Sabtu, 18 Mei 2013

ESAI : DISTRIBUSI LAPANGAN KERJA





S
AYA masih tertarik membahas masalah tenaga kerja wanita (TKW). Sejak krisis ekonomi melanda negeri ini, sendi-sendi kesejahteraan masyarakat kita makin merapuh. Hal ini berdampak krisis lapangan kerja. Dunia kerja makin sempit, sementara masyarakat yang membutuhkan kerja terus meningkat.
            Sebagai gambaran, hingga sepuluh tahun terakhir, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 215 juta jiwa, sementara jumlah angkatan kerja sekitar 100 juta dan tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,53 juta. Tahun 2005 jumlah penganggur diperkirakan mencapai 10,29 juta jiwa. (Kompas, Sabtu, 19 Februari 2005).
Namun, alhamdulillah, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran di Indonesia hingga Februari 2013 mengalami penurunan menjadi 7,17 juta orang dibanding Agustus 2012 yang mencapai 7,24 juta orang. Hal ini seiring dengan perbaikan ekonomi sehingga menimbulkan dampak positif bagi pertumbuhan industri di Tanah Air. (Kompas, 6 Mei 2013).
            Dalam studi kependudukan, pertumbuhan ekonomi dan revolusi demografi memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi pasar kerja masa kini dan mendatang. Revolusi demografi, seperti pertumbuhana penduduk, struktur umur dan jenis kelamin, mempengarhuhi jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja. Karenanya, kualitas penduduk – khususnya angkatan kerja – akan mempengaruhi jenis pekerjaan yang ada dalam pasar kerja.
Sedangkan perkembangan ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi atau perubahan struktur ekonomi dari pertanian menjadi industri, akan mempengaruhi permintaan dan penawaran pasar kerja. Sempitnya lahan pertanian dan perkebunan yang tersisa terdesak oleh pembangunan kawasan-kawasan perluasan industri, sedikit banyak telah mengubah orientasi pencari kerja di wilayah-wilayah rural dengan menjadi buruh pabrik upahan, atau mencari kesempatan di wilayah perkotaan.
Namun, menurut jajak pendapat Harian Kompas (Sabtu, 19 Februari 2005), saat ini minat orang untuk bekerja di sektor agraris tidak sebesar minat untuk bekerja di sektor formal dan informal di perkotaan. Bahkan, minat untuk berusaha sendiri atau berwiraswasta menjadi bagian terbesar yang menyedot perhatian paling banyak (33,1%). Selebihnya, bidang-bidang pekerjaan yang bersifat administratif, seperti menjadi pegawai negeri (15,9%), bidang keuangan (7,2%), serta bidang-bidang jasa lainnya (26,2%), juga jauh lebih menarik daripada menggeluti usaha pertanian. Tidak sampai 2 persen responden yang mengaku bahwa bidang pertanian adalah bidang yang paling mereka minati saat ini.
            Begitupun, terbatasnya lapangan kerja di sektor-sektor formal membuat sektor informal menjadi pilihan yang rasional untuk digeluti. Kondisi ini mengimplementasikan dua hal penting, yaitu : pertama, kecepatan transformasi atau perubahan sektor ekonomi tidak sejalan dengan tranformasi tenaga kerja di mana tranformasi ekonomi relatif tinggi; dan kedua, sektor informal masih dibutuhkan pada masa mendatang dalam rangka menampung angkatan kerja di Indonesia yang tidak terserap oleh sektor formal.    
            Di antara pekerja yang bekerja di sektor formal maupun informal itu adalah kaum perempuan. Bahkan, jumlah angkatan kerja kaum perempuan terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan pada peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga tampaknya merupakan alasan utama penyebab banyak perempuan  yang masuk ke pasar kerja dan meninggalkan peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1971 kaum perempuan yang berstatus ibu rumah tangga tercatat sekitar 24,5% dan persentase ini kemudian menurun menjadi 18,5% pada tahun 1990.
            Karena keterpaksaan bekerja itu, kaum perempuan kita tidak pilih-memilih untuk memasuki dunia kerja. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah TKW ke luar negeri. Antara tahun 1983-1992 migran perempuan rata-rata meningkat sebesar 12,1% per tahun sementara migran pria hanya meningkat dengan rata-rata 6,3% per tahun (1997 : 170). Namun, terlihat bahwa negara tujuan dari TKW ini terkonsentrasi di negara-negera tertentu, yaitu Malaysia, Singapura, dan Saudi Arabia. Sedangkan tenaga kerja pria distribusinya lebih menyebar. Kondisi ini erat kaitannya dengan kualitas TKW tersebut, yang pada umumnya terdiri dari tenaga kerja tidak terdidik. Tingginya kualifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat, menyebabkan TKW Indonesia sukar untuk memasuki negara-negara maju tersebut.
            Berdasarkan data yang ada pada saya, TKI yang berangkat ke Malaysia didominasi kaum pria dan mereka bekerja di sektor perkebunan serta konstruksi, terutama untuk mengisi jenis pekerjaan tingkat bawah. Sebaliknya, TKI yang berangkat ke Saudi Arabia didominasi kaum perempuan dengan rasio jenis kelamin mencapai 8:1. Mereka ini pada umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga ada kesan negatif di Saudi Arabia bahwa Indonesia adalah gudang pembantu rumah tangga. ***


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

ESAI : Kesulitan Pembaca dalam Memahami Puisi Win RG


Oleh : Indah Pratiwi


M
emiliki nama lengkap Winarti dan dikenal dengan nama pena Win R.G. nama tersebut dipakai saat ia duduk di bangku kelas 2 SMA Negeri 1 Airputih, Indrapura, Batubara. Penyuka bunga natnitnol ini lahir dan dibesarkan di desa Tanahtinggi, Batubara, 7 September 1983.
Sekarang banyak menghabiskan waktunya di FKIP UMSU sebagai staf pendidik dan sekretaris jurusan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, membina klub menulis yang ia gawangi sendiri di Win’s Sharing Club sebagai ketua umum, direktur utama Format Publishing, Ketua 2 Format UMSU (Forum Alumi Teropong), dan masih aktif di Forum Lingkar Pena Sumut.
Win R.G merupakan penulis yang terkenal di Sumatera Utara. Karya-karyanya telah tersebar di berbagai media bahkan ia telah menerbitkan beberapa buku yang berbentuk novel dan puisi seperti Novel Bintang (2008), Novel Biarpun Bintang Benderang (2010), Antologi puisi Ini Tentangmu, Perempuanku (2010), Antologi Cerpen Kerdam Cinta Palestina (2010), Antologi Puisi Nuun FLP Sumut (2010), Novel Gelas Jodoh (2011), serta Novel Jus Alpukat (2012).
Salah satu puisi karya Win R.G adalah puisi “Menangislah”. Puisi ini menceritakan bahwa ada seorang lelaki yang sedang kesusahan. Saking beratnya beban kehidupan atau masalah yang dihadapinya sehingga lelaki itu menjadi lara hatinya, tetapi ia tidak ingin menangis. Dalam puisi tersebut pengarang menyarankan agar lelaki tersebut menangis agar mengurangi sedikit beban hidup yang ditanggung olehnya, karena menurut pengarang menangis merupakan salah satu bagian dari kerja hati.
Simaklah puisinya seczra lengkap berikut ini.

Menangislah!
Win R.G

Ia sedang lara
tapi ia enggan menetes airmata
katanya sebab ia lelaki
apa lelaki tak boleh punya hati?
tak boleh bersisi sensi?
menangislah!
sebab menangis bagian dari kerja hati
yang kan menegarkan lara

Saya kurang setuju terhadap  pendapat si pengarang. Menurut saya memang tidak salah lelaki itu menangis, tetapi saya kurang menyukai itu karena bagi saya lelaki itu adalah sosok yang kuat. Seberat apapun beban kehidupan yang ia tanggung dipundaknya tidak harus membuat ia lemah. Lelaki itu adalah seorang pemimpin. Bagaimana ia akan dapat memimpin jika ia menjadi lemah setiap mengalami kesusahan hidup yang berat.
Bagaimana pun kesusahan hidupnya seorang lelaki harus mampu menghadapi dan menyembunyikan kesusahannya itu. Tetapi, menurut saya di zaman sekarang ini jarang ada lelaki yang selalu menanggapi dengan serius permasalahan hidupnya. Biasanya lelaki akan lebih santai menanggapi setiap permasalahan.
Kali ini yang membuat saya penasaran di dalam puisi tersebut tidak jelas kepada siapa puisi itu dituju. Tujuan umum dari puisi tersebut dipersembahkan untuk kaum lelaki tetapi, tidak diperlihatkan tujuan khususnya kepada siapa. Apakah untuk ayahnya atau orang terdekatnya. Saya juga kurang memahami apa maksud dari puisi tersebut. Itulah yang menjadi ciri khas dari  seorang penulis yang bernama pena Win R.G ini. Selalu membuat pembaca penasaran dan bertanya-tanya di setiap penulisan karya-karyanya.
Saya sangat menyukai semua karya-karya dari Win R.G. Saya sangat menyukai karya-karyanya karena pemilihan diksi yang begitu indah sehingga membuat saya terkesan setiap membaca karya-karyanya. Diksi yang digunakan pun begitu indah sehingga akan terasa berbeda setiap membaca karya-karyanya dan tidak ketinggalan rasa penasaran yang selalu ia sajikan dalam karya-karyanya untuk pembaca.
Pembaca dapat mengambil banyak hal setelah membaca puisi “Menangislah”. Karena, bagaimanapun di dalam puisi tersebut terdapat amanat yang baik yang dapat kita jadikan sebagai masukan bagi diri kita. Amanat yang dapat kita ambil adalah jika kita dalam kesusahan atau sedang menghadapi masalah salah satu solusi yang dapat mengurangi beban tersebut adalah dengan cara menangis. Karena, tidak semua permasalahan yang ada di dalam hidup kita dapat kita ceritakan pada orang lain. ***


Penulis, adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

GELANGGANG SAJAK : Artha A.Tambunan, Adelina Nababan, Saidah Khairiyah Hasibuan


Artha A.Tambunan :
Anak Jalanan
                                                                                           
Di ufuk Timur
Sang surya kembali bersinar
Kicauan burung kembali terdengar
Menyambut datangnya fajar

Semangat anak jalanan tidak pernah berhenti
Giat mencari sesuap nasi
Seringkali tanpa lauk yang menyertai
Tetap setia berdiri di bawah lampu berwarna-warni

Tak kenal orang tua,
Tak kenal agama,
Tak punya sanak saudara,
Tak dipedulikan lingkungannya,
Tak punya apa-apa

Hanya berteman langit
Dinginnya malam
Panasnya siang
Dan persimpangan 

Medan,     April   2013
Penulis adalah siswa SMP N 6 Medan 


Adelina Nababan:
Rakyatku Indonesia

Di Barat langit berwarna jingga
Sang surya menawarkan rehatnya

Walau alam mulai  gulita
Walau rakyat mulai terlelap
Nelayan masih menebar jala
Menghabiskan malam bersama alam
Semalaman tinggal di atas sampan
Mengharap  mendapat ikan

Di Timur langit berwarna saga
Matahari mulai menyapa dunia

Dengan semangat pagi  yang membara
Petani melangkah menuju sawah
Bekerja sama dengan kerbaunya
Berteman burung riang berkicau

Kini padi serempak menguning
Sambatan petani mendulang gabah
Bercanda riang tergurat di wajah
Walau tubuh  bermandi peluh
Petani bekerja tanpa mengeluh

Pada kota peradaban dunia ke dua
Gedung menjulang berjajar-jajar
Gemerlap lampu menghias  kota
Bernaung si kaya memburu harta
Banyak kelana memburu ilmu
Sementara si papah di lingkup parau  

Medan,  April    2013
Penulis adalah siswa SMP N 6 Medan



                                                                              
Saidah Khairiyah Hasibuan :
Senja

Semu
Sendu
Terpaku
Membisu
Resah
Gelisah
Berubah
Indah
Bulan bintang
Datang berlomba
Tak sanggup menantang
Malam yang memesona
Senja oh senja
Berbeda
Terasa
Jika kau telah menyapa


Medan,        April    2013
                                                              Penulis adalah siswa SMP Negeri 6 Medan

Cerpen : Perempuan dalam Asap Rokok


Oleh : Marsus Banjarbarat


I
a berdiri, melambaikan tangan kanannya pada seorang lelaki. Namun lelaki dekil itu tak beranjak. Bahkan tak meresponnya semasekali. Entah, tidak melihat gemulai lambaian tangan si perempuan, atau hanya pura-pura tidak mengenalnya?
Lelaki itu semakin asyik duduk menikmati sebatang rokok yang ia hisap. Sesekali tersenyum. Kadang kala sempat meneteskan air mata, ketika melihat kepulan asap rokok yang menyerupai wajah kekasihnya. Ya, kekasih yang menghilang dan sampai kini belum ada kabarnya.
Setiap hari, bahkan setiap waktu lelaki itu terus-terusan begitu. Tak lain hanya untuk mengenang sang kekasih, setelah satu tahun pergi tak kunjung kembali.
Kini ia tersenyum. Bukan karena hadirnya si perempuan. Melainkan karena melihat raut wajah kekasihnya dalam asap rokok itu. Ia tiba-tiba jadi teringat masa nostalgianya, ketika bersama perempuan paruh baya yang dicintainya. Perempuan itu telah menorehkan cinta dan kasih sayang. Meski akhirnya ia pergi meninggalkan luka yang teramat dalam.
Kadang ia juga merasa getir, takut tatkala ingatannya pulih kembali saat melihat kepulan asap rokok, yang menyerupai wajah berkabut, yang ia ibaratkan dengan kabut tebal dalam cerita cintanya. Ya, cerita tentang kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan yang kerap menyergap dalam hidupnya.
Dan kini, sosok perempuan datang. Meski kedatangannya tidak seperti satu tahun silam. Setelah sekian lama tak pernah muncul dan tak pernah mengisi hatinya yang perih. Diam-diam perempuan itu mencoba kembali untuk membujuknya. Merayu, masuk ke dalam hatinya. Mengajaknya bicara tentang perjalanan satu tahun yang lampau. Namun lelaki itu tetap tak mau. Bahkan seolah tak pernah mengenal perempuan seorang pun. Dan mungkin ia memang tidak mau mengenalnya lagi. Lantaran perempuan itu terlampau lama mematri luka dalam hatinya.
“Maafkan aku! Aku yang salah! Tapi tolong, dengar penjelasanku!” Lenguh perempuan itu.
Lelaki yang duduk ditemani sebatakang rokok, mematung. Sesekali mencoba memulihkan ingatannya pada sosok perempuan itu, namun tetap tak bisa! Di jemarinya sebatang rokok kemudian ia hisap. Ia keluarkan lagi asap rokok pelan-pelan. Lalu berbentuklah asap itu serupa wajah kekasihnya. Namun setelah ia coba bandingkan dengan perempuan di hadapannya, tetap tak sama!
“Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya.
“Saya Astutik. Saya datang untuk menemuimu kembali,” jelasnya.
“Tapi saya tidak mengenal kamu!” jawabnya ketus. Lalu beranjak meninggalkan perempuan itu.
***
Satu tahun silam. Janur kuning melengkung di pintu gerbang rumah perempuan itu. Tenda biru merata menutupi halaman yang panjang. Sementara di dapur, riuh para ibu menyiapkan bermacam makanan untuk tamu yang tak lama lagi akan datang.
Asmadi, ayah tirinya tersenyum kecut. Menyambut tamu yang berduyun-duyun memasuki serambi rumah. Di dinding tepat di atas pintu rumah, lukisan ucapan ‘selamat menempuh hidup baru’ terlihat jelas mencolok pada semua tamu undangan yang datang.
Sementara di dalam kamar, perempuan itu tetap setia menunggu kehadiran sang lelaki, yang tak lama lagi akan datang melaksanakan akad nikah. Dan pada saat itu pulalah, mereka berdua akan menjadi pasangan suami istri yang sah.
Ia mengulum senyum. Dadanya berdegup lebih kencang. Tak sabar menanti kehadiran sang kekasih masuk ke dalam kamar,--yang harum semerbak bebungaan. Lalu akan ia dekap dengan penuh kasih sayang.
Tepat pada jam tujuh malam, lelaki itu sudah pasti duduk berhadap-hadapan bersama Penghulu, dengan disaksikan orang tuanya masing-masing saat mengucapkan akad nikah. Lalu dilanjutkan dengan pendampingan masuk kamar menemui perempuan itu.
Kini, ia duduk sambil menyisir rambut lurusnya. Seulum senyum tak henti-henti mengalir dari bibirnya. Sesekali wewangian ia semprotkan ke sekujur tubuhnya. Kemudian ia tatap jarum jam yang menggantung di dinding, jam tujuh kurang sepuluh menit, lenguhnya pelan, disertai senyuman. Tak lama lagi Kak Mujib pasti akan datang, desisnya lirih. Tak sabar menanti kedatangan lelaki, kekasihnya itu.
Ia lagi-lagi melongok. Melempar pandang ke halaman rumah. Kak Mujib sebentar lagi akan datang, desisnya lagi, lirih. Selirih desau angin yang menerpa rambut lurusnya dari celah jendela. Sepasang matanya melotot. Pikirannya berputar-putar. Duh, apa kiranya yang akan aku berikan pertama kali kepada Kak Mujib sebagai sambutan tatkala ia masuk kamar? tanyanya dalam hati. Maklum, ia baru pertama akan berjumpa dengan lelaki itu dalam satu ruangan.
***
Kerumunan orang sudah terdengar di halaman. Beberapa menit lagi akad nikah akan segera dilaksanakan. Namun, entah kenapa tiba-tiba lelaki itu merasa gemetar dan ketakutan, saat berhadapan dengan Penghulu yang hendak menuntun akad nikahnya. Dalam hatinya seperti berkabut tebal. Ia menjadi khawatir, takut kalau tidak bisa menjawab kalimat akad nikahnya dengan benar.
Ah, mungkin ini hanya karena terlalu ramai disaksikan banyak orang, pikirnya menepis kegetiran dalam hati.
“Sudah siap?” tanya Penghulu dengan tatapan tajam. Sesekali mengulurkan tangan kanannya kepada sang lelaki. Ia pun mengangguk pelan. Sembari menyambutnya.
Setelah sebentar, lalu akad nikah mulai dibacakan…..
Usai mengucapkan akad nikah, si Penghulu menoleh kanan-kiri, lalu bertanya.
“Bagaimana, sah…?!” tanyanya sesekali melirik pada kedua saksi.
“Sah.., sah..., sah!” Mereka mengangguk meyakinkan. Serentak diikuti para tamu undangan.
Lalu kedua orang tua mereka pun sama saling mengumbar senyum. Kebahagiaan kini meluap dari hulu hatinya.
Perlahan ia  berdiri, melangkah memasuki kamar si perempuan penuh sejuta kebahagiaan. Dalam hatinya, ia akan tuntaskan rasa cinta dan kerinduannya kepada perempuan itu.
Namun entah, apa yang kemudian terjadi. Setelah sebentar ia memasuki kamar, ia keluar dengan wajah berang.
“Astutik hilang!!!” teriak seseorang dari belakang.
“Hilang?!” timpal yang lain panik.
“Pintu belakang terbuka lebar. Ia kabur lewat pintu belakang!”
Sepasang matanya melotot, tajam. Tertuju pada Asmadi, ayah tiri Astutik yang juga gelagapan. Dilanda berbagai ketakutan!
Orang-orang ramai berdatangan. Dari mulut ke mulut. Berbisik. Membicarakan perihal perempuan itu, yang tak diduga-duga telah mempermalukan keluarga Mujib, yang ia juga sebagai kerabatnya sendiri.
Lelaki itu beranjak ke halaman rumah. Di sekelilingnya orang-orang tertunduk sambil mencuri-curi pandang. Takut! Kalau-kalau tangan kekarnya sampai terbang mendarat di kepala Asmadi. Perlahan, ia melangkah. Keluar dari lingkaran orang-orang. Pergi meninggalkan rumah Astutik penuh kekecewaan.
***
Keesokan harinya setelah lelaki itu dipermalukan, sebilah celurit ia genggam erat di tangannya. Tak lain kecuali untuk melampiaskan kekecewaannya kepada Asmadi, ayah tiri kekasihnya. Namun dengan cepat, Paedil, ayah lelaki itu mencegah niat buruknya. Awalnya ia tak mau mendengar permohonan sang ayah agar mengagalkan niat buruknya itu. Namun setelah ia diberi penjelasan, barulah sebilah celurit itu ia letakkan kembali menggantung di dinding kamarnya.
“Jangan gegabah, Jib. Belum tentu Astutik kabur karena disuruh Asmadi,” jelas Paedil.
“Siapa lagi kalau bukan Asmadi penyebab dari semua ini?!” Mujib naik pitam.
“Selama ini, Asmadi selalu membujuk rayu Astutik, agar ia mau digaulinya. Bahkan ia juga sering cerita kalau ayah tirinya itu kerap kali diam-diam mencoba masuk ke dalam kamarnya saat ia tidur sindiri,” lanjutnya.
Asmadi lelaki tua yang senang bergaul dengan anak-anak pujang. Kerjaannya setiap malam hanya nongkron di pos kamling. Ketika larut malam datang, pastilah ia pergi berjudi dan mabuk-mabuan. Karena itulah dia mau menikahi ibu Astutik yang kaya—hanya untuk mendapatkan uang. Dan kini, malah Astutik yang menjadi sasaran.
“Dasar lelaki jalang!” sergahnya.
“Barangkali diam-diam memang keinginan Astutik untuk kabur,” duga ayahnya.
“Tidak mungkin Astutik mengkhianatiku. Tiga tahun bertunangan, dia selalu setia kepadaku!” jelas lelaki itu.
“Baiklah kalau begitu, aku tak melarang kamu melampiaskan kekecewaannya kepada Asmadi. Namun karena dia juga saudaramu sendiri, sebaiknya sebelum kamu melakukan hal itu, cari tahu dahulu siapa sebenarnya penyebab dari menghilangnya Astutik. Jangan bertindak bodoh dan hanya menambah malu kita bila kamu salah melampiaskan amarahmu.” Ujar Paedil panjang lebar. Sebelum akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, dan menggantungkan kembali sebilah celurit di dinding kamarnya.
Satu bulan, dua bulan, sampai satu tahun, ia tak henti-henti mencari kabar perihal penyebab menghilangnya perempuan itu. Tapi sayang, semua upayanya hanya berujung kesia-siaan. Ia tak pernah kembali semenjak menghilang saat malam pernikahan.
Lalu, siapakah yang telah menculik perempuan itu? Tanyanya dalam diam. Kalau saja sampai terungkap suatu saat nanti, jangan harap ada sedikit ampun bagi dirinya. Sebilah celurit yang bergelantung di dinding, tak akan tinggal diam sebelum memisahkan nyawa dari tubuhnya, desisnya lirih, sesekali melirik penuh selidik pada sebilah celurit yang bergantung tepat di atas pintu kamarnya.
Mulai sejak itulah lelaki itu sering berdiam diri. Bermenung. Detemani sebatang rokok dan secangkir kopi. Kepulan asap rokok yang meliuk-liuk itulah ia gambarkan sebagaimana Astutik, sebagai teman setia sepanjang hidupnya.
***
Saat ia beranjak meninggalkan perempuan itu, tiba-tiba dia mengejar dan menghentikan langkahnya.
“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriaknya. Ia tersentak dan melonjak.
Saat mendengar teriakan perempuan itu dengan memanggil ‘kakak’. Lalu ia menoleh. Sembari puntung rokok di jemarinya ia lempar jauh-jauh.
“Maafkan aku, Kak,” lanjutnya. Air mata mulai mengalir di pipinya.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya lagi.
“Aku Astutik, istrimu, Kak,” jelasnya dengan suara parau.
“Maaf. Aku tak merasa punya istri seperti kamu,” jawabnya sedikit.
“Tapi Kak, coba lihat anak ini! Kasihan dia…” ia elus ubun-ubun anak yang ada di pangkuannya. Sementara air matanya tetap tak henti mengalir di pipinya.
“Dasar orang gila, pergi kau!” usir lelaki itu.
Air mata semakin deras mengucur dari pelupuk matanya; air mata sedih, air mata penyesalan.
“Maafkan aku, Kak. Tolonglah dengar dulu penjelasanku sebelum kamu pergi…!” ia raih lengan tangan sang lelaki erat-erat. Kemudian memulai ceritanya.
“Semua ini bukanlah niatku untuk menghianatimu, Kak!” jelasnya.
“Satu tahun yang silam, saat aku melihat kamu datang hendak memulai akad nikah. Dalam kamar, aku duduk tepat di depan cermin, mendandani kujur tubuhku utuk menyambutmu,” suaranya serak. Lalu ia melanjutkan kembali ceritanya.
“Namun tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi engsel, pelan! Kemudian disusul dengan decak kaki seseorang yang masuk diam-diam ke dalam kamar lewat pintu belakang. Aku tersentak dan beranjak. Saat hendak berteriak, seorang lelaki telah menodong sebilah pisau di leherku. Aku terdiam. Sekujur tubuhku gemetar. Setelah sesaat mencoba menoleh. Tiba-tiba ada pukulan keras menghantam kepalaku,” ia terdiam. Menarik napasnya dalam-dalam.
“Entahlah apa yang terjadi saat itu, ketika aku sadar sudah ada di suatu tempat yang belum aku kenal. Di sana, aku dalam keadaan tak karuan. Tubuhku sakit seperti tercabik-cabik, dan semua pakaianku terlepas tanpa sisa. Disampingku ada beberapa lelaki yang tertidur mabuk tak ku kenal, kecuali hanya satu: wajah ayah tiriku yang tergeletak telanjang.
Perempuan itu terisak. Air matanya mengucur deras, jatuh ke tanah. Sembari memohon-mohon, agar sang lelaki tidak pergi meninggalkannya. Tetapi, lelaki itu tak menjawab. Malah asyik menikmati sebatang rokok yang ia hisap. Sesekali mengulum senyum tipis, ketika melihat kepulan asap rokok yang meliuk-liuk menyerupai wajah kekasihnya. Ya, kekasih yang menghilang dan sampai kini belum ada kabarnya. ***
Yogyakarta-Madura, September 2012

Marsus Banjarbarat, menulis cerpen dan puisi, cerpennya terkumpul dalam buku Bukan Perempuan (OBSESI Press, Grafindo, 2010), Lelaki yang Dibeli (OBSESI Press, Buku Litera, 2011), Riwayat Langgar (Arti, 2011), Simfoni Rindu (Pustaka Jingga, 2012). Puisinya terkumpul dalam buku Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 (DKKM, 2010). Sekarang ia menjadi penikmat Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.