Minggu, 12 Januari 2014

GELANGGANG SAJAK : Nero Taopik Abdillah (Sabtu 7 Desember 2013)




Menjumpai Ibu 

Kemarin anak-anak saling menghunus parang
membasuh ibu dengan amarah dan darah

Sengaja aku menemui ibu dengan napas yang singkat
meraba udara panas, bercakap dengan sepasukan laron
yang hinggap di gelas-gelas kopi serta sajak yang tegap  berdiri
di tengah kemenangan sepasang turis lokal
yang mengusung peta ke pusat kota

Reklame, aku tak sempat menjambangi kemenangan
selalu tubuh ibu yang kumuh, diguyur limbah
dijejali sampah dan dicekoki ramuan asing
Ibu dengan lemak, dengan kolesterol, dan darah tinggi
Semacam rute, semacam sejarah yang kekal
Ada luka pada kulit, tulang dan daging Ibu
Dan seribu anak menagih susu, berdesakan
saling menuding: akulah yang paling berhak!

Oktober 2012


Cerita dari Atas Ranjang

Perempuan malang, bercakap dengan langit. Dadanya robek
jantungnya telah dicangkok dengan rerupa doa yang ia kepulkan
lewat cerobong harapan menuju Tuhan. Sesekali ia menyeka
air mata yang kembar dengan hujan. Jerit tangis begitu susah
dipisahkan dengan pecahan halilintar. Tubunya mengerut
namun kepal tinjunya menyerupai gunung dengan lidah api, tiada tara
Ada kematian sebelum napasnya hilang, sebab wewangian telah patah
dari tubuh selepas ia temukan seorang lelaki sekaligus ayah
dari anak-anaknya, menggunting rambut  adik perempuannya
di atas ranjang.
Maret 2012


Ia adalah Doa

Derak didih air dalam bejana
disuluhi jati dan dahan mahoni
lembut, dengan urat-urat yang kuat
Ia adalah doa
Ibu mendarasnya di dapur
melesat menuju langit


mengepak sayap, melintasi kabut
meski tanpa pesawat:
Menjelmalah manusia anakku
Sambil melepas karbon
dari tumpukan napas yang berdesakan
merentangkan surga dalam hela

Jakarta, Oktober 2012



Merkuri

Adakah angin yang menjulurkan tangannya di bawah pohon mahoni
mengusap-usap dada para penggembala saat dedaunan memilih kembar
dengan bayangannya sendiri. Oh kenangan, entah berapa li merentang jarak
dengan tubuh? Langit panas, rumah kaca dan gemuruh klakson
menjadi rerupa sihir, memotong-motong tubuh angin

Diam-diam burung gereja bertengger di atas tajug,  seribu cahaya
yang dihamburkan merkuri, mengangkut jalan raya ke pangkuan anak-anak
waktu  terus bergerak memaksa bunga desa memilih berwajah aromanis

September 2012


Bulan dan Pecahan Kaca
: buat perempuan yang rambutnya terlanjur basah

Sebenarnya aku mencintaimu, Maryam
namun setiap pagi rambutmu terlanjur basah

Pada tatapanmu yang ke sekian
kutangkap cahaya bulan walau kemudian berkeping
menjadi pecahan kaca

Sungguh di antara senyummu
aku ingin telanjang. Tak jarang aku bermimpi mendekapmu
melemparkan kemelut, merajami tubuh dengan cinta
hingga bulan benar-benar bersemayam dalam dada
Maryam sesekali aku bayangkan untuk mengeringkan rambutmu
dengan bulu-bulu di tubuhku. Kemudian kita main petak umpet
berlarilari kecil menghindari matahari dan Tuhan
bertukar senyum dan kuputuskan untuk menyimpan telunjuk
pada mulutmu yang mulai basah
tak ada suara, selain desah napas

Ah, Maryam di balik kedipmu beribu kerikil begitu tajam!

2011

Di Bibir Jendela
Buat Widia Nurjanah

Berbulan-bulan aku sembunyi
mengendapkan semuanya dalam itikaf panjang
pada malam-malam yang meninggi
aku bersemedi                    

Di bibir jendela diam-diam waktu luluhlantak
dalam sebuah ciuman, dalam remang ketidak berdayaan
semuanya mengabu, meledak
dan aku tak mampu sembunyi, Tuhan

Tanganku?
TanganMu, Tuhan
tanganku
aku

Meronta,  menghadang purnama yang terpaksa jatuh
tepat di wajahku
selepas itu bersama bulir air matanya akupun terbang
menghantarkan pujia-pujian padaMu Tuhan
 Ah, pada garisgaris gelap
lelakilah aku malam ini?

Setiabudhi, 13 Maret 2012


Di Bawah Lampion

Senja kini adalah kolam dan airmata
seorang perempuan tengadah
menatap langit
 “apakah kelaki-lakian selalu bernama berahi?”

Mungkin serupa kutuk atau semacam gugatan
Langit diam, matahari sore memilih membakar dirinya
sendiri. Dunia memar dalam batin, lebam dalam rupa
tubuhnya mengerut dalam ledakan kata-kata
“Bajingan, Tuhan”

2012


Ahai, Malam Minggu

Dalam ruang kayu
Sunyi seperti mata angin

Culamega, Mei 2012


Membaca Cuaca

Kita tak pernah paham tentang cuaca
Tentang angin, dan juga warna pelangi
Seperti juga perjalanan Musa, menyebrangi samudra

2011


Nero Taopik Abdillah lahir di Garut 15 Juli 1983, berprofesi sebagai guru di SDN 2 Cikuya Kecamatan Culamega Kabupaten Tasikmalaya. Saat ini sedang menyelesaikan kuliah pada program studi Pendas Pasca Sarjana UPI Bandung.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar