Menjumpai Ibu
Kemarin
anak-anak saling menghunus parang
membasuh ibu
dengan amarah dan darah
Sengaja
aku menemui ibu dengan napas yang singkat
meraba
udara panas, bercakap dengan sepasukan laron
yang
hinggap di gelas-gelas kopi serta sajak yang tegap berdiri
di
tengah kemenangan sepasang turis lokal
yang
mengusung peta ke pusat kota
Reklame,
aku tak sempat menjambangi kemenangan
selalu tubuh
ibu yang kumuh, diguyur limbah
dijejali
sampah dan dicekoki ramuan asing
Ibu
dengan lemak, dengan kolesterol, dan darah tinggi
Semacam rute, semacam sejarah yang kekal
Ada
luka pada kulit, tulang dan daging Ibu
Dan
seribu anak menagih susu, berdesakan
saling
menuding: akulah yang paling berhak!
Oktober 2012
Cerita dari Atas Ranjang
Perempuan malang, bercakap dengan langit. Dadanya
robek
jantungnya telah dicangkok dengan rerupa
doa yang ia kepulkan
lewat cerobong harapan menuju Tuhan. Sesekali ia
menyeka
air mata yang kembar dengan hujan. Jerit tangis
begitu susah
dipisahkan dengan pecahan halilintar. Tubunya
mengerut
namun kepal tinjunya menyerupai gunung dengan
lidah api, tiada tara
Ada kematian sebelum napasnya hilang, sebab
wewangian telah patah
dari tubuh selepas
ia temukan seorang lelaki sekaligus ayah
dari anak-anaknya,
menggunting rambut adik perempuannya
di atas
ranjang.
Maret
2012
Ia adalah Doa
Derak
didih air dalam bejana
disuluhi
jati dan dahan mahoni
lembut,
dengan urat-urat yang kuat
Ia
adalah doa
Ibu
mendarasnya di dapur
melesat
menuju langit
mengepak
sayap, melintasi kabut
meski
tanpa pesawat:
Menjelmalah
manusia anakku
Sambil
melepas karbon
dari
tumpukan napas yang berdesakan
merentangkan
surga dalam hela
Jakarta, Oktober
2012
Merkuri
Adakah
angin yang menjulurkan tangannya di bawah pohon mahoni
mengusap-usap
dada para penggembala saat dedaunan memilih kembar
dengan
bayangannya sendiri. Oh kenangan, entah berapa li merentang jarak
dengan
tubuh? Langit panas, rumah kaca dan gemuruh klakson
menjadi
rerupa sihir, memotong-motong tubuh angin
Diam-diam
burung gereja bertengger di atas tajug, seribu cahaya
yang
dihamburkan merkuri, mengangkut jalan raya ke pangkuan anak-anak
waktu terus bergerak memaksa bunga desa memilih
berwajah aromanis
September 2012
Bulan dan
Pecahan Kaca
: buat
perempuan yang rambutnya terlanjur basah
Sebenarnya
aku mencintaimu, Maryam
namun
setiap pagi rambutmu terlanjur basah
Pada
tatapanmu yang ke sekian
kutangkap
cahaya bulan walau kemudian berkeping
menjadi
pecahan kaca
Sungguh
di antara senyummu
aku
ingin telanjang. Tak jarang aku bermimpi mendekapmu
melemparkan
kemelut, merajami tubuh dengan cinta
hingga
bulan benar-benar bersemayam dalam dada
Maryam
sesekali aku bayangkan untuk mengeringkan rambutmu
dengan
bulu-bulu di tubuhku. Kemudian kita main
petak umpet
berlarilari
kecil menghindari matahari dan Tuhan
bertukar
senyum dan kuputuskan untuk menyimpan telunjuk
pada
mulutmu yang mulai basah
tak
ada suara, selain desah napas
Ah,
Maryam di balik kedipmu beribu kerikil begitu tajam!
2011
Di Bibir Jendela
Buat Widia
Nurjanah
Berbulan-bulan
aku sembunyi
mengendapkan
semuanya dalam itikaf panjang
pada
malam-malam yang meninggi
aku
bersemedi
Di
bibir jendela diam-diam waktu luluhlantak
dalam
sebuah ciuman, dalam remang ketidak berdayaan
semuanya
mengabu, meledak
dan
aku tak mampu sembunyi, Tuhan
Tanganku?
TanganMu,
Tuhan
tanganku
aku
Meronta,
menghadang purnama yang terpaksa jatuh
tepat
di wajahku
selepas
itu bersama bulir air matanya akupun terbang
menghantarkan
pujia-pujian padaMu Tuhan
Ah,
pada garisgaris gelap
lelakilah
aku malam ini?
Setiabudhi, 13
Maret 2012
Di Bawah Lampion
Senja
kini adalah kolam dan airmata
seorang
perempuan tengadah
menatap
langit
“apakah kelaki-lakian
selalu bernama berahi?”
Mungkin
serupa kutuk atau semacam gugatan
Langit
diam, matahari sore memilih membakar dirinya
sendiri.
Dunia memar dalam batin, lebam dalam rupa
tubuhnya
mengerut dalam ledakan kata-kata
“Bajingan,
Tuhan”
2012
Ahai, Malam
Minggu
Dalam
ruang kayu
Sunyi
seperti mata angin
Culamega, Mei
2012
Membaca Cuaca
Kita
tak pernah paham tentang cuaca
Tentang
angin, dan juga warna pelangi
Seperti
juga perjalanan Musa, menyebrangi samudra
2011
Nero Taopik
Abdillah
lahir di Garut 15 Juli 1983, berprofesi sebagai guru di SDN 2 Cikuya Kecamatan
Culamega Kabupaten Tasikmalaya. Saat ini
sedang menyelesaikan kuliah pada program studi Pendas Pasca Sarjana UPI
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar