Cerpen : Umi Rohmatun
M
|
alam selalu menawarkan rasa sepi. Tak pernah ada kebahagiaan terlintas di pelupuk mata ini. Unggas-unggas yang bercanda ria seakan
menertawakan hatiku yang luka.
Seakan bahagia enggan mampir di
hidupku.
Ayahku pergi dengan perempuan lain. Sementara Ibu, seperti anak kecil kehilangan bonekanya. Diam
membisu meratapi kepergian Ayah. Mungkin hal ini membuat hati terluka, hingga Ibu stres atau bahkan sudah gila. Aku hanya seorang
anak kecil yang seharusnya belajar. Tak mampu berbuat apa-apa.
Hanya tutup botol yang kususun
sederhana, menghasilkan suara ala
kadarnya.
Berdiri di trotoar mengharapkan recehan sudi mampir di tangan. Meski tak jarang
cacian yang kuterima. Bukan karena aku tak tau malu, tapi lapar ini memaksaku.
Meski aku harus membayar mahal, melepaskan
seragam sekolahku. Andai aku punya uang, akan kubawa Ibu ke dokter jiwa. Tapi sayang, untuk makan berdua saja tidak
cukup, apa lagi dokter.
***
Dinginnya pagi sudah menjadi
sahabatku sejak lima bulan ini. Bahkan sebelum ayam-ayam bangun, aku sudah
berada di jalanan. Mengantarkan koran di komplek sebelah. Meski hanya mendapat
upah lima ribu, tapi uang ini sangat berarti bagiku.
Langkahku terhenti di depan
sekolahku dulu, hatiku seakan ingin berontak dengan keadaan ini. Seharusnya
pagi-pagi seperti ini, aku duduk manis mendengarkan Bu Rani yang sedang
menerangkan pelajaran. Tapi, itu dulu sebelum Ayah minggat.
Rasa rindu ini tak mampu
kubendung lagi. Dengan perlahan aku melangkah menuju pagar belakang sekolah.
Memanjat tembok agar aku bisa melihat ke dalam
kelas. Aku melihat Bu Rani sedang
menerangkan pelajaran dengan seksama. Aku mencoba mendengarkan penjelasan Bu
Rani, meski kadang bising kendaraan mengganggu. Aku tak mau
berhenti belajar, meski hanya sedikit ilmu yang aku dapat itu sudah cukup
mengobati lara hati ini.
Dengan riang gembira melangkah menuju rumah, membawa sedikit ilmu dari
sekolah. Saat membuka pintu kamar, tak kulihat sosok Ibu. Hati ini gelisah,
rasa cemas memburu di dada. Segera aku berlari menuju
dapur. Rasa bahagia ini segera berubah menjadi rasa takut, Ibu sedang sakit.
Tanpa pikir panjang, aku segera berlari mencari Ibu.
Langkahku terhenti, melihat
wanita paruh baya bersandar di samping tiang listrik. Dikerumuni bocah-bocah
sambil berteriak.
“Orang gila! Orang gila!”
Dengan daster dan rambut acak-acakan, serta
bibirnya yang tak berhenti mengoceh.
“Ibu... ayo kita pulang, Bu,” sambil kutarik tangan Ibu perlahan.
“Tidak, Nak, Ibu mau nunggu Ayahmu di sini,” ujarnya dengan tatapan kosong.
“Ibu..”
“Dasar anak kurang ajar...! Aku mau nunggu suamiku!” bentak
Ibu.
“Ibu... kata Ayah, tunggu di rumah saja. Ayo, Ibu, kita pulang.”
Segera Ibu beranjak.
Maafkan
aku Ibu, aku berbohong. Aku tak mau melihat Ibu diolok-olok. Ibu tidak gila,
Ibu hanya sakit. Besok pasti sembuh. Ya ... Ibuku hanya sakit, bukan gila.
***
Matahari kian membumbung tinggi
di langit. Tapi aku tak kunjung mendapatkan uang, sementara beras di rumah
sudah habis ditambah tadi pagi aku tidak mengantar koran. Bagaimana dengan Ibu yang belum sarapan.
Dengan uang tiga ribu, segera aku
berlari pulang. Membelikan beberapa bungkus
roti untuk mengganjal perut.
Aku melihat Ibu sedang duduk di
depan jendela sambil menggenggam foto Ayah.
“Ibu, ini ada roti, Ibu makan ya...”
“Ibu mau ketemu sama Ayahmu,”
ujar Ibu lirih.
“Iya... nanti Bima cari Ayah,
tapi Ibu makan dulu ya.”
“Tidak, Bima, Ibu takut tidak bisa bertemu Ayahmu.”
“Iya, Ibu, Bima akan bujuk Ayah pulang.”
Ibu hanya diam.
Tanpa menunggu lama aku segera
kembali mengamen. Semoga dapat uang banyak untuk membeli beras. Agar Ibu tidak makan roti lagi malam ini.
