Minggu, 12 Januari 2014

Beginilah Kadangkala Cara Tuhan Menjawab Doa (Sabtu 4 Januari 2014)


Cerpen : Dadang Ari Murtono 


T
uhan memang memiliki selera humor yang sukar dimengerti. Sekitar dua tahun yang lampau, saya mengalami hal itu. Waktu itu, saya sedang terlibat hubungan yang serius dengan seorang perempuan. Ah, mengingat perempuan itu sebenarnya merupakan suatu hal yang menyakitkan. Namun dengan tidak menyebutkan nama perempuan itu, saya kira, saya bisa sedikit mengatasi rasa sakit tersebut.
Dua tahun yang lampau, perempuan itu adalah perempuan yang cantik. Sebegitu cantiknya hingga rasa-rasanya tak ada lagi perempuan yang lebih cantik dari perempuan itu. Namun kini, dari foto profilnya di sebuah jejaring sosial, saya mengetahui bahwa dia sebenarnya tidaklah terlalu cantik. Saya tak mengerti kenapa begitu. Padahal wajahnya tidak banyak berubah selain sedikit sekali kerutan yang bertambah di bawah kelopak matanya. Bahkan, dia cenderung jelek dan saya bertambah tak mengerti bagaimana dulu saya bisa jatuh cinta kepadanya.
Ya, jatuh cinta. Dulu saya begitu tergila-gila dengannya sampai saya berpikiran bahwa saya tidak akan bisa melanjutkan hidup bila tidak bersama-sama dia. Dan karena pikiran itu, setiap hari saya berdoa agar bisa menikah dengannya. Namun keadaan begitu susah waktu itu. Maksud saya, keadaan keuangan saya sedang parah-parahnya. Saya seorang penulis. Dan, saya bukanlah tipe orang yang bisa terlibat dalam beberapa pekerjaan sekaligus.
Dan, karena saya mencintai pekerjaan saya sebagai seorang penulis lebih dari kecintaan saya pada pekerjaan lain, maka saya memutuskan untuk benar-benar menulis saja. Bergantung hidup dan berupaya menghidupi dunia kepenulisan. Saya keluar dari pekerjaan saya sebagai karyawan di perusahaan telekomunikasi dengan gaji yang cukup untuk berkeluarga.
Saya juga memutuskan mengundurkan diri dari sebuah bank milik pemerintah. Dan, ketika ibu saya ngomel-ngomel, saya berkata, Akan saya buktikan bahwa dari menulis pun saya bisa hidup dengan layak.
Dan, semenjak bertemu perempuan itu, lalu keinginan untuk menikah dengannya semakin hari semakin tumbuh. Semakin lama semakin kuat. Saya menjadi lebih rajin lagi menulis, berusaha menyiarkan tulisan-tulisan saya di koran-koran atau majalah, dan lebih giat lagi mencari info lomba-lomba penulisan dan mengikutkan tulisan saya pada lomba-lomba tersebut.
“Untuk menikah, kau butuh banyak biaya. Namun itu belum seberapa. Setelah menikah, kau akan punya tanggungan. Dan itu artinya, kau akan perlu lebih banyak lagi uang, demikian ibu berkata ketika aku menyampaikan keinginanku untuk menikahi perempuan tersebut.
Dengan banyak menulis dan mengirimkan tulisan-tulisan itu ke koran atau majalah, dengan mengikuti lomba-lomba kepenulisan, saya berharap bisa mendapatkan honor atau hadiah yang bisa saya pergunakan untuk biaya pernikahan kami.
Dan selain rajin menulis, saya juga jadi rajin berdoa. Berdoa agar tulisan-tulisan yang saya kirim ke koran atau majalah itu bisa diterbitkan, berdoa agar tulisan-tulisan yang saya ikutkan lomba bisa memenangkan lomba itu. Semua saya lakukan demi perempuan itu. Perempuan yang entah bagaimana bisa begitu saya cintai. Padahal sesungguhnya, bukan kali pertama itu saya jatuh cinta dan terlibat hubungan dengan perempuan.
Tiga kali saya berpacaran sebelum bertemu perempuan itu. Dan, tiga kali pula hubungan saya berakhir tidak bahagia. Selalu saja ada alasan mereka meninggalkan saya. Saya sudah lupa alasan-alasan apa yang mereka gunakan untuk meninggalkan saya. Namun yang jelas, dalam pikiran saya, mereka memang sudah bosan dengan saya, atau perasaan cinta mereka telah luntur. Dan sesungguhnya, tanpa alasan yang mereka buat-buat itu, mereka toh tetap akan pergi juga.
Tentu saja, saya juga memiliki banyak kenangan dengan tiga kekasih saya sebelum saya bertemu dengan perempuan itu. Kenangan-kenangan yang tidak melulu indah, namun juga diliputi rasa sakit yang terlalu. Kenangan-kenangan yang sebagian masih membekas di ingatan, dan sebagian yang lain terlupakan, seperti saya tak lagi ingat alasan kenapa mereka meninggalkan saya itu.
Perempuan itu, suka sekali bertanya tentang masa lalu saya. Tentang kekasih-kekasih saya yang telah meninggalkan saya. Bagaimana aku bisa mengenalmu dengan utuh bila aku tidak tahu masa lalumu? demikian selalu ia beralasan.
Dan saya begitu segan menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Bukan karena pertanyaan-pertanyaan semacam itu berpotensi membangkitkan kenangan dan rasa sakit dalam diri saya, namun jawaban dari pertanyaan itu justru berpotensi menyakiti dirinya sendiri. Berpotensi membangkitkan kecemburuan dalam dirinya. Dan, rasa cemburu itu rawan sekali menciptakan pertengkaran-pertengkaran yang tak perlu.
Saya sampai pada kesimpulan semacam itu karena saya berusaha menempatkan diri saya pada posisi orang yang bertanya. Sungguh, saya merasa sakit dan cemburu bila dia bercerita tentang kekasih-kekasihnya di masa lampau. Sakit dan cemburu yang bermuara pada perasaan menyesal yang purba: kenapa saya tidak mengenalnya dari dulu hingga ada orang lain yang menciptakan kenangan dengannya, hingga ada lelaki lain yang bukan saya yang menjadi bagian dari hidupnya dan kurun-kurun itu tentu saja tidak bisa dihapus?
Maka, saya lebih suka diam saja ketika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalu saya bersama mantan-mantan kekasih saya. Saya hanya ingin menjaga perasaannya, saya hanya ingin menjauhkannya dari rasa sakit. Menjaga dengan cara saya sendiri.
Namun, ia bukan tipe perempuan yang mudah menyerah dalam usahanya mencari tahu informasi tentang masa lalu saya. Ia tidak bosan-bosannya bertanya kepada saya. Dan, saya juga tak capek-capeknya diam saja atau mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
Semakin serius hubungan kami, semakin kerap dan gigih ia mencari tahu. Dan, semakin kerap dan gigih saya menulis dan berdoa supaya tulisan-tulisan saya bisa terbit di koran atau majalah atau memenangkan lomba-lomba penulisan. Saya benar-benar ingin segera menikah dengannya.
Pagi itu, dua tahun yang lampau, adalah pagi yang tidak akan bisa saya lupakan. Saya menghidupkan komputer setelah menunaikan sholat dhuha seperti biasanya dan berdoa supaya Tuhan memudahkan urusan saya sehingga saya bisa cepat menikah. Saya hendak menulis sebuah cerita ketika tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Nama perempuan itu yang muncul di layar ponsel. Dan, dengan hati berbunga-bunga seperti biasanya setiap kali mendapati dia menelepon atau mengirim pesan singkat, saya mengangkat ponsel saya.
Saya hanya sempat mengucapkan halo. Lalu tak ada lagi kata yang keluar dari mulut saya. Bukannya saya tidak ingin berbicara, namun dia tidak memberi saya kesempatan berbicara. Dia menjawab ucapan halo saya dengan sederetan kalimat yang terasa begitu menyakitkan bagi saya.
“Akhirnya aku bertemu dengan tiga mantan kekasihmu. Seminggu ini aku bergantian mendatangi mereka dan mereka menceritakan apa-apa yang pernah kau lakukan dengan mereka. Mulai dari ciuman-ciumanmu, senja-senja yang kalian habiskan bersama, hingga puisi-puisi yang kau tulis untuk mereka. Aku cemburu. Aku sangat cemburu. Dan, aku tak tahu lagi bagaimana cara mengatasi perasaan cemburu ini. Aku benci kau. Aku benci masa lalumu. Dan karenanya, aku tak tahu lagi apakah aku akan kuat menghabiskan masa depanku denganmu. Kupikir, lebih baik kita berpisah dan tak jadi menikah. Aku tidak kuat. Ah, seandainya saja kau tak punya masa lalu dengan mereka...
Saya melongo. Saya hendak mengatakan pembelaan diri, namun dia telah menutup teleponnya. Mematikan ponselnya. Dan, saya tidak bisa menghubunginya lagi. Semenjak saat itu, ia tidak lagi pernah menghubungi saya, apalagi mendatangi saya. Dia menghilang. Di rumah kontrakannya, ia juga tak lagi ada. Menurut orang yang punya kontrakan, ia pergi tanpa pamit sambil membawa barang-barangnya.
Saya merasa begitu nelangsa. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Dia cemburu pada masa lalu saya. Dan, apa yang bisa saya perbuat pada masa lalu saya untuk memperbaiki hal itu? Bukankah waktu tidak bisa diulang? Saya menjanjikan masa depan kepadanya, dan dia meninggalkan saya karena masa lalu saya.
Dengan perasaan sedih yang tak terkira, saya menceritakan semua itu kepada ibu saya. Dan ibu saya berkata, Tuhan telah menjawab doamu dengan cara-Nya sendiri. Tuhan menunjukkan kepadamu bahwa perempuan itu bukanlah jodohmu.
Ah, tapi bukan dengan cara seperih ini saya berharap Tuhan bakal menjawab doa saya. Tapi Tuhan memang aneh. Dan seringkali tidak bisa dimengerti, bukan?
“Tapi percayalah, Tuhan akan mengirim perempuan lain yang lebih baik untukmu, demikian ibu saya mencoba menghibur. Dan sampai sekarang, saya masih menunggu kejutan lain dari Tuhan. Sambil menerka-nerka dengan cara bagaimana Tuhan akan mengirim perempuan seperti yang dikatakan ibu itu. ***



Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah dan jurnal nasional. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama. Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar