Bahas
Rubrik Sastra dan Cerita Nasionalis
Laporan :
Fela Felia Batubara
P
|
erjalanan dari Kota Medan menuju kota lemang Tebingtinggi menempuh jarak sekitar dua jam, melalui jalan
lintas darat melewati dua kabupaten,
Deliserdang dan Serdangbedagai. Perjalanan ini dilakukan para penggiat
sastra dari Medan, Minggu (8/12).
Tidak
sekadar perjalanan biasa, tetapi memiliki misi untuk membahas sastra dan
omong-omongnya. Acara berlangsung di kediaman Nina Zuliani, seorang dokter
sekaligus penulis dan pecinta sastra. Terletak di Jalan
Jenderal Sudirman,
tepatnya di Komplek Perumahan Rumah Sakit Sri Pamela Tebingtinggi.
Pertemuan
para penggiat sastra ini, antara lainnya membahas Napak Tilas Rubrik Sastra Koran yang dipaparkan Sulaiman Sambas,
dan sebuah cerpen dari Norman Tamin yang berjudul Bersekolah di Kebon Belanda (Kelas 2).
“Naskah-naskah sastra yang lahir di media
kalau tidak bisa dibina akan menjadi fatal,” kata Sulaiman Sambas ketika
pembahasan tentang Napak Tilas Rubrik
Sastra Koran.
Ia
juga memaparkan bahwa perkembangan kesusastraan Indonesia erat kaitannya dengan
keberadaan surat kabar. Perhatian yang serius terhadap penerbitan karya sastra
dalam surat kabar jadi penting, karena tidak semua karya mendapat kesempatan
untuk diterbitkan sebagai buku.
Dewan
Kesenian Kota Tebingtinggi yang juga menghadiri acara Omong-omong Sastra
tersebut, mengatakan bahwa Kota Tebingtinggi memiliki sebuah majalah ‘Sinergi’
yang memuat rubrik sastra budaya.
Sehingga,
pembahasan tersebut bersangkutan dengan Napak
Tilas Rubrik Sastra Koran yang dikemukakan oleh Sulaiman Sambas. Rubrik-rubrik
sastra tersebut seharusnya dapat mengangkat karya sastra penulis lokal dan
mengenalkan kepada siswa-siswa di setiap sekolah.
Tidak
hanya itu, dalam kesempatan tersebut Dewan Kesenian Tebingtinggi meminta kepada
penulis cerpen Bersekolah di Kebon
Belanda (Kelas 2) yaitu Norman Tamin agar cerpennya bersedia untuk dimuat
dalam majalah ‘Sinergi’ dan penulis bahkan turut menyertakan Bersekolah di Kebon Belanda (Kelas 1) juga.
Bersekolah di Kebon Belanda (Kelas 2)
sebuah cerpen yang menceritakan bagaimana seorang guru yang memiliki rasa
nasionalisme dalam mendidik siswanya, juga dianalisis mengenai Postkolonialisme: Nilai-nilai Nasionalisme
Tertulis oleh Julaiha S.
Ada
perbedaan pendapat antara Julaiha S. dengan sastrawan Damiri Mahmud mengenai
cerpen tersebut. “Cerpen Norman Tamin ini meskipun narasinya kurang, akan
tetapi dialognya yang panjang tidak membosankan untuk dibaca,” menurut Damiri
Mahmud.
Berbeda
dengan Julaiha S., ia mengatakan bahwa penarasian dari cerpen ini terlalu minim
keberadaannya, sehingga ada rasa kebosanan untuk membaca cerita tersebut. Kedua
pendapat dari dua orang yang berbeda generasi ini, tidak menjadi permasalahan
yang serius karena tidak menjadi larangan bagi setiap pembaca untuk menafsirkan
karya sastra dalam pandangannya masing-masing.
Tidak
ketinggalan sang penulis cerpen Bersekolah
di Kebon Belanda (Kelas 2) yaitu Norman Tamin, membacakan cerpennya dengan
gaya yang menghibur sehingga membuat semua yang hadir terlarut dalam suasana
yang tergambar pada cerpen tersebut.
“Norman
Tamin membaca cerpen ini cukup dramatik, berhasil tidak membuat pendengar
bosan,” kata Damiri Mahmud.
Bahkan
cerpen Bersekolah di Kebon Belanda (Kelas
2) ini, rencananya bakal diangkat dalam sebuah pementasan drama oleh Dewan
Kesenian Tebingtinggi, karena isi cerita yang dapat didedikasikan untuk pewaris
generasi masa kini agar terus menjunjung nilai nasionalis dalam hidup
bermasyarakat.
Pertemuan
berlangsung dengan akrab dan santai, dihadiri oleh sastrawan-sastrawan senior
dan penulis-penulis muda Sumatera Utara. Selain membahas tentang cerpen Bersekolah di Kebon Belanda (Kelas 2) dan
Napak Tilas Rubrik Sastra Koran juga membicarakan langkah ke depan realisasi
terhadap dunia kesastraan dan kepenulisan agar lebih maju di Sumatera Utara
meliputi Kota Tebingtinggi itu sendiri. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar