dari empat puluh siswa hanya satu orang yang bisa mengerjakannya. Selebihnya kami semua dihukum berlari dari sekolah ke simpang jalan menuju sekolah yang jauhnya kira-kira 1 km sebanyak sepuluh kali. Alhasil temanku si kurus keriting harus dilarikan ke kantor guru karena sesak napas.
 Sekolah kami sangat jauh dari segala hal, jika terjadi sesuatu pertolongan pertama hanya dilakukan oleh guru-guru dengan mengambil pasokan obat di rumah masing-masing. Untunglah obat berwarna pink itu sangat manjur membantu temanku si kurus keriting mengumpulkan napasnya yang terpenggal-penggal.
Berbicara mengenai temanku si kurus keriting. Dia dan adiknya pindah ke tempat ini satu minggu sebelum kami. Mereka pindah dari pulau jawa karena ibu mereka meninggal dan mereka harus tinggal di sini bersama ayah dan ibu tiri mereka. Tinggal berdesakan bersama empat saudara tiri mereka. Setiap hari mereka adalah penghuni pertama yang hadir di sekolah, mereka selalu datang lebih awal, bahkan ketika aku baru bangun tidur mereka sudah bermain dengan tumpukan pasir di halaman sekolah.
Meskipun kami masuk siang, tapi dia selalu datang lebih cepat dari yang masuk di kelas pagi, karena ia harus menemani adiknya yang masih duduk di kelas 1. Kakak-beradik itu tidak terbayang berapa jauh mereka berjalan menuju sekolah. Lusuh sepatu-sepatu mereka sudah menceritakan apa saja yang mereka lewati.
Peluh yang melekat di baju mereka menjelaskan seberapa jauh jalan yang mereka tapaki. Tapi, senyum mereka tidak pernah mengisyaratkan tentang lelah. Jangan tanyakan tentang jajan di sekolah, karena sepengetahuanku mereka tidak pernah terlihat membeli makanan apapun, bekal makanan juga tidak ada. Hanya air putih di dalam sebuah botol minuman mineral yang terlihat kumal karena entah berapa kali di isi ulang.
Walaupun begitu si kurus keriting tetap si kurus keriting. Dia akan tetap tersenyum meskipun yang sejengkal keroncongan. Hanya dengan bermain, setidaknya yang sejengkal sedikit terlupakan. Tidak terhitung berapa banyak permainan yang ia perkenalkan padaku. Mulai dari serimbang, se-ma-ma-se melompati akar rumput perkebunan karet seperti lompat tali. Membuat cincin dari biji salak. Menangkap udang di pancuran dan hanya dengan menepuk udang hingga merah kita langsung bisa memakannya. Mengutip biji sawit dan memakan isinya.
Terakhir permainan “patung”, tidak sulit melakukan permainan ini, hanya sebuah perjanjian. Dua orang yang berjanji kapanpun dan di manapun mereka bertemu dan siapapun yang lebih dulu mengatakan patung, maka yang satunya harus menjadi patung sampai lawan mengatakan selesai. Terakhir, dan tak pernah lagi.
                                                            ***     
Aek Intan masih dengan pendiriannya, tetap bening seperti kristal dan selalu setia menusuk kulit hingga sum-sumku. Masih dengan pagi yang seraki daun-daun karet yang mengering, masih dengan anak-anak sekolah yang berduyun menyapu halaman sekolah, masih dengan upacara hari senin yang menegangkan, masih dengan disiplin peraturan, masih dengan hukuman bagi yang kurang dalam pelajaran, masih dengan seribu permainan, meski tanpa si kurus keriting.
Hampir satu bulan si kurus keriting tidak hadir ke sekolah begitu juga dengan adiknya. Saat itu kami akan menghadapi ujian kenaikan ke kelas empat. Kudengar dia dan adiknya diangkat oleh orang tua asuh dan mereka di bawa pergi.
Hey!! Kurus keriting. Teman seperti apa kau? Meninggalkan Aek Intan, meninggalkan kami, hanya bilang “patung”?
                                                            ***
Aek Intan masih dengan pendiriannya tetap bening seperti kristal dan selalu setia menusuk kulit hingga sum-sumku. Masih dengan pagi yang seraki daun-daun karet yang mengering, masih dengan anak-anak sekolah yang berduyun menyapu halaman sekolah, masih dengan upacara hari senin yang menegangkan, masih dengan disiplin peraturan, masih dengan hukuman bagi yang kurang dalam pelajaran, masih dengan seribu permainan, dan aku masih merindukan si kurus keriting di Aek Intan.
                                               
                                                            ==***==
                                                               *untuk sahabat kecilku. Apa kabar teman?

                                                                                    Medan, 10 Maret 2012
                                                                                                                                         
*Latek, tempat penyimpanan getah karet
** Aba, Abang
***Omak, Ibu
                                                                                                               

Sabtu, 19 Januari 2013

CORONG : Suyadi San


  ETNISITAS PEMILUKADA


W
ARGA Sumatera Utara pada 7 Maret 2013 menorehkan pilihannya terhadap calon Kepala Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013-2018. Lima pasang calon gubernur sudah sama kita ketahui. Siapakah yang bakal menjadi orang nomor satu di provinsi berpenduduk lebih 12 juta jiwa ini?
            Perang urat syaraf pun dilakukan antarkontestan. Ada yang terbuka, ada pula yang diam-diam. Perang wacana idiologi politik lumrah terjadi. Sebab, pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) merupakan agenda politik transnasional negeri ini. Namun, bagaimana dengan sentimen etnis yang muncul di permukaan?
            Menurut Parsudi Suparlan (2003), etnisitas (suku bangsa) adalah sebuah pengorganisasian sosial mengenai jati diri yang akskriptif ketika anggota suku bangsa mengaku sebagai anggota suatu suku bangsa tertentu karena dilahirkan dan berasal dari suatu daerah tertentu. 
            Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan tidak dapat dibuang dalam berbagai struktur sosial, kesukubangsaan tetap melekat dalam diri seseorang sejak kelahirannya.  Meskipun jati diri suku bangsanya tidak digunakan dalam interaksi, tetapi tidak dapat dibuang atau dihilangkan.
            Dalam masyarakat majemuk seperti Sumatera Utara, setiap orang dikenal dan saling mengenal kesukubangsaannya melalui ciri-ciri fisik tubuhnya, dan ungkapan-ungkapan budayanya yang menjadi atribut dari jati diri kesukubangsaan. Dalam hubungan antarsuku-bangsa, atribut kesukubangsaan adalah ciri-ciri fisik atau rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai budaya serta keyakinan keagamaan.
            Sadar atau tidak, seseorang akan hidup dengan berpedoman pada kebudayaan suku bangsanya. Proses pembelajarannya berlangsung dalam pendidikan informal masa kanak-kanak sampai dewasa.
            Hm, begitulah. Dan, saya terkejut mengetahui ada tokoh Melayu menyatakan dukungannya secara terang-terangan kepada pasangan Effendi Muara Sakti Simbolon-Djumiran Abdi. Bukankah Tengku Erry Nuradi satu-satunya orang Melayu yang maju di pentas pemilukada – meski cuma jadi calon wakil gubernur?
            Lalu, bagaimana dengan orang Batak yang menyebar kepada Amri Tambunan, Rustam Effendy Nainggolan, Effendi Simbolon, Chairuman Harahap, Fadly Nurzal, dan Gus Irawan Pasaribu? Begitu juga orang Jawa yang tentu menyebar pula pada Djumiran Abdi, Soekirman, dan Gatot Pujo Nugroho?
            Sebagai orang Jawa, saya gembira memiliki wakil beberapa calon. Setidaknya, hal ini   menolak klaim kubu Soekirman yang dalam acara di Pematangsiantar dan Langkat menyebut orang Jawa berkiblat ke Soekirman. Atau, kubu Gatot Pujo Nugroho yang mengklaim didukung mayoritas orang Jawa. Apakah mereka menafikan kiprah Djumiran Abdi yang lama berlabuh pada Paguyuban Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma)?
            Gatot Pujo Nugroho boleh jadi percaya dirinya didukung orang Jawa. Namun, itu bukan karena dirinya sendiri, melainkan karena jabatannya sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara. Tak heran, ke sana-ke mari gratisan menyambangi calon pemilihnya dengan dalih tugas dinas.
            Kemenangan Gatot pada pemilukada 2008 tak bisa dimungkiri karena didongkrak popularitas Syamsul Arifin, tokoh Melayu yang menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Masyarakat Adat dan Budaya Melayu Indonesia (MABMI). Peran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menopang Gatot hanya jadi pelengkap Syampurno.
            Akankah itu kembali direngkuh Gatot? Apalagi, pasangannya juga orang Melayu, sama seperti Syamsul Arifin. Hanya saja, ketokohan Tengku Erry  tidak bisa mengalahkan ataupun mengimbangi Syamsul Arifin. Lihatlah, belum apa-apa tokoh MABMI malah menaruh harapan pada Djumiran Abdi selaku pendamping Effendi Simbolon.
            Dukungan segi tiga Melayu-Jawa-Batak tampaknya mencerminkan populasi terbesar warga Sumatera Utara. Melayu dan Batak adalah dua etnis asli terbesar. Apalagi, etnis Jawa yang mendominasi jumlah penduduk di Sumatera Utara, yaitu sekitar 46% dari 12 juta jiwa berdasar sensus penduduk 2007.
            Karena itu, besar kemungkinan pasangan “kuda hitam” Effendi-Djumiran dengan diperkuat  tokoh-tokoh Melayu bakal menggusur perkiraan semua orang untuk meringsek naik ke permukaan.        Mengenai ini saya teringat pendapat antropolog Fredrik Barth.
            Dalam penelitiannya, Barth menemukan dua hal. Pertama, batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur. Dengan kata lain perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh terjadinya pembauran, kontak dan pertukaran informasi namun lebih disebabkan oleh adanya proses-proses sosial berupa pemisahan dan penyatuan.
Kedua,  dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting antara dua kelompok etnik yang berbeda, karena adanya status etnik yang terpecah dua (terdikotomi). Dengan kata lain, ciri masing-masing kelompok etnik yang berbeda-beda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosial, tetapi didasari oleh terbentuknya sistem sosial tertentu. Nah! *** 


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.