Minggu, 24 Maret 2013

TEATER TRADISIONAL



Teater tradisional di Indonesia telah ada jauh hari sebelum jenis ”teater kota” berkembang di bumi Nusantara. Indonesia yang terdiri atas beragam etnis dan budaya tentu saja menyimpan kekayaan seni tradisi. Sejak bangsa Eropa belum hadir di bumi Nusantara, seluruh daerah di Indonesia memiliki bentuk teater tradisi setempat.
Bentuk teater tradisional ini saya saksikan pada perlombaan Pertunjukan Rakyat Media Tradisional yang dilaksanakan Dinas Komunikasi dan Informatik (Kominfo) Sumatera Utara di Asrama Haji Pangkalan Mansyur Medan, Kamis 14 Maret 2013. Delapan kelompok peserta memamerkan kebolehannya berolah peran, ditingkahi musik dan tarian tradisional setempat.
 
Teater tradisional di Indonesia sangat sejalan dengan keberadaan budaya setempat. Kehidupan budaya agraris atau pertanian yang berurusan dengan tanah, air, produksi, kesuburan, kemakmuran, hama, musim kering, memberikan dasar-dasar estetika berdirinya teater tradisional. Selain itu, kehidupan yang sangat erat hubungannya dengan siklus alam (musim, matahari, bintang-bintang) menjadikan dasar pokok estetika kesenian bersifat religi. Jadilah seni teater sebagai sesuatu yang sangat sakral. Harus dilakukan secara sungguh-sungguh dengan segala macam serimonialnya.
Pertunjukan teater tradisional pada masa lalu tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat dan waktu. Harus dipertunjukkan atas suatu maksud dan alasan yang berhubungan dengan sistem kepercayaan yang ada. Tidak mengherankan, pertunjukan teater tradisional ketika itu tidak dapat dikemas sesuai kehendak penonton atau kelompok teater tersebut. Setiap jenis teater tradisional mempunyai ketentuan permainan tertentu. Dalam kata lain, teater tradisional terikat oleh sistem kepercayaan.
Dengan demikian, untuk mengenal teater tradisional di Indonesia tidak sesederhana mungkin karena dasar estetikanya berasal dari sistem kepercayaan yang dianut suatu kelompok masyarakat di Indonesia. Fungsi pokok teater tradisional, di antaranya sebagai berikut:
1)      memanggil kekuatan gaib,
2)      menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan,
3)      memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat,
4)      memperingati nenek moyang dengan mempertontonkan kegagalan maupun kepahlawanannya,
5)      pelengkap upacara sehubungan dengan tingkat-tingkat hidup seseorang, dan
6)      pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.

Berdasarkan hal itu, bentuk-bentuk teater tradisional di bumi Nusantara ini sangat beragam baik penyajian maupun fungsinya. Secara umum, teater tradisional memiliki ciri-ciri khas sebagai berikut:
a)      lakon/ceritanya tidak tertulis,
b)      media pengungkapannya berupa dialog, tarian, dan nyanyian,
c)      akting bersifat spontan,
d)      dialog dilakukan secara improvisasi,
e)      dalam pertunjukan selalu terdapat unsur lawakan,
f)       umumnya menyertakan iringan musik tradisional,
g)      penonton mengikuti pertunjukan secara akrab dan santai, bahkan dapat berdialog langsung dengan pemain,
h)      bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat, dan
i)        umumnya menggunakan tempat pertunjukan terbuka berbentuk arena (dikelilingi) penonton.
Begitulah. ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

GELANGGANG SAJAK



David Tandri :
Di Lau Kawar Dua Kisah Masih Menghampar
tidak sekarang tentu…

kau cukup kukenang
lewat lintang danau yang pukang
dan anggrek rawa yang kuterawang

kuserap kelopak letih, sisi poros putik yang pasi
serta setangkup atap lapak tenda pengungsi
yang paling mengerti kerucut jeri seorang lelaki

ruam malam masih mengincar suar bulan yang sepadan
meski bulatnya setengah cacat, tercebur arakan awan
pertanda kerawanan diri, dirundung ruh yang seliweran

mengapa sungguh jauh lau kawar
dari kesiur detar seremoni kisah yang menghampar?

sepasang senda-tawa bebas
melintas dengan eros yang deras
menggetas erosi hati yang kandas
ini bias segara yang walau beranjak tua
tapi tak jua-jua berasa
pupur kabut mengucur kian maya, semakin tanpa tanda

lebih baik kusaji saja doa, merapal kapal tiba
sebelum fajar yang bengal, gagal menggubah gairah jadi geriap pesona
menuju cinta yang mendunia

jika nanti—di hisapan hening—dapat kau sadap suara belingsatan lengking
ceraplah, itu celetuk jantungku, sedang menggarap kicau pancing
agar kau, kujemput dalam pukau
kuberai serupa musa di teberau
menjelma tubuh baru
lebam lama pun berlalu

tidak sekarang tentu…

Lau Kawar, 24 Maret 2012

Pertapaan Rahim

cahaya lalu sulut dari suam demam, dari dara yang pertama kali
meratap diam-diam

jam di dindingnya
yang pernah dia sandingkan dengan kekasihnya saat santap bersama
menetes seperti air dari tubir meja
tanpa dia tahu, diarinya yang diam di lemari, belum terisi
bukan karena sangsi, tapi sangkutan hati yang entah kenapa
tak juga usai ditangisi

apakah detak itu, adalah sesuatu yang pada akhirnya
dia sebut waktu?

dia telah terbiasa bila mesti merawat rasa
sebab ketika ketubannya tiba
tiada lagi bara iba yang lebih bahagia, lebih mulia
kembali ke asal mula:
                daging dan darahnya yang merah
                tulang dan terangnya yang cerah

tapi, kisah yang seteduh itu, tidak selamanya mutlak ada
lebih sering baginya, diasingkan tanpa mau dia saring lagi sarinya
menjelma pertapa yang rela mengirit kelakuan
dalam diam

sekali lagi, benar-benar diam!

cahaya yang datang kemudian, sekalipun pelan
enggan dia tangkap, konon lagi dia sekap dan dia ikat kayak tahanan kelas kakap
karena rentan bagi kaki selalu genap pijakan
karena rawan bagi hati terlalu lengkap harapan
hidup jadi karapan musim yang di rahimnya diserap sampai karatan
dan lalu, dan lalu aku bilang
dia pun terdiam. terdiam.
akhirnya.
terakhir.

Medan, 09 Maret 2012

Batu Kodok
sebuah sketsa dari sei bah bolon

di simpang itu, persis di belokan, di situ dudukan elokmu bertahan
ada remah bebatuan juga di sekitarmu, berkawanan di tepian
alam riang, sungai tenang-benderang, kerak-kerak di tapaknya tampak berkilatan
tapi kau lebih memilih diam, irama tubuhmu lembam
jauh dari seronok kocokan busa yang berdebam di siraman jeram

lalu seperti minggu-minggu kemarin
orang-orang lewat ingin mengajakmu bermain
di tengah rambat-arungan ban karet
dayung diseret-seret, sambil bersorak norak layaknya penyanyi kabaret
mungkin mereka adalah tamu baru, yang rumahnya jemu, darahnya kelu
kadang datang, kadang hilang, kadang bahkan mereka tak tahu apa yang mereka lakukan
sehingga keramaian sungai ini adalah semata-mata kebetulan
tak mungkin kau kenal wajah-wajah yang singgah, yang suka mangkal lalu berfoto massal
sementara sekujuran tubuhmu mulai kegatalan, kau jengkal mereka dalam kesal

pantas kalau kau jadi sok
sambil berjongkok, moncongmu berondok ke kelok berlawanan
ke pesisir kecil yang terkucil dari pukul-pantul bayangan
tatapmu lesap dalam sikap yang pengap
lenyap tanda tak mau tanggap

di balik itu, kau sebetulnya malu
takut diolok-olok karena kapurmu mulai rontok
terik yang mencekik, memang bikin burik-sisikmu jadi tambah jorok memborok

“ini adalah pelosok yang angkuh,” singkapmu rapuh, pengaruh tubuh yang rungkuh
jika bukan karena sungai yang mengalir, dan angin membantu dari pinggir
batuan mana dapat diingat, dianggap bakat oleh jemu tamu yang mampir
hanya kata-kata sekadar, liar di nalar penyair
puisi jadi penawar getir segelintir agar hati tak buru-buru mangkir

itulah sebabnya kau paham
di samping jengking-tebing yang curam
kau juga salah satu batuan yang bermuram
entah salah pengertian, atau terlampau dendam
jeram itu, meski tak bergaram, kau pendam dalam-dalam, supaya tambah geram, gerah menikam

siapakah, siapa coba selain dari pelosok yang angkuh itu sendiri
ada sosok yang mencatat seonggok saja kenangan tentangmu yang mencolok?

begitulah jika sungai tak lagi mengalir
dan angin mangkir dari para penyair
kau tak tahu lagi apa yang kau lakukan
pelosok angkuh itu semakin terperosok
dudukan elokmu pun hilang kedok

terpojok!

Medan, 14 Februari 2012

ROIS YANG RESAH DAN YANG BERUBAH

Oleh: Dimas Arika Mihardja
(Sambungan Sabtu Lalu)


Pada sajak lainnya, “Senandung Bulan”, Rois memadupadankan syair lagu dalam sajaknya. Sajak-sajak jenis ini, yang terinspirasi dari lagu, berhasil mengungkapkan doa dan harapannya selaku kreator yang kreatif. Kita nikmati apa yang disenandungkan oleh Rois, yang alih-alih ingin kembali ke masa kanak-kanak menyanyikan lagu romantik:

SENANDUNG BULAN

Ambilkan bulan bu yang slalu bersinar di langit

sebelum parah. ambilkan untukku, bu
jika tak terlihat, sibak awan hitam itu
ia sembunyi di sana bersama bayibayi
yang didusta-hinakan kelahirannya
juga jiwajiwa yang terkungkung perang

Di langit bulan benderang Cahyanya sampai….

pun dongengmu ketika menjelang tidur
tentangbidadari pemintal cahaya putih
yangakan datang di setiap mimpi kecil
mengajakku petak-temu di dada bulan

tapi, bu. semenjak kota kehilangan ruhnya
anakanak tak lagi percaya pada dongengan
tentang bulan bintang bahkan kekunang
mereka lebih percaya pada adegan porno
pada goyang pinggul setengah telanjang
yang begitu mudah disajikan di ruang keluarga

ambilkan bulan bu untuk menerangi,tidurku .... 

aku lucu yah, bu? anakanak saja enggan
aku malah kelangenan membujukrayu
tapi bu. kemarin aku cukur kumis jenggot
juga seluruh jembut dan berdiri depan cermin
aku baru sadar, jika tanpa dekor kedewasaan
antara aku dan bocah umbelan itu tak ada beda

Cilegon-Banten, 2011

Puisi ini sengaja ditampilkan utuh-menyeluruh untuk memberikan aksentuasi bahwa kejujuran Rois selaku kreator sungguh mengharukan. Hal yang mengharukan (dan lucu juga tentunya) saat di bait terakhir ternyata antara ‘aku” yang mencukur habis segala atribut kedewasaan dan menemu kenyataan bahwa ‘aku” tiada bedanya dengan “bocah umbelan”.
Buku ini memuat puisi yang beragam tema dan manifestasinya. Sebagai penyair yang rajin belajar, Rois agaknya mulai mengenal puisi berkecenderungan lirik. Puisi-puisi Rois memang berkecenderungan lirik, mengungkapkan kesan-personal penyairnya mengenai berbagai hal yang dihayati, direnungi, dan diekspresikan melalui ciri-ciri puisi lirik. Teori-teori perpuisian dengan baik diaplikasikan oleh penyair ini. Misalnya terkait dengan konvensi puisi liris yang meliputi (1) jarak dan deiksis, (2) keseluruhan yang organik, dan (3) tema dan perwujudan.
Pertama, jarak dan deiksis. Puisi atau sajak itu tergolong karya rekaan,  maka kata-kata yang bersifat deiksis tidak menunjuk orang tertentu, tempat dan waktu tertentu, melainkan referensinya berganti-ganti berdasarkan situasinya. Jadi, ada “jarak” antara situasi si aku penyair dengan situasi aku dalam puisinya. Kata-kata deiktik yang memberi jarak itu berupa deiktik keruangan (di sini, di situ, di sana, dan sebagainya), deiktik kewaktuan (sekarang, besok, nanti, dan sebagainya), dan deiktik keorangan (saya, engkau, kami, dan sebagainya). Oleh karena itu, pembaca membina dunia sendiri berdasarkan jarak dan deiktik itu.
Kedua, keseluruhan yang organik. Puisi merupakan keseluruhan atau kesaatuan yang organik, antara bagian-bagian dan keseluruhan ada pertautan yang erat. Oleh karena itu, dalam membaca puisi (memberi makna puisi), dicari hubungan antarbagian-bagian itu hingga merupakan jalinan kesatuan yang utuh. Dalam puisi-puisi modern hubungan antara bagiannya seringkali sangat implisit. Namun, karena anggapan bahwa bagian-bagian itu koheren, maka dicari pertautannya sehingga kelihatan bagian-bagian itu tidak terpisahkan, melainkan sangat padu.
Ketiga, tema dan perwujudan. Tema dan perwujudan itu merupakan konvensi makna (significance), konvensi makna yang berhubungan. Puisi diandaikan memiliki kekayaan implisit yang menjadikan pembaca berusaha untuk memahami ataupun mencari hubungan-hubungannya. Peristiwa yang insidental atau individual mau tak mau diberi makna universal dan manusiawi. Sesuatu yang sederhana mendapat nilai yang mulia. Konvensi ketiga ini tak terpisahkan dengan konvensi kedua.
Sajak atau puisi sebagai bentuk komunikasi tidak dapat meninggalkan kata sebagai wahana ekspresi. Bertumpu pada anggapan bahwa pemaparan teks bertolak dari konfigurasi gagasan maupun bentuk ekspresi tertentu, pemilihan kata dalam kreasi penciptaan puisi selalu memperhatikan satuan hubungannya dengan kata lain dalam satuan bentuk ekspresinya. Dalam puisi yang termuat dalam buku ini, upaya menciptakan efek keindahan antara lain dilandasi oleh prinsip penggunaan kata sehemat mungkin untuk menyampaikan gambaran makna sebanyak mungkin.
Kata adalah satuan bentuk kebahasaan yang telah mengandung satuan makna tertentu. Kata sebagai lambang kebahasaan yang ada dalam dunia penafsiran pemakai bahasa pada dasarnya adalah simbol.  Berbeda dengan gambaran penger-tian simbol sebagaimana dikemuka-kan di atas, Pierce (1992) mengemukakan bahwa:

A symbol is a sign which refers to the object that is donotes by virtue of a law, usually an association of general ideas, which operates to cause the symbol to be interpreted as referring to that object”.

Simbol diartikan sebagai lambang yang mengacu pada objek tertentu di luar lambang itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai lambang dengan sesuatu yang dilambangkan sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya menafsirkan maknanya. Dalam artian demikian, kata merupakan salah satu bentuk simbol karena hubungan kata dengan dunia acuannya ditentukan berdasarkan kaidah kebahasaannya. Kaidah kebahasaan itu secara artifisial dinyatakan berdasarkan konvensi masyarakat pemakainya.
Lambang dalam wacana puisi Rois, se­cara kate­goris dapat dibedakan (1) lambang konstitutif, yakni lam­bang yang membentuk keper­cayaan-kepercayaan, (2) lambang kogni­tif, yakni lambang yang mem­bentuk pengeta­huan, (3) lambang etis, yakni lambang yang membentuk nilai-nilai moral, dan (4) lambang ekspresif, yakni lambang yang mengungkapkan perasaan. Lambang estetik dapat ditambahkan untuk melengkapi pendapat Bachtiar tersebut. Dengan lam­bang estetik, penyair dapat mengkomunikasikan dan mengkong-kretkan ima­jinasi, intuisi, dan ide-idenya.
Wujud lambang budaya dalam teks puisi, seperti puisi yang dimuat dalam buku ini, dibedakan dalam lima kode bahasa. Kelima kode tersebut adalah (1) kode hermeneu­tika (the hermeneutic code), yakni kode yang mengandung unit-unit tanda yang secara bersama-sama berfungsi untuk mengartikulasikan dengan berbagai cara dialektik pertanyaan-respon;  (2) kode semantik (the code of  semantic or signi­fier), yakni kode yang berada pada kawasan penanda—penanda khusus yang memiliki konotasi, atau tanda yang materialnya sendiri menawarkan makna konotasi; (3) kode simbolik (the symbolic code), yakni kode yang mengatur kawasan antitesis dari tanda-tanda, di mana satu ungkapan mele­burkan diri ke dalam berbagai substitusi, keanekaragaman penanda dan referensi sehingga menggiring ke­mungkinan makna ke kemungkinan yang lainnya dalam indetermi­nasi;  
(4) kode pro­raetik (the proraitic code), adalah kode yang mengatur satu alur cerita atau narasi—ia disebut juga kode aksi; dan (5) kode budaya (the cultural code), yakni kode yang mengatur dan mem­bentuk ‘suara-suara kolektif’ dan anonim dari pertandaan, yang berasal dari pengalaman manusia dan tradisi yang beraneka ragam.
Pengantar ini tentu saja tidak perlu membentangpanjangkan uraian atas sajak-sajak Rois. Uraian yang panjang dan lebar hanya akan terkesan “nyinyir” atau “cerewet”. Pengantar ini cukuplah jika sekadar menunjukkan ceruk-ceruk terpenting bahwa Rois dalam cipta puisi menunjukkan gejala positif, yakni berubah ke arah positif. Ya, Rois yang gelisah dan berubah! ***



Jambi, Februari 2013

Dimas Arika Mihardja, Direktur Eksekutif Bengkel Puisi Swadaya Mandiri

TUMBAL BUKIT KIARA PAYUNG

Cerpen: Otang K.Baddy 


M
alam-malam tanpa bulan, tanpa bintang. Dusun sunyi-senyap, zaman yang kelam di masa lalu. Dimana anak-anak perawan dan bujang belum mengenal lipstick dan gincu. Kendatipun begitu mereka tetap berlagu, kidung kasmaran parahyangan yang merdu. Di rumah bilik yang diterangi pelita atau lentera. Jelita dan rupawan di masanya, suka-cita dan ceria warga di zamannya.
      Namun suasana yang kerap membuai di bulu rindu itu tiba-tiba lenyap tatkala langit padam rembulan dan hilang bintang.  Begitu pun lentera dan lampu kelapa, tak lagi dinyalakan warga. Karena malam telah berubah mencekam, aroma mistis atau horor kian berkembang dan kental di benak-benak mereka.  
     Tiba-tiba  warga di Dusun Ogo menggeragap terbangun dari tidur lelapnya tatkala mendengar suara gemuruh dari bukit itu. Bukit Kiarapayung. Sebuah bukit tertinggi di dekat dusun itu, dimana di ponclotnya bercokol pohon kiara yang tinggi kekar. Disebutlah kiara payung  karena dahan dan rantingnya yang rindang  memang memayungi pohon-pohon lain di bawah dan sekitarnya. Koloni rotan alas dan rumpunan macam bambu, menunjukkan belantara yang masih alot. Gemuruh itu suara batu terguling-guling. Mungkin sebesar kerbau atau lebih. Membetur sesama batu yang terlindas dan melabrak rerumpunan bambu.   Guluduug…guludug…bletok..karabyaak…! Begitulah. Bukan satu batu, tapi banyak batu. Setelah batu itu sampai di lembah dan hampir menghantam rumah warga, kejadian serupa kembali menyusul. Bahkan saat berikutnya petaka itu datang lagi.
       “Ah,dia lagi,” ujar seorang warga yang tak pernah tidur lelap, seolah mengeluh. Begitupun orang lainnya, berpikiran nyaris sama yang ujungnya menyudutkan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Bah Ado. Lelaki bertubuh tambun itu selalu iseng mengganggu orang. Jika malam ada pejalan kaki  yang lewat jalan berbatu di lembah sana, kalau tak melempar pasti menggulingkan batu-batu itu. Ulah itu sering dilakukannya, terutama saat-saat mondok di saung huma dekat kiara payung itu. Barangkali keisengannya menakuti orang, agar dia dianggap demit bukit itu. Demit yang sebelumnya kerap menangis. Tangis lelaki terbunuh korban konflik di masa lalu, arwah penasaran itu berujud amarah dengan mengguling-gulingkan batu dari sebuah bukit. Mungkin terinspirasi dari itu Bah Ado senang bertingkah,  dan baginya seakan menjadi hiburan tersendiri.
       Beriseng boleh saja, begitu menurut warga. Tapi dengan batu besar terguling-guling tengah malam dan menimbulkan gemuruh keras itu bukan lagi di horor, melainkan sebuah teror bencana yang dahsyat.
      “Ini  sangat terlalu!”  desis warga lain di sekitar lembah itu. Dan bukan satu dua orang yang mengutuk ulah Bah Ado saat itu. Namun mereka tak ada yang berani mengambil tindakkan, karena kejadiannya selalu  tengah malam. Rasa malas mereka semakin menjadi, tatkala kantuk menyerang. Juga karena sebagian berpendapat itu bukan wujud nyata suatu bencana. Kendati diacuhkan pun tak akan menjadi masalah. Bahkan bagi sebagian orang mengatasi petaka itu cukup dengan do’a atau keyakinan yang mantap. Sebab, manuver itu hanyalah ilusi belaka. Suatu ulah yang tercipta untuk menggoyah hati yang mendengarnya. Buktinya, di waktu siang jejak-jejak itu tak ada. Tak sedikit pun ada bongkahan batu, tak juga tampak bekas benturan atau rerumpunan bambu yang rebah. Tak ada sama sekali. Tak ada.
       Yang ada cuma kisah masa lalu. Di jalan desa penghubung dusun Ogo dan dusun lainnya. Para anak bujang tiap menjelang larut malam selalu lewat baladan, sekitar lima atau kadang sepuluh orang. Bernyanyi riang penuh guyonan, baik hendak atau pulang dari dusun tetangga tatkala menoongi bilik-bilik di pondok perawan. Mereka bukan sekali dua kali mendapat perlakuan iseng Bah Ado, yang tengah tunggu kebun di bagian atas bukit itu. Sering ada lemparan,yang lemparan itu  tak dikenakan tentunya. Namanya juga iseng. Benda yang dilempar itu tak cuma batu, kadang ubi, jagung bakar, kedodong atau degan. Memang saat pertama rasa takut, tapi kejadian berikutnya kalau tak digubris kadang pula senang jika lemparan itu berupa makanan.
       “Hahah…! Hahaha…hahahah..!” BahAdo kerap tertawa manakala usai melakukan isengnya. Suaranya begitu besar dan agak menggeram. Mungkin dibuat sengaja agar disangka demit Kiarapayung, yang menurut dongeng sepuh terkesan angker, terutama setelah dulu terjadi baku tembak antara penguasa dan pemberontak. Banyak nyawa melayang yang tak diurus sebagaimana mestinya.  Namun ternyata itu cuma resep meredam anak agar tak cengeng. Juga upaya melestarikan alam agar sumber mata air tak kering, dan tak dijamah oleh tangan-tangan jahil yang kerap berdalih  untuk kepentingan umum. Namun tak menutup kemungkinan, yang namanya makluk halus itu ada. Begitulah, barangkali Bah Ado merasa terinspirasi sebagai demit bukit Kiarapayung.
       Bah Ado suka iseng, telah dilihat sendiri oleh Ajid. Seorang cucu Bah Ado yang pernah ikut mondok di kebun Bah Ado pada musim panen jagung. Benar, ladang jagung itu tak jauh dari rimba kiara itu. Di tempat itu banyak lutung, monyet, dan juga babi hutan. Pada musim itu pasti Bah Ado kewalahan.  Selain bantu menjaga serangan binatang itu, juga hitung-hitung menikmati bakar jagung dadakan Ajid diajaknya. Malam itu cahya bulan benderang, anak-anak bujang terdengar riang di jalan desa di lembah sana.
       “Nanti saat pulangnya..” Bah Ado terkekeh menahan kegelian niatnya. Ia menunjuk sebuah batu besar, diperlihatkan pada cucunya yang berusia tujuh tahun itu. Anak itu pun ikut-ikutan menahan geli, dan tak sabar ingin menyaksikan bagaimana kisah seru yang dilakukan kakeknya. Dan tak begitu lama, saat yang dinanti itu datang lebih awal dari biasanya. Heran juga di benaknya,
Anak-anak bujang kok sudah pulang. Tapi mungkin saja ada gangguan, misalnya para perawan itu tak berangkat ke pondok karena sorenya terjadi hujan.
      “Mari..De, bantu,” lelaki itu menyeret cucunya. Mengambil linggis, mendongkelnya. Begitu berat, namun berusaha sekuat tenaga hingga otot-otot tampak mengencang. Dan batu besar itu mulai terguling…gorobass…gorobass…dak..duk..brak..brek…prak…! Menggelinding ke lembah, ke jalan itu,, ke para bujang itu.
       Namun aneh, ada keganjilan di sana. Biasanya jika aksi itu rampung bakal terdengar suara langkah atau sorak-serai para bujang. Entah suara takut atau suara pura-pura takut, yang biasanya saling mempercepat langkahnya. Sebab, mereka sudah tahu yang menggulingkan batu itu bukan dedemit bukit Kiarapayung, tapi Bah Ado. Tapi saat ini si pelaku merasa aneh, ia tak mendengar suara lompatan atau sorak-serai di jalanan. Kenapa ya? Apakah yang baladan tadi itu bukan aslinya para bujang? Lantas siapa ya?, begitulah keduanya sempat heran.
        Bah Ado, demit kiarapayung, atau ilusi yang tak bertanggung-jawab, entah siapa sebenarnya yang menggulingkan batu malam-malam saat orang lelap.  Malam-malam berikutnya menjadi tak jelas, simpang-siur. Mungkin karena kesiur angin, atau karena warga Ogo terlalu segan dengan pohon kiara payung yang kerap menunjukkan keperkasaan di benaknya. Bahkan, mungkin penguasa  saat itu pun terinspirasi untuk menjadikan kiarapayung sebagai lambang partainya. Dengan koloni rotan alas dan bambu, bermacam kedaka, binatang buas seperti ular cobra dan macan belang atau tutul. Keluarga monyet atau lutung , para bajing, juga bermacam burung  seperti elang, gagak, kangkareng, ciung, ketilang, jalak, dsb, termasuk pipit pun lengkap di situ. Kiara payung laksana sebuah kerajaan rimba yang perkasa. Sosoknya  yang menjulang menggapai langit itu kerap dijadikan barometer para nelayan pencari ikan, apakah pelayarannya tak  terlalu jauh menyasar atau tidak. Jika pohon itu masih terlihat, berarti perambahan laut masih dalam status wajar. Barangkali dari kepercayaan yang diakui warga itulah, kiarapayung tetap menebar manuvernya. Yang jadi korban, tentu dusun terdekatlah, yakni Dusun Ogo. Dengan menuduh Bah Ado sebagai kambing hitamnya?
      Bagaimana tidak. Batu-batu terguling, kadang disusul tawa terbahak. Kadang terdengar alunan seruling kidung kasmaran. Juga suara-suara wanita cekikikan, yang sebelumnya lolongan anjing sebagai penghantar suasana seram mencekam. Namun berita itu kadang tak jelas, kadang simpang siur.  Sebab, saat terjadi batu terguling  --atau lemparan-lemparan iseng  -- seperti batu-kerikil, ubi jalar, singkong, pisang, papaya, jagung, kedongdong atau daugan, kadangkala di ladang itu Bah Ado tak mondok.
                                                                 **
     Selama hamir  40 hari setelah kematian tragis itu, warga dusun Ogo tak ada yang berani keluar rumah. Terutama jika hari berganti malam, begitu magrib datang, tua-muda semua masuk ke biliknya. Karena rasa takut yang menyungkup di benak-benak mereka, untuk sekedar buang hajat atau kencing pun tak merasa sungkan walau cuma ditadah di ember. Biarlah, besok saja air dan hajat itu dibuang, begitu pikir mereka. Begitu pun langgar-langgar mendadak sepi, tak ada shalat berjamaah, tak ada bacaan shalawat nabi dan pepujian anak-anak mengaji. Aktivitas itu seakan berhenti tiba-tiba. Anehnya tak ada wejangan atau penyuluhan dari tokoh agama atau umaroh, semua seolah ikut terhipnotis dengan keadaan.  Lampu lentera atau cempor tak ada satu pun yang dinyalakan. Dusun Ogo sepi mencekam. Malam mati bagai kuburan.
       Bayangan horor itu memang terus menyergap pikiran mereka. Terutama setelah melihat kematian Bah Ado yang mengenaskan. Lelaki itu memang telah mati terbunuh. Namun entah siapa pembunuh itu, sungguh sangat misterius. Sepertinya pembunuh itu bukan manusia, sebab luka di bagian belakang kepala itu bukan bekas senjata tajam seperti golok atau sejenisnya. Luka itu bekas tancapan kuku tajam yang meruncing. Orang menduga, karena lukanya bekas kuku harimau, yang membunuhnya itu pasti harimau atau siluman harimau. Namun entahlah.
       Yang jelas di pagi buta geger. Istri mendiang tak tahan dengan keadaan, tangisnya meledak meraung-raung seraya mendekap suaminya yang tak berdaya. Darah segar tercecer di dekat pintu masuk dan sampai ke tengah rumah. Bahkan tak sedikit yang muncrat ke dinding. Entah kenapa polisi pun saat itu tak serius, percaya begitu saja atas keterangan keluarga yang mengatakan luka lelaki itu bukan pembunuhan mutlak, tetapi karena terkena paku di pintu  masuk. Alasan itu sengaja dibuat untuk sekedar meredam isyu yang tak jelas. Polisi pun segera berlalu begitu saja, seolah tak berdaya untuk mengusut lebih lanjut.
      Tersiar kabar yang membunuh lelaki itu adalah seorang wanita. Tanda-tanda yang mengarah ke situ memang ada. Beberapa saat sebelum kejadian satu-dua orang warga yang terlintasi jalan setapak di depan rumahnya mendengar suara wanita seperti tengah cekcok dengan Bah Ado. Bahkan seseorang bercerita, ketika malamnya lelaki itu nganjang ke rumahnya. Entah kenapa sang korban seperti gelisah. Apalagi setelah di luar ada suara seorang wanita seakan memanggil-manggil dirinya.
     “Tunggu sebentar,” kata Bah Ado. Walau tampak sungkan lelaki itu segera permisi ke pribumi hendak memenuhi panggilan itu, yang diduga tuan rumah adalah istrinya Bah Ado.
      Sejenak di luar terdengar percakapan oleh tuan rumah. Selanjutnya tak tahu karena keduanya semakin menjauh. Ya, mungkin itu tadi, para tetangga yang jalannya terlewati. Bah Ado seperti cekcok dengan seorang wanita. Namun percekcokkan itu berubah menjadi teriak kesakitan seorang lelaki yang disusul suara tawa meringkik seorang perempuan. Warga menduga Bah Ado jadi tumbal keisengannya dari bukit itu.***
 


Otang K.Baddy, penulis cerpen kambuhan, tinggal di Ciamis



INDONESIA-MALAYSIA



(Sabtu, 16 Maret 2013)


S
EMULA saya enggan memegang apalagi mengayun-ayunkan bendera kecil Malaysia, Kamis malam, 7 Maret 2013, di Istana Budaya, Kualalumpur, Malaysia. Selama Konser Budaya berlangsung, pikiran saya tidak enak. ‘Masa yang ada bendera Malaysia. (Bendera) Merah Putih-nya mana?’ tukas saya dalam hati.
Selama lima hari, 5-9 Maret 2013, saya mengikuti program pertukaran Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Indonesia dengan KIM Malaysia dan Brunei Darussalam di Kualalumpur, atas undangan Kementerian Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia memilih saya dan Nadjib, MM dari Jawa Tengah menjadi wakil Indonesia pada hajatan tersebut.
Selama beberapa hari itu pula, kami bertukar informasi mengenai keberadaan KIM. Semasa Departemen Penerangan, Indonesia memiliki Kelompok Pendengar, Pembicara, dan Pirsawan (Kelompencapir) yang kini menjadi KIM. Sementara Malaysia memiliki Komuniti 1Malaysia (K1M) dan Brunei punya Majlis Perundingan Mukim dan Kampung (MPMK).
Di antara sejumlah kegiatan KIM itu, kami diboyong menyaksikan Konser Budaya yang diadakan Yayasan Ikatan Rakyat Melaysia Indonesia (YIRMI) di Istana Budaya Kualalumpur. Kami begitu terpukau menyaksikan serangkaian kesenian lokal Indonesia. Ada yang dimainkan mahasiswa Indonesia di Malaysia, ada juga yang dimainkan anak-anak Malaysia sendiri.
Konser itu dirangkaikan dengan peresmian Yayasan Ikatan Rakyat Malaysia-Indonesia (YIRMI).  Konser Nusantara yang digelar tiga hari dan berakhir 12 Maret lalu itu merupakan ide Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia, Datuk Seri Dr Rais Yatim bekerja sama dengan Menteri Telekomunikasi dan Informasi Indonesia, Ir Tifatul Sembiring.
Konser ini bertujuan menyatukan dan memperkuat hubungan kedua negara dalam semangat serumpun dan sebudaya dalam bingkai Melayu. Ini kemudian menjadi tema acara tersebut, yaitu “serumpun dan sebudaya”. Semuanya menjadi sangat mengena dengan tampilan musik dan tari Nusantara.
Di hadapan ratusan penonton yang hadir selama tiga hari konser  bagaikan tersihir oleh berbagai penampilan seni, lagu, tarian, dan khususnya tari saman. Gemuruh tepuk tangan tanpa henti terdengar dari para penonton yang begitu serius mengikuti setiap atraksi seni yang dipentaskan.
Uniknya, penonton tidak hanya berasal dari Malaysia, tapi banyak juga yang datang dari Indonesia. Mereka secara khusus menikmati acara yang dimulai pukul 8.30 hingga 11.00 malam hari itu. Banyak tarian yang memikat perhatian pengunjung. Selain tarian saman ada juga tarian hadrah, jaipong, tari endeng-endeng, tari bugis, dan jathilan Ponorogo dari Indonesia.
Sementara delegasi Malaysia menampilkan tari samrah, tarian etnik Sarawak dan Sabah yang diiringi lagu tradisional. Konser Nusantara ini dimulai dengan perpaduan generasi baru dan lama dari kedua negara, yaitu Endang S Taurina dan Hafiz. Mereka berduet menyanyikan lagu Seiring Sejalan.
Usai tembang lawas dinyanyikan, diselingi dengan tarian dan penampilan seni musik kedua negara. Di saat tarian dan seni musik berlangsung, sangat terasa hampir tidak ada sedikit pun perbedaan kebudayaan di antara kedua negara berjiran ini, Indonesia dan Malaysia.
Usai tarian, penonton pun dihibur kembali oleh artis-artis yang sangat popular di negeri serumpun ini, yakni Rossa dan Siti Nurhaliza. Rossa mencairkan suasana di Panggung Sari Istana Budaya dengan lagu asal sunda, Mojang Priangan, diikuti medley Ayat-ayat Cinta dan Pudar.
Begitu pula Siti Nurhaliza yang menghibur penonton dengan lagu-lagu menarik, termasuk berduet dengan Hafiz menyanyikan lagu Muara Hati. Kemudian dilanjutkan dengan lagu-lagu bergenre tradisional, yaitu Balqis, Nirmala, Cindai, dan Joget 106 bersama Rossa.
Panggung Sari Istana Budaya juga dimeriahkan oleh lagu-lagu indah artis terkenal lainnya, seperti Elly Kasim (Ampun Madah), Yazer (Anak Kampung), dan Bob Yusuf (Tandang Bermadah). Panggung tersebut diakhiri dengan persembahan lagu Rasa Sayang oleh artis-artis terpilih.
Kemeriahan mencapai puncaknya ketika dengan penuh semangat dan kekompakan para penonton ikut menyanyikan lagu Rasa Sayang. Mendadak, rasa nasionalisme pun bangkit pada dada setiap anak negeri, karena mereka menyanyikan Rasa Sayang itu sambil memegang dan melambai-lambaikan bendera negara masing-masing.
Saya baru tahu, ternyata bendera kecil Merah Putih berada pada barisan di belakang kami. Kebetulan saja, kami kebagian yang bendera Malaysia. Aih, Indonesia-Malaysia ibarat saudara kandung. Andai tak dipisah Inggris-Belanda! ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.