Minggu, 12 Januari 2014

CORONG : Penelitian,Kini/2 (Sabtu 21 Desember) 2013



Suyadi San



BEBERAPA waktu lalu saya membaca berita tentang kunjungan panitia pelantikan pengurus Paguyuban Suku Tinghoa Indonesia (PASTI) ke Kantor Gubernur Sumatera Utara. Wakil Gubernur Tengku Erry Nuradi pada kesempatan itu meminta kepada warga Tionghoa untuk menggunakan bahasa Indonesia di tempat umum.
Membaca berita tersebut, saya jadi terperangah! Pertanyaan saya : apakah pertanyaan serupa pernah dilontarkan Tengku Erry kepada warga suku lainnya, misalnya orang Batak, Mandailing, Karo, Jawa atau? Ah.... terlepas pernyataan itu berbau rasial, saya bicara sedikit tentang fungsi bahasa itu sendiri.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekadar berkomunikasi (asal mengerti/pokoknya mengerti); berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa yang berlaku.
Kaidah bahasa ada yang tersirat dan ada yang tersurat.  Kaidah bahasa yang tersirat berupa intuisi penutur bahasa. Kaidah ini diperoleh secara alami sejak penutur belajar berbahasa Indonesia. Kaidah bahasa yang tersurat adalah sistem bahasa (aturan bahasa) yang dituangkan dalam berbagai terbitan yang dihasilkan oleh penutun bahasa yang berminat dan ahli dalam bidang bahasa, baik atas inisiatif sendiri (perorangan) maupun atas dasar tugas yang diberikan pemerintah, seperti buku-buku tata bahasa, kamus, dan berbagai buku pedoman (misalnya pedoman ejaan atau pedoman pembentukan istilah).
Namun, masalahnya apakah kaidah yang telah dituliskan itu sudah diterapkan secara benar? Jika kita sudah menerapkan kaidah secara benar, berarti kita telah menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Lalu, bagaimana penggunaan bahasa Indonesia dengan baik? 
Ungkapan gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar telah menjadi slogan yang memasyarakat, baik melalui jasa guru di lingkungan sekolah maupun jasa media massa (media cetak-surat kabar dan majalah – ataupun media elektronika – radio dan televisi – melalui siaran pembinaan hahasa Indonesia).
Apakah sebenarnya makna ungkapan itu? Apakah yang dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang benar?
Yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek (1) tata bunyi (fonologi), (2) tata bahasa (kata dan kalimat), (3) kosakata (termasuk istilah), (4) ejaan, dan (5) makna.
Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan itu logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita.
Selain itu, ukuran baik itu juga bertalian dengan tersampaikannya pesan/informasi yang dinyatakan, kalimat: ”Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria”, misalnya, dapat menyampaikan pesan/informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah bahasa tidak memenuhi syarat sebagai kalimat yang benar. Sebaliknya, kalimat: ”Gadis itu jalan-jalan di sungai”, misalnya, memenuhi kaidah bahasa (subjek, predikat, dan keterangan), tetapi tidak dapat menyampaikan pesan secara efektif karena orang akan bertanya-tanya tentang maksudnya.
Jadi, penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan. Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari pemakaian kalimat-kalimat yang efektif, yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat.
Karena itu, jika orang Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa bersama sesamanya, sebagaimana orang Batak dengan orang Batak, orang Jawa dengan orang Jawa, dan sebagainya, dapat dikembalikan kepada ranah baik dan benar itu. Jadi, silakan saja mkita memelihara bahasa ibu kita dengan klan kita, dan menggunakan bahasa Indonesia kepada klan lain. ***


      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar