Cerpen : Dadang Ari Murtono
T
|
uhan
memang memiliki selera humor yang sukar dimengerti. Sekitar dua tahun yang
lampau, saya mengalami hal itu. Waktu itu, saya sedang terlibat hubungan yang
serius dengan seorang perempuan. Ah, mengingat perempuan itu sebenarnya
merupakan suatu hal yang menyakitkan. Namun dengan tidak menyebutkan nama
perempuan itu, saya kira, saya bisa sedikit mengatasi rasa sakit tersebut.
Dua tahun yang lampau, perempuan itu adalah perempuan yang
cantik. Sebegitu cantiknya hingga rasa-rasanya tak ada lagi perempuan yang
lebih cantik dari perempuan itu. Namun kini, dari foto profilnya di sebuah
jejaring sosial, saya mengetahui bahwa dia sebenarnya tidaklah terlalu cantik.
Saya tak mengerti kenapa begitu. Padahal wajahnya tidak banyak berubah selain
sedikit sekali kerutan yang bertambah di bawah kelopak matanya. Bahkan, dia
cenderung jelek dan saya bertambah tak mengerti bagaimana dulu saya bisa jatuh
cinta kepadanya.
Ya, jatuh cinta. Dulu saya begitu tergila-gila
dengannya sampai saya berpikiran bahwa saya tidak akan bisa melanjutkan hidup
bila tidak bersama-sama dia. Dan karena pikiran itu, setiap hari saya berdoa
agar bisa menikah dengannya. Namun keadaan begitu susah waktu itu. Maksud saya,
keadaan keuangan saya sedang parah-parahnya. Saya seorang penulis. Dan, saya
bukanlah tipe orang yang bisa terlibat dalam beberapa pekerjaan sekaligus.
Dan, karena saya mencintai pekerjaan saya sebagai
seorang penulis lebih dari kecintaan saya pada pekerjaan lain, maka saya
memutuskan untuk benar-benar menulis saja. Bergantung hidup dan berupaya
menghidupi dunia kepenulisan. Saya keluar dari pekerjaan saya sebagai karyawan
di perusahaan telekomunikasi dengan gaji yang cukup untuk berkeluarga.
Saya juga memutuskan mengundurkan diri dari sebuah
bank milik pemerintah. Dan, ketika ibu saya ngomel-ngomel, saya berkata, “Akan
saya buktikan bahwa dari menulis pun saya bisa hidup dengan layak.”
Dan, semenjak bertemu perempuan itu, lalu keinginan
untuk menikah dengannya semakin hari semakin tumbuh. Semakin lama semakin kuat.
Saya menjadi lebih rajin lagi menulis, berusaha menyiarkan tulisan-tulisan saya
di koran-koran atau majalah, dan lebih giat lagi mencari info lomba-lomba
penulisan dan mengikutkan tulisan saya pada lomba-lomba tersebut.
“Untuk menikah, kau butuh banyak biaya. Namun itu
belum seberapa. Setelah menikah, kau akan punya tanggungan. Dan itu artinya,
kau akan perlu lebih banyak lagi uang,” demikian ibu berkata
ketika aku menyampaikan keinginanku untuk menikahi perempuan tersebut.
Dengan banyak menulis dan mengirimkan tulisan-tulisan
itu ke koran atau majalah, dengan mengikuti lomba-lomba kepenulisan, saya
berharap bisa mendapatkan honor atau hadiah yang bisa saya pergunakan untuk
biaya pernikahan kami.
Dan selain rajin menulis, saya juga jadi rajin berdoa.
Berdoa agar tulisan-tulisan yang saya kirim ke koran atau majalah itu bisa
diterbitkan, berdoa agar tulisan-tulisan yang saya ikutkan lomba bisa
memenangkan lomba itu. Semua saya lakukan demi perempuan itu. Perempuan yang
entah bagaimana bisa begitu saya cintai. Padahal sesungguhnya, bukan kali
pertama itu saya jatuh cinta dan terlibat hubungan dengan perempuan.
Tiga kali saya berpacaran sebelum bertemu perempuan
itu. Dan, tiga kali pula hubungan saya berakhir tidak bahagia. Selalu saja ada
alasan mereka meninggalkan saya. Saya sudah lupa alasan-alasan apa yang mereka
gunakan untuk meninggalkan saya. Namun yang jelas, dalam pikiran saya, mereka
memang sudah bosan dengan saya, atau perasaan cinta mereka telah luntur. Dan
sesungguhnya, tanpa alasan yang mereka buat-buat itu, mereka toh tetap akan
pergi juga.
Tentu saja, saya juga memiliki banyak kenangan dengan
tiga kekasih saya sebelum saya bertemu dengan perempuan itu. Kenangan-kenangan
yang tidak melulu indah, namun juga diliputi rasa sakit yang terlalu.
Kenangan-kenangan yang sebagian masih membekas di ingatan, dan sebagian yang
lain terlupakan, seperti saya tak lagi ingat alasan kenapa mereka meninggalkan
saya itu.
Perempuan itu, suka sekali bertanya tentang masa lalu
saya. Tentang kekasih-kekasih saya yang telah meninggalkan saya. “Bagaimana
aku bisa mengenalmu dengan utuh bila aku tidak tahu masa lalumu?”
demikian selalu ia beralasan.
Dan saya begitu segan menjawab pertanyaan-pertanyaan
semacam itu. Bukan karena pertanyaan-pertanyaan semacam itu berpotensi
membangkitkan kenangan dan rasa sakit dalam diri saya, namun jawaban dari
pertanyaan itu justru berpotensi menyakiti dirinya sendiri. Berpotensi
membangkitkan kecemburuan dalam dirinya. Dan, rasa cemburu itu rawan sekali
menciptakan pertengkaran-pertengkaran yang tak perlu.
Saya sampai pada kesimpulan semacam itu karena saya
berusaha menempatkan diri saya pada posisi orang yang bertanya. Sungguh, saya
merasa sakit dan cemburu bila dia bercerita tentang kekasih-kekasihnya di masa
lampau. Sakit dan cemburu yang bermuara pada perasaan menyesal yang purba:
kenapa saya tidak mengenalnya dari dulu hingga ada orang lain yang menciptakan
kenangan dengannya, hingga ada lelaki lain yang bukan saya yang menjadi bagian
dari hidupnya dan kurun-kurun itu tentu saja tidak bisa dihapus?
Maka, saya lebih suka diam saja ketika ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang masa lalu saya bersama mantan-mantan kekasih
saya. Saya hanya ingin menjaga perasaannya, saya hanya ingin menjauhkannya dari
rasa sakit. Menjaga dengan cara saya sendiri.
Namun, ia bukan tipe perempuan yang mudah menyerah
dalam usahanya mencari tahu informasi tentang masa lalu saya. Ia tidak
bosan-bosannya bertanya kepada saya. Dan, saya juga tak capek-capeknya diam
saja atau mencoba mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
Semakin serius hubungan kami, semakin kerap dan gigih
ia mencari tahu. Dan, semakin kerap dan gigih saya menulis dan berdoa supaya
tulisan-tulisan saya bisa terbit di koran atau majalah atau memenangkan
lomba-lomba penulisan. Saya benar-benar ingin segera menikah dengannya.
Pagi itu, dua tahun yang lampau, adalah pagi yang
tidak akan bisa saya lupakan. Saya menghidupkan komputer setelah menunaikan
sholat dhuha seperti biasanya dan berdoa supaya Tuhan memudahkan urusan saya
sehingga saya bisa cepat menikah. Saya hendak menulis sebuah cerita ketika
tiba-tiba ponsel saya berbunyi. Nama perempuan itu yang muncul di layar ponsel.
Dan, dengan hati berbunga-bunga seperti biasanya setiap kali mendapati dia
menelepon atau mengirim pesan singkat, saya mengangkat ponsel saya.
Saya hanya sempat mengucapkan halo. Lalu tak ada lagi
kata yang keluar dari mulut saya. Bukannya saya tidak ingin berbicara, namun
dia tidak memberi saya kesempatan berbicara. Dia menjawab ucapan halo saya
dengan sederetan kalimat yang terasa begitu menyakitkan bagi saya.
“Akhirnya aku bertemu dengan tiga mantan kekasihmu.
Seminggu ini aku bergantian mendatangi mereka dan mereka menceritakan apa-apa
yang pernah kau lakukan dengan mereka. Mulai dari ciuman-ciumanmu, senja-senja
yang kalian habiskan bersama, hingga puisi-puisi yang kau tulis untuk mereka.
Aku cemburu. Aku sangat cemburu. Dan, aku tak tahu lagi bagaimana cara
mengatasi perasaan cemburu ini. Aku benci kau. Aku benci masa lalumu. Dan
karenanya, aku tak tahu lagi apakah aku akan kuat menghabiskan masa depanku
denganmu. Kupikir, lebih baik kita berpisah dan tak jadi menikah. Aku tidak
kuat. Ah, seandainya saja kau tak punya masa lalu dengan mereka...”
Saya melongo. Saya hendak mengatakan pembelaan diri,
namun dia telah menutup teleponnya. Mematikan ponselnya. Dan, saya tidak bisa
menghubunginya lagi. Semenjak saat itu, ia tidak lagi pernah menghubungi saya,
apalagi mendatangi saya. Dia menghilang. Di rumah kontrakannya, ia juga tak
lagi ada. Menurut orang yang punya kontrakan, ia pergi tanpa pamit sambil
membawa barang-barangnya.
Saya merasa begitu nelangsa. Saya tidak tahu apa yang
harus saya lakukan. Dia cemburu pada masa lalu saya. Dan, apa yang bisa saya
perbuat pada masa lalu saya untuk memperbaiki hal itu? Bukankah waktu tidak
bisa diulang? Saya menjanjikan masa depan kepadanya, dan dia meninggalkan saya
karena masa lalu saya.
Dengan perasaan sedih yang tak terkira, saya
menceritakan semua itu kepada ibu saya. Dan ibu saya berkata, “Tuhan
telah menjawab doamu dengan cara-Nya sendiri. Tuhan menunjukkan kepadamu bahwa
perempuan itu bukanlah jodohmu.”
Ah, tapi bukan dengan cara seperih ini saya berharap
Tuhan bakal menjawab doa saya. Tapi Tuhan memang aneh. Dan seringkali tidak
bisa dimengerti, bukan?
“Tapi percayalah, Tuhan akan mengirim perempuan lain
yang lebih baik untukmu,” demikian ibu saya mencoba menghibur. Dan sampai
sekarang, saya masih menunggu kejutan lain dari Tuhan. Sambil menerka-nerka
dengan cara bagaimana Tuhan akan mengirim perempuan seperti yang dikatakan ibu
itu. ***
Dadang Ari Murtono, lahir
dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat
kabar, majalah dan jurnal nasional. Sebagian yang lain menjadi bagian dari
antologi bersama. Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat
dalam kelompok suka jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar