DETIK YANG ERAT
BERJABAT
Kepada
Nura
sepuluh
bulan lalu
aku
datang mengetuk
segenggam
kubawa
pada
hati yang meronta
sebelum
tengah malam
aku
hampiri kau
segenggam
itu kutawarkan
aku
pun merunduk pulang
jangan
tanya mengapa
karena
kau tahu sebab mengapa
lewat
tengah malam
aku
dengar kabar kau terima tawaranku berlayar
adakah
tanda tanya dibalik bahagia
jika
itu kutemu tanpa sia
30
hari lalu resmi kau peluk aku
dan
aku genggam erat jemarimu
kitapun
ranum pada tangkai yang menjulang
DI DEPAN CERMIN
Di
depan cermin
Sesali
itu bersendawa
Di
depan cermin
Kau
mengupat dan menggugat
Di
depan cermin
Kau
remuk foto impian
Lalu
kau inginkan waktu hanya sekian
Kau
ingin melangkah menuju pintu
Tapi
kakimu tak mampu
Kau
mencoba menuju jendela
Tapi
jendela telah menjelma tirai batu
Oh,
rindu yang kelu tak jua lalu
Oh,
rindu yang lalu kini jadi belenggu
Dalam
senyapmu
Angin
asing masuk dari lubang pintu
Pelanpelan
lalu menyergap
Memekapmu
dan akhirnya memaksa
Untuk
katakan tidak
Tidak
untuk yang tidak
Dan
di depan cermin
Kau
angkat muka
Kau
busungkan dada
Lalu
cermin itu memantulkan rupa
Yang
kau rindu saban masa
Percut, 27 April
2012
MERIANG
dingin
kaku tubuh siapa
matanya
malam tak kerdip syarat petanda
bersimpuh
tangan baring turun dari dada
seolah
anak tak pandai baca
dadanya
liang pohon kamboja
pelindung
terik, penangkis hujan
sedangkan
bunga teman bersenda
ada
tangis
ada
senda
lantas
inikah kepergian
atau
sekedar awal kedatangan
Percut, 2012
KAKTUS UISU
YANG TAK TERDEKAP
kerut
keningmu terpajang jelas di beranda
bau
tubuhmu terasa asing bagi mereka yang bersepatu kulit buaya
aku
begitu dengki bila mengupatmu
tapi
kedengkian menjadi hidangan pemuas
yang
di pasarkan bebas di alam raya
mereka
suka membelinya, yang dibungkus bagai merica
lalu
memasaknya dengan segala tatap di atas api ketidakmampauan
kulitmu
laksana dedaun yang rebah di halaman
tak
tersapu lagi
tapi
aku tahu, di baliknya tersimpan tekat
laksana
kayu laut yang terpancang di tepian
rambutmu
yang tak terkibas angin
bibirmu
yang tak mampu mengisaratkan hujan malam tadi
menjadi
karakter manusia yang luput dari mata
tapi
takkan mampu tepis dari rasa.
Percut, 2012
SEPENGGAL CERITA
TENTANG KAU
Kau
bagai kota yang ditinggal para penduduknya
Tak
ada isyarat gemerlap
Sebongkah
prahara menjadi panorama
Kau
bagai laman yang rahimnya kerontang
hingga
rumputpun enggan berkerling mata
kau
bagai sepotong roti
yang
tak lahirkan birahi
lapar
bukan pacar dari adamu
kini
tubuhmu serupa hujan
yang
lupa musim pulang
Percut, 2012
JEJAK
jejakjejakku
masuk dalam jejakjejakmu
dan
merupa
rupa
yang merupa dalam rupaku
lalu
tersipu
mengapa
kau pukauku dalam pukaumu
mengapa
yang
kutahu kita masih begitu basah
tapi
mengapa menyala
kini
kukian memahami artimu akanku
begitu
jauh dan nyata
yakinlah
!
2012
YANG TAK
TERDEKAP
dari
dindingdinding kaca tersamar air mata
aku
tak faham milik siapa
ah,
mungkin aku mabuk karena seloki wisky dari saku kemeja
kusapu
wajahku, kiranya ini bukan mimpi yang hadir mendahului tidur
kembali
dinding-dinding kaca jadi dermaga
mataku
tak yakin itu nyata atau sekedar fatamorgana, embun telah melekat di sana
rembulan
tak lagi merona, malam dan tentaranyapun telah berjaga
tapi
air mata itu tetap membayang dan menguras tenaga
aku
kembali mengusap-usap muka
adakah
aku mabuk hanya karena seloki wisky dari saku kemeja
sedangkan
air mata itu adakah nyata
lantas
milik siapa
Percut, 2012
Syafrizal
Sahrun.
Lahir di Desa Percut/04 November1986. Beralamat di Jl. H.M. Harun No.163 Dusun
II Desa Percut Kec. Percut Sei Tuan Kab.
Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara – 20371. Aktif menulis puisi dan esai
sastra di beberapa Koran lokal : Analisa,
Mimbar Umum, Medan Bisnis dan Wapada.
Puisi saya juga dimuat dalam Antologi
Suara Peri dan Mimpi, Antologi Cahaya dan Tarian Angin (Laboratorium Sastra). Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU, sekarang
tengah menjalani Program S2 di Pascasarjana UMN. Bekerja sebagai guru Bahasa
dan Sastra Indonesia. Bergiat di
Komunitas Insan Sastra Indonesia, KAKTUS UISU dan Komunitas Home Poetry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar