Sabtu, 23 Juni 2012
Ihwal Kenangan
Cerpen : Arda Mahira
Seperti biasa. Aku, kau
dan pagi dengan dua cangkir biru yang masih mengepulkan aroma coklatnya. Di
sini, seperti biasa, kita bersila di depan meja kayu bundar, tempat kita kerap
kali mengintip pagi dan arakan awan yang bergulung-gulung di Timur.
Ini Jumat pagi, sisa gerimis subuh tadi masih menempel di
dedaunan. Ya, ini hari libur kita, saat kita bisa “bermalasan”. Kamu dan aku
memang bekerja di rumah- SOHO (Small Office House Office). Ya, di
beranda ini resmi kita buka tempat usaha masing-masing, kamu dengan dunia IT
dan fotografi, dan aku dengan seabrek dunia kepenulisan. Sedari awal,
kita sepakat memberi nama usaha dari nama kedua anak kita. Kamu sempat menolak,
tapi akhirnya mengangguk, setelah teringatkan bahwa “Bukankah anak itu
pembawa rezeki?”
***
Seperti biasa pula, tiap pagi, selalu, ada saja kisah yang kita
cakapkan. Di sini, kamu begitu bersemangat bercerita ihwal asyiknya kemarin
sore saat berbecek-ria di Pajak Sukaramai. Takjub dengan pemandangan pajak yang
turut diramaikan anak-anak kecil penjaja plastik kresek berukuran besar, Takjub
merasai bagaimana serunya berjingkrak-jingkrak melintasi jalan yang becek penuh
kubangan di sana-sini sambil tawar-menawar dengan para penjual yang
ramah-ramah.
Ceritamu selalu mengalir, ya, kadang, sesekali aku yang bercerita,
tapi tak pernah seseru dirimu. Kamu pencerita ulung di tiap pagi kita. Kejadian
Ini terus kita lakukan, tiap hari, tiap pagi. Kita tahu, ini guna mengikat
tali-tali hubungan kita agar tak terlepas sedikitpun. Tentu percakapan di
beranda ini akan bermula, selepas kita beriring berjalan kaki pagi, mengantar
si kembar Rai dan Najwa ke TK-nya yang tak lain TK milik Bu’de mereka, Bu’de
Zulaika.
Sejam lebih. Masih di beranda. Tangan yang selalu lembut itu
menjulur. Memeluk punggung tanganku. Mata kita bertubrukan. Jelas, Ada bening
di sana, dalam, sangat dalam. Sesuatu yang membuatku yakini, ada lara yang
menyinggahi perempuanku ini, mahluk yang seumpama malaikat, sosok yang buatku
selalu lekat. Ya, setahun berada serumah, dan masa-masa memintal rasa selama
dua tahun lalu, buatku paham betul apa yang terjadi pada wanita di depanku ini.
Ya, ini tepat tahun yang ke-5 lelaki terhebat dalam hidupmu telah
lebih dulu menuju surga. Aku sangat percaya, Air mata perempuanku bukan
mengalirkan rasa sedih, tapi, sungguh sebuah kebahagiaan karena memiliki
kerinduan yang hebat, karena bahagia, bangga , karena mempunyai rindu itu. Ya,
kerinduan pada lelaki yang dalam diamnya berbicara, yang dalam diamnya
menyayangi wanita yang sangat dijaganya, wanita yang kini kucintai.
Di sini, kita. Masih di meja bundar. Lekat kutatap perempuanku,
masih ada bulir air melandai di pipimu, bulir yang ditimpa kilatan bias mentari
itu. Diam jadi teman. Celotehmu yang biasa menggemericik membincang: “Mas,
enaknya menu makan siang nanti apa ya?” atau Tentang kritik
tulisan-tulisanku yang habis kamu baca, tentang kebiasaan aneh Rai dan Najwa
yang buat kita saling selidik: “Ini nurun dari siapa?”, tentang
kerjamu, tentang, tentang dan tentang segala hal yang membuatku selalu merasa
teduh, larut, tenggelam dalam ceritamu, tenggelam dalam tatap beningmu, tapi
kini kamu diam.
Aku bangkit. Masuk rumah dan kembali dengan membawa sebuah buku
tebal, semacam diary. Kusodorkan itu padamu.
“Ini apa?” tanyamu pelan, halus, nyaris bergumam.
“Bacalah,” kataku. Perempuanku hanya menatap kosong, ada tanda
tanya, namun ia penasaran, apa sebenarnya buku bersampul hijau turkis itu?
Tangan itu ragu menjulur. Aku lebih mendekatkan buku itu dan berkata, pelan
sekali.
“Ini diary tentang kita, yang kutulis diam-diam sejak awal
kita ketemuan,” aku menatap sumber beningmu, ada cahaya. “Sudah saatnya kamu
membacanya, mungkin ada yang terlewatku,” sambungku sembari menyentuh lembut
lenganmu. Kamu menatap, aku mengangguk, Kamu pun mengangguk. Ulas senyum tipis
pun beradu.
***
17 Februari
2010
Di toko buku Sembilan wali. Aku berniat menuju kasir, membawa
sebuah buku mungil hasil mengubek-ubek tumpukan buku yang berlabel diskon 30%.
Dalam hati kutertawa, konyol rasanya berjam-jam berkubang buku, eh! Yang
diboyong Cuma sebiji, kecil pula, murah lagi… ck ck ck.
Selesai membayar, aku mau cepat-cepat pulang. Tapi, tak sengaja
lenganku menyenggol sejumlah buku yang digenggam seorang gadis berperawakan
sedang, berjilbab pink.
“Oooh!” Hanya kata itu yang meluncur dari bibir tipisnya. Matanya membulat,
menaikkan bulu matanya yang lentik. Sisanya, yang terdengar adalah suara buku
yang jatuh kelantai.
“Braakk!” sejumlah orang melihat. Sekilas. Lalu berpaling dan
kembali beralih pada kesibukanannya.
“Eh, oh, anu…,” aku tergagap. “Em, maaf, maaf…,” kataku terburu
meminta maaf. Ada diam di raut itu, tapi tak keruh, sungguh! Ia mempesona dalam
sederhananya. Benar-benar sosok yang sederhana.
“Enggak papa…,” balasnya datar, dingin. Aku berinisatif memunguti
buku-bukunya, dan aku mematung pada sebuah buku. Gadis itu pun mematung heran,
lantas ia bertanya.
“Kenapa dengan buku itu? Ada yang aneh?” tanyamu.
“Nggak… nggak… aku cuman suka sama novel ini,” sahutku seraya
menyodorkan kembali buku tebal bercover Sembilan padanya. “Aku sudah baca, 3
kali,” sambungku.
“Oh ya? Kan bagus bukunya?” tanyanya.
Begitulah, dan pembicaraan pun mengalir, deras seperti air sungai,
seolah pembicaraan ini seumpama itu, terus bergerak, menandakan ada yang sama,
hidup, rasa, yang kian tumbuh.
2 april 2010.
Sebuah kutipan dari salah satu novel kesukaanku.
"...Cinta itu harus diungkapkan, kecuali oleh orang yang
terlalu mencintai dirinya sendiri..."
Boi! Aku belum bisa ngomong apapun.
***
Kamu menutup buku, lantas tersenyum. Seolah beberapa lembar laramu
menguap.
“Abang masih ingat saat aku cerita tentang keluargaku,
seluruhnya?” selidikmu seraya menatapku lekat-lekat. Aku mengangguk, meraih
buku itu, lalu sibuk membolak-balik halaman dan menunjukkan satu lembar kusam
di bagian pertengahan. Perempuanku lekas-lekas membacanya.
10 mei 2011
Kita sudah jadian. Dan sumpah! Sepertinya caraku mengutarakannya
sangat konyol.
Gadis itu mulai terbuka. Banyak ceritanya yang kian membuatku
kagum, percaya, bahwa dilembutnya ada kekuatan yang luarbiasa, kekuatan seorang
wanita, kekuatan yang dibangun dengan hati, dan cinta.
Barusan ia bercerita tentang rinai hujan yang kerap menyapa
beranda rumahnya, tempat ia dan lelaki terhebatnya khidmat menikmati
pemandangan kolam mungil yang tak jauh dari rumah. Saat itu, ikan-ikan
bermunculan kepermukaan dan menyuguhkan tarian terindah mereka, seolah merayu
untuk ikut serta menikmati basahnya hujan. Saat-saat seperti inilah,
senyum lelaki terhebatnya tersuguh begitu bersahaja, namun melihatnya
begitu, itu cukup menghangatkan hatiku. Tuturnya lirih.
Saat itu aku hanya mengangguk dan kagum dengan kedua anak-beranak
ini. Pada ikatan yang ada pada mereka. Lantasku bertanya lagi, “ada lagi yang
berkesan?” Tanyaku pelan, seperti berbisik. Gadis itu mengiyakan dan
mengalirkan ceritanya yang lain.
“Saat itu aku masih SMP, lebaran sebentar lagi tiba,
berhubung bunda kerja, sekolahku juga tak libur, jadi kami sekeluarga belum
sempat buat roti lebaran. Sore itu tercetus ide antara aku dan bunda untuk buat
roti, dan yang paling menggembirakanku, ayah bersedia untuk ikut serta dalam
kerepotan kami. Aku bahagia sekali, soalnya ayahku adalah sosok pria yang
sangat...hem... pokoknya enggak nyangka mau berpartisipasi dalam hal dapur.
Anehnya lagi, besok ayah memberi kejutan yang hingga kini paling aku ingat, ia
belikan mainan mobil – mobilan warna putih berukuran sedang, mainan
kesukaanku, saat itu aku sangat bahagia, sangat.”
Saat kau bercerita tentang itu, senja sudah mulai tenggelam di
barat. Meski kelihatan lelah, gadis itu masih terus bercerita, seolah ia memang
harus menumpahkan semuanya, segala isi hatinya. Ya, hari ini tlah ada yang
mempercayakan hidupnya padaku, aku akan menjaganya, gumamku.
***
Pagi ini. Masih kau rindui hujan itu? Basah yang menimpa-nimpa
kepala, memantulkan percikan kenangan? Masih tergenang lara itu? Tempat
berkaca, melihat masa lalu, merindu, meski kita yakini masa lalu adalah sesuatu
yang hanya bisa kita miliki dalam bingkai kenangan.
Kita. Masih di meja bundar. Di sini, jam yang sudah pada angka 10,
langit sepi, udara pun enggan hilir-mudik membawa udara yang masih juga
mendung. Ah, cocok benar siang nanti makan tempe mendoan dan sayur
genjer khas buatanmu, batinku.
Aku menatapnya lekat-lekat, mendekatkan wajahku dan berbisik lirih
“Ti, bahuku kan selalu ada untukmu. Selalu.” Janjiku, kukuh.
Pagi sudah merangkak siang. Cuaca masih teduh. Kita melangkah
meninggalkan beranda, memasuki rumah. Tak lama, celoteh riang kita terdengar,
dari arah dapur.
DuniaKOMA,
17.32.11.4.12.
Arda Mahira alias Muhammad Anhar, adalah Penggagas dan Pembina di
KOMA Medan. Saat ini bekerja
sebagai pendidik di SMP Al-Azhar. Beberapa tulisan tersebar di media lokal
maupun nasional. Kumcer “Sebingkai Cerita” (Najwa Publisher, Desember, 2011)
adalah buku
Sabtu, 16 Juni 2012
JINGGA BUKAN MERAH MUDA
Cerpen : Faidul Hidayati Siska Ginting
Tak sanggup ikuti alur lisanku. Apa yang telah dimuntahkannya?
Muntah warna-warni yang sebenarnya tak pernah kusuka. Berderet-deret kisah
akupaparkan, berbuih-buih, sampai letih telinga tangkap gelombang yang
dikeluarkannya.
Mula pada jingga yang
memaksa jadi merah muda. Ya, hingga kini aku tetap namakannya jingga. Jingga.
Kukata ia jingga musabab ia kerap usik lukisanku namun cerah. Ia yang turut
ramaikan pola pada lukisan yang ada.
Mula ia warna yang belum
kuberi nama, lantas semrawut rusak sketsa yang telah kubuat lamat-lamat. Aku
memutihkan warna, tak ingin ia ada. Bukannya pergi menyerah, ia malah
semakin suka menggoda agar aku turutkannya dalam deret warna yang kupunya.
Semakin kuat aku berusaha semakin kokoh ia memaksa.
Dia tertawa renyah saat aku
menggeram marah.
AKU TAK INGIN KAMU ADA
DALAM SUSUN WARNA!!! Cukup kuat kurasa akuungkapkan rasa. Terlalu sering
mungkin kukata. Kau terus mendengarnya menggema-gema dalam dada. Lantas pecah
semua. Kamu tak lagi merusuh, aku tenang dalam lukisanku. Tenang? Ya,
tapi setelahnya kalbu meraut pasi biru. Aku rasa sedikit layutan pasira mangaduhmu.
Lukisanku didominasi warna
seakan kelabu. Ternyata gangguanmu pada warnaku selama lebih dari purnama
ketiga puluh telah mampu cairkan es batu di kepalaku. Dan tak perlu kupanggil,
kau segera menyongsong meminta lagi permintaan yang sama.
“Biarkan aku masuk dalam
deret warnamu!” Maka setelahnya kuberi nama kau jingga. Karena kau cerah. Aku
kembali masyuk dengan lukisanku.
Sepertinya memang watakmu
senantiasa menggeliat kala sabit singgah cerahkan wajahku. Kamu marah. Kamu tak
terima kala kuturutkan warna baru dalam lukisanku.
Padahal menurutku, biru
muda sangat indah dan mengindahkan lukisanku–yang mungkin tak seberapa itu.
Padahal kamu tahu aku selalu suka biru. Padahal kamu tahu biru cerahkan
sekaligus tenangkanku. Kamu protes memintaku mengganti namamu.
“Jika ia bisa jadi biru
muda, biarkanlah aku yang menjadi merah muda.” Begitu katamu dulu. “Aku lebih
pantas cerahkan dan tenangkanmu, karenanya biarkan aku menjadi merah jambu.”
Selalu teriakmu lagu itu, kadang pula lewati bayu mendayu.
Kalian dengar itu,
jingga meminta jadi merah jambu. Sakit kepalaku dibuatnya. Berkali-kali.
Memang tak kenal putus asa ia membujukku. Tak putus-putus lagu itu
disenandungkannya. Berulang-ulang. Makin sakit kepalaku dibuatnya.
Tapi aku tak bisa, kamu
tetaplah jingga bagiku. Dan ia masih biru muda pada lukisanku (kala itu). Kamu
terus memaksa menjadi merah muda, tak kenal lelah. Namun aku benar- benar tak
bisa.
Pernah juga sekejap
kuanggap tak apalah jadikan kamu merah muda dari pada pusing kepala. Namun
hanya sekejap, benar-benar sekerlipan mata. Karena aku benar-benar tak bisa.
Kamu tetap jingga dan ia biru muda. Mungkin karena takut, aku tak mau lagi
turutkannya dalam warna atau malah sama sekali berhenti kuaskan warna,
kauhentikan permintaanmu.
Dan kita kembali seperti
yang memang seharusnya, kamu adalah jingga.
Aku belajar seiring waktu.
Belajar teknik sempurnakan lukisanku dan sungguh aku sangat menikmati semua
itu. Aku mengenal biru yang berbeda, hujan yang senantiasa merdu, dan
tentu saja mentari yang hidupkan lukisanku.
Beruntung aku dapat
bimbingan sehingga aku semakin selektif memilih warna semua demi sempurnakan
lukisan. Aku ingin menang pada pameran nantinya. Tak semua warna sering kuguna.
Biru muda yang pertama kusimpan di laci. Belum masanya ia harus ada. Terlebih
merah muda yang memang belum sekali pun kukeluarkan dari kotaknya meski pernah
ada yang memaksa.
Lantas dengan maaf kupinta
jingga turut rela akan gaya melukisku yang berbeda. Kukata padanya, gaya baru
ini kan bantuku menangkan pertandingan lukisan kemudian jika kubisa sempurna
lakukannya.
Jingga setuju, hanya saja
memintaku mau sekali waktu gunakannya sebagai warna. Aku angguk kepala. Mulai
lagi aku melukis dengan gaya baru. Kali ini dengan kalbu tanpa gemuruh. Jingga
telah lebih lapang dada setelah purnama keenam puluh. Aku pun masih akui kamu
adalah jingga.
Kuakui aku semakin jarang
menggunakan kamu sebagai jingga. Kuganti kamu dengan jingga-jingga baru. Jingga
yang tak pernah memaksa menjadi merah muda. Jingga yang miliki rona berbeda,
lebih lembut, namun cerah. Jingga yang semakin sempurnakan lukisan. Aku semakin
dekati kemenangan.
Namun bukan berarti
kunafikan kamu sebagai warna. Kamu tetap jingga, hanya saja lebih jarang
kuguna. Namun kamu tetap warna kusuka. Tapi ternyata kamu masih tidak terima.
Tepat dua belas sabit berlalu, kamu kembali memaksaku mengubahmu menjadi merah
jambu.
Jingga. Berulang kali
kukata kamu adalah jingga. Tetap jingga. Takkan bertransformasi menjadi biru
muda terlebih lagi merah muda. Kamu tetap jingga bagiku meski berbeda dengan
jingga lain yang kupunya. Mengapa kamu tak pernah bisa terima? Kamu tak bisa
terima maka pergi mengunci diri di laci.
Ya, mungkin ini lebih baik
dibandingkanmu tetap memaksa dan memuncrat semrawutkan lukisan. Mungkin kamu
bisa temui pelukis lain yang akui kamu merah jambu. Pelukis yang selalu butuh
rona jingga sepertimu dalam pola lukisnya. Namun itu bukan aku. Aku tak bisa.
Aku tak kenan bila
tiba-tiba kau muncrat sendiri melepoti lukis yang kubuat jali rapi. Aku takut
sekali bila juri sampai mendiskualifikasi. Makanya kubiar kamu kunci diri dalam
laci. Karena aku ingin menang dalam pameran. Tak mengertikah kamu?
Jingga. Kamu tetap jingga
bagiku. Meski lewat dua belas sabit berlalu tanpa sedikit pun ronamu, aku masih
akui kamu tetap jingga dalam lukisanku. Meski kamu tak bisa terima lakuku dan
masih tak mau kupakai untuk sketsaku, namun selalu, kamu tetap jingga bagiku.
***
Faidul Hidayati Siska
Ginting atau yang biasa di panggil Siska adalah putri pertama pasangan Salwadi
Ginting, S.H dan Dra. Masdelina Sagala, M.Pd. Cucu pertama keluarga
Sagala ini lahir di Binjai, 27 Oktober 1990. Mulai merangkai aksara sejak berok
merah hanya saja mulai vakum mengirim karya ke media massa sejak berkuliah di
Fakultas Kedokteran Unsyiah, 2009. Pernah menjuarai lomba baca puisi
se-Sumatera Utara 2002, Juara V Sayembara Menulis Cerpen Balai Bahasa Medan
tahun 2007 dan 2008. Coretan dulu ada sesekali mampir di Analisa dan Waspada.
Terakhir kali mencoba kembali menulis puisi dan peroleh juara 3 pada Pekan
Seni Mahasiswa Unsyiah 2010. Pensiun sebagai bendahara BEM FK Unsyiah,
kini Siska mencoba merintis tumbuhnya iklim ilmiah di Unsyiah dengan
membentuk UKM Cendekia Unsyiah yang bermitra langsung dengan MITI
Mahasiswa. Siska bisa dihubungi di 081361769518 atau fb
faysiska@yahoo.com.
Sabtu, 2 Juni 2012
Buku Hatiku dan Dia
Cerpen : Ria Ristiana Dewi
Dara... yang sesungguhnya, aku tak ingin lagi
menuliskan sesuatu di buku hati ini. Yang tergerus gelombang amarah, terkapar
di aliran yang deras berinisial kekecewaan. Mataku selalu saja ingin
membengkak, padahal kau selalu mengatakan, ”Ingatlah Abangda, kau adalah
lelaki!”
Entahlah Dara, mungkinkah aku selalu tak mampu memenuhi mimpi-mimpi itu. Kita
berlayar di atas kapal kemenangan dan mengibarkan bendera kebahagiaan. Aku tak
pernah tahu hendak di mana akan kulabuhkan wajah merah yang terlanjur hanyut
terbawa warna kehidupan. Dalam kabar ini, aku sempat membaca perihal dusta.
Guruku sempat mengajarkannya padaku saat masih di madrasah dahulu. Aku tertarik
menguaknya di permukaan jalan kita. Ini tentang kata-kata yang sempat kau
lontarkan, ”Janganlah berdusta!”
Kata-kata itu menyempitkan aliran saraf darah dan jantungku membengkak tak
mampu bernapas dengan benar. Aku menariknya pelan-pelan dan berupaya lebih
tenang, Dara. Jika saja kau
tahu bukanlah dusta yang ingin kuciptakan sesungguhnya. Buku hati, aku rindu
buku hati ini. Tentang bagaimana kita selalu dibuai rasa marah, kecewa, bosan,
bahagia, puas, ataupun kesungguhan hati. Lagi-lagi itulah komitmen! Kau selalu
mengajarkan aku arti dari sebuah komitmen.
Dalam malam yang membersitkan cahaya purnama inilah, aku meletakkan jantungku
di atas sebuah daun yang sarafnya menjalar berkelok seperti kehidupan yang tak
pernah lurus. Namun di atasnya, jantung itu berdetak begitu kencang hendak
menemukan perasaan yang berguncang. Mungkin kau benar, Dara! Tentang apa yang
pernah aku berjanji: menjemput perasaanmu yang dilumuri kerinduan tak terkira.
Setelah aku meninggalkanmu dengan tangis yang dibalut senyum dua bulan yang
lalu, aku seperti hidup dalam janji yang kuyakin akan menemui ujung. Keyakinan
itu terkikis! Keyakinan itu tipis dan miris. Biarpun guruku lagi-lagi
mengajarkan tentang arti sebuah keyakinan: Allah takkan pernah diam,
takkan pernah lengah.
“Semua kehidupan punya cara masing-masing untuk menemukan kebahagiaannya, Wan!”
“Wan masih percaya, Wak!” kataku tersenyum.
Kami duduk, masih di teras yang menjadi teman untukku menuliskan lembar demi
lembar buku hati. Malam ini sempurna untuk sebuah perasaan yang membutuhkan
cahayanya. Di sinilah aku menuliskannya, Dara....
“Abangda, seperti apa pohon mahoni itu?”
“Mahoni? Untuk apa Adinda menanyakannya?”
“Untuk melihat setangguh apa ia berdiri. Adinda ingin tahu pohon apa yang
paling tangguh? Adinda pernah diberitahukan mengenai pohon beringin. Pohon itu
tangguh, Abangda!”
“Pohon mahoni tidak selalu tangguh, Adinda,
begitupun beringin. Adinda harus tahu, masing-masing punya kelebihan.”
“Apa kelebihannya, Abangda?”
“Buah pohon mahoni mampu dijadikan obat malaria, kayunya yang keras juga
berguna untuk industri mebel dan pohon beringin yang tampak lebih besar menjadi
sebuah pohon yang rimbun dan melindungi seseorang dari sinar matahari yang
menyengat. Cocok diletakkan di sebuah halaman yang luas dan menjadi pelindung
kita dari terik cahaya secara langsung, juga akarnya berguna untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit”
“Begitukah? Pohon pun memiliki tempatnya masing-masing. Allah Maha Adil.”
Aku mengangguk. Ia menebarkan senyum yang nyaman. Kami di bawah pohon mahoni,
di Lapangan Merdeka yang terletak di pusat kota Medan.
Selebihnya aku dan Dara membicarakan pohon cuur, pinang, merbau, jati, dan lainnya. Entahlah, aku sendiri tak tahu
mengapa ia tertarik membicarakan itu. Bila ia dapat ke mari, melihat
betapa banyaknya jenis pohon di sini. Aku menduga ia lebih senang daripada
setiap kali aku hanya mampu melayangkan SMS dan mendengar suaranya lewat
percakapan handphone. Terkadang, ingin kutarik suaranya, kumasukkan
dalam sebuah plastik, kuikat dan takkan kubiarkan ia berlalu. Ingin aku peluk
dalam setiap malam aku tertidur. Mungkinkah aku berlebihan?
“Biarlah Wan, biarlah kau merasakan terlebih dahulu nikmatnya kehidupan seperti
ini. Nanti, saat kau telah meninggalkan hari-hari ini, kau akan merindukannya.”
Hmm... itu benar.
Setelah malam itu meninggalkan kerinduan yang begitu... aku menyambung waktu
dengan menyiapkan sarapan. Wak bangun, terkejut melihat dua piring nasi, daun
ubi rebus, sambal belacan, dan dua ekor ikan
sungai yang kugoreng. Aku tak lupa meletakkan satu plastik kecil kemasan kecap
yang sempat aku beli di warung kemarin. Sesederhana aku mencintamu Dara, inilah
makananku sehari-hari bersama uwak.
“Mirip sebuah petualangan menjemput bidadari ya, Wan! Aku juga jadi teringat
istriku di rumah,” katanya sambil lahap menambahkan kembali nasi dari mangkuk.
Wak tak menyadari ia sudah dua kali menambahkan nasi. Ikan yang sudah habis pun
tak lagi ia peduli. Biarpun hanya dengan kecap, daun ubi, dan sambal belacan,
ia seperti ingin melampiaskan kerinduan yang terlanjur menjadi....
Dara, takkah kau tahu itu? Mirip Nabi Muhammad yang berusaha menerjang badai di
padang pasir saat akan menyeberangkan
barang dagangan. Akankah kau juga seperti Khadijah, istri Nabi Muhammad yang
gundah dan gelisah. Akankah kau juga memikirkan bagaimana aku berada dalam
sebuah petualangan hidup? Walaupun aku belum mampu meminangmu. Biarlah... aku
merindukan panutan duniawi kita, Muhammad SAW. Sungguh, Dara! Dan, setelah itu
aku menemukan hati dan pikiranku terjatuh dalam kerinduan yang begitu....
Kepadamu.
Hari ini aku ke kebun. Sebelum ke kebun yang sempat aku janjikan akan
menghasilkan mimpi-mimpi kita. Aku memang terlebih dahulu mencari nafkah untuk
esok aku memenuhi perut. Bekerja di kebun milik salah seorang di kampung ini.
Beberapa hektar pohon cabai terhampar, ini milik orang-orang yang mensyukuri
anugerah Allah. Di sudut kebun inilah aku melihat sebuah gubuk. Gubuk yang
kemarin belum aku sadari keberadaannya. Aku tertarik ke sana sebelum bertanya.
Ah, terbersit olehku bahwa takkan ada yang keberatan. Bila aku dapat sedikit
merebahkan tubuh dan meminum sebotol air yang telah kupersiapkan.
Perlahan, aku melihat jelas pangkal gubuk itu. Namun, kepalaku spontan saja
tegak dengan pemandangan di dalamnya. Seorang wanita yang memiliki dagu
berbentuk sudut persegi, alis tebal hitam, dan mata menyala tajam menatapku
penuh kejut.
“Apa yang kau lakukan?”
“Aku?”
“Kau?”
Dan, wanita itu mengenakan jilbab berwarna merah darah. Seperti warna yang
memang kau gemari, Dara!
“Dara!”
“Abangda?”
Aku masih ingat pula pewarna bibir lembut kepunyaanmu itu. Merah jambu tipis
dan berair.
“Masyaallah. Kau benar-benar Dara?”
“Wan!”
Aku berbalik ke belakang. Laki-laki bertubuh tinggi, kurus, berkumis tipis, dan
rambut cepak itu mendekatiku.
“Kholil?”
“Wan! Maap,” katanya setelah hanya dengan raihan tangan aku mampu mendekap dan
memeluknya. Sahabatku di saat suka dan duka.
“Kau bawa Dara, Lil? Bagaimana bisa?”
“Aku yakini ibunya takkan marah, Wan! Bukankah kau itu orang yang mampu
dipercaya?”
“Maksudmu, termasuk juga kau?”
“Hahaha... itulah kelihaianku membawa mereka.”
“Mereka?”
“Ya, tentu saja aku dan Dara tidak berdua, Wan!”
“Oh? Jadi...”
“Hehehe... aku membawa calon istriku,
Rani...” katanya berbisik di telingaku. Lalu aku dapat melihat seorang wanita
dengan bentuk wajah oval, bulu mata lentik, bermata indah lagi-lagi ia
tersenyum dan menunduk di belakang Kholil.
“Kau hebat,” kataku berbisik ke arah
telinga Kholil.
Dara! Apa kau tahu? Bukankah ini terlalu cepat biarpun menjadi kejutan. Kau
datang tanpa aku mimpikan sebelumnya. Entahlah, di sini, bersamamu, aku semakin
bingung dan tak tahu hendak mengatakan apa. Apakah mungkin kukatakan saja bahwa
aku orang yang paling bahagia saat ini.
“Aku hanya meminta izin satu malam, Wan!”
“Tak apa, Lil! Lagipula aku sangat bersyukur.”
“Sobat, jangan sia-siakan kesempatan ini. Kau harus banyak berbicara dengan
Dara! Sebelum ia...”
“Sebelum? Kembali ke Medan?”
“Hmm... ya, lekaslah kau temani dia!”
Di bawah pohon mangga yang dahannya terangkat ke atas, terlihat teduh dengan
berbagai cabang, Dara... kau terlihat menikmati sesuatu. Entah apa kau terkejut
melihat tempat yang berhari-hari aku selalu membayangkan kau ada di situ. Kau
duduk di bangku yang kubuat dari sisa kayu gubuk, menikmati malam ini. Saat aku
memerhatikanmu berbicang dengan Rani, aku merasa kau sedang membicarakan apa
yang juga tengah aku bicarakan tadi bersama Kholil. Namun aku tak sabar. Aku
mendekatimu. Rani yang mulai melihatku berjalan di belakangmu seperti
mengatakan permisi dan tersenyum saat berjalan melewatiku.
Aku mulai duduk di depanmu, menggantikan posisi Rani, dan kau... seperti biasa,
menebarkan senyum yang takkan mampu membuatku lupa akan hal itu, saat pertama
kali kita bertemu, Dara....
“Adinda senang di sini? Ini... bukan tempat yang cocok untuk wanita secantik
Adinda!”
“Ini tempat yang pantas untuk kebutuhan hati seseorang yang Adinda sayangi!”
Aku tak mengerti maksudmu. Kepantasan? Kebutuhan hati? Seperti hampir mirip
dengan cara mengungkapkan perasaan bahwa sesungguhnya kau yakin di sinilah,
saat aku di sinilah aku selalu merindukan hari-hari bersamamu.
“Tapi... Adinda lebih berharap
Abangda akan segera kembali dan...”
Mungkin, hatimu mengatakan percuma. Percuma bila kau terlalu banyak berharap.
Percuma bila nantinya kau sendiri yang memintaku menghianati ruang takdir ini.
Percuma bila akhirnya tidak ada ridha
Allah dalam perjalanan ini. Percuma bila apa yang tengah kau tangguhkan
kesabaran di dadamu selama ini rusak hanya karena harapan-harapan nisbi.
“Minggu depan, Adinda berangkat ke Yogyakarta!”
“.....”
“Adinda yakin takkan lama, walaupun...”
“Alhamdulillah. Adinda lulus beasiswa kuliah di sana?”
“Ya, Abangda. Adinda pikir, adinda harus meneruskan S1 seperti keinginan almarhum Ayah. Alhamdulillah, adinda lulus dan
mendapatkan beasiswa bidik misi.”
“Ibunda pasti bangga! Dan, abangda juga!”
Kau tersenyum, namun dalam senyummu selalu ada mata yang menyala-nyala, ingin
menetes. Haruskah kutahu apa yang sesungguhnya ingin kau utarakan?
Walaupun setelah itu aku takkan berani memelukmu. Walaupun setelah itu,
perjalanan masih terlalu bergaris-garis tak hanya lurus, walaupun setelah itu
kehidupan adalah takdir yang berbicara. Walaupun begitu, hati itu adalah usaha
untuk menangguhkan keyakinan. Bila keyakinan adalah percaya pada keputusan
Allah. Biarlah.... ***
Buku Rindu, 15 Januari 2011
Penulis,
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMP Swasta Al-Azhar Medan dan Dewan Ahli Komunitas Penulis Anak
Kampus (KOMPAK) Medan.
Sabtu, 26 Mei 2012
Lelaki Dari Negeri Aisenodni yang Mencari Malu
Cerpen : Abdillah Putra Siregar
Lelaki kurus berjalan
terseok. Bajunya kumal, sama persis seperti wajahnya yang berbedak debu. Hampir
seluruh kancing di bajunya terbuka. Debu-debu itu bahkan bukan hanya menempel
di wajahnya, tapi juga sudah menjadi daki dan melekat mendarah daging menjadi
warna kulit yang baru. Di kota, Nadme, sebuah kota yang telah lama
hilang dan terlupakan ia sering terlihat mondar-mandir, seperti seseorang
yang sedang mencari. Mencari apa?
Tak seorang pun yang pernah menanyakannya.
Jika disebut orang gila. Ia masih tahu tata krama. Ia tak suka
kencing di sembarang tempat atau membiarkan kemaluannya terbiar tampak begitu
saja dengan celana melorot atau bertelanjang dada. Ini lain, ia akan mencari
toilet di masjid-masjid. Bahkan terkadang ia mandi. Pula solat.
Di kota itu, yang cuacanya terkenal panas. Ia selalu duduk di
depan sebuah bangunan tua daerah Hajad Dama. Duduk
berlama-lama.
“Aku mencari malu!” sering ia bergumam begitu.
Meski hanya gumaman tapi orang-orang yang ditemuinya selalu
menyangka ia tengah menceracau. Mereka salah jika menganggap lelaki dengan
jenggot menjuntai itu adalah orang gila.
“Aku mencari malu. Di mana ia?” katanya pada dirinya sendiri.
“Negeri ini telah kehilangan kemaluannya?” ia berucap lagi
Oh, inilah mungkin yang menyebabkan orang-orang sering menyangka
ia gila.
***
Entahlah. Lelaki paruh baya ini sebenarnya berasal dari sebuah
negeri antah berantah, Aisenodni, sebuah negeri makmur, subur
namun dihuni beragam manusia kufur. Ia memilih hijrah dari negeri itu. Sebab,
katanya orang-orang di sana sudah tak punya rasa malu lagi. Bahkan mereka tak
merasa risih sedikitpun menampakkan kemaluannya. Rasa malu itu telah
dibunuh oleh seseorang. Pun mereka yang mengaku alim ulama di negerinya. Sudah
seperti artis saja. Suka berpamer harta. Setahunya, baginda nabi tak pernah
bermewah-mewah. Bukankah kesederhanaan sebagian daripada malu?
Di mana ia bisa mencari malu di negeri ini?
***
Dulu, penduduk negeri itu adalah penghasil rasa malu terbesar.
Bahkan beberapa dekade berhasil melahirkan generasi-generasi pemalu. Hingga
suatu ketika, seseorang entah berasal dari mana datang ke negeri tersebut. Ia
berkhotbah layaknya alim ulama.
“Kalau masih tetap bertahan pada rasa malu, kalian akan dibunuh
zaman!”
Sungguh kata-kata itu berhasil meluluhlantakkan kepribadian yang
sudah terwaris turun-temurun di hati orang-orang yang mendengarnya. Mereka yang
selalu menjaga malu dan kemaluannya tiba-tiba menyingkap rasa malunya. Secepat
itu pengaruh kata-kata. Lelaki entah dari mana itu menimpali.
“Rasa malu hanya milik orang-orang dungu dan pengecut!”
Siapa yang mau disebut dungu dan pengecut? Tak dinyana,
orang-orang perlahan membuang rasa malu. Negeri itu mendadak berubah. Para
pemudanya; laki-laki dan perempuan berubah. Pun pula orang tua tak mau kalah.
Para lelaki yang dulu tak berani bersiul-siul di depan khayalak ramai ketika
ada perempuan lewat. Kini siul- menyiul menjadi ucapan perkenalan. Ritual
wajib.
Para wanita yang dulu tak berani menyingkap betisnya. Kini mulai
tak berbaju dan bercelana. Aih, para orang tua yang hampir bau tanah, kini
merasa muda. Bahkan sering ditemukan terkapar di rumah bordil tanpa sehelai
benangpun.
Manusia aneh penolak rasa malu itu ternyata tak hanya menebar bius
di kalangan bawah. Ia bahkan sering mendatangi gedung, tempat di mana para
wakil rakyat negeri ini berkumpul. Di sana ia kembali berkhotbah.
“Rasa malu yang kalian miliki hanya akan menjadikan negeri ini
semakin berada di garis kemiskinan, membunuh hak azasi manusia dan seumur hidup
kalian akan menjadi pecundang.”
Ia membisiki setiap telinga dan jiwa orang-orang di sana. Maka
digelarlah rapat besar-besaran. Mereka ingin merancang undang-undang tentang
menolak rasa malu atas nama HAM.
“Korupsi adalah HAM. Kalian bekerja dengan susah payah untuk
perbaikan negeri ini, bukan?”
Maka saat itulah undang-undang pelegalan korupsi disahkan. Setiap
orang boleh korupsi. Setiap orang boleh mencuri, setiap orang bebas melakukan
apa saja asal tidak ketahuan.
Rasa malu sudah mengikis habis nurani. Hanya sedikit dari mereka
yang masih menggenggamnya. Sebagian besar penduduk negeri itu telah membuang
dan mengikis rasa malu mereka.
Kecuali sebagian orang. Mereka tak banyak. Jika ketahuan, mereka
akan dibunuh. Itulah sebabnya mengapa lelaki kurus itu lari ke sini. Ia
berharap, rasa malu masih menanggal di tempatnya yang baru.
***
Ia mencari akal bagaimana menemukan malu dan mengembalikannya ke
hati para penduduk di tempatnya. Ia kali ini tak bisa tinggal diam. Ia meminta
bantuan siapa saja yang kebetulan lewat di hadapannya.
“Saya ingin meminta bantuan,” pintanya pada seorang pemuda
sepertinya.
Pemuda itu menatap wajahnya.
“Minta bantuan kok sama aku, tuh di kantor polisi sana!” katanya
sambil menunjuk sebuah pos polisi.
“Bantu saya mencari malu,” lelaki itu memelas.
“Hahaha..aku sendiri sudah lama tak tahu malu, aku baru saja
membunuh orang!”
Lelaki itu terkejut.
“Asal kau tahu saja, tanpa rasa malu, kau bebas melakukan apapun
asal tidak ketahuan, hahahaha….” pemuda itu menimpali dengan tawa yang
membahana.
Lelaki kurus mengatupkan matanya. Ia menggigit bibir bawahnya.
Sebentar lagi air mata yang ditahannya itu akan tumpah.
“Semakin hancur kemanusiaan,” lirihnya sedih.
***
Ia berjalan di tengah malam buta. Masih di kawasan Hajag
Dama. Ia menemukan sekumpulan pemuda yang tengah mengerubungi seorang
wanita. Di tempatnya dulu, pemandangan ini sering ia lihat. Ia mafhum, tak guna
bertanya pada mereka tentang rasa malu.
Ia terus berjalan menuju entah. Mencari seseorang yang masih
mempunyai rasa malu.
Semua ini akibat perkataan seseorang yang berlagak alim ulama.
Negeri itu berubah drastis. Penolakan terhadap rasa malu telah menyebar ke
mana-mana. Sementara orang-orang yang masih memegang tabiat ini akan
dikucilkan. Dianggap kolot dan tak berperikemanusian.
Tak hanya menimpa orang dewasa tapi juga anak-anak. Maka tak
heran, jika surat kabar sudah biasa mengabarkan tentang seorang anak yang
membunuh keluarganya, seorang bocah yang memerkosa teman bermainnya, seorang
bocah yang ketahuan mencuri dan berita-berita sadis lainnya.
Negeri itu telah menjadi kandang manusia buas. Pemegang rasa malu
adalah orang-orang langka. Mereka disembunyikan entah di mana. Namun lelaki itu
tak berhenti mencari. Ia akan tetap berjalan sampai akhirnya menemukan pemelihara
rasa malu. Ia sempat mendengar bahwa di pulau yang sekarang ia datangi ini, ada
sebuah lembaga yang mengajarkan rasa malu.
Perjalanannya cukup panjang. Ia pingsan di tepi jalan.
Orang-orang hanya saling pandang. Tak ada lagi yang mau peduli. Lelaki itu
terbiar begitu saja. Sampai akhirnya seseorang menolongnya.
“Bapak sudah sadar?”
Lelaki paruh baya itu mendengar sebuah suara melabuh di
telinganya. Perlahan ia membuka mata. Agak berat. Kepalanya pusing.
“Minum dulu, Pak!”
Ia menerima tawaran seseorang itu. Ia teguk air itu pelan-pelan.
Ia mencoba memfokuskan pandangannya yang buram. Entah mengapa ia tak mampu
memandang tajam orang yang berada di hadapannya ini.
“Kau baik sekali. Apakah kau masih menyimpan rasa malu?” lelaki
itu bertanya.
“Untuk apa?” kata orang yang menolongnya.
“Aku ingin kau mengajarkan rasa malu itu pada orang lain, rasa
malu di kampungku sudah hilang,” ujarnya.
Tak ada jawaban.
“Kau mau kan membantuku?”
Tak ada jawaban lagi.
“Kau..” tiba-tiba lelaki itu seperti mengenal seseorang yang
menolongnya ini.
“Kau..kau si pen-dusta itu?”
Seseorang itu menyeringai. Lalu tertawa terbahak-bahak. Ia
keluarkan sesuatu dari balik bajunya. Belati, ya sebuah belati yang akan ia
cabik-cabikkan.
“Kau mau apa?” tanya lelaki itu. Ia menggeliat menjauh.
“Mau membunuh rasa malumu?”
“Jangan!” ia memohon.
Terlambat, seseorang itu telah menancapkan belati di
jantungnya. Lelaki itu tersengal. Napasnya satu-satu. Ia tengah sekarat.
***
Demikianlah, lelaki pencari rasa malu itu telah mati. Virus lelaki
pendusta itu telah menyebar ke seluruh hati orang-orang di negeri itu.
Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, penghasutan sudah menjadi hal biasa di
sana. Orang-orang sudah tak saling peduli. Negeri yang dulu dikenal dengan
keramah-tamahannya kini telah berubah menjadi markas gembong kejahatan.
Rasa malu sudah menjadi sangat langka. Bahkan banyak dari mereka
yang tak mengerti atau tak tahu bagaimana rasa malu itu. Rasa malu menjadi
dangkal maknanya. Hanya sebatas omong kosong belaka. Yang masih menyimpan rasa
malu, mereka menjadi sangat pendendam pada lelaki penghapus rasa malu.
Masih adakah rasa malu itu tahun depan? ***
Medan, Rumah Cahaya
2011
Abdillah Putra Sieragar, lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara.
merupakan anggota Forum Lingkar Pena Sumatra Utara. Sejumlah karya pernah
dimuat di harian kota Medan dan beberapa majalah remaja; Annida, Medan Bisnis, Waspada dan bulletin kampus Dinamika. Karya-karya lainnya terangkum dalam beberapa antologi bersama.
Kini menetap di Medan.
Sabtu, 19 Mei 2012
Sampahku, Rizkiku
Cerpen : Puteriana Dewi
Suasana kota sudah
mulai ramai dengan dipenuhi oleh angkutan kota dan kendaraan lainnya.
Tak ada lagi celah untuk dapat melewati kendaraan yang membuat jalanan semakin
penat. Suara klakson saling bersahutan satu sama lain. Udara segar tak ada
lagi. Yang tersisa hanyalah polusi udara yang disebabkan asap kendaraan. Di
tepi kanan jalan, terdapat bak sampah berukuran 2 x 2 m yang telah
dipenuhi oleh sampah-sampah yang sangat menjijikkan. Genangan air di sepanjang
jalan disebabkan hujan tadi malam. Sudah 1 minggu sampah-sampah itu belum
diangkut oleh truk sampah. Sehingga membuat suasana kota ini semakin
buruk dengan sampah yang busuk.
Di seberang jalan tak jauh dari tumpukan sampah, terdapat beberapa pohon besar
yang rimbun. Tapi sepertinya pohon itu tak sanggup lagi untuk menyerap
polusi-polusi udara sekitar. Kulangkahkan kaki ini dengan harapan yang kuat dan
tekad yang bulat. Setiap langkah kupanjatkan doa pada-Nya untuk memohon agar
hari ini lebih baik dari hari sebelumnya.
Dengan berseragam lengkap, kuletakkan topi lebar di atas kepalaku
untuk melindungiku dari teriknya sang mentari. Kuambil alat-alat kebersihan
yang telah kusediakan. Mulai kuayunkan sapuku ke jalanan sedikit demi sedikit
agar sampahnya terkumpul dengan rapi. Setelah terkumpul, mulailah kumasukkan
sampah-sampah itu ke dalam gerobak yang ada di pinggiran jalan.
Semakin lama matahari semakin tinggi ke atas dan keringatpun mulai bercucuran
di pipi serta leherku. Sebenarnya, aku tak ingin berhenti karena dari sampahlah
aku mendapatkan rezeki. Tapi, kakiku tak sanggup lagi untuk melangkah,
membersihkan sampah yang masih berserakan sepanjang jalan. Maklum, umurku sudah
beranjak 37 tahun, sedangkan suamiku sudah berumur 40 tahun. Kini ia merantau
ke pulau seberang demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sejenak kulihat, terdapat bangku kosong di bawah tangga sebelah ruko besar.
Mungkin di sana aku dapat menghilangkan letih sejenak dan mengeringkan keringat
yang bercucuran. Akuu mulai berjalan menuju bangku itu. Sebotol air mineral
membasahi tenggorokan yang dahaga ini. Lega rasanya. Kusandarkan kepalaku di
dinding untuk menenangkan fikiran yang semrawutan. Aku teringat perkataan anak
pertamaku, Ninda Arini, tadi malam. Ia berkata:
“ Bu!! Bagaimana dengan sekolahku?”
“Aku ingin melanjut ke sekolah lanjutan atas, Bu!”
Hatiku berdebar mendengar perkataan buah hati tersayang yang ingin
melanjutkan pendidikannya. Aku tak ingin ia bernasib sama dengan aku yang tak
pernah merasakan indahnya menimba ilmu di bangku sekolahan. Ayahnya hanya
bekerja buruh serabutan dan hanya menamatkan sampai sekolah dasar saja.
Dengan air mata berlinang, kuucapkan kata-kata walaupun agak
terbata-bata. “Iya, Nak! Insya Allah besok kita dapat rizki yang lebih.” Dalam
hatiku berucap, ‘Untuk memebuhi kebutuhan sehari-hari saja aku sulit, apalagi
memenuhi cita-cita anakku’.
Anak keduaku, Ridwan. Masih kelas 3 SD. Untung saja biayanya
gratis, karena ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Sepulang sekolah ia
berjualan koran, membantuku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Begitu juga
dengan Ninda.
Aku bangga dengan mereka, karena mau membantu memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Aku tidak akan menyerah, karena aku yakin bila kita
bersungguh-sungguh, Tuhan pasti akan membantu hamba-Nya yang kesusahan. Aku
akan berusaha untuk memenuhi dan mewujudkan cita-cita anakku.
Sejenak aku terhentak dari lamunan panjangku. Tak kusadari jam
sudah menunjukkan pukul 13.00 wib, dan azan mulai berkumandang. Aku menuju
jalan pertigaan yang terdapat mesjid sederhana untuk menunaikan salat Zhuhur.
Di akhir salat, kupanjatkan doa kepada Allah agar diberi kemudahan dalam
mencari rizki dan memenuhi cita-cita anakku. Tapi aku bingung, apa yang harus
kukatakan pada kedua anakku. Padahal hari ini aku berjanji padanya untuk
mendaftarkannya ke sekolah yang selalu ia inginkan.
Selesai salat, aku bekerja lagi, membersihkan sampah-sampah yang
tersisa. Pukul 17.00 wib tepat waktunya untuk pulang. Sebelum pulang, aku
menuju rumah Pak Burhan untuk mengambil upahku selama sebulan ini sebesar Rp
200.000. Dengan hati gembira dan wajah yang cerah aku menerimanya.
”Alhamdullilah, uang ini akan kutabung untuk biaya Ninda sekolah.”
Di tengah perjalanan pulang menuju rumah, seorang perempuan
tua cacat yang tak bisa berjalan sempurna, mengumpulkan botol-botol bekas
minuman mineral untuk dijualnya kembali.
Ketika aku menyapanya dan tersenyum padanya, “Nek! sudah sore,
tidak pulang?” Tiba-tiba ia terbatuk dan mengeluarkan darah merah merekah dari
mulutnya dan ia pingsan. Aku bingung dan panik. Kemudian aku berteriak,
“Tolong, Tolong!. Berkerumuman orang-orang sekitar membawanya ke rumah
sakit terdekat. Selang beberapa jam, setelah dokter memeriksanya nenek itupun
tersadar. Aku menceritakan kejadian yang terjadi, ternyata ia menderita
penyakit paru-paru kotor. Nenek itu menesteskan air mata.
“Terima kasih banyak ya, Nak, sudah mau menolong nenek!”
“Tapi bagaimana, Nak, nenek membayar biaya rumah sakit ini? Nenek
sudah tidak punya uang !”
Aku terhentak. Jantungku berdetak cepat. Aku tak tahu apa yang
akan kulakukan. Aku teringat uang yang diberikan Pak Burhan tadi.
“Tenang, Nek, biar saya saja yang membayar biaya perobatan rumah sakit ini!”
kataku.
“Maaf, nenek terlalu merepotkanmu!” balas sang nenek.
“Tidak nek, saya ada rizki sedikit.”
“Semoga Allah membalas semua kebaikanmu dan melimpahkan rezeki
yang barokah, Nak ! Amin.”
Setelah kubayarkan biaya perobatan sebesar Rp 200.000, aku mengantarkan nenek
pulang ke gubuk tuanya. Aku percaya Allah akan memberi rezeki lebih dari ini
jika kita ihlas.
Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan, ternyata aku adalah orang yang
beruntung, yang masih memiliki keluarga yang sempurna dan masih diberikan badan
yang utuh untuk selalu mencari nafkah. Biarlah uang tadi kuberikan kepada
perempuan tua itu, karena aku yakin pasti ada rizki lain yang suatu saat
menantiku.
Memasuki gang rumahku, terdengar suara pemuda memanggil-manggil namaku.
“Bu Salma, Bu Salma!” katanya.
Aku menoleh ke belakang, ternyata Irfan, anak Pak Bejo yang bekerja bersama
dengan suamiku.
“Ada apa Fan?” jawabku singkat.
“Ini Bu, upah Pak Anwar dua bulan yang lalu, yang belum sempat ia kirimkan ke
Ibu,” kata Irfan menerangkan.
Dengan gemetar kuambil amplop itu dan kubuka.
”Alhamdulillah!”
Aku menjerit. Uang sebesar Rp 600.000 yang telah dikirimkan suamiku, kupegang
erat-erat. Tak kusadari air mata berlinang membasahi pipi. Ternyata Allah telah
mengabulkan doa-doa dan harapanku. Aku sangat bersyukur. Aku tak menyesal telah
menolong perempuan tua. Mungkin melalui inilah Allah melimpahkan rizki
kepadaku. Kuucapkan terima kasih kepada Irfan. Aku beranjak pulang untuk
memberitahukan pada Nindi bahwa ia akan kudaftarkan melanjutkan sekolah
atas.***
Sabtu, 12 Mei 2012
SEGENGGAM CINTA ARLANDO BUAT NABILA DI KUDUS
Cerpen : Askar Marlindo
Jam tiga malam, Arlando menginjakkan
kaki di desanya. Suara binatang-binatang malam menyambut kedatangannya bersama
suara dari masjid dan musholla desa yang sudah memutar rekaman lantunan ayat
Quran Syekh Sudais untuk membangunkan warga kampung yang masih tertidur pulas.
Arlando meletakkan tas besar dan kardusnya sembari
menghirup nafas panjang. Matanya terpejam, merasakan udara pagi yang
menyegarkan pikiran. Dia menggerak-gerakkan badannya. Melemaskan otot-ototnya
yang kaku setelah berjam-jam berada dalam bus.
Meski baru dua bulan, aku
sudah merindukan desa ini. Sudah lama tak menghirup udara sesegar ini.
Dia menenteng tas, berjalan ke rumahnya.
“Assalamu alaikum, Mak. Arlando pulang,”
tak ada yang menjawab. Diulanginya lagi. “Arlando pulang, Mak.”
Terdengar suara sandal terseok mendekati
pintu rumah. Klek. Pintu terbuka. Arlando meraih
tangan Emak dan diciumnya.
Emak tersenyum sambil memegangi bahu Arlando yang
lebih tinggi darinya. “Kok tambah kurus, Nak?”
“Inggih, Mak. Bapak ke mana?”
baru saja Arlando bertanya, bapak sudah muncul. Disambutnya tangan bapaknya
lalu dicium tangannya. Mengembang senyum di bibir bapak.
“Berangkat jam berapa dari Yogya?” tanya
bapaknya
“Jam delapan, Pak.”
“Bagaimana kuliahmu?”
“Alhamdulillah semester
depan wisuda, Pak.”
Arlando menaruh barang-barangnya ke dalam kamar.
Bapak dan emaknya kembali tidur ke dalam kamar.
“Istirahat dulu, Nak!” perintah bapak. Arlando mengabaikannya.
Dia kembali ke ruang tamu, meng-charge ponsel.
Beberapa saat kemudian dia menelpon Nabila, sahabat karibnya.
“Assalamu alaikum. Hallo, Nabila Aku
sudah di rumah,” cerocos Arlando tak
peduli Nabila sudah bangun atau belum.
“Uhm....” dari seberang suara Nabila masih
serak. Dia mengambil kaca mata di meja belajar. Matanya nampak indah meski
masih merah. Terpampang nama Arlando di
layar ponsel. Seketika rasa kantuknya hilang.
“Sudah sampai rumah?” Nabila semangat.
“Sudah,” hati Nabila bergetar tak karuan. Sebentar lagi dia bisa
bertemu sahabatnya. Mereka berbicara kesana kemari layaknya sahabat yang telah
lama tak berjumpa.
“Besok kita ke Glagah yuk. Ke rumah Hani,” ajak Nabila.
“Baru saja pulang, Bila, kau
sudah ajak aku ke Glagah.”
“Aku kangen Hani.”
“Kangen Hani atau aku?” goda Arlando.
“Hehehe.” Nabila hanya
tertawa. Mereka ngobrol lewat telpon hingga birunya langit subuh menjadi cerah.
***
Arlando dan Nabila berjanji bertemu di salah
satu ATM di pasar Babat Kudus. Hari
ini mereka akan pergi ke rumah Hani. Bapak dan emak memaklumi kepergian Arlando meski
baru beberapa jam berada di rumah. Arlando sudah dewasa.
“Remaja yang semakin dewasa tak akan betah
berlama-lama di rumah,” begitu kata bapak
beberapa waktu lalu.
Arlando datang lebih dahulu. Dia menunggu di dalam
ATM sambil menikmati dinginnya AC ATM. Aktivitas
pasar Babat sudah rame. Nabila datang naik becak dengan mata berbinar-binar
menatap Arlando yang telah menyambutnya dengan senyuman.
“Kok lama?” tanya Arlando.
“Nanti saja kuceritakan di dalam bus.” Meski
tanpa janji kedua pemuda itu nampak serasi dengan pakaiannya yang dikenakan. Arlando dengan
baju biru tua dan Nabila memakai baju dan jilbab biru muda. Selisih
tinggi badan juga tak terlalu mencolok. Sayang mereka hanya sahabat. Tak ada
yang berani mengungkapkan perasaan sebenarnya.
Mereka memasuki bus. Duduk berdua
berdampingan mesra bak sepasang kekasih.
“Gimana tadi kok terlambat?” Arlando membuka
pembicaraan.
“Tadi aku diantar ayah ke sini.
Katanya dia mau nungguin aku sampai dapat bus. Aku kan nggak mau kalau nanti
ketahuan keluar sama kamu.”
“Lalu?” tanya Arlando.
“Aku pura-pura minta diantarkan ke rumah
Efia.” Nabila mengambil dua cocolatos dari
tasnya. Untuk dinikmati berdua.
“Terus ayah ke mana?”
“Pulang lagi ke Payaman,”
Bus melaju kencang menuju ke arah Kudus. Di dalam bis mereka bercanda. Sambil makan cocolatos. Arlando mengambil
ponsel.
“Coba dengar lagu ini,” Arlando menyodorkan heandset ke
telinga Nabila.
Bilakah
dia tahu apa yang telah terjadi
Semenjak
hari itu hati ini miliknya
Mungkinkah
dia jatuh hati
Seperti
apa yang kurasa
Mungkinkah
dia jatuh cinta
Seperti
apa yang kudamba
Bilakah
dia mengerti apa yang telah terjadi
Hasratku
tak tertahan tuk dapatkan dirinya
Mungkinkah
dia jatuh hati
Seperti
apa yang kurasa
Mungkinkah
dia jatuh cinta
Seperti
apa yang kudamba
Tuhan
yakinkan dia tuk jatuh cinta
Hanya
untukku
Andai
dia tahu
Hati Nabila berbunga-bunga
mendengar lagu itu. Arlando lah satu-satunya lelaki dapat duduk
berdekatan dengannya. Wanita hanya diam dan menunggu. Tak mau dia memulai meski
terkadang perasaan wanita lebih besar dari pada kesedihan seorang pria saat
ditolak cintanya.
Arlando ingin mengungkapkan perasaannya pada Nabila dengan
lagu itu. Tapi Nabila tak mau ke Ge-eran dulu, dianggapnya lagu itu
hanya lagu untuk teman perjalanan.
Setengah jam mereka sampai di pertigaan. Di sana
mereka dijemput oleh Hani dan saudaranya dengan dua motor. Jalur pertigaan
Deket-Glagah tak ada kendaraan umum. Sama dengan jalur Payaman-Plaosan. Harus
naik kendaraan pribadi atau ojek yang ongkosnya mahal.
Di rumah Hani, Arlando dan Nabila lebih
sering ngobrol berdua dari pada bicara dengan Hani. Untungnya Hani menyadari
keadaan teman-temannya.
“Kudus panas juga ya?” Nabila berbasa-basi.
Merasa tak etis membiarkan sendiri tuan rumah tak diajak bicara malah ditinggal
melepas rindu berdua.
“Ya beginilah. Kalau siang pasti panas. Sama
dengan Bogor juga. Sebentar aku ke belakang dulu.”
“Hehehe,” Nabila tertawa
dibuat-buat.
Hani datang membawa tahu campur makanan khas
Lamongan. Sebelum masuk ruang tamu, dia mengintip kedua temannya. Nabila nampak
cekikikan dan sesekali mencubit lengan Arlando. Arlando membalas
cubitannya dengan gemas.
“Tambah sip saja.” Hani datang. Spontan Arlando menarik
jarinya yang masih menempel di lengan Nabila.
Hani datang membawa tiga piring tahu campur.
“Aku sudah kenyang. Nanti kalau makan lagi
nggak habis,” kata Nabila.
“Kita makan sepiring berdua saja,” ajak Arlando.
“Oke.” Mereka menikmati tahu campur bertiga. Cuaca
cerah Glagah semakin siang semakin terasa panas. Keringat mulai keluar dari
kening Arlando. Dengan penuh kasih sayang, Nabila mengambil
tisu dari tas kecilnya.
“Pedasnya mantap. Di Bogor susah cari makanan pedas.” Arlando masih mengunyah tahu campur.
Nabila tersenyum melihat Arlando. Bibirnya
bertambah merah karena pedasnya tahu campur.
“Wajar,” kata Hani.
Selesai makan, adzan Dhuhur berkumandang. Arlando dan Nabila izin
sholat dulu. Kedua sahabat itu sholat dhuhur berjamaah. Nabila membayangkan bagaimana seandainya Arlando benar-benar
menjadi pasangan hidupnya. Tapi tak mungkin. Dia tak mau berharap terlalu
tinggi. Dia bukan siapa-siapa. Arlando adalah cowok cerdas dan bermasa depan jelas.
Sedang dia hanya gadis kampung yang tak mampu kuliah.
Arlando juga terbersit dalam hatinya mengandai jika Nabila nmenjadi pasangan hidupnya. Kecantikan Nabila membuatnya
minder. Tentu banyak pemuda Payaman yang sudah mapan dan tampan siap
mempersuntingnya. Hanya bisa memendam perasaan yang tak terungkapkan. Dia juga
tak mau persahabatannya rusak gara-gara cinta. Seperti pengalaman sebelumnya
bersama Nindi, Ani dan Icha.
Seusai sholat Arlando dan Nabila berpamitan
pulang.
Dalam bus, Nabila ngantuk
dan tertidur di pundak Arlando. Arlando memandangi wajah ayu Nabila. Semakin lama memandang semakin hatinya
merasakan besarnya perasaannya ada Nabila. Tak ingin momentum itu berlalu begitu saja.
Inilah kali pertama dia merasa sangat nyaman berada di samping seorang gadis
meski beberapa kali dia pernah jatuh cinta.
Mata Arlando memandangi
tangan Nabila yang putih berada dalam pangkuannnya. Dia
mencoba memeganginya. Sesaat dia melepaskannya. Lalu dia menatap Nabila yang
asyik tertidur di pundaknya. Kembali hatinya dilanda perasaan yang indah. Tak
ingin rasanya dia berpisah dari Nabila. Saat itu pula dia memegangi jari-jari Nabila yang
lembut. Semakin lama menatap mata Nabila semakin erat pegangan Arlando.
Nabila tak terbangun hingga sampai di pasar Kudus. Mereka turun lalu ke musholla. Sholat Ashar
dan istirahat di sana. Kembali perasaan berkecamuk saat mereka asyik berjamaah
berdua. Betapa indahnya dapat berjamaah dengan kekasih. Namun lagi-lagi rasa
mindernya membuatnya tak mau berharap untuk mendapatkan Nabila. Arlando tak
mau persahabatannya hancur gara-gara cinta. Selesai sholat, Nabila tertidur
lagi. Arlando duduk di teras Musholla membaca buku Dunia
Shofie.
Sebuah novel yang menceritakan kehidupan para filsuf.
Jam Lima sore Arlando masuk
ke dalam musholla membangunkan Nabila.
“Nabila....bangun. Sudah sore. Ayo pulang!” Nabila diam
tak berekspresi. Wajahnya pucat.
“Bangun, Nabila!” Arlando menggoyang-goyangkan
lengan Nabila. Tak ada ekspresi. Arlando mulai
panik. Dipeganginya pergelangan tangan Nabila Masih berdenyut.
“Bangun Nabila. Ayo
pulang!” tak juga Nabila bangun. Arlando menatap
dalam wajah Nabila yang pucat.
“Perutku sakit sekali,” suara Nabila terdengar
berat.
“Ayo pulang,”
“Aku tak kuat bangun.” Dengan terpaksa dan
susah payah Arlando mencoba mendudukkan Nabila. Matanya malah terpejam lagi.
Kembali Arlando dilanda
kepanikan. Dia keluar. Mencari toko membeli air dan obat sakit perut. Setengah
berlari dia mencari-cari toko. Semua sudah tutup karena sore. Wajahnya nampak
sekali seperti orang kebingungan. Akhirnya dia menemukan toko. Dia beli air dan
obat sakit perut. Tak tahu apa sebenarnya sakit yang melanda Nabila.
Arlando berlari lagi ke musholla. Nabila masih terbaring.
“Nabila. Bangun. Minum dulu!” Arlando memaksa Nabila bangun.
Tapi tak bisa. Dia menelpon kakak Nabila.
“Hallo, Mbak. Nabila pingsan.”
“Sorry, Arlando. Aku lagi ada acara di Lamongan,” telpon
langsung ditutup.
Arlando tak punya cara lain kecuali memaksa Nabila bangun.
Tak terasa sudut matanya dingin. Arlando duduk
di samping Nabila menunggu sampai sadar sambil berdoa.
Nabila tersadar, “Minum dulu, Nabila!”
Nabila menggeleng. “Sudah sore. Ayo pulang. Ini
minum dulu.” Hanya
sedikit air yang masuk di mulutnya. Dia mencoba bangun. Tapi tak bisa. Tubuhnya
terhuyung jatuh ke depan. Untung Arlando ada
di depannya.
Arlando menidurkan Nabila. Dia keluar lagi mencari bantuan untuk
mengantar Nabila sampai pangkalan angkot. Kembali dia harus berlari-lari menuju
pangkalan angkot. Di sana masih ada empat angkot yang masing mangkal. Dia
menghampiri sopir dan menjelaskan keadaan Nabila.
***
Jam tujuh malam Nabila tersadar. Arlando berada di ruang bersama ayah dan
saudara-saudara Nabila.
“Saya tak tahu kenapa Nabila dia
pingsan. Saya kira tadi hanya tidur di Musholla,”
“Tadi belum makan?” tanya ayah Nabila.
“Sudah, Pak. Tadi siang makan tahu campur di Kudus.”
“Pedas?” tanya ayah lagi.
“Iya, Pak.”
“Itu dia nak Arlando. Sakit
maagnya kambuh kalau makan pedas. Ya sudah, nak Arlando. Saya
berterima kasih karena telah menolong Nabila. Malam ini nak Arlando tidur
di sini saja.”
“Aku dipanggil nak Arlando?” gumam Arlando dalam
hati. Dia senang luar biasa dipanggil ‘nak’ oleh ayah Nabila. Dia senyum-senyum sendiri.
Arlando pamitan pulang. Tapi ditahan oleh keluarga Nabila karena
tak ada kendaraan malam untuk sampai ke desa Dukuan. Akhirnya Arlando terpaksa
menginap di sana.
Senin pagi yang cerah. Udara pagi di Kudus lebih segar dari Bogor. Lokasinya
di tengah sawah menjadikan udara masih steril jauh dari asap kendaraan. Arlando keluar
halaman memandang pepohonan berembun yang rindang. Nabila datang
menemaninya.
Arlando tahu langkah Nabila di
belakangnya. Dia mengatur nafasnya untuk memperlancar bicara. Hatinya sudah tak
bisa dibohongi lagi. Tak ingin dia berlama-lama terjun dalam kemunafikan cinta,
“Tak pernah ada pagi seindah ini dalam
hidupku.” Pandangan Arlando mendongak ke atas mengamati mangga yang
ranum. Tak berani dia menatap mata Nabila.
“Kenapa Arlando?” tanya Nabila.
“Pohon yang indah, udara yang sejuk, rumah
yang permai.”
“Hanya itu?” sela Nabila. Arlando mendekati
pohon mangga membasahi tangannya dengan dedaunan yang berembun.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Seorang sahabat yang lama kurindukan kini
berada di dekatku bukan hanya dalam khayalanku.”
“Siapa dia?” Nabila memancing
agar Arlando menyatakan cinta.
“Dia adalah seorang gadis yang sangat
kusayangi dan kucintai. Sayang aku tak mau berpadu kasih dengannya.”
Deg. Hati Nabila terasa
ada yang memukul keras. Dia mendekati bunga-bunga untuk menghibur hatinya. Dia
diam, memegangi bunga-bunga yang masih basah. Dia benar-benar kecewa. Matanya
melirik ke arah Arlando yang masih asyik bercengkerama dengan
daun-daun basah. Nabila memejamkan mata dan mengatur nafas. Dia
mencoba mengatur suara hanya untuk bertanya, “Kenapa?”
Arlando menoleh ke arah Nabila. “Karena ini adalah saat yang tepat untuk
melamarnya. Aku akan menikahinya.”
Deg. Kembali ada yang memukul hatinya. Nabila tak
berani menatap Arlando dia menundukkan kepala memandangi ujung
jari-jari kakinya. Dia mencoba bicara tapi berat. Tak ada satu pun kata-kata
yang terucap dari mulutnya.
Arlando meletakkan tangannya ke dagu dan menolehkan
wajah Nabila yang memerah merona. Arlando tersenyum, Nabila ikut
tersenyum.
Arlando beranjak masuk ke rumah menemui ayah dan ibu Nabila yang
masih sibuk menyiapkan sarapan. Arlando meminta
dengan hormat kepada orang tua untuk sejenak ke ruang tamu karena ada sesuatu
yang penting untuk disampaikannya.
Tanpa basa-basi Arlando lalu
mengutarakan segala keinginannya untuk menikahi Nabila. Suasana menjadi tegang. Saat ayah bilang, “Tak bisa kuterima lamaranmu sebelum kauselesaikan kuliahmu.” Nabila hanya
diam membisu. Sudut matanya basah namun tak terlihat karena tertutupi air mata.
“Semester depan saya sudah wisuda, Pak. Saya
akan segera menyelesaikan kuliah.”
“Tapi ada satu syarat?”
“Apa itu, Pak?” tubuh Arlando bergetar
menunggu syarat yang ditentukan ayah. Dia mencoba tetap tenang meski hatinya
bergelora.
“Jangan sekali-kali menemui Nabila lagi
sebelum kalian resmi menjadi suami-istri.” Arlando seperti
kehilangan daya. Matanya memandangi Nabila. Sejenak dia merasa ragu jika selama enam
bulan tak bertemu. Nabila melirik Arlando memberi tanda dengan matanya yang cantik agar Arlando segera bicara.
“Inggih, Pak. Saya terima syarat itu.” semua
yang ada di rumah mengucap hamdalah hampir bersamaan.
Setelah lamarannya diterima dengan syarat Arlando dan Nabila pun
menjalani persyaratannya. Mereka hanya berhubungan lewat telpon dan sms. Begitu
indah cinta mereka berdua meski tak bertemu. Semua berlalu tanpa harus berjalan
berdua, bergandeng tangan apalagi berciuman. Arlando dan
Nabila menjaga cinta tanpa noda nafsu agar tak melanggar adat dan agama. Dan
terasa sangat indah saat waktunya tiba. ***
Sabtu, 5 Mei 2012
DOA GORGA UNTUK IMPAS
Cerpen : Hotma D. L.Tobing
Ketika ditugaskan rapat kerja selama 3 hari ke Jakarta,
tambahlah semangat Gorga. Gorga sangat senang, karena sudah 10 tahun tidak
pernah ke Jakarta.
Malam telah larut, ketika rapat kerja malam
itu selesai. Gorga segera masuk kamar. Lalu menelepon isteri dan anak-anaknya.
Untuk mendengar suara isteri maupun anaknya di pulau Sumatera sana.
Tiba-tiba bel pintu kamar di hotel itu
berbunyi. Gorga bangkit, mengintip dari kaca bundar kecil itu. ”Seorang
perempuan berpakaian rapi,” pikir Gorga.
Dia lalu membuka pintu dengan tangan kirinya.
Dia menyuruh perempuan itu masuk. Perempuan itu menyapa selamat malam. ”Selamat
malam,” kata Gorga pula. Gorga kemudian menonaktifkan handphone-nya.
Kini Gorga ada bersama seorang perempuan, tukang pijat yang disediakan
hotel.
Perempuan itu sopan memakai baju batik
dan kain sarung. Begitu rapi, indah memesona. Sebuah keranjang di tangannya
dengan seperangkat alat : plastik warna biru, handuk kecil, dan hand
body lotion. Gorga tidak menyangka bahwa tukang pijatnya masih muda, bukan
seperti tukang pijat mbok Ros di kotanya.
”Silahkan bapak baca. Di sini ada peraturan
yang harus diketahui dan dipahami, agar tidak terjadi salah pengertian,” kata
perempuan itu dan menyodorkan bahan bacaan
Gorga membacanya sejenak. Dia lalu
manggut-manggut tanda mengerti.
“Kita mulai saja, Pak. Silahkan buka baju.
Hanya baju saja,” kata perempuan itu tegas.
”Baik,” kata Gorga.
”Bapak punya waktu selama 14 menit untuk
merasakan pelayanan kami. Gratis. Pada menit ke-15, bila mau
dilanjutkan, punggung, kaki dan sekujur badan, kami siap melayani dengan
bayaran Rp 350.000. Apabila tidak berminat melanjutkan, bapak tinggal sebut
saja. Berhenti.”
“Maaf, saya mau yang gratis saja,” kata
Gorga sambil membuka bajunya.
“Terserah bapak. Yang penting , 14 menit
pertama tidak dibebani biaya apa pun.”
Nurani Gorga mulai bicara : perempuan
secantik ini bertugas memijat setiap insan yang membutuhkan jasa pijat. Gorga
hanya bisa mereka-reka, apabila di sebuah kamar tertutup terdapat
seorang lelaki dalam keadaan setengah telanjang, maka tidak tertutup
kemungkinan akan terjadi sesuatu hubungan akrab - persentuhan tubuh.
Lalu perempuan itu mulai melaksanakan
tugasnya. Melayani dengan sepenuh hati. Tampaknya dia paham akan tugasnya.
”Siapa namamu, Dik? Boleh bicara sebentar
kan?”
”Impas.”
“Sepertinya adik
berasal dari kota Indah Permai, dekat danau Impian,” kata Gorga.
”Ya betul, bagaimana bapak tahu?”
”Ya saya tahu. Saya duga saja dan ternyata
pas. Sudah
berapa lama bekerja di sini?”
“Oh ya. Maksud bapak?” kata perempuan itu.
”Sudah berapa lama adik berprofesi
sebagai staf pemijat di hotel ini?”
“Empat tahun, Pak”
Tahulah Gorga, perempuan itu berusia 24
tahun. Itu berarti
sudah bertugas ketika dia berusia 20 tahun. Impas juga menerangkan
kepada Gorga, bahwa petugas hanya melayani pijat saja. Tidak lebih dari itu.
Kalau ada sesuatu paksaan dari tamu, pemijat akan melakukan sesuatu sehingga
satpam akan segera melakukan eksekusi hukuman. Karena itu adalah
pelecehan seksual!
“Nah, kalau petugas mau diberi sogokan,
bagaimana?”
“Itu tidak mungkin, saya selalu setia kepada
tugas. Itu komitmen. Kalau ada tamu yang memaksa untuk berbuat mesum, saya
lebih baik “commit suicide”.”
“Oh ya? Sedramatis itu?”
Setelah pakai baju, Gorga meminta waktu untuk
bincang-bincang dan perempuan itu bersedia. Ternyata perempuan itu belum
berkeluarga. Punya pacar dan sang pacar tahu bahwa Impas berprofesi
sebagai tukang pijat. Namun orang tuanya tidak mengetahui pekerjaan
Impas. Lalu Impas juga bercerita bahwa dia harus senantiasa jujur.
”Kami sadar, busuk berbau, jatuh berdebuk.
Tugas saya adalah memijat. Membuat orang jadi sehat. Kata bunda : Benar bawa
lalu, salah bawa surut. Maka harus takut Tuhan.”
Gorga kaget dan takjub dengan kalimat
terakhir itu.
“Karena ada hukum yang berbunyi : Janganlah
engkau mengingini sesamamu manusia. Janganlah engkau berzinah,” kata perempuan
itu dengan suara lantang.
“Malam, Pak,” kata Impas sambil merapikan
pakaian dan peralatannya.
“Mengapa bapak terheran-heran?” tanya
Impas. “Itu adalah titah-titah yang tidak boleh dilanggar,” kata Gorga.
”Kalau begitu, maukah adik berdoa bersama
saya?”
“Sebelum saya iyakan, saya ingin
bertanya. Apakah bapak seorang pendeta?”
“Tidak, tetapi saya anggota majelis.”
“Maksud bapak, anggota majelis permusyaratan
......?” sela perempuan itu.
”Oh bukan. Majelis Saling Menghargai Ibadah
Karunia.”
Maka, segeralah terucap doa dari mulut Gorga.
Dalam doanya dia memohon agar Impas tetap kukuh dalam pendiriannya. Gorga
berdoa agar Impas tetap setia memegang keteguhannya. Setelah disebutkan kata
amin, Gorga mencuri pandang dan melihat perempuan itu mencucurkan air
mata. Deras sekali. Menganak sungai. Sesenggukanlah ia karenanya.
”Mengapa adik menangis?”
”Selama saya bekerja di sini,” kata Impas
seraya menatap Gorga. ”Banyak sekali ancaman bagi kami pekerja pijat ini,
Pak. Kami dianggap rendah oleh sebagian besar lelaki. Kami acap menjadi
bulan-bulanan. Baru kali ini saya dapat tamu yang istimewa dan sekaligus
mendoakan saya. Terima kasih, Pak,” kata perempuan itu terbata-bata.
”Hapuslah air matamu, Dik, dan cuci dulu
mukamu sebelum kembali bekerja.”
***
Pagi muncul lagi. Matahari merekah di
ufuk Timur. Gorga siap-siap cek out.
“Selamat pagi, Pak.
Semoga telah bermimpi indah,” kata suara petugas perempuan.
“Ya, selamat pagi,”
jawab Gorga seadanya.
“Saya Hani dari divisi
kebugaran. Bapak mendapat fasilitas gratis dipijat selama 14 menit di hotel
kami.”
“Tapi saya sudah,” kata
Gorga agak tersendat.
“Maaf, Pak. Ini pelayanan kami. Petugas kami
akan segera datang ke kamar Anda. Kami selalu siap melayani.”
Telepon langsung ditutup petugas hotel. Gorga diam terpaku. Bel kamar pun berbunyi. Pintu pun segera dibuka
Gorga. Gorga melangkah ke arah jendela tanpa memandang petugas pijat.
“Selamat pagi, Pak,”sapa perempuan itu.
“Selamat pagi,” kata Gorga seadanya.
Karuan saja Gorga kaget melihat
perempuan itu yang juga kaget itu. Dia itu Impas.
“Lho kok adik datang ke mari lagi?” kata
Gorga kaget.
”Saya tidak tahu, Pak,” kata perempuan itu
sambil tersenyum. Saya mau melayani bincang-bincang aja selama 10 menit.
Bila bapak berkenan. Boleh
kan, Pak? ” pinta perempuan itu. Berkilat mukanya.
Mereka pun berbincang.
Menurut pengakuan Impas, dia punya saudara bernama Hontas, Gopas, Hipas,
dan Hiras.
”Itu asli bahasa Ibu saya. Nama–nama itu hal
penting, suatu tatanan dan keadaan yang tak dapat dipisahkan dari
kehidupan di muka bumi, Pak,” kata Impas dengan lancar.
”Kami diajari oleh ayah untuk tetap kokoh
dalam pendirian dan kukuh dalam prinsip. Boleh belajar bahasa asing, tetapi
bahasa Indonesia harus dipakai dengan baik dan benar. Bahasa daerah atau bahasa
Ibu harus dipahami agar jangan sampai hilang ditelan zaman. Hidup ini
penuh tantangan. Waktu sangat, sangat berbahahaya. Maka kami harus menggunakan
waktu untuk berbuat kebaikan.”
Gorga diam seribu bahasa mendengar
paparan Impas.
”Apakah bapak bersedia mendoakan saya, Pak?”
”Kenapa minta berdoa lagi?” Gorga menatap.
”Sebab kami dipesan, biarlah kita tetap tekun
berdoa selama hayat di kandung badan. Berdoa itu penting. Doa adalah nafas
hidup. Doa adalah alat komunikasi dengan Tuhan.”
Mereka menyusun jari. Berdoa. Impas tidak
lagi berurai air mata.
Cibodas baru, 12/9/2011/16.00 05:29- sagala
Sawahbesar, 11/4/2012/09.15- sagang
Penulis adalah staf Perpustakaan Jakarta,
berdomisili di Tangerang. Aktif menulis di berbagai media, sperti Harian
Analisa, Medan Bisnis, Jurnal Medan-Global di Medan, Suara Pembaruan, The
Jakarta Post, majalah Intisari, Pialang , Anggaran, Warta Pasar Modal,
Suara HKBP, Dalihan Na Tolu di Jakarta, Radar Banten dan media lokal lainnya. “Perempuan
di Kapal Terakhir” adalah Antologi cerpen :
karya terbaru Hotma D.L.Tobing bersama Berliana Siregar. Diterbitkan oleh
Leutikaprio Yogyakarta (10/3/2012).
Sabtu, 28 April 2012
TINJA
Cerpen
M. Raudah Jambak
Malam semakin larut.
Udara dingin berkolaborasi dengan senandung jangkrik. Suasana gelap semakin terasa
ditambah lampu baru saja dipadamkan PLN. Anak-anak sudah lama terbenam dalam
mimpinya setelah aku menyaksikan pertandingan Jerman lawan Italia yang berakhir
dengan kemenangan Italia 2-0 melalui perpanjangan waktu, semifinal Piala Dunia
2006.
Segera aku mencari lilin untuk dinyalakan. Di kamar istriku
mengerang, berteriak hendak buang air besar.
“Bang, cepat hidupkan lilinnya!”
“Ya, sebentar.”
“Bang, jangan lupa siram WC-nya!”
“Mau ook, ya.”
“Cepatlah…!”
Setelah menghidupkan lilin, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Hujan mulai rintik-rintik. Lubang WC yang kusumpal dengan plastik kuangkat.
Kuambil air dengan gayung dan kusiramkan ke lubang WC. Air pelan-pelan turun
masuk ke dalam lubang. Begitu hendak kutinggalkan sepotong kotoran menyembul di
lubang. Di kamar istriku masih berteriak.
“Sudah belum, Bang?”
“Sabar! Lagi nyiram, nih!”
Kusiramkan air sebanyak-banyaknya. Air tak mau turun masuk ke
dalam lubang sementara kotorannya semakin bertambah. Di luar hujan mulai deras.
Angin semakin terasa dingin. Keringat yang mengucur di dahiku juga ikut
mendingin.
Sebenarnya ini sudah berlangsung dua minggu lamanya. Istriku
sempat minta segera pindah rumah. Padahal masih ada enam bulan lagi masa
pembayaran sewa rumah tahun depan.
“Bang!” sapa istriku ketika kami berada di ruang tamu.
Aku berhenti mengetik. Aku melirik ke arahnya yang masih sibuk
melipat pakaian. Dia tidak melanjutkan pembicaraannya. Wajahnya terpaku pada
lipatan kainnya. Aku mengerti apa yang hendak ia sampaikan. Tapi bingung harus
mengatakan apa. Kucoba untuk meyakinkannya. Berusaha untuk menghibur dan
menyabarkannya.
“Sudah. Do’akan saja Abang menang dalam lomba menulis puisi yang
diadakan Budpar itu. Lima belas juta untuk pemenang pertama kan lumayan. Kita
bisa segera beli rumah, tidak sekedar pindah untuk menyewa saja, ya kan?” aku
berusaha menyabarkannya.
Dia masih diam. Anak-anak masih sibuk bermain di luar. Segera ia
kudekati, kurebahkan dia ke pangkuanku dan perlahan kubelai rambutnya.
“Bang, sudah gak tahan lagi, nih!”
Aku tersentak. Suara jeritan istriku menyadarkan aku dari lamunan.
Air kotoran WC sudah menggenang di kakiku. Aroma menusuk, menembus hidungku.
Aku mulai sibuk mengarahkan air yang tergenang ke saluran air. Hujan di luar
pun mulai sibuk memukul-pukul atap-atap rumah. Pikiranku juga sibuk mengungkit
waktu yang pernah berlalu.
Setelah menikmati roti dan secangkir teh, aku, istriku, dan anakku
berangkat menuju sekolah. Dengan sepeda motor kami mengantar Aini dan Rahmat ke
sekolahnya.
“Bang! WC kita kok mulai tersumbat? Padahal kemarin-kemarin tidak
begitu.”
“Ya, sudah. Nanti kita kasih soda api.”
“Tetapi tetangga sebelah itu bilang sudah diberi soda api, tapi
nggak lancar juga.”
“Terus?”
“Ya, orang itu mandi dan buang kotoran tidak di kamar mandi, tapi
di belakang. Baunya minta ampun, Bang…”
“Kita belum bermasalah kali kan?”
Istriku akhirnya diam. Pikirannya mengembara pada tetangga yang
selalu memaki, mengumpat dan melontarkan sumpah serapah mereka di rumah
masing-masing. Apalagi rumah kami kebetulan berendeng tiga. Tapi begitu ditanya
yang punya rumah semua mulut mereka terkunci rapat. Hanya senyum palsu yang
tergambarkan.
“Apa kerja Abang di situ? Tidur?” kembali istriku berteriak dari
kamar, “Sudahlah keluar! Aku mau beol!”
“Oh, ya! Sikit lagi, nih. Sudah mulai kering…”
Desakan istriku membuatku sedikit panik. Di suasana yang temaram
dan dingin ini, aku tak sabar memindahkan kotoran itu dan membuangnya ke
saluran air di belakang. Aliran air hujan ikut membantu mengalirkan kotoran itu
ke pembuangan. Cahaya lilin terlihat berkelap-kelip. Di saat kesibukanku
membuang kotoran dan membersihkan air limbah WC yang meluap, ada yang terasa
melilit dalam perutku. Lilitan itu terasa semakin mengencang. Angin kencang
yang dingin dan hujan yang semakin deras tak mengurangi lilitan yang semakin
melumatkan.
“Bang!”
Aku diam, tak bersuara. Pelan-pelan aku menuju lilin yang
berkelap-kelip. Aku yakin istriku yang penakut tidak akan berani bersuara jika
tidak ada cahaya lampu maupun lilin. Rasa takutnya itu akan membuatnya diam
untuk sementara. Dan memang setelah itu tidak ada suara, kecuali hujan yang
menggebuki atap rumah dan angin yang meninju daun pintu juga jendela.
Lubang WC yang masih tumpat itu kutinggalkan. Segera aku membuang
kotoran di bawah curah hujan yang cukup deras. Untunglah dari tadi aku sudah
menyiapkan payung. Pernah aku menyarankan untuk memanggil mobil penyedot tinja
kepada yang punya rumah. Tapi setiap kali disampaikan selalu respon negatif
yang kudengar.
“Lho, kalian yang buang kotoran kok malah kami yang harus
bertanggung jawab!?”
“Bukan begitu, Bu. Kita panggil saja mobilnya dulu, mengenai
biayanya kita tanggung bersama.”
“Saya tidak pernah buang kotoran di tempat kalian. Paham!”
Berbagai upaya telah dilakukan termasuk membicarakannya dengan dua
tetangga kami. Pada tetangga yang paling ujung, persis arah pembuangan air dan
kotoran, saran kami sampaikan. Respon positif belum mengemuka. Mulai dari
memanggil mobil penyedot tinja sampai penggunaan soda api.
“Bang, kalau WC-nya penuh dikasih soda api percuma.”
Selalu jawaban kosong yang didengar. Padahal air dari lubang WC
kadang menyusut, itu berarti ada yang tumpat. Lagipula saran memanggil mobil
penyedot tinja pun tak ada yang merespon. Tiga ratus ribu rupiah bagi tiga
keluarga mungkin cukup meringankan.
“Mungkin karena ini rumah sewa, Bang! Tetangga kita merasa rugi
mengeluarkan uangnya.”
“Entah. Mungkin juga. Tapi rumahnya kok dicat abis. Dibuat semakin
bagus.”
Dengan sekali siraman saja aku sudah selesai membuang kotoran. Air
hujan terus mengalirkannya ke ujung aliran. Rasa jijik kubuang jauh-jauh. Hujan
masih belum berhenti. Suara istriku tidak terdengar. Mungkin ia tertidur, atau
suara hujan terdengar cukup deras.
Pelan namun pasti kembali aku melangkah ke dalam. Kuraih korek api
di samping kompor dan segera menyalakan lilin. Lalu perlahan mengarahkan
cahayanya ke arah kamar mandi. Di kamar mandi sudah penuh kotoran di sana-sini.
“Abang ke mana aja tadi kupanggil nggak dengar?!”
“Membuang air ke belakang. Maksud Abang, menguras air di
belakang.”
“Pantas,” ujar istriku, “Aku sudah buang air besar di kamar mandi.
Coba Abang lihat mungkin sudah berantakan. Habis gelap…”
Wah, kemajuan, pikirku. Biasanya rasa takut, terutama takut akan
gelap, membuat istriku tidak bisa apa-apa.
Kembali aku disibuki dengan tugas pertamaku, membersihkan WC dan
kamar mandi. Airnya mulai surut. WC-nya mulai normal. Kamar mandi pun
kubersihkan dengan pembersih lantai ditambah dengan pengharum. Belum hilang
lelahku. Anakku, Aini dan Rahmat, terbangun. Mereka hendak buang air besar
juga.
Habis waktuku mengurusi tinja malam itu sampai menjelang pagi.
Untung saja kedua anakku lebih memilih buang air besar di belakang, sehingga
aku tidak perlu disibukkan lagi dengan membersihkan kamar mandi. Kali ini cukup
dengan menyiram saja dan dengan bantuan aliran hujan yang deras. Setelah itu
aku segera membersihkan diri, lalu mengeringkan tubuhku. Dan aku masih sempat
beristirahat beberapa jam lamanya.
*
* *
“Bang, bangun!” dengan lembut istriku menyuruhku bangun.
Pandanganku segera kuarahkan ke jam dinding. Astaga! Sudah pukul sepuluh. Aku
lupa sholat subuh. Tanpa ba-bi-bu lagi aku pergi ke kamar mandi. Dan tidak
kuhiraukan istriku yang ingin mengatakan sesuatu.
Kuambil handuk yang ada di tali jemuran yang biasanya ada di
belakang. Begitu meraih handuk, niatku untuk mandi kutunda sesaat. Apalagi ini
masa liburan sekolah dan aku tidak terlalu terburu-buru dengan rutinitasku
selama ini, berangkat ke sekolah.
Ada pertengkaran kudengar di belakang. Tetanggaku di sebelah
tengah bertengkar dengan tetangga paling ujung. Saling tuding, saling sumpah
dengan ucapan-ucapan kotor meluncur begitu saja. Mungkin lebih kotor dari
kotoran yang menumpuk busuk di saluran air tetanggaku yang tumpat. Tak
terbersihkan. ***
Medan,
Juni2006
Sabtu, 21 April 2012
Binar Bening di Kelopak Mataku untuk Ayah
Cerpen
: Lastri Bako
Rinai hujan bergelayutan di dahan dan ranting pohon-pohon
yang tumbuh di sekitar rumahku. ”Pagi yang cerah,”bisikku
dalam hati, menghirup udara segar dengan memicingkan
mata. Bau tanah yang semalaman diguyur hujan, menambah
sejuk pagi ini, tapi aku mencibirkan bibirku
”Pagi
yang indah untuk jiwa yang sepi,”kataku
lirih mendesah. Pikiranku
melayang sejak tadi malam. Ibu sudah sibuk membenahi
barang yang akan dibawa ke rumah sakit. Ayah harus diopname karena batuk yang semula
biasa saja kini menjadi sangat luar biasa rupanya. Batuk
yang diderita ayah tak kunjung membaik selama dua bulan. Sekarang
keadaannya makin memburuk. Saat batuk pun ayah bisa
muntah-muntah dan terasa sakit di pinggangnya. Hingga
ia harus merengek kesakitan tatkala ingin batuk dan beraktivitas. Bahkan, untuk berjalan ke kamar
mandi pun ayah tidak sanggup, karena rasa sakit yang menggerogoti pinggangnya.
Maka dari itu, kami melarikan ayah ke rumah
sakit yang juga tempat ayah bekerja untuk diperiksa lebih lanjut. Awalnya ayah menolak, tapi...
”Apa
iya penyakit ini dibiarkan saja,” aku
bergerutu dalam hati. Ayah memang sedikit keras
kepala.
Sampailah kami di depan pintu IGD yang menganga menyambut kedatangan kami, layaknya
pintu yang sudah paham betul maksud tujuan kami bertamu. Setelah
masuk ruangan IGD, ayah
diberikan pemeriksaan awal, dan sudah diinpus. Lihat saja, di tangannya
sudah mengalir cairan dari selang putih bergelantungan.
Sementara aku dan adikku hanya bisa berdiri
di depan pintu IGD ini, menanti keputusan. Ibu sibuk ke sana, sibuk
ke sini, mengurus segala sesuatunya. Ternyata
lama juga prosesnya. Sudah hampir dua puluh menit
aku menunggu harap-harap cemas. Tak lama kemudian barulah
ibu keluar dari pintu IGD, dan menghampiri kami. Katanya, bawa barang-barang untuk naik ke lantai
8, karena
tidak ada lagi ruangan di lantai bawah.
Aku dan adikku pun menyusul dan membuntuti ke mana
haluan yang diarahkan oleh ibu, sembari melirik ke sana
ke mari. Beberapa
pasien yang sedang ditangani dokter sangat beragam keluhannya, dan
malah jauh lebih parah lagi dari penyakit ayah. Aku
mengendus, mencium darah yang
sangat menyengat, tapi
masih terasa masih segar. Kucari dari mana asal bau
itu.
”Ohh
Astaga!” Aku segera memalingkan wajah tak sanggup
melihat jauh lebih detail. Itu, darah yang bercucuran dari
seorang pria remaja sepertinya korban kecelakan. Aku
yakin betul kakinya patah.
“Iya, patahhhh!” tegasku dalam hati dan
berlari kecil ke arah ibu karena
aku tertinggal beberapa meter. Di depanku
kulihat ayah dengan kursi rodanya. Sungguh miris hatiku. Walau masih menebarkan senyuman di wajahnya, tapi
luka-luka itu jelas terlihat dari fisiknya yang turun drastis.
Segera aku enyahkan gejolak tangisku, sambil
memaki diri sendiri. Selama ini aku kurang
perhatian pada ayah. Aku coba membentengi
diri agar air mata ini tidak tumpah ruah sekarang. Ayah
pasti sedih melihat aku menangis. Tapi entah kenapa ketakutanku lebih perkasa
dari hati nuraniku sendiri.
Walau
bukan aku yang sakit, tapi
aku dapat merasakannya. Penyakit
ayah ini adalah pertama kalinya dalam sejarah ayah sakit.
Dalam lift, ayah meraung sesekali, dipakaikan
kursi roda itu karena ayah tidak kuat berjalan. Hanya bisa duduk menahan rasa sakit, sampai
juga di lantai delapan. Lantai teratas Rumah Sakit Pirngadi Medan. Memasuki
ruangan 811, dan berjumpa dengan penghuni lama yang lebih
dahulu masuk di kamar tersebut. Dalam satu kamar ini, dibatasi
dua pasien saja dan difasilitasi satu kamar mandi.
Tetangga kami tersebut, kaki
anaknya diamputasi sebelah kanan karena
korban tabrak lari. Tempat kejadiannya di
kisaran.
“Memang
malang sekali dia,”pikirku dalam hati. Di
usia yang masih terpaut muda dia sudah kehilangan kakinya sebelah. Walau itu bukan keinginannya tapi inilah takdir, suratan tangannya.
Perawat membaringkan ayah di tempat tidur, sementara
aku sibuk menyusun barang bawaan kami dari rumah. Aku
meletakkan di atas dan beberapa stel baju di dalam
lemari kecil yang sudah disediakan di dalam
ruangan tersebut.
Tak kurasakan lagi air mata yang membasahi
sudut mataku, dan kini bercucuran membasahi pipi. Tangisanku
ini tidak kuperuntukkan ayah, tapi
untukku sendiri sebagai cambukan. Selama
ini aku kurang memerhatikan kesehatan ayahku. Ketika
saat ini ayah berbaring di rumah sakit, barulah terasa kedekatan kami sekeluarga, yang
setiap waktu akan kuperuntukkan ayah.
Ayah yang selama ini tampak segar dan sehat
ternyata menyimpan segudang kepedihan dan sakit yang tersimpan rapat. Kami
pun tak menahu tentang rahasia yang tersimpan rapat di belakang senyumnya. Sewaktu
mengantar ayah ke ruang radiologi untuk difoto, kami
melewati lorong serba putih.
Baju
putih, alat serba
putih, dan
bau khas rumah sakit yang tak kalah menyengat hidung di setiap
sudut ruangan.
Raut wajah yang tak beraturan di sana
sini sangat mengharukan. Tangis yang menggelegar di
dalam ruangan sebelah memilukan hati. Itu, tangisan seorang bayi. Kasihan sekali bayi itu, pada usianya yang balita sudah merasakan kepedihan.
”Sakit
apa yang dideritanya?”aku bertanya-tanya dalam hati dengan wajah penasaran.
Kini giliran ayahku untuk difoto. Radiasi Sinar X itu pastilah juga tidak
baik. Ini bukan pertama kalinya
ayah difoto. Terselip rasa was-was dalam
hati. Setelah sampai di kamar
kembali, ayah pun berbaring. Kuperhatikan
wajahnya pucat. Kulitnya menciut dan keriput. Timbangan berat badannya semakin berkurang.
“Emmm
ayah, lekas sembuh!”
jeritku dalam hati.
Pola hidup sehat memang sulit dijalankan, jika tidak terbiasa. Ayah yang dahulunya
tidak pernah mau sarapan pagi, minum susu, dan tidur cukup, kini
harus menjalani ini dengan senang hati.
“Ini
juga demi kebaikan Ayah
kok!”
Pagi ini ke luar
diagnosa hasil pemeriksaan ayah. Kesimpulan instalasi pertama thorax
Infected hiectasis, dan instalasi kedua Lumbosacral
spondylosis. Selain penyakit hasil diagnosa itu, ayah
juga ada penyakit gula dan
sesak napas.
”Entahlah
aku tidak terlalu tahu menahu istilah kedokteran ini.”
Penyembuhan ini membutuhkan waktu jangka
panjang di rumah sakit, sekalian ayah istirahat total juga pikir ibu. Saat aku mendengar perbincangan mereka dengan
suster jaga. Dinas pagi, sore, dan malam yang terus
menerus yang jadi aktivitasnya.
Ditambah
ruangan tempat ia bekerja full AC juga mendukung keparan sakit
ayah, cibir
ibu yang lebih was-was daripada aku.
Sebelum memasuki pukul 4 sore, aku
ingin berjalan-jalan di sekitar rumah sakit. Aku
menuju lift dan turun ke lantai
dasar, lalu menelusuri
jalanan raya. Entah ke mana
kehendak hati melangkah. Hutan beton menambah
panasnya udara, mengakibatkan polusi. Pemandangan
yang dapat dinikmati hanyalah kenderaan yang berlalu-lalang tanpa henti dan
kerutan di dahi orang-orang sekitar yang selalu sibuk. Tiada
teman matahari yang bersinar garang.
Perutku pun berbunyi. Kulihat ada beberapa warung berserakan di seberang
jalan. Kupilih juga warung yang menyediakan nasi
goreng dan aneka jus. Sembari menunggu pesanan kulihat hanphone, ada beberapa pesan masuk. Pesan-pesan
itu lebih banyak dari Ari, teman sekampus. Sudah
paham betul maksud sms-sms yang masuk jika dari dia. Telah banyak rayuan yang diobralnya untukku. Tapi dia cowok satu-satunya yang perhatian
padaku saat ini. Andai saja dia masih sendiri, mungkin keadaannya tidak serumit saat ini. Katanya dia mencintaiku, tapi aku tidak menemukan
kejujuran dan ketulusan dari kedua bola matanaya.
Sehabis makan, ibu meneleponku
dan memesan beberapa yang ingin dibeli di supermarket. Selagi aku masih di luar, pikirnya
sekaligus untuk belanja. Aku pun bergegas ke lantai
paling atas, di tempat Ayah berada. Angin kencang sore ini
menembus baju yang aku kenakan, hingga
terasa begitu dinginnya pada bagian tubuhku di dalam.
Setiba aku di depan
pintu, ada Petugas yang mengantarkan makanan
khusus untuk si pasien. Aku
pun mengambil bagian untuk ayah dan duduk di sampingnya. Aku akan menjaga dan siap terus di sampingnya. Kata dokter, diperkiran ayah akan ada di rumah
sakit seminggu lebih. Dengan waktu segitu, aku bisa mengabdi pada
ayah.
”Siapa
lagi coba yang akan mendengarkan curhatku, makanan
yang aku masak, teman nonton bola, ngizinin
aku pergi, beri uang tambahan dan banyak lagiii
dechhh selain ayahku ini?”
Bening jatuh dari kelopak mataku, mengalir
membelah pipiku yang ranum.
Lalu
lenyap di balik jilbab merah muda yang melingkar
di kepalaku. ***
Medan, 2012
Penulis adalah Mahasiswa bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP UMSU Medan.
Sabtu, 14 April 2012
Kisah
Liris di Setiap Senja
Cerpen Cipta Arief Wibawa
Kau suka senja ya?
Ya. Aku begitu tergila-gila
dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu. Ungu seperti kita. Seperti
darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak kemana-mana, hahahaha walau kita
tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja dengan mati.
Kita ini
sebenarnya tak pernah memahami bagaimana kesedihan sejatinya berjalan. Lanskap pantai, karang, dan camar-camar
yang mengantar senja pulang seharusnya jadi salah satu cerita romantis bagi
kita yang kekasih. Mungkin memang beginilah cara semesta mengajarkan hidup bagi setiap makhluk. Termasuk
bagi kau, seorang yang biasa kuakrabi sebagai, “senja”. Seorang yang lalu
merubah segala skenario yang—boleh jadi—pernah disusun Tuhan terhadapku….
Untuk kita yang kekasih,
apakah perjumpaan memiliki kadar yang sama pentingnya dengan perpisahan?
Kuperhatikan kedalaman matamu yang pekat. Hanya ada segaris senja yang kusam di
sana. Ah, apakah selama ini rasa yang kau uraikan adalah sebuah kebohongan?
(Tapi bagaimana mungkin sebuah cinta bisa berbohong, bukankah ia lahir dari
ketulusan?).
Deret hari bagi kita adalah detik yang pasti telah mengkhianati waktu
sebab terlalu cepat jalannya, begitulah candamu suatu ketika saat senja hampir
tiba di tubir cakrawala. Kau terus menatapku, matamu seperti tombak yang
runcing menusuk setiap jengkal rasa di dalam dada. Aku tak perduli. Jika memang
seperti ini nikmatnya terluka, maka biarlah luka itu terus tumbuh di tubuhku,
mengalirkan tetes-tetes darah untuk terus kunikmati. Ada sesuatu yang dengan
begini akan membuatku mengerti….
****
Ini senja yang keberapa
sejak bumi tercipta? Mungkin sama tak terjawabnya jika kau bertanya itu kepada
pagi, siang, atau malam. Tak penting.
“Apa mungkin perasaan itu
bisa digambarkan”
“Tentu saja.” Aku menjawab
dengan cepat.
“Bagaimana bisa? Tak ada
yang pernah menggambar perasaan sebelumnya, kan?”
Ah, senja ini hampir padam.
Wajah manismu yang sendu pun sebentar lagi akan padam. Aku belum lagi sempat
belajar untuk menerima sakitnya perpisahan. Harus bagaimana sekarang?
“Kau tahu perasaan dia
padamu?” Aku menunjuk dadaku. Ada hati di sana.
“Tahu? Tentu saja tidak.”
“Maukah kau kugambarkan
bagaimana perasaannya saat ini?”
Kau mengangguk dengan
cepat. Antusias sekali. Mata sendumu untuk sekejap berbinar-binar seperti
satu-dua bintang yang saat ini mulai muncul meski masih terlihat pucat. Aku tak
melakukan apa pun. Hanya diam menatapmu dengan lamat. Sampai lama. Sampai
mungkin kau merasa risih dan lantas tersipu. Harusnya sekarang kau telah paham,
kita bisa menggambar tak hanya dengan kuas dan kanvas. Lewat kata, tatap mata,
senyuman, dan banyak hal lain selalu bisa jadi medium untuk kita menggambar
beragam hal, sayang. Seperti saat ini, saat pelan-pelan hujan turun, kau dan
aku semakin dekat dan kita terus menggambar, entah apa itu. Mungkin hanya Tuhan
saja yang tahu. Ah, ya. Ini senja yang keberapa ya sejak bumi tercipta?
****
Aku ingat sekali, September
tahun itu untuk pertama kalinya aku belajar mengucap janji. Sungguh ini hal
yang amat bersejarah bagiku. Buatku yang tak pernah mengerti arti dari
keseriusan ini, janji adalah barang mahal yang tidak setiap hari bisa kubeli.
Sialnya lagi, kaulah justru yang jadi orang pertama yang mau menerima janjiku.
Maka lagi-lagi saat senja, ketika ombak sedang pasang-pasangnya dan angin
tengah kencang membelai tubuh kita, malaikat pun bertaburan dari langit membawa
sekantung mawar yang lalu ia taburkan ke hati-hati kita.
“Mungkin ini senja yang
indah ya. Maukah kau bernyanyi untukku?”
“Hah? Aku tak pandai
menyanyi. Lagipula untuk apa?”
“Untuk perpisahan kita.
Memangnya ada alasan lain selain itu?” Begitulah kau bertutur seolah semua yang
baru saja keluar dari bibirmu adalah hal yang biasa.
“Kau aneh!”
“Biar. Please,
mau ya?”
Setelahnya musim begitu
cepat berlalu. Setiap hari aku begitu sibuk melingkari sederet angka di dinding
sambil menghitung sudah berapa lama sejak hari terakhir kita bertemu. Sekarang
adalah hari ulang tahunku. Begitu banyak orang yang memberikan doa serta
selamat di hari ini. Tapi semua begitu terasa kosong. Seolah semua kata yang
mereka berikan hanyalah nasi yang takkan pernah enak dimakan tanpa lauk-pauk
yang menyertainya.
“Hmm, seseorang itu hanya
akan berarti ketika ia menjadi yang pertama atau terakhir. Tidak jika di
tengah.” Dulu, dulu sekali kau pernah bercerita itu di senja yang syahdu.
Sebelum malaikat mengajakmu menari.
****
Ini senja yang keberapa
sejak bumi tercipta? Ini senja yang keberapa sejak aku tak lagi memanggil
namamu ya? Tunas-tunas rindu begitu subur tersemai di ladang hatiku. Padahal
tak pernah disiram. Mungkin rindu ini seperti perdu yang tak membutuhkan
perhatian untuk terus hidup. Ia akan terus tumbuh dan semakin besar. Tak akan
pernah mati meski kau memangkasnya. Hingga nanti saat kesadaranmu perlahan
kembali, kau telah terlanjur kehilangan dan tak lagi mampu memahami tentang
rasamu
Sejauh yang masih kuingat
dengan samar adalah senyummu yang perlahan memudar menjadi mimpi di hampir
setiap malamku. Semua hal ini begitu berat untuk kulalui sendiri. Pelan-pelan
aku mulai bingung mencari beda antara absurdisme dan realita atas bayang wajahmu.
Dalam sendiri begini aku coba menciptakan senjaku. Sebuah dunia dengan kilau
ungu yang bersinar kala matahari hampir jatuh di batas horison. Mungkin kau
bertanya kenapa bukan warna lembayung yang melengkapi senja. Aku tak tahu
jawabnya. Ini duniaku. Semua terjadi begitu saja atas apa yang aku pikirkan.
Senja, mari kita menari dalam suasana yang romantis ini.
“Aku rindu saat-saat
seperti ini.” Tuturmu begitu lembut dan renyah sampai telingaku.
“Ya. Begitu hangat, begitu
damai. Mungkinkah ini yang namanya surga ya?”
“Jangan bercanda, di surga
kurasa takkan ada yang namanya hati”
“Bagaimana mungkin hati tak
ada? Kau mengarang.”
“Jelas tak ada. Hati itu
memiliki dua sisi. Suka dan duka. Di surga tak ada duka”
“Benarkah? Aku baru tahu
hal itu”
Ya, kekasih. Ternyata kisah
ini bukanlah sebuah duka yang harus kubawa sepanjang hari. Aku akan selalu
melangkah menjalani seluruh musim. Menghadiri setiap pesta senja meski kau tak
ada. Meski kau tak ada, Senja.
****
Sebuah nisan yang
bertuliskan namamu terus kupandangi dengan amat lekat. Sama seperti saat
pertama kalinya aku mencontohkan bagaimana rasa itu bisa digambar meski bukan
di atas kanvas. Senja, tidakkah kau lihat sore ini begitu indah. Bulir-bulir
air di bola mataku tampak berkilauan di terpa lembayung. Senja ini belum akan
berakhir. Setidaknya sampai tetes-tetes ungu yang mengalir di nadiku ini
habis….
“Percayakah kau, andai
kehidupan masih ada untuk kita, maka aku memilih untuk hidup bersamamu.”
“Benarkah? Aku juga….”
Tersenyum
“Hanya begitu?”
“Ya. Memang apa lagi? Ayo,
senja sudah hampir berakhir.”
Kita pun saling
bergandengan tangan. Berlari dengan kencang menuju muara senja. Sangat kencang.
Dan pelan-pelan tubuh kita bercahaya. Mulai dari tangan, kaki, wajah, hati, dan
seluruh tubuh kita kini telah menjadi cahaya. Bukan ungu. Tapi oranye. Untuk
yang terakhir aku bisa melihat kau tersenyum. Manis. Amat manis untuk
kuabadikan dalam memori terakhir imajiku.
****
Aku begitu tergila-gila
dengan senja. Tak hanya itu, aku juga menyukai ungu. Ungu seperti kita. Seperti
darah yang terlanjur membeku dan tak beranjak kemana-mana, hahahaha walau kita
tahu dalam pengertian sederhana itu sama saja dengan mati. Mati yang indah
tentunya….
Rumah cahaya, 2012
Cipta Arief Wibawa, Lahir
di Semarang pada 8 Maret 1990. Seusai sekolah dari SMA An-Nizam, ia meneruskan
berkuliah di Psikologi Universitas Sumatera Utara. Saat ini bergabung di Forum
Lingkar pena (FLP) Sumatera Utara. Karya-karyanya pernah dimuat di Sabili,
Waspada, Sumatera Ekspress, Aceh Corner, dll.
Sabtu, 7 April 2012
Ratusan
SMS Darah B
Cerpen
Ririn Anindya Putri
Tidak seperti biasa, baru beberapa menit dari jam 9 malam, kelopak
mata Rei sudah minta ditutup dan tubuhnya telah nyaman berbaring di ranjang
dengan seprei putih kesukaannya. Tiba-tiba ponsel yang memang seperti biasa
tidur bersamanya dengan semangat mengabarkan sms masuk. Rei yang kalah semangat
berlemah-lemah menggapai.
Tolong
bantu menyebarkan. Mohon bantuannya, butuh darah bergolongan darah B. Untuk
Aidina Maya, kelas 1 SMP, sedang kritis karena kecelakaan di Rumah Sakit
Dahlia. Cp. Kiki: 087731684xxx. Tolong disebar, jangan sampai sms ini terputus.
Pengirim: Rani
+623808098xxx
Penerima: Rei +628187896xxx
Rei yang berlimpah bonus
sms, di tengah usaha melawan ketaksadaran karena kantuk yang bertambah-tambah,
menyebar sms tersebut sekenanya, seberapa ia mampu.
****
Pagi masih biru, meski
begitu jendela rumah sudah terbuka lebar. Memersilakan udara segar masuk dengan
sesuka ke rumah itu, akhirnya para penghuni pun telah segar karena dirasuk
udara pagi. Seperti tubuhnya, isi kepala perempuan 23 tahun berpiyama hijau pun
sudah siap untuk menerima perintah. Memeriksa sms masuk adalah aktivitas yang
tak terlewatkan gadis itu setiap pagi. Ia membaca sms yang bermunculan,
termasuk membaca ulang sms perihal membutuhkan donor darah. Kali ini, ia dengan
semangat menekan keypad buram ponsel, meneruskan sms tersebut
ke banyak teman.
Rei punya kesan manis akan
donor darah pertamanya dan juga telah memiliki pemahaman yang baik
tentangnya-tentu donor darah sukarela. Ia mengagendakan untuk donor darah
hari itu. Ya, ia bergolongan darah B, persis seperti yang tengah dibutuhkan.
Selang beberapa jam, sms
baru sundul-menyundul, tak lain tak bukan menanyakan kepastian berita Si Adik Kecil
– Aidina Maya. Adalah mengirim dan berbalas pesan kini tengah dilakukan.
Kakak kenal dengan pasien?
Pengirim: Arni
+628578945xxx
Penerima: Rei +628187896xxx
Enggak dek, kakak dapat
kabar dari Kak Rani. Tapi nanti kakak akan ke Rumah Sakit itu, dek.
Pengirim: Rei +628187896xxx
Penerima: Arni
+628578945xxx
Kak Rani, itu Rumah Sakit
di kota kita ini, atau di mana? Kakak ke sana?
Pengirim: Rei +628187896xxx
Penerima: Rani
+623808098xxx
Kayaknya gitu, Rei. Kakak
baru bulan lalu donor, belum bisa lagi.
Pengirim: Rani
+623808098xxx
Penerima: Rei +628187896xxx
Kak, lagi demam, enggak
boleh donor darah…
Pengirim: Fifi
+6287620163xxx
Penerima: Rei +628187896xxx
Kak, Yul bisanya sore. Kak
cp nya kok gak bisa dihubungi?
Pengirim: Yuli
+6289747107xxx
Penerima: Rei +628187896xxx
Contact
person tidak bisa dihubungi? Ah, Rei pun belum ada menghubungi contact
person-nya. Ia mencoba menghubungi, namun tidak ada nada sambung. Ia coba
sms, sms ditolak. Selang beberapa menit, menghubungi lagi, tapi hasilnya tetap
sama. Tak lama, ponsel tuanya berdering
“Mbak, saya Wiah, mau tanya
tentang donor darah itu, kami bertiga mau donor, Mbak.”
“Mbak, tahu dari sms ya?
Apa di sms itu contact person-nya saya ya, Mbak?” Rei sedikit
heran, karena ia tidak sedikit menerima telepon atau sms bernada sama.
“Bukan, Mbak. Tapi Mbak
Kiki, cepe-nya enggak bisa dihubungi, teman saya yang kirim sms
bilang, dia tahu dari Mbak Rei.”
“Saya juga dapat dari
teman, Mbak. Tapi itu pun, nanti saya akan ke Rumah Sakit Dahlia, nanti saya
kabari ya, Mbak.”
Rei menanyakan Kak Rani
yang meng-sms-nya, ternyata Kak Rani pun dapat dari temannya, dan temannya
dapat dari teman-temannya, dan kesimpulannya tidak pasti dari mana sms itu
berasal. Rei yang memang sudah berniat donor, ditambah tanda tanya yang telah
memukul-mukul kepala memutuskan untuk pergi juga.
****
Rumah sakit punya aroma
khas. Dan kebanyakan ummat manusia tidak menyukai aromanya. Wajah gadis itu
jelas menyimpan rasa penasaran. Antara berharap dan tidak atas kebenaran sms
tersebut. Mendatangi pusat informasi pertama kali sesampai Rei di sana.
“Bu, saya ingin menemui
pasien bernama Aidina Maya, usianya…” Ingatannya tak sekuat keinginannya. Dia
membuka kembali sms yang bersemayam di ponsel.
“Anak kelas 1 SMP, Bu.
Sedang kritis karena kecelakaan.”
“Kapan masuknya, Dek?”
Perawat yang sudah paruh baya itu bertanya ramah.
“Tidak tahu, Bu. Saya dapat
kabar dari SMS.”
Perawat yang Rei sapa Ibu
itu, segera membolak-balik daftar pasien, ia menggeleng. “Coba ke bagian anak,
Dek. Kalau masih umur segitu, ditangani oleh bagian anak.”
Di ruang anak pun sama,
perawat yang berjaga masih tetap menggeleng. “Coba, lihat namanya di papan
tulis yang ada di depan ruang UGD, Mbak. Kalau dia kritis, dia akan dirawat di
situ. Dan namanya tercantum di papan itu. “
Langkahnya cepat, namun
pendek-pendek karena rok panjang yang dikenakan hari itu tidak cukup lebar.
Jika ponselnya adalah manusia, ponsel itu pasti sudah terengah-engah,
meneriaki gadis itu. Ponselnya telah berdering berkali-kali tapi Rei tak juga dengar.
Ponsel itu berbunyi lagi. Telepon dari adik stambuk di kampus.
“Kak, kami dapat sms
dari call center Rohis kampus, ada yang butuh donor darah ya,
Kak? “
“Hah, call center?”
Rei jelas terkejut, kapan ia mengirim sms ke call center Rohis
kampus. Di zaman ia kuliah saja, saat ia menjadi admin, tepatnya
dua tahun lalu, call center sudah beranggotakan 600-an orang.
“Hasanah bilang dia dapat
sms dari kakak, lalu dia kirim ke call center, lalu di-share ke member. Ini
kak, ada tiga orang yang mau donor.”
“Nanti kakak hubungi, kakak
lagi di Rumah Sakit, juga mau donor tapi sepertinya info tersebut… Nanti kakak
kabari.”
Kepalanya naik-turun
membaca nama-nama yang tertera di papan UGD. Berulang-ulang dicocokkan nama
yang ada di sms dengan di papan. Bahkan ia nyaris seperti orang hendak
menghapal tujuh nama yang ada di papan UGD beserta nama dokter yang merawat.
Nihil.
Tanda tanya yang semula
hanya menumbuki kepala, kini menjalar bersama alir darah. Siapa dalang semua
ini? Apa ini cuma mau buat sensasi? Ah, bagaimana dengan ratusan sms serupa
yang tersebar? Bagaimana dengan ratusan tanggapan? Bagaimana dengan puluhan
niat?
Menggelengkan kepala dengan
kencangnya, seakan berontak dengan segala tanya. Lalu meluap syukur di balik
kehampaan yang menyelinap. Rei menepis prasangka-prasangkanya dengan kenyataan
selama ini, sms semacam itu kerap ia terima, dan memang benar adanya. Mungkin
di lain waktu ia akan memeriksa lebih dulu, menghubungi contact person sms
semacam itu, terutama jika ia tak mengenali Si Pasien dan Si Contact
person. Ia khawatir hal-hal semacam ini justru akan mengurangi
keinginan kuat seseorang untuk membantu jika ada sms yang tak jauh berbeda
datang di waktu depan. Tubuh mungilnya tetap berjalan tegak, ia tersenyum
ketika menyadari fakta lain, banyak kepedulian bahkan reaksi cepat untuk
membantu orang yang tidak dikenalinya secara suka rela, ditambah pada umumnya
orang-orang tersebut masih mendiami usia yang terbilang muda. Menyenangkan,
batinnya.
Sambil menunggu angkot di
teduh pohon beringin tepi jalan, Rei cekatan merancang sms pemberitahuan,
Saya (+628187896xxx) siang
ini telah memeriksa sms yang menyatakan butuh donor darah B a.n Aidina Maya
(sebagaimana sms yang di-forward ke saya dan saya forward pula, di mana cp
tidak bisa dihubugi, di ruang informasi, ruang anak, UGD RS. Dahlia Medan, dan
tidak menemukan pasien yang dimaksud. Bisa jadi info tidak valid, karena tidak
update, informasi tempat – salah, dsbg. Semoga hal ini tidak mengurangi
keinginan kita membantu yang membutuhkan donor darah di kemudian hari, karena
sms-sms serupa yang saya terima sebelumnya baru kali ini tidak pas.
Dengan cekatan ia mengirim
sms yang telah mencapai lima layar tersebut. Di tengah kesibukannya itu, ia
menyetop angkot. Secara tak sadar, ia menyetop angkot yang salah. Harusnya
angkot bernomor 06 tapi malah menyetop angkot 60. Masih tak menyadari. Di
angkot pun masih ber-sms ria. Ponsel putih di genggaman kembali kencang
berdering. Merampas perhatian penumpang lain akan jalanan.
“Ini dengan, Mbak Rei?”
“Ya.”
“Saya Irsyad. Saya dan
empat teman saya berniat donor darah suka rela untuk adik itu, Mbak.”
“…”
****
Rumah
Cahaya
Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Matematika FMIPA Unimed.
Saat ini aktif bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Utara.
Sabtu, 31 Marert 2012
Senja di Ujung Dermaga
Cerpen :
Robby Saputra
Di sebuah dermaga di sudut kota Perth, aku
merapatkan mantel wol tebalku erat-erat. Bulan ini adalah musim dingin yang
hebat. Udara terasa beku menusuk sampai ke tulangku. Salju masih turun dengan
lebat sejak kemarin. Sore
ini terasa sepi, tidak banyak orang-orang yang berada di luar. Kota Perth tahun
ini terselimuti salju tebal, memutihkan segenap pemandangan.
Dermaga yang selalu ramai
ini agak sepi karena badai hujan salju yang turun tiada henti-hentinya. Aku
melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping uang logam
aku masukkan, sekaleng capuccino hangat berpindah ke tanganku.
Kopi itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama kembali aku berdebar, aku
meninggalkan tripod kameraku di kursi taman dermaga.
Aku sering menghabiskan
waktu di dermaga ini bersama Sarah, Sarah adalah sahabatku sejak SMA di Jojga.
Saat ini aku dan Sarah sedang melanjutkan study di University of Notre Dame
Australia (UNDA), sebuah universitas di kota
pelabuhan Fremantle, Australia Barat. Aku dan Sarah hobi memotret, kami suka memotret pemandangan dan
aktivitas orang-orang di sekitar dermaga juga memotret turis yang berkunjung di
sana, entah kenapa aku sangat menyukai tempat ini, tempat ini sangat indah,
suasana di sini begitu tenang dan damai sangat cocok untuk menghilangkan rasa
penat setelah pulang universitas maupun kantor. Aku berjalan mendekati sebuah
kursi taman tempat aku meninggalkan tripod kameraku. Ada seorang kakek tua
duduk di ujung kursi, melenggut menahan kantuk sambil memegang alat untuk
membersihkan salju di taman dermaga. Setelah aku mengambil tripod kameraku, aku
memanggil Sarah yang sedang asyik memotret.
“Sarah, apakah kau ingin
pulang bersamaku?”
“Sebentar, Fid,
aku sedang asyik memotret burung camar di angkasa, aku tak ingin melewati momen
ini. Bisakah kau menunggu sebentar?”
“Baiklah, aku akan menunggumu, jika kau sudah selesai,
temui aku di ujung dermaga.”
Aku sangat menikmati
liburan musim dingin ini, hari-hariku bebas karena tidak ada kelas, tidak
ada tugas-tugas kuliah yang memaksaku untuk mengerjakannya, selesai satu tugas,
lalu tumbuh seribu tugas lainnya. Begitulah keseharianku di kota Australia Barat ini. Tapi
kali ini sungguh berbeda, rasanya keseharianku bebas dan merdeka,dan aku sangat
senang bisa menghabiskan liburan musim dingin ini bersama Sarah.
“Hai, Fid, sudah lama menunggu?”
“Apakah kau ingin pulang sekarang?”
“Baiklah, ayo kita pulang”
Senja di ujung dermaga ini
sangat indah, seakan-akan membuatku tak ingin segera pulang, aku masih mau di
sini, bermain dan menghabiskan waktu bersama sahabat terbaikku: Sarah.
**********
Akhirnya aku tiba di
apartemenku. Kugantungkan mantel wolku di balik pintu. Kunyalakan shower di kamar mandiku. Cucuran air hangat membasahi tubuhku, sejenak menghangtkan
tubuhku. Selesai aku mandi, mataku tertuju pada laptop yang terletak
di atas meja belajarku. Kulihat
ada sebuah pesan di sana, itu pesan singkat dari Sarah. Pesan itu tertulis : “Fid, temui aku di apartemenku jam 9 pagi besok. Sarah”.
Keesokan harinya, Aku
melihat ke luar jendela apartemenku. Salju masih menyelimuti kota Perth, sama seperti kemarin, memutihkan semua pemandangan. Semua orang memakai jaket dan mantel tebal untuk melindungi tubuh mereka dari suasana
yang beku. Kuambil tas dan kameraku di atas meja, lalu aku memakai mantel wolku dan bergegas ke luar
dari apartemen.
Setelah mengunci pintu
kamar, Aku berjalan melewati corridor apartemen, suasana kota
ini begitu sepi karena hari masih pagi. Salju berserakan di mana-mana. Udaranya dingin sekali. Aku memercepat langkah menuju apartemen Sarah. Apartemenku dan Sarah tidak begitu jauh, hanya melewati perempatan jalan
dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Akhirnya aku tiba di
apartemen Sarah. Aku mengetuk pintu. Tidak lama kemudian ia membuka pintu,
“Fidel, silahkan masuk. Jika kau ingin makan, ambillah sepotong sandwich dan segelas coklat panas di atas
meja yang aku buat untukmu.”
Sarah memang sahabatku yang
paling baik, manis, cantik, dan pengertian. Ia sangat mengerti kalau aku sedang lapar. Dia adalah wanita yang paling baik yang pernah kukenal.
“Kenapa kau menyuruhku datang ke sini, Ra?”
“Kemarilah, Fid. Apakah kau melihat ada wanita di ujung dermaga kemarin?”
“Tidak ada, aku hanya sendiri.”
“Lihat ini ada yang aneh di fotomu kemarin,”
katanya sambil menunjuk ke arah monitor
komputernya.”
Aku terkejut melihat fotoku
yang tidak sengaja diambil oleh Sarah. Ada
sesuatu yang aneh di sana. Ada
seorang wanita yang duduk di ujung dermaga, padahal kemarin hanya ada aku,
Sarah, dan kakek tua yang duduk terkantuk di
kursi taman dermaga. Ini sungguh aneh. Hatiku berdebar, seakan aku bertanya di dalam hati, siapa
wanita di ujung dermaga tersebut.
Aku mulai penasaran. Wanita itu sangat misterius. Kenapa dia muncul di dalam fotoku. Jantungku mulai berdebar. Tanpa berpikir panjang aku
mengajak Sarah ke dermaga sore ini. Tapi itu kelihatan mustahil, karena dari raut wajahnya kondisi Sarah saat ini kurang
baik, mungkin karena terlalu lama menikmati hujan salju di dermaga kemarin.
Sarah melarangku untuk pergi, karena di luar salju turun sangat lebat dan cuaca
sangat dingin. Tapi aku tetap pergi ke sana tanpa menghiraukan omongan
sahabatku itu.
**********
Di luar salju semakin
lebat, suasana begitu dingin dan beku. Aku terus berjalan menyusuri taman dermaga. Dermaga ini begitu sepi. Langit hari ini begitu gelap. Tidak secerah seperti kemarin. Aku hanya melihat seorang kakek tua yang sedang
membersihkan salju yang menutupi jalan dermaga.
Aku sangat menikmati
pemandangan ini. Senja di ujung dermaga seorang diri. Suasana yang sangat tenang dan damai. Sejauh mata memandang aku hanya melihat butiran-butiran
salju yang turun dari langit, memutihkan semua pemandangan. Kuambil kamera dari
dalam tas, dan memulai ritual seperti biasa, yaitu memotret.
Udara dingin tak
henti-hentinya menerpa tubuhku. Kuambil sebatang rokok dari kantung mantelku, setidaknya
rokok ini dapat menghangatkan tubuhku sejenak. Aku memotret setiap sudut
dermaga. Tempat ini sangat indah, seperti ada yang kurang saat Sarah tidak di
sini. Kuhembuskan asap rokok dari mulutku. Setiap hembusan aku mengenang momen-momen indah bersama
Sarah. Tertawa bersama, saling bercerita, dan banyak
hal yang kulalui bersama Sarah di sini.
Hari demi hari aku
menghabiskan waktu di dermaga ini sendiri, sama seperti kemarin Sarah tidak
bisa ikut denganku ke dermaga hari ini, mengingat kondisi tubuhnya yang belum
sembuh total.
Suasana di sini begitu
tenang. Aku terus berjalan menikmati suasana dermaga
yang begitu sunyi. Sejenak langkahku berhenti. Ada seseorang di ujung dermaga. Aku tak bisa melihatnya begitu jelas, karena kabut membatasi pandangan mataku. Aku
melangkah sejenak untuk menghilangkan rasa penasaranku. Aku terkejut dan seolah tidak percaya, aku melihat seorang
wanita yang duduk di ujung dermaga, sama seperti wanita yang ada di fotoku
kemarin, sepertinya ia sedang menangis.
Aku semakin berdebar. Langkahku semakin lambat. Pikiranku kacau. Dalam hatiku berkata, siapa wanita yang duduk di sana. Aku semakin penasaran. Kuberanikan diri untuk menghilangkan rasa penasaranku, aku
pun menghampiri wanita tersebut.
Aku mendengar suara yang
misterius di telingaku. Suasana dermaga yang indah seolah berubah
menjadi suasana yang mencekam. Aku
mendengar seperti ada suara tangisan wanita. Aku memercepat langkah, berlari menembus tebalnya kabut
untuk menghampirinya. Tetapi saat aku sampai di
ujung dermaga, wanita itu telah tiada. Ke mana ia pergi? Ini seperti mimpi. Sungguh aneh. Aku tidak mengerti dengan keadaan ini. Semua ini begitu nyata, atau hanya imajinasiku saja.
**********
Bayangan wanita di dermaga
itu terus menghantuiku. Tergambar jelas di pikiranku. Wanita di ujung dermaga itu begitu nyata. Aku menyuruh Sarah untuk datang ke apartemenku. Aku menceritakan apa yang kulihat kemarin di dermaga. Suasana dermaga yang indah, menjadi mencekam,
saat aku mulai bercerita. Sarah seolah tidak percaya
dengan apa yang kuceritakan.
“Mana mungkin ada wanita di kala senja duduk di ujung
dermaga. Mungkin itu hanya imajinasimu saja. Mungkin kau lelah,” ucap Sarah sambil
menyuguhkan segelas coklat panas kepadaku.
“Aku juga tidak percaya, Ra, tapi aku sungguh melihatnya. Ia menangis, kepalanya tertunduk mengarah ke air, suaranya
begitu jelas kudengar.”
“Sudahlah, Fid,
kau butuh istirahat. Tidurlah, kau terlihat lelah.”
“Bisakah besok sore kau menemaniku ke dermaga?”
“Baiklah, Fidel,
aku akan menemanimu di sana. Kita bertemu jam 5 sore di taman dermaga.”
“Kau memang sahabat terbaikku, Sarah.” Aku tersenyum
“Kau juga, Fid.” Ia
kembali tersenyum padaku.
“Bolehkah aku meminjam kameramu, Fid, aku ingin melihat hasil foto-fotomu kemarin.”
“Ambilah, kameraku ada di atas meja.”
“Kau harus istirahat ya, Fid. Jaga kesehatanmu, lihat wajahmu pucat sekali. Kau tidak terlihat tampan dengan raut wajah seperti ini.” Sarah tersenyum padaku.
Hari sudah malam, Sarah pun
telah kembali ke apartemennya. Aku
beristirahat di kamarku, berharap besok akan menemukan hal-hal baru di dermaga
bersama Sarah.
**********
Hari tampak cerah. Tidak ada butiran-butiran salju yang turun dari langit,
meskipun masih ada salju-salju yang masih berserakan di sana. Seperti biasa aku
melihat seorang kakek tua yang sedang membersihkan salju yang menutupi jalan
dermaga. Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang, ternyata itu Sarah. Ia membawa hot dog dan cappucino hangat
untukku.
“Hai, Fid, apakah aku membuatmu
khawatir?” ucapnya sambil tertawa kecil.
“Tidak, mengapa kau lama sekali?”
“Sudahlah ini makan dulu, aku tau kamu pasti lapar.”
“Terima kasih, Sarah, kamu memang sahabat terbaik yang pernah kukenal.” Aku
memeluknya lalu kami tertawa bersama dan menikmati indahnya pemandangan di
sekitar dermaga pada sore hari.
Seperti biasa, aku dan
Sarah berjalan di sekitar dermaga. Kami menikmati indahnya pemandangan di sini. Sungguh nyaman dan romantis. Aku dan Sarah memotret
suasana dermaga di akhir musim dingin ini. Biasanya kami berpencar untuk mencari hal-hal baru.
Hari mulai senja, aku duduk
di kursi taman yang menghadap dermaga. Aku menunggu Sarah yang lagi asyik memotret suasana sunset yang begitu
indah. Tiba-tiba kembali aku berdebar, aku melihat sosok wanita di ujung dermaga.
Akupun berteriak memanggil Sarah.
“Sarah, apakah kau melihat sesuatu di ujung dermaga?”
“Ya, aku melihat sesuatu di sana. Apakah itu wanita yang kau ceritakan kemarin, Fid?”
Aku dan Sarah terdiam. Jantungku kembali berdebar. Suasana yang begitu indah kini
berubah menjadi suasana yang mencekam. Aku dan Sarah berjalan untuk melihat lebih jelas siapa
wanita yang duduk di ujung dermaga di kala senja. Tiba-tiba ada seseorang
yang menghentikan langkah kami.
“Jangan ke sana wahai
anak muda.”
Aku dan Sarah terkejut. Kakek tua yang sering di taman dermaga menghentikan
langkah kami.
Aku semakin penasaran. Apa yang diinginkan oleh kakek tua ini? Biasanya dia membersihkan taman dari salju-salju yang
berserakan, tapi mengapa melarang kami berjalan ke ujung dermaga di kala senja? Ini sungguh aneh,
seperti ada misteri di balik ini semua. Kami semakin penasaran.
“Mengapa kau melarang kami ke ujung dermaga?”
“Jangan ganggu dia wahai anak muda”
“Siapa yang kau maksud?”
“Wanita yang duduk di ujung dermaga, aku juga
sering melihatnya duduk di sana. Terkadang ia menangis, terkadang ia bernyanyi, wanita itu sangat misterius. Ia hanya muncul pada musim dingin, biarkan ia
menikmati hari terakhirnya di musim dingin ini. Pulanglah anak muda, bukankah besok kalian memulai
perkuliahan kembali?”
Aku dan Sarah terdiam
mendengar cerita dari kakek tua itu. Ini adalah Liburan musim dingin yang
sangat menyenangkan meskipun sangat membingungkan. Aku dan Sarah sangat menikmati liburan musim dingin ini karena
banyak hal baru yang kami temukan di dermaga ini. Di balik keindahan senja di
ujung dermaga, ternyata tersimpan sebuah misteri yang tersembunyi di dalamnya.
**********
Sabtu, 24 Maret 2012
Tentang Emak yang Berkarib Sunyi
Cerpen : Abdillah Putra Siregar
Rumah Emak telah
disayat sepi. Sejak kepergian dua anaknya. Selepas kepergian suaminya lima tahun lalu. Maka sepi adalah
karib setia yang mencekam batinnya. Ya, perempuan itu
biasa dipanggil emak oleh warga kampung. Anak pertamanya, Nina, telah menikah
satu tahun lalu dengan seorang pemuda, anak juragan minyak dari tanah seberang.
Penuh kasih dulu ia membesarkan bidadari hatinya itu, kini harus diangkut ke
rumah besannya.
Ramli, anak kedua Emak, selepas kuliah, dikontrak oleh
perusahaan ternama di Jakarta, kini sama saja, jarang pulang. Bahkan
bertukar kabar sebulan sekali pun belum tentu. Padahal demi kuliahnya, Emak rela menjual satu-satunya petak sawah
yang mereka miliki.
“Emak tak meminta apapun pada kalian. Emak hanya ingin saat mak tak ada nanti kalian
tak bosan mendoakan Emak!” begitulah katanya
pada dua permata hatinya itu.
Berbilang tahun sudah tak ada yang menemaninya. Ia
sering duduk termanggu sendiri di rahang pintu rumah.
Diam-diam meratap dalam hati. Betapa rindunya tiada terperih.
“Ramli, Nina, pulanglah, Nak! Ucapnya lirih.
Kristal di mata sendunya pecah merembesi pipi keriput perempuan senja ini.
***
Oi, belum
lagi di usinya yang tak lagi belia. Ia masih bekerja. Enam puluh lima tahun usianya kini.
Tak tanggung-tanggung. Ia menjejal diri sebagai pemukul batu. Ah, Emak, berapalah upah yang ia dapat dari hasil
memecah batu?
“Emak, tak ingin membebani anak-anak emak!”
begitulah jawabannya ketika Lastri, tetangganya yang begitu setia menemani
kesunyian hati wanita paruh baya itu bertanya untuk apa lagi dia berkerja.
Setiap pagi ketika napasnya terembus kembali. Bakda subuh, tertatih
langkahnya menuju tepi sungai. Mengutip kerikil-kerikil untuk dipukulnya.
Kerikil-kerikil itu akan diangkutnya sendiri dengan keranjang anyaman bambu
yang ia pikulkan di pundaknya. Ah, perkasa nian perempuan ini! Begitulah, Emak tak pernah menggeluh lelah. Bahkan
wajahnya yang keriput itu selalu terlihat
bercahaya. Bibirnya yang tipis keriput tak pernah berhenti merekahkan senyum
jika berjumpa dengan orang-orang. Mata perempuan ini begitu sendu dan penyayang. Makna seorang pejuang hidup
tergurat jelas di sana.
Rambutnya yang tak lagi legam selalu tertutup songkok putih hadiah dari mandor
Salikin ketika naik haji dulu.
“Emak, istirahtlah dulu!”saran Lastri
Ia hanya tersenyum.
****
Cuaca penat, langit sekarat. Sesekali
terbatuk parau. Tanda-tanda akan segera turun hujan begitu membayang di langit.
Para kuli batu seolah belum mau berhenti. Tangan mereka tengah sibuk memukul
kerikil-kerikil. Ini puncak musim penghujan. Mereka tahu hal ini. Tak dinyana,
batu-batu yang habis digerus sering menyebabkan banjir bandang meski tak sampai
mengangkut hanyut rumah atau merusak hasil pertanian. Bersebab sungai itu
terletak di bawah tebing. Justru warga kampung malah senang jika sungai ini meranggas.
Mereka percaya, air sungai yang meluap itu akan menjadi batu-batu besar yang
siap untuk dipanen. Bukan omong kosong! Ini terbukti, setelah banjir menyurut
nanti tepi sungai tempat mereka sehari-hari mengerus dan memukul batu akan
dipenuhi batu-batu baru. Entah darimana muasal batu-batu itu.
Seperti biasa, bakda subuh tertatih
langkah Emak menuju tepi sungai.
Akhir-akhir ini kesehatannya sedikit tergangu. Sudah lelah mulut warga desa
yang peduli melarangnya untuk tidak usah memukul batu dulu. Ia bergeming.
“Aku tak bisa berdiam diri di rumah”
begitulah lagi alasannya.
Tak jarang kakinya tersungkur ketika menaiki
anak-anak tangga tebing. Pun ketika harus menuruni tebing yang licin.
Silap-silap nyawa taruhannya. Tapi ia masih sigap. Tubuhnya masih tegap berdiri.
Hanya kakinya saja yang sering kesemutan.
“Emak, pulang sajalah, biar aku yang
mengerjakan punya emak, istrirahatlah!” Lastri setengah memaksa.
Emak memandang wajah lastri. Disentuhnya pipi
perempuan muda itu. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, ia menangis sesenggukan.
“Emak, rindu anak-anak emak” Katanya dengan bahu berguncang.
Lastri larut dalam kesedihan itu. Diusapnya
pipi perempuan ini. Ia juga ikut terisak.
“Ada lastri, Mak!” katanya. Dipeluknya
tubuh Emak lekat-lekat.
****
“Apa perempuan itu tidak punya anak?” Tanya
Mbok Ijah yang baru sebulan berada di kampung itu.
“Ada, sehat-sehat dan kaya-kaya. Semuanya
merantau tak ingat pulang. Mungkin sama Emaknya
sudah lupa” jawab Surti anak Mbah Klima.
“Tega sekali! Ibunya sudah tua begitu
anak-anaknya malah menelantarkanya. Anak-anak zaman sekarang mirip Malin
Kundang semua” ujar Mbok Ijah geram.
“Tidak semua, Mbok.” Lastri menengahi.
“Jangankan pulang, memberi kabar saja tidak!”
tegas Surti.
Bincangan demi bincangan bercampur baur derai gemuruh air
sungai. Orang –orang banyak yang perhatian pada emak. Mereka malah menghujat
habis-habisan anak-anaknya. Bukan sekali dua kali telinganya menangkap cacian
warga yang disematkan untuk kedua anaknya. Hanya menangis dan mengadu dalam doa
yang ia lakukan. Ia yakin sekali, suatu hati nanti anak-anaknya akan pulang ke
rumah. Akan mencium kembali keningnya. Memeluknya dengan erat penuh manja. Itu
keyakinanya.
“Anak-anakku bukan anak durhaka, berilah
keberkahan dalam hidup mereka ya Allah” begitulah lirihnya dalam doa. Ah, tak
pernah ia lupa menitipkan doa-doanya untuk mereka.
****
Emak tergopoh mengutip batu yang tumpah ruah
dari keranjangnya. Tergelincir lagi. Kakinya
tak sengaja mengginjak tanah licin. Untung saja ia mampu menjaga keseimbangan.
Hanya terjerambat diam. Meski begitu ia merasakan pergelangan kakinya nyerih
tak terperih. Emak bangkit. Pelan-pelan sambil menggigit pelan bibir bawahnya
menahan sakit.
Pagi masih begitu belia. Cuaca sekarat.
Orang-orang belum ada. Emak sendiri. Hari ini ia berencana ingin bekerja
setengah hari saja. Siang nanti ia hendak istirahat sejenak. Tanganya liar
mengutip kerikil. Di langit, awan mulai panik. Warnanya kelabu gelap. Kesiur
angin berat mulai berhembus. Pohon –pohon bambu berderit seolah hendak patah.
Daun-daunya naik, turun melambai. Emak masih sibuk dengan kerikil yang
berjatuhan. Ia semakin tekun menenun diam. Acuh. Tak peduli dengan cuaca yang
semakin tak bersahabat. Rambut putih keperakannya
yang tertutup songkok putih itu menyeruak. Sayup-sayup dari kejauhan ia
mendengar gemuruh.
Rintik mulai turun satu-satu, bertubi-tubi,
memukul bumi lalu menjadi deras, deras dan sangat deras. Emak tergagap sejenak.
Ia mendonggakkan wajahnya memandang
awan kelam. Hujaman jarum- jarum air bertubi-tubi memukul wajah dan tubuhnya.
Lagi, ia tak peduli. Ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Keranjangnya
hampir penuh. Guntur membahana. Kilat saling silang. Gemuruh dari kejauhan itu
semakin lama semakin dekat terdengar. Emak mempercepat kerjanya.
Suara gemuruh makin terdengar jelas. Emak
tersadar tiba-tiba. Ia kenal betul suara itu. Suara yang membuat warga kampung
tak ada yang berani turun ke sungai jika hujan telah turun. Itu suara gemuruh
air sungai yang sedang meluap dari sungai kampung sebelah.
Emak mempercepat langkahnya. Dengan sigap ia
menaiki tangga tebing. Hati-hati ia melangkah. Air sungai mulai meluap sampai
ke tepi. Ia letih. Ayunan kakinya melemah. Masih di badan tebing. Ia melihat ke
bawah. Sungai itu mengerikan sekali! Airnya keruh hitam kekuning-kuningan.
Terseok ia melangkahkan kaki. Hujan menyulitkan langkahnya. Dengan sisa-sisa
tenaga ia terus menapak.
Tiba-tiba ia tersenyum. Ia campakkan
keranjang batu yang dipanggulnya. Ia mengusap wajahnya yang terguyur hujan. Napasnya
tersengal. Ia tak kuat lagi untuk naik. Ia menengadah langit.
“Tuhan, jika aku harus mati disini,
kirimkanlah jasadku ke rumah anak-anakku!” pintanya.
Petir bersuara.
Ia mulai merasa kesunyian semakin mencekik
lehernya. Ia diam di dinding tebing. Padahal air sungai semakin meluap.
Dilihatnya tubuh sungai yang meranggas. Emak tersenyum, senyumnya kali ini
getir. Ia betekak dengan dirinya sendiri.
“Percuma aku hidup, jika anak-anakku telah
menggangapku mati’
Tiba-tiba air berdebur. Menelan
tubuhnya. Menggelindingkan
raganya menuju entah. Mungkin air sungai itu yang mendengar ketika ia berucap
lirih.
“Bawalah aku menemui anak-anakku!” ***
Rumah Cahaya FLP Sumut.
Sabtu, 17 Maret 2012
Secangkir Rindu
Cerpen
: Ayu Sundari Lestari
Tiap pagi embun memeluk dedaunan dan menumpahkan secawan benih
kasih ke dalam kelopak mawar. Seperti itu-lah dirimu yang kerap menyajikan
secangkir Capucino di atas meja makan sebelum aku terbangun dari lelap. Kau meminang
fajar saat matahari belum sempurna. Bunyi adukan sendok yang menubruk dinding
bejana putih, gelas yang kita beli di pasar malam tempo lalu, kerap mengeletik
telingaku. Namun, mata tak pernah kau izinkan terkuak. Terdengar agak
samar-samar.
Akh! Kau lelaki yang menasbihkan aku bak seorang permaisuri dalam
istana hatimu. Tapi, aku sedikit marah padamu, bersebab kautinggalkan perempuan
itu dalam gubuk yang kelam. Mungkin masih samar di ruang awang-awang. Namun,
perasaan tak pernah salah menerka. Yah, ini tentang perihal perempuan malang
itu.
Perempuan yang antara lainnya adalah orang sangat kaucintai itu
yang berperan membuat secangkir Capucino, bedanya sebelum embun
meletakkan secawan kasih dalam kelopak mawar. Kehidupan kalian berjalan
harmonis bak alunan nada yang berharmonisasi. Bisa dikatakan kalian adalah
pasangan yang sangat serasi. Seperti cerita dongeng yang kerap kaudengarkan
saat meninabobokan diriku. Pangeran dan permaisuri penghuni kayangan atau
serupa roman picisan.
Aku tahu ada secuil rindu yang kauselipkan di saku jiwamu terhadap
perempuan yang dulu menjadi permaisuri dalam istana hatimu, jauh sebelum
kehadiranku di tengah-tengah kalian. Cemburu, ya, aku cemburu setiap kali
melihat matamu yang teduh, di sana aku dapat menangkap kenangan terindahmu
bersama perempuan itu. Pernah terbesit niat untuk merampas lantas membakarnya,
biar legam menjadi abu dan terbang terbawa angin. Tapi, aku terlalu kasihan
padamu bila melakukan itu. Tidak, aku tidak sekejam itu. Lagi pula katamu cinta
itu memberi kebahagiaan, bukan luka.
Pantas saja, kau menyemai benih kasih dalam kehidupan perempuan
itu, meski terlalu banyak pahit yang harus kauubah menjadi manis. Sungguh saat
itu aku sangat takut, bila manis itu tersebar racun. Aku hawatir terjadi
sesuatu padamu sebelum dapat menikmati embun bersama Capucino.
Kubiarkan dirimu tetap memiliki secuil rindu itu. Makanya, aku tak
pernah memrotes bila kau membuati diriku secangkir Capucino. Ya,
secuil rindu itu tersaji dalam secangkir Capucino yang selalu
kau sajikan di atas meja. Senyum selalu mengambang di bibir saat kita
menyeduh Capucino hangatmu yang berisi secuil rindu.
Entah mengapa ini bisa terjadi. Bukan dirimu saja yang merasakan
rindu, tapi aku jadi terikut pula rindu kepada sosok perempuan itu yang saban
sore menampi padi di sawah Pak Kadir. Perempuan penikmat Capucino.
Oya, mungkin karena kau kerap mencampurkan secuil rindu dalam cangkir Capucino yang
kuminum tiap pagi sebelum beranjak bekerja.
***
Ada penasaran yang menggelayut jiwaku, sudah cukup lama memang.
Kenapa kau meninggalkan wanita itu demi aku, bila kau masih terlalu amat
mencintainya. Apa dia telah membuat dirimu terluka? Maka kau lantas memilih
diriku menjadi permaisuri istanamu. Atau diriku hanya sekadar pelarianmu? Akh!
Terlalu picik aku berpikir begitu. Kau adalah lelaki yang baik, mana mungkin
seperti itu.
Kalau boleh jujur, sesungguhnya aku juga ingin tinggal seatap
dengan perempuan itu. Bagaimanapun dia telah menjadi bagian dari hidupmu dan
hidupku. Andai luka dapat disembuhkan dengan cinta, aku yakin kejadiannya tidak
seperti ini. Mungkin cinta telah bertepuk sebelah tangan. Akh! Kau selalu
membuat diriku untuk menerka-nerka tentangmu. Sekarang kau hanya bisa menyeduh
kerinduan tiap pagi di balik jendela yang berembun.
Tetapi, tanya tetap jala-menjala hingga bergejolak untuk langsung
bertanya perihal itu. Entahlah, sekali lagi bisikkan niat kuurungkan. Aku takut
kau akan benar-benar terluka nantinya. Sungguh, aku tak pernah tega melihat
bulir kristalmu luruh. Terlalu berharga untuk kau keluarkan. Aku mencintai
dirimu lebih daripada wanita manapun, termasuk perempuan itu.
Tawa dan canda yang sering kita lakukan di tempat tidur kala malam
sudah meninggi. Celoteh hangatmu agak sulit mengatupkan mataku. Kau akan mulai
membujuk diriku untuk lekas memeluk lelap. Namun, terkadang rengekku tak tega
untuk kauterima. Dan kita akan mulai sibuk menghitung bintang hingga aku
tertikam lelap di atas pangkuanmu.
Sebenarnya, banyak lelaki yang datang melamar, untuk
memersuntingku menjadi istri. Tapi, aku selalu saja mengelak dari mereka. Usia
bukanlah menentukan pantas atau tidaknya untuk membangun bahtera rumah tangga,
namun adalah kesiapan batin maupun lahir. Aku masih ingin hidup bersamamu,
menikmati secangkir rindu kala embun berjatuhan. Kau-lah yang akan menjawab dan
mencari alasan atas pinta mereka. Kau sangat pandai untuk berkilah.
Namun, setelah para lelaki itu beranjak keluar dari beranda kita,
tak jarang aku memergoki dirimu sedang menangis. Ya, aku tahu kau pasti merasa
takut bila suatu hari nanti diriku akan menikah dan meninggalkanmu dalam
kesepian. Percayalah, itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan tega menyiksamu
dalam rindu dan sepi. Asalkan kau ketahui ke mana pun langkah kaki ini pergi,
kau harus ikut bersamaku.
Siapapun yang kelak menjadi suamiku dia harus bisa menerima
kehadiranmu di dalam kehidupannya. Besabab, kau adalah aku. Kita seperti satu
paket yang tak akan pernah berpisah kecuali bila sudah suratan takdir.
Kita saling mengisi kekurangan. Tak ada keluh yang kau jatuhkan.
Kau kerap berusaha menjadi orang yang sempurna untuk diriku. Selalu senyuman
yang kaukanvas di dalam hidupku. Meski ada rindu ataupun luka yang
kausembunyikan. Aku berpura-pura tidak pernah tahu semua hal itu.
Kebahagiaanlah yang ingin kutuangkan kepadamu.
***
Kini, setelah kauwariskan secangkir rindu tiap pagi saat embun telah memeluk
dedauanan. Aku pun menjadi terbiasa dengan kebiasaanmu. Masih sepi yang sama dan malam yang sama,
tentunya dengan secangkir rindu yang hangat. Diriku membiarkannya tergeletak
tumpah di atas meja. Jemari
kita masih saja sibuk menghitung kerlap-kerlip cahaya bintang. Ah, apakah bintang bisa dihitung semuanya?
Bedanya, tanpa ada kamu di sisiku lagi. Hanya sesosok lelaki yang telah
menemaniku selama tiga tahun belakangan ini. Lelaki yang dipanggil ayah oleh
anakku. Yang dapat menerima dirimu dalam kehidupanku. Tentunya dengan
kebiasaanmu.
Ya, aku tak perlu lagi menerka-nerka tentangmu. Ternyata perempuan itu yang
telah menggoreskan luka di relung jiwamu, bahkan melukai diriku. Dia
berselingkuh dengan lelaki lain. Lelaki yang lebih kaya daripada dirimu. Tidak,
itu adalah pandangan perempuan itu. Tapi, tak berlaku dalam pandanganku.
Tiap Sabtu kauselalu menjenguk perempuan itu di rumah sakit. Kau
bilang dia mengalami gangguan jiwa. Sedangkan suami barunya telah meninggalkan
dirinya begitu saja. Terima
kasih untukmu yang telah mengajarkan aku tentang kesetiaan, pengorbanan, dan
cinta hingga menjadikan diriku menjadi jiwa pemberi.
Meski, rahim perempuan itu telah kutumpangi selama sembilan
bulan, tetap saja dia bukan seorang ibu yang merawatku dari kecil. Aku sama
sekali tak mengenal sosoknya sampai sekarang.
Kau-lah lelaki yang merawatku dengan tumpahan kasih dan cinta, menjadi
sahabat dalam hidupku, dan menjadi ayah yang sangat bijaksana. Semoga kita
dapat bertemu di surga. Hanya satu sesalku yang menggelayut, aku tak berhasil
membawa perempuan itu keluar dari rumah sakit jiwa ke beranda kita. Sebelum
kepergianmu, perempuan itu juga menyusul jejakmu.
Biarlah lewat rasa kerinduaan ini kusatukan kalian dalam cinta. Tak dapat
kupungkiri, sebenci apa pun yang melahap jiwa ini terhadap perempuan itu. Aku
tetap merindui dia. Akulah penggantimu, Ayah. Yang menyeduh secangkir rindu di
balik jendela yang berembun. ***
Dunia
KOMA
Kedai
Durian, 5 Maret-10 Maret 2012
Sabtu, 10 Maret 2012
Tanah Warisan
Cerpen
: Deby Ayu Andari Rangkuti
Kelam langit itu
perlahan menyapu dedaunan yang terus melambai diterpa angin. Deru debu menutupi
celah-celah awan. Ranting-ranting kering mulai menggesekkan tubuh ke badan
ranting. Ada aroma duka menyebar terbawa angin. Mentari terik dengan biasanya.
Udara kering menjalar ke bongkahan tanah.
“Pak, kita ndak mungkin panen bulan ini! Padi-padi sudah kering
semua. Apalagi tanah kita masih harus bagi hasil dengan cukong-cukong.
Sudahlah, Pak! Biarkan saja tanah ini gersang dan kita pindah saja ke
kota. Tuh si Kadir baru satu tahun ke kota sudah banyak
hartanya. Sekarang sudah punya teve, punya kereta, punya pemutar film, punya
perabotan asli kayu jati. Belum lagi Pak, masih ada lemari esnya. Wah, kalau
kita ke kota kita pasti bisa kaya, Pak! Nggak perlu susah-susah harus nyangkul seharian.
Belum lagi kemarau panjang! Ah! Pokoknya kita mesti pindah ke kota!”
“Tapi, Wati……tanah ini tanah warisan bapak. Kalau kita tidak ada,
yang menggarap siapa lagi? Mau suruh si Asep?”
“Oalah, gitu saja koq susah! Jual saja ke Kadir. Wati pernah
dengar dari istrinya : Kadir sedang kelebihan duit. Dia lagi gila beli-beli.
Mana tahu dia tertarik mau beli tanahmu itu!”
“Ah, masa! Setahu bapak, Kadir itu sudah banyak tanahnya, mana mau
beli lagi…..”
“Ahhh…Bapak ini, belum usaha layo duluan…,”ejek Wati, istrinya.
“Bukan, bapak bukan takut si Kadir nggak mau beli
tanah kita! Bapak cuma nggak kepikiran tanah segitu luas mau
diapakan sama si Kadir. Ditanam juga tidak. Lantas tanah kita juga harus kosong
sama seperti tanah Kadir?”
“Bapak sih mau-mau aja.”
“ Ti!”jawab suaminya.
“Kalau gitu, cepat-cepat tanya si Kadir! Keburu direbut orang….”
“Dir! Kadir!” teriak Manto. Langkahnya tergopoh mengejar Kadir
yang mengendarai kereta. Yang dipanggil menoleh sesaat, kemudian menghentikan
keretanya. Ia menunggu di sana. Tak ada keinginan untuk mendekati Manto. Ia
tahu ini masalah duit!
“Dir, Dir! Kata Wati, kamu lagi gila beli tanah ya? Itu ada
tanah yang mau dijual….. Mana tahu kamu lagi cocok bisa saya…..”
“Oohhhh….Iya, iya! Tahu saja istrinya kamu!”
“Ahh,masalah begitu harusnya warga sekampung sudah tahu!
Tapi,benar nggak kamu masih mau beli-beli lagi?”
Kadir berpikir sejenak. Kemudian,”Tanah mana, To?”
“Anu,tanah saya mau dijual!”
“Hah? Tanah warisan bapakmu itu mau kamu jual?”
“Iya, si Wati usul agar aku ikut caramu ke kota buat cari kerja.
Katanya nggak perlu susah-susah…”
Belum selesai Manto bicara, Kadir sudah meledak tawanya. Ia lucu
melihat cara Manto menuturkan apa yang didengarnya dari Wati.
“Ada yang salah, Dir?”
“Ohh, tidak! Ayo teruskan!” Namun, dalam hati, Kadir meneruskan
tawanya.
Manto terus mengoceh tentang tanahnya, tentang istrinya yang
tak sabaran untuk pindah ke kota, tentang dirinya agar keinginan istrinya
itu bisa terpenuhi.
“Tapi, To! Kamu ndak takut wangsit ayahmu dulu? Itu loh! Tanahmu
itu bisa bawa rezeki bila engkau pandai menggarapnya? Masih ingat ndak,To?
Mosok belum tua sudah pikun.Saya saja masih ingat wasiat bapakmu!”
“Saya ingat, Dir! Tapi bagaimana? Istri saya sudah ngebet pengen
hidup di kota. Katanya dia bosen hidup di desa terus. Bosen lihat hamparan pada
kuning yang itu-itu aja. Dia pengen lihat menara pencakar langit di kota,
pengen lihat lampu-lampu bertebaran indah waktu malam, pengen belanja ini
itu,entah baju baru, sepatu baru, kosmetik, lemari baru. Macam – macam deh,
Dir! Saya saja dibuat bingung sama ocehannya. Kuping ini ndak tahan
mendengarnya. Belum lagi kalo saya lagi panen,eh dia malah ngambek sebelum
keinginannya dimauin. Ya,saya bingung juga, Dir. Apa boleh buat.”
Kadir manggut-mangut.Sudah lama ia mengincar tanah Manto yang
diramalnya oleh dukun kenalannya bahwa banyak emas di tanah Manto. Tanah sudah
di depan mata, untuk apa ditolak. Tapi, terlalu cepat kalau kubilang ya.
“Begini aja, To! Cemana saya pulang dulu ke kurah terus saya
rundingkan dengan istri saya. Ya, dia juga harus tahu kalau saya mau membeli
tanah lagi. Kalau ada kabar, nanti saya ke rumah kamu. Cemana? Setuju kamu?”
“Ah…… Kamu selalu begitu. Saya selalu setuju saja dengan usul
kamu. Saya tunggu ya!”
Kadir membeli dengan harga yang ditawarkan Manto. Awalnya Kadir
menolak bila Manto menjual dengan harga yang begitu murah. Kadir menaikkan
harga beli agar Manto tidak terlalu sakit hati bila emas itu akan menjadi
miliknya. Kadir malah berjanji akan mencarikan rumah di kota yang pas dengan
kantong mereka serta membayar setengahnya setelah jual beli tanah itu kelar.
Terpaksa, Kadir harus menjual mobil baru yang ia beli demi
memenuhi janjinya itu. Ah, tidak ada apa-apanya semua usaha ini dibandingkan
emas di tanah Manto, pikirnya.
Sementara Manto merasa sungkan dengan perlakuan Kadir. Namun,
istrinya terus-terusan memojokkan Kadir. ”Sudahlah, Pak, terima saja tawaran
Kadir. Lihat, untuk apa lagi kita tahan tanah yang kerontongan seperti kerupuk
itu? Mau Bapak makan batu di sini? Sudahlah, sudah, baik si Kadir mau bantuin
kita nyari rumah di kota. Syukur-syukur itu juga mau dibayari setengah. Lagian,
Pak, gak ada salahnya sesekali menikmati hasil jual tanah kita sendiri.Yang
penting halal! Daripada si Parno! Kerjaannya memeras keringat darah orang.”
Keesokan harinya, jual beli tanah itu pun jadilah. Kadir
langsung membawa suami-istri itu ke kota untuk melihat rumah mana yang cocok.
Setelah cocok, Kadir membayar sesuai janjinya.
Istri Manto langsung membuang semua perabotan lamanya. Ia
menarik-narik suaminya ke toko mebel, memborong segala perkakas elektronik
terbaru, Baju-baju baru, pokoknya semua serba baru untuk rumah barunya. Sedang
Manto beralih profesi. Tidak ada lagi pacul atau lumpur nyempil di kakinya. Ia
mencoba rezekinya untuk membuat usaha. Berbekal uang, ia membuka depot.
Istrinya turut meramaikan dengan jajanan desa.
Sepeninggalan Manto ke kota, Kadir langsung membabat padi dan menggali
setiap sela. Hari pertama ia belum menemukan apapun. Hari kedua juga belum.
Demikian juga hari-hari selanjutnya. Kadir terus menggerutu. Tapi ia tidak
menyerah. Ia terus menggali. Tapi hanya batu, pasir, dan tanah yang ia temukan.
Ia terus menggali sampai istrinya pun kesal. Ia terus menggali sampai tubuhnya
menciut. Ia terus menggali sampai otaknya tak menerima tanah sialan ini. Ia
terus menggali.
“Benar kata Bapak dan Kadir, tanah warisanku memang bisa bawa rezeki.” ****
Sabtu, 3 Maret 2012
Secangkir Rindu Buat Ayah
Cerpen : L Masruroh
Pintu dan candela terbuka. Lelaki tua sedang duduk di kursi
goyang, sesekali menghisap cerutu yang membuatnya batuk-batuk. Pandanganya
kosong menembus langit-langit rumah yang bolong. Tidak ada yang istimewa dalam
ruangan itu. Hanya ada seraut wajah yang menempel di dinding yang lapuk. Air
mukanya masih bersahaja, meski tapak using dimakan zaman. Gambar presiden kedua
RI itu cukup memberi arti bagi hidupnya selama ini. Diteguknya air dari kendi,
basahi kerongkongannya yang mulai mengerut. Lantai rumahnya pun masih coklat
alami warna tanah yang menyatu dengan kelembutan batinnya.
Entah sudah berapa lama dia
hidup sebatang kara sepeninggal istrinya yang sakit kanker. Dia hidup
terlunta-lunta ditelantarkan anak-anaknya. Anak pancuran kaapit sedangnya telah
menghilang tanpa kabar. Masalah ekonomi yang membelit menjadi senjata pamungkas
mereka untuk meninggalkan sang Ayah.
Anak pertama dan keduanya
telah berkeluarga. Mereka telah lupa siapa yang membesarkannya. Si bungsu pun
demikian. Dia menolak untuk dinikahkan dengan juragan tambakau yang berstatus
duda beranak satu pilihan ayahnya. Dia pun memutuskan meninggalkan rumah.
Keputusan sepihak sang ayah tidak dapat dia terima.
Harapan sang Ayah untuk
memerbaiki kondisi ekonomi keluarga pun kandas. Mengingat si bungsu yang
menolak mentah-mentah rencana pernikahan yang telah disusun sang Ayah kemudian
meninggalkan rumah tanpa pesan dan tanpa kabar sampai sekarang.
Berapa potong singkong rebus telah menjadi karib lelaki tua itu. Menemaninya
melalui hari-hari yang dirasa begitu berat memberinya energi untuk tetap
bertahan hidup di tengah-tengah keterbatasannya.
Tetangga yang iba melihat
kondisi lelaki tua itu sering memberinya makan. Tulang-belulangnya mulai
menonjol karena kekurangan asupan gizi. Bicaranya mulai sulit, jalannya
sempoyongan. Belum lagi jika dia sakit tetangganya kewalahan mengurusnya karena
mereka pun sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Lelaki tua itu pun hanya
bias pasrah. Bias berkumpul dengan anak-anaknya kembali hanyalah sebuah mimpi
yang segera dihapus pagi. Angan-angan yang hanya akan menyesakkan dada.
Nafasnya sering tersengal jika teringat anak-anaknya. Dia tidak meminta agar
anak-anaknya membalas jasanya dalam membesarkan mereka. Dia melakukan penuh
ketulusan tanpa menuntut balas bahkan imbalan. Dia hanya ingin dimasa tuanya
ada anak-anak yang setia menemaninya. Memaklumi semua kemundurannya sebagai
mana dia dulu, tanpa lelah mengajari mereka menjalani kehidupan.
Mata tuanya mulai nanar, merembeskan tangis yang mengisaratkan luka. Diorde
baru, hidupnya sebagai petani begitu ceerlang. Anak-anaknya tertawa riang
dengan perut yang kenyang. Namun kini, semua tinggal ilusi. Mebayangkan
sepiring nasi saja bagai membayangkan intan permata. Demokrasi yang
membuncitkan perut para petinggi. Mengenaskan, masalah ekonomi yang menjerat
leher orang kecil. Lelaki tua menghela napas panjang, bahkan udara jaman
sekarang pun serasa penuh racun yang berbahaya.
“ Jika ada yang bertemu anakku, katakan pada mereka bahwa aku sangat menyayangi
mereka, maafkanlah kekuranganku sebagai seorang ayah,” ucapnya diselingi
batuk-batuk kecil. Orang yang mendengarnya berujar, hanya bisa mengelus dada