***
Dengan nada sederhana,
kudendangkan lagu tentang luka hatiku. Sekadar mencurahkan beban
yang ada di pundakku, sembari memutar otak seribu kali untuk menghasilkan uang.
Ditambah kondisi fisik Ibu semakin
menurun.
Kecemasan ini semakin merasuk hatiku. Segera
aku pulang. Ibu tampak pucat di atas ranjang. Saat kupegang tangan Ibu, terasa
sangat panas. Ke mana aku harus mencari
uang untuk membawa Ibu kebidan. Hasil ngamenku hanya delapan ribu. Cukup untuk
membeli beras saja. Aku harus bagaimana?
Dalam panik aku terdiam. Tanpa
sengaja mataku tertumpu pada dua pasang sepatu milik Ayah, kondisinya masih
bagus. Segera aku mengambil sepatu itu. Berharap ada yang mau membeli sepatu bekas
ini.
Jalan
demi jalan aku tapaki. Kutawarkan sepatu ini pada semua orang. Tapi seakan mereka tak mau peduli dengan
masalahku. Bahkan aku belum mengutarakan
maksud, mereka sudah bilang tidak.
Rasanya aku ingin menyerah. Tapi, bagaimana dengan Ibu.
Segera aku beranjak dan kembali berusaha menjual sepatu ini. Tanpa sengaja, aku
melihat sosok Ayah berada di seberang jalan. Turun dari mobil memasuki sebuah
restoran ternama.
Demi Ibu kuruntuhkan
ego yang menjulang di hati, mengumpulkan sisa-sisa mentalku dan harapanku. Itu benar, Ayah bersama seorang wanita cantik.
“Ayah...!” sapaku sembari berlari masuk menyusul Ayah.
“Ibu sakit, ayo pulang, Yah!”
Ayah hanya diam seakan tak
mendengar perkataanku.
“Ayah...!! Ibu sakit, ayo pulang, Yah!!” aku berteriak dengan
nada keras sehingga memancing perhatian pengunjung lain.
“Hey..! Kamu mengganggu makan siangku. Aku tidak kenal padamu, dasar pengemis,” ujar Ayah sambil menyiramku dengan
segelas air.
“Pelayan...!! Usir anak ini.”
Pelayan itu hanya diam saja,
mungkin kasihan atau jijik melihatku.
“Siapa dia, Mas?”
“Aku tidak tahu dia siapa, mungkin cuma mau uang,” jelas Ayah pada wanita di sampingnya.
Dengan santai, wanita itu mengeluarkan uang seratus ribu rupiah.
“Ini buat kamu,” kata perempuan itu sambil
memberikan uang seratus ribu.
“Maaf, Bu, saya bukan pengemis,
saya mau jual sepatu-sepatu ini untuk berobat Ibu.” Segera aku beranjak pergi
meninggalkan Ayah yang tak mau
mengakuiku sebagai anaknya.
“Tunggu, Nak, boleh saya beli sepatu-sepatu itu?” ujar wanita itu
sambil menghentikan langkahku.
Aku berlari membawa
cacian dan rasa malu, sembari menyeka air mata yang membasahi pipi.
“Ibu... Ibu...” teriakku
dari luar rumah, tapi Ibu tak menjawab.
Aku lihat Ibu tak ada di
tempat ia berbaring tadi. Ah.. mungkin Ibu ada di kamar
mandi. Sejenak aku mendamaikan hati. Tapi, pintu kamar mandi terbuka lebar.
Kalau tak ada di rumah, lalu Ibu di mana?
Tanpa pikir panjang aku
berlari. Jalan demi jalan kulalui, kubuka lebar-lebar mata ini selebar dunia
agar aku bisa melihat sosok Ibu. Ini hari tersesak di hidupku.
Ibu... di mana engkau
kini?
Kulihat uang seratus ribu
yang ada di genggamanku.
Segera aku bangkit dari trotoar, melanjutkan perjalanan, mencari Ibu.
Saat aku berdiri, terdengar hantaman benda keras di ujung jalan, diikuti suara teriakan perempuan paruh baya.
Kegelisahan mulai
menjalar di tubuhku.
Tak lama kemudian
orang-orang berlari.
“Tolong! Tolong!”
“Tolong ada wanita
tertabrak mobil”
Seperti ada yang
menyambar hatiku. Dengan langkah gemetar, perlahan kulangkahkan kaki menuju
ujung jalan. Warga mengerumuni seseorang yang tertabrak mobil.
Siapa orang yang tertabrak? Kenapa aku bersedih?
Mungkinkah itu Ibu? Perasaan apa ini? Samar kulihat baju yang dikenakan
korban berwarna hijau, sama seperti baju Ibu. Mungkinkah itu Ibu? ***
Penulis
adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU Medan
sungguh mengharukan :'(
BalasHapus