Oleh : Marsus Banjarbarat
a berdiri, melambaikan tangan kanannya pada seorang lelaki.
Namun lelaki dekil itu tak beranjak. Bahkan tak meresponnya semasekali. Entah,
tidak melihat gemulai lambaian tangan si perempuan, atau hanya pura-pura tidak
mengenalnya?
Lelaki itu semakin asyik duduk menikmati
sebatang rokok yang ia hisap. Sesekali tersenyum. Kadang kala sempat meneteskan
air mata, ketika melihat kepulan asap rokok yang menyerupai wajah kekasihnya.
Ya, kekasih yang menghilang dan sampai kini belum ada kabarnya.
Setiap hari, bahkan setiap waktu lelaki
itu terus-terusan begitu. Tak lain hanya
untuk mengenang sang kekasih, setelah satu tahun pergi tak kunjung kembali.
Kini ia tersenyum. Bukan karena hadirnya
si perempuan. Melainkan karena melihat raut wajah kekasihnya dalam asap rokok
itu. Ia tiba-tiba jadi teringat masa nostalgianya, ketika bersama perempuan
paruh baya yang dicintainya. Perempuan itu telah menorehkan cinta dan kasih
sayang. Meski akhirnya ia pergi meninggalkan luka yang teramat dalam.
Kadang ia juga merasa getir, takut
tatkala ingatannya pulih kembali saat melihat kepulan asap rokok, yang
menyerupai wajah berkabut, yang ia ibaratkan dengan kabut tebal dalam cerita
cintanya. Ya, cerita tentang kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan yang kerap
menyergap dalam hidupnya.
Dan kini, sosok perempuan datang. Meski
kedatangannya tidak seperti satu tahun silam. Setelah sekian lama tak pernah
muncul dan tak pernah mengisi hatinya yang perih. Diam-diam perempuan itu
mencoba kembali untuk membujuknya. Merayu, masuk ke dalam hatinya. Mengajaknya
bicara tentang perjalanan satu tahun yang lampau. Namun lelaki itu tetap tak
mau. Bahkan seolah tak pernah mengenal perempuan seorang pun. Dan mungkin ia
memang tidak mau mengenalnya lagi. Lantaran perempuan itu terlampau lama
mematri luka dalam hatinya.
“Maafkan aku! Aku yang salah! Tapi
tolong, dengar penjelasanku!” Lenguh perempuan itu.
Lelaki yang duduk ditemani sebatakang
rokok, mematung. Sesekali mencoba memulihkan ingatannya pada sosok perempuan
itu, namun tetap tak bisa! Di jemarinya sebatang rokok kemudian ia hisap. Ia
keluarkan lagi asap rokok pelan-pelan. Lalu berbentuklah asap itu serupa wajah
kekasihnya. Namun setelah ia coba bandingkan dengan perempuan di hadapannya,
tetap tak sama!
“Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya.
“Saya Astutik. Saya datang untuk
menemuimu kembali,” jelasnya.
“Tapi saya tidak mengenal kamu!”
jawabnya ketus. Lalu beranjak meninggalkan perempuan itu.
***
Satu tahun silam. Janur kuning
melengkung di pintu gerbang rumah perempuan
itu. Tenda biru merata menutupi halaman yang panjang. Sementara di
dapur, riuh para ibu menyiapkan bermacam makanan untuk tamu yang tak lama lagi
akan datang.
Asmadi, ayah tirinya tersenyum kecut. Menyambut tamu yang berduyun-duyun
memasuki serambi rumah. Di dinding tepat di atas pintu rumah, lukisan ucapan
‘selamat menempuh hidup baru’ terlihat jelas mencolok pada semua tamu undangan
yang datang.
Sementara di dalam kamar, perempuan itu tetap setia menunggu
kehadiran sang lelaki, yang
tak lama lagi akan datang melaksanakan akad nikah. Dan pada saat itu pulalah, mereka berdua akan menjadi pasangan
suami istri yang sah.
Ia mengulum senyum. Dadanya berdegup lebih kencang. Tak sabar
menanti kehadiran sang kekasih masuk ke dalam kamar,--yang harum semerbak
bebungaan. Lalu akan ia dekap dengan penuh kasih sayang.
Tepat pada jam tujuh malam, lelaki itu sudah pasti duduk
berhadap-hadapan bersama Penghulu, dengan disaksikan orang tuanya masing-masing saat mengucapkan akad
nikah. Lalu dilanjutkan dengan pendampingan masuk kamar menemui perempuan itu.
Kini, ia duduk sambil menyisir rambut
lurusnya. Seulum senyum tak henti-henti mengalir dari bibirnya. Sesekali
wewangian ia semprotkan ke sekujur
tubuhnya. Kemudian ia tatap jarum jam yang menggantung di dinding, jam tujuh
kurang sepuluh menit, lenguhnya pelan, disertai senyuman. Tak lama lagi Kak
Mujib pasti akan datang, desisnya lirih.
Tak sabar menanti kedatangan lelaki,
kekasihnya itu.
Ia lagi-lagi melongok. Melempar pandang
ke halaman rumah. Kak Mujib sebentar lagi akan datang, desisnya lagi, lirih. Selirih desau angin yang
menerpa rambut lurusnya dari celah jendela. Sepasang matanya melotot.
Pikirannya berputar-putar. Duh, apa kiranya yang akan aku berikan pertama kali kepada Kak Mujib sebagai sambutan tatkala
ia masuk kamar? tanyanya dalam hati. Maklum, ia baru pertama akan berjumpa
dengan lelaki itu dalam satu
ruangan.
***
Kerumunan orang sudah terdengar di
halaman. Beberapa menit lagi akad nikah akan segera dilaksanakan. Namun, entah
kenapa tiba-tiba lelaki itu merasa
gemetar dan ketakutan, saat
berhadapan dengan Penghulu yang hendak menuntun akad nikahnya. Dalam hatinya
seperti berkabut tebal. Ia menjadi khawatir, takut kalau tidak bisa menjawab
kalimat akad nikahnya dengan benar.
Ah, mungkin ini hanya karena terlalu
ramai disaksikan banyak orang, pikirnya menepis kegetiran dalam hati.
“Sudah siap?” tanya Penghulu dengan
tatapan tajam. Sesekali mengulurkan tangan kanannya kepada sang lelaki. Ia pun mengangguk pelan.
Sembari menyambutnya.
Setelah sebentar, lalu akad nikah mulai
dibacakan…..
Usai mengucapkan akad nikah, si Penghulu
menoleh kanan-kiri, lalu bertanya.
“Bagaimana, sah…?!” tanyanya sesekali
melirik pada kedua saksi.
“Sah.., sah..., sah!” Mereka mengangguk meyakinkan. Serentak diikuti para
tamu undangan.
Lalu kedua orang tua mereka pun sama
saling mengumbar senyum. Kebahagiaan kini meluap dari hulu hatinya.
Perlahan ia berdiri, melangkah
memasuki kamar si perempuan penuh
sejuta kebahagiaan. Dalam hatinya, ia akan tuntaskan rasa cinta dan kerinduannya
kepada perempuan itu.
Namun entah, apa yang kemudian terjadi.
Setelah sebentar ia memasuki
kamar, ia keluar dengan wajah berang.
“Astutik hilang!!!” teriak seseorang
dari belakang.
“Hilang?!” timpal yang lain panik.
“Pintu belakang terbuka lebar. Ia kabur
lewat pintu belakang!”
Sepasang matanya melotot, tajam. Tertuju pada Asmadi, ayah tiri
Astutik yang juga gelagapan. Dilanda berbagai ketakutan!
Orang-orang ramai berdatangan. Dari
mulut ke mulut. Berbisik. Membicarakan perihal perempuan itu, yang tak diduga-duga telah mempermalukan keluarga
Mujib, yang ia juga sebagai kerabatnya sendiri.
Lelaki itu beranjak ke halaman rumah. Di sekelilingnya orang-orang
tertunduk sambil mencuri-curi pandang. Takut! Kalau-kalau tangan kekarnya sampai terbang mendarat di
kepala Asmadi. Perlahan, ia melangkah. Keluar dari lingkaran orang-orang. Pergi
meninggalkan rumah Astutik penuh kekecewaan.
***
Keesokan harinya setelah lelaki itu dipermalukan, sebilah celurit ia
genggam erat di tangannya. Tak lain kecuali untuk melampiaskan kekecewaannya
kepada Asmadi, ayah tiri kekasihnya.
Namun dengan cepat, Paedil, ayah
lelaki itu mencegah niat buruknya. Awalnya ia tak mau mendengar permohonan sang ayah agar
mengagalkan niat buruknya itu. Namun setelah ia diberi penjelasan, barulah
sebilah celurit itu ia letakkan kembali menggantung di dinding kamarnya.
“Jangan gegabah, Jib. Belum tentu
Astutik kabur karena disuruh Asmadi,” jelas Paedil.
“Siapa lagi kalau bukan Asmadi penyebab
dari semua ini?!” Mujib naik pitam.
“Selama ini, Asmadi selalu membujuk rayu
Astutik, agar ia mau digaulinya.
Bahkan ia juga sering cerita kalau ayah tirinya itu kerap kali diam-diam
mencoba masuk ke dalam kamarnya saat ia tidur sindiri,” lanjutnya.
Asmadi lelaki tua yang senang bergaul dengan anak-anak pujang. Kerjaannya
setiap malam hanya nongkron di pos kamling. Ketika larut malam datang, pastilah
ia pergi berjudi dan mabuk-mabuan. Karena itulah dia mau menikahi ibu Astutik
yang kaya—hanya untuk mendapatkan uang. Dan kini, malah Astutik yang menjadi sasaran.
“Dasar lelaki jalang!” sergahnya.
“Barangkali diam-diam memang keinginan
Astutik untuk kabur,” duga ayahnya.
“Tidak mungkin Astutik mengkhianatiku.
Tiga tahun bertunangan, dia selalu setia kepadaku!” jelas lelaki itu.
“Baiklah kalau begitu, aku tak melarang
kamu melampiaskan kekecewaannya
kepada Asmadi. Namun karena dia juga saudaramu sendiri, sebaiknya sebelum kamu
melakukan hal itu, cari tahu dahulu siapa sebenarnya penyebab dari
menghilangnya Astutik. Jangan bertindak bodoh dan hanya menambah malu kita bila
kamu salah melampiaskan amarahmu.” Ujar
Paedil panjang lebar. Sebelum akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, dan menggantungkan kembali sebilah celurit di dinding kamarnya.
Satu bulan, dua bulan, sampai satu
tahun, ia tak henti-henti mencari kabar perihal penyebab menghilangnya perempuan itu. Tapi sayang, semua
upayanya hanya berujung kesia-siaan. Ia tak pernah kembali semenjak menghilang saat malam pernikahan.
Lalu, siapakah yang telah menculik perempuan itu? Tanyanya dalam diam.
Kalau saja sampai terungkap suatu saat nanti, jangan harap ada sedikit ampun
bagi dirinya. Sebilah celurit yang bergelantung di dinding, tak akan tinggal
diam sebelum memisahkan nyawa dari tubuhnya, desisnya lirih, sesekali melirik
penuh selidik pada sebilah celurit yang bergantung tepat di atas pintu
kamarnya.
Mulai sejak itulah lelaki itu sering berdiam diri. Bermenung.
Detemani sebatang rokok dan secangkir kopi. Kepulan asap rokok yang meliuk-liuk
itulah ia gambarkan sebagaimana Astutik, sebagai teman setia sepanjang hidupnya.
***
Saat ia beranjak meninggalkan perempuan itu, tiba-tiba dia mengejar dan menghentikan langkahnya.
“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriaknya.
Ia tersentak dan melonjak.
Saat mendengar teriakan perempuan itu
dengan memanggil ‘kakak’. Lalu ia menoleh.
Sembari puntung rokok di
jemarinya ia lempar jauh-jauh.
“Maafkan aku, Kak,” lanjutnya. Air mata
mulai mengalir di pipinya.
“Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya lagi.
“Aku Astutik, istrimu, Kak,” jelasnya
dengan suara parau.
“Maaf. Aku tak merasa punya istri
seperti kamu,” jawabnya sedikit.
“Tapi Kak, coba lihat anak ini! Kasihan
dia…” ia elus ubun-ubun anak yang ada di pangkuannya. Sementara air matanya
tetap tak henti mengalir di pipinya.
“Dasar orang gila, pergi kau!” usir lelaki itu.
Air mata semakin deras mengucur dari
pelupuk matanya; air mata sedih, air mata penyesalan.
“Maafkan aku, Kak. Tolonglah dengar dulu
penjelasanku sebelum kamu pergi…!” ia raih lengan tangan sang lelaki erat-erat. Kemudian memulai
ceritanya.
“Semua ini bukanlah niatku untuk
menghianatimu, Kak!”
jelasnya.
“Satu tahun yang silam, saat aku melihat
kamu datang hendak memulai akad nikah. Dalam kamar, aku duduk tepat di depan
cermin, mendandani kujur tubuhku utuk menyambutmu,” suaranya serak. Lalu ia melanjutkan kembali
ceritanya.
“Namun tiba-tiba dari arah belakang
terdengar bunyi engsel, pelan! Kemudian disusul dengan decak kaki seseorang
yang masuk diam-diam ke dalam kamar lewat pintu belakang. Aku tersentak dan
beranjak. Saat hendak berteriak, seorang lelaki telah menodong sebilah pisau di
leherku. Aku terdiam. Sekujur tubuhku gemetar. Setelah sesaat mencoba menoleh.
Tiba-tiba ada pukulan keras menghantam kepalaku,” ia terdiam. Menarik napasnya
dalam-dalam.
“Entahlah apa yang terjadi saat itu, ketika aku sadar sudah ada di suatu tempat yang belum aku kenal. Di
sana, aku dalam keadaan tak karuan.
Tubuhku sakit seperti tercabik-cabik, dan semua pakaianku terlepas tanpa sisa.
Disampingku ada beberapa lelaki yang tertidur mabuk tak ku kenal, kecuali hanya
satu: wajah ayah tiriku yang tergeletak telanjang.
Perempuan itu terisak. Air matanya mengucur deras, jatuh ke tanah. Sembari
memohon-mohon, agar sang lelaki tidak pergi meninggalkannya. Tetapi, lelaki itu
tak menjawab. Malah asyik menikmati sebatang rokok yang ia hisap. Sesekali mengulum senyum tipis, ketika melihat kepulan asap
rokok yang meliuk-liuk menyerupai
wajah kekasihnya. Ya, kekasih yang menghilang dan sampai kini belum ada
kabarnya. ***
Yogyakarta-Madura, September 2012
Marsus
Banjarbarat, menulis cerpen dan puisi, cerpennya terkumpul dalam buku Bukan Perempuan (OBSESI Press, Grafindo, 2010), Lelaki yang Dibeli
(OBSESI Press, Buku Litera, 2011), Riwayat Langgar (Arti, 2011), Simfoni Rindu (Pustaka Jingga, 2012). Puisinya terkumpul dalam
buku Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010
(DKKM, 2010). Sekarang ia menjadi penikmat Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.