Suyadi San
BEBERAPA waktu lalu saya membaca berita tentang kunjungan panitia
pelantikan pengurus Paguyuban Suku Tinghoa Indonesia (PASTI) ke Kantor Gubernur
Sumatera Utara. Wakil Gubernur Tengku Erry Nuradi pada kesempatan itu meminta
kepada warga Tionghoa untuk menggunakan bahasa Indonesia di tempat umum.
Membaca berita tersebut, saya jadi terperangah!
Pertanyaan saya : apakah pertanyaan serupa pernah dilontarkan Tengku Erry
kepada warga suku lainnya, misalnya orang Batak, Mandailing, Karo, Jawa atau?
Ah.... terlepas pernyataan itu berbau rasial, saya bicara sedikit tentang
fungsi bahasa itu sendiri.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, bahasa itu
bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekadar berkomunikasi (asal
mengerti/pokoknya mengerti); berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa
yang berlaku.
Kaidah bahasa ada yang tersirat dan ada yang
tersurat. Kaidah bahasa yang tersirat
berupa intuisi penutur bahasa. Kaidah ini diperoleh secara alami sejak penutur
belajar berbahasa Indonesia. Kaidah bahasa yang tersurat adalah sistem bahasa
(aturan bahasa) yang dituangkan dalam berbagai terbitan yang dihasilkan oleh
penutun bahasa yang berminat dan ahli dalam bidang bahasa, baik atas inisiatif
sendiri (perorangan) maupun atas dasar tugas yang diberikan pemerintah, seperti
buku-buku tata bahasa, kamus, dan berbagai buku pedoman (misalnya pedoman ejaan
atau pedoman pembentukan istilah).
Namun, masalahnya apakah kaidah yang telah
dituliskan itu sudah diterapkan secara benar? Jika kita sudah menerapkan kaidah
secara benar, berarti kita telah menggunakan bahasa Indonesia dengan benar.
Lalu, bagaimana penggunaan bahasa Indonesia dengan baik?
Ungkapan gunakanlah
bahasa Indonesia yang baik dan benar telah menjadi slogan yang
memasyarakat, baik melalui jasa guru di lingkungan sekolah maupun jasa media massa (media cetak-surat kabar dan
majalah – ataupun media elektronika – radio dan televisi – melalui siaran
pembinaan hahasa Indonesia).
Apakah sebenarnya makna ungkapan itu? Apakah yang
dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang
benar?
Yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa
yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek (1) tata bunyi
(fonologi), (2) tata bahasa (kata dan kalimat), (3) kosakata (termasuk
istilah), (4) ejaan, dan (5) makna.
Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah
ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi.
Pemilihan ini bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan,
orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat
pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa
yang kita gunakan itu logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita.
Selain itu, ukuran baik itu juga bertalian dengan
tersampaikannya pesan/informasi yang dinyatakan, kalimat: ”Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah wanita lebih banyak
daripada jumlah pria”, misalnya, dapat menyampaikan pesan/informasi, tetapi
dilihat dari segi kaidah bahasa tidak memenuhi syarat sebagai kalimat yang
benar. Sebaliknya, kalimat: ”Gadis itu
jalan-jalan di sungai”, misalnya, memenuhi kaidah bahasa (subjek, predikat,
dan keterangan), tetapi tidak dapat menyampaikan pesan secara efektif karena
orang akan bertanya-tanya tentang maksudnya.
Jadi, penggunaan
bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang
gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi),
tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan. Penggunaan
bahasa yang baik terlihat dari pemakaian kalimat-kalimat yang efektif,
yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat.
Karena itu,
jika orang Tionghoa menggunakan bahasa Tionghoa bersama sesamanya, sebagaimana
orang Batak dengan orang Batak, orang Jawa dengan orang Jawa, dan sebagainya,
dapat dikembalikan kepada ranah baik dan
benar itu. Jadi, silakan saja mkita memelihara bahasa ibu kita dengan klan
kita, dan menggunakan bahasa Indonesia kepada klan lain. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar