Laporan _ Fela Felia Batubara
S
|
eni
Kontemporer menjadi pembahasan dalam diskusi Kemah Masyarakat Seni Nusantara
yang berlangsung pada 27-30 Desember 2013. Diskusi diadakan
selama dua hari, Sabtu dan Minggu setiap pagi hari
bertempat di Open Stage Taman Budaya Sumatera Utara.
Pada segmen ini, pembicara yang dihadirkan
seperti Raudah Jambak, Afrion, dan Suyadi San. Serta peserta yang hadir dari beberapa komunitas diberi
kebebasan untuk mendefinisikan arti dari kontemporer, lalu mendiskusikan semua
yang berkaitan dengan Seni Kontemporer.
Menurut Afrion, kontemporer adalah
sebuah kreativitas yang tiada batas, inovasi daur ulang yang semakin kreatif.
Dan yang kontemporer tersebut adalah proses kreatifnya, ketika ia berkembang
maka ia tidak kontemporer lagi.
Maksudnya, ketika proses kreatif
selesai maka seni itu tidak kontemporer lagi. Kalau belum selesai disebut
sebagai proses kreatif kontemporer bersifat sementara.
Sedangkan Raudah Jambak
mendefinisikan Kontemporer itu adalah kekinian, sesuatu yang baru dijadikan
berbeda dari yang lain atau sesuatu yang lama diolah kekinian hingga menjadi
istimewa.
Ia memberikan contoh dalam Sastra, yaitu pada puisi Sutardji
Calzoum Bahri merupakan bentuk mantra yang selalu dipergunakan pengobatan orang
sakit atau disebut teknik pengobatan. Pelopor kontemporer dalam puisi ini,
memanfaatkan media pengobatan sebagai puisi, pada saat itu buming atau menjadi sesuatu
yang baru maka disebutlah puisinya kontemporer.
Jika sudah berulang-ulang maka tidak
disebut kontemporer, karena tidak menjadi sesuatu yang baru lagi.
Berbeda dengan Suyadi San, yang
masih mempertanyakan mengapa zaman sekarang ini masih ada istilah
kontemporer? Dahulu, kini masih saja
membicarakan tentang kontemporer. Apakah beberapa tahun ke depan tetap
membicarakan kontemporer?
Jika dalam Sastra, selama ini
bentuknya ditradisi kata-kata seperti Pantun, Syair, Gurindam, Stanza, Oktav,
Soneta dalam bentuk puisi-puisi baru yang terpenjara dalam kata-kata. Kata-kata
memenjarakan makna atau disebut dengan konvensional. Suyadi San juga
mengungkapkan hal yang serupa dengan Raudah Jambak mengenai kekontemporeran Sutardji
Calzoum Bahri dan puisinya.
Menurutnya, Sutardji Calzoum Bahri membuat
sesuatu yang baru atau belum pernah dikenal, dengan mengutamakan bunyi-bunyi
pada puisinya yang lahir sekitar tahun 70-an. Pada saat itulah lahir istilah
kontemporer. Lalu bermunculan karya-karya kontemporer berikutnya seiring dengan
perkembangan zaman dan peralihan waktu.
Seperti Yudhistira A.N.M Massardi,
seorang sastrawan yang terkenal dengan gaya penulisannya yang menyentil melalui
humor-humor segar atau pada salah satu puisinya ‘Sajak Sikat Gigi’ yang
cenderung menyerupai iklan, kini menjadi kontemporer.
Atau yang pernah
dilakukan seniman Sumatera Utara Mangatas Pasaribu dalam bidan Seni Rupa,
melukis tanpa menggunakan kuas melainkan tubuh yang disebut dengan body
painting. Hal ini menjadi sesuatu yang luar biasa di Indonesia dan baru atau kontemporer.
Dalam bidang Sastra, menurut
Suyadi San, belum ada karya puisi sastrawan Sumatera Utara yang dianggap
kontemporer, tetapi kalau dalam karya cerita pendek penulis Hasan Al Banna
telah membuktikan kontemporer tersebut, dalam karya-karyanya yang absurd.
Dalam kesempatan ini,
peserta diskusi juga diberikan kebebasan dalam bertanya mengenai kontemporer
tersebut. Kebanyakan pertanyaan berisikan tentang mengapa, untuk apa, dan apa
manfaat kontemporer itu sendiri?
Suyadi San menyarankan
kepada seluruh peserta yang mengikuti diskusi atau Kemah Masyarakat Seni
Nusantara itu agar tidak terlalu berpatokan pada kontemporer, karena disini
tidak dituntut untuk menjadi kontemporer melainkan agar tetap senantiasa
berkarya.
Seni berdasarkan perkembangan
zaman, terdapat seni tradisi dan modern diantara itu ada mutakhir, mau itu
tradisi atau modern, kontemporer ataupun tidak kepada semua kreator agar tetap
konsisten dalam berkesenian. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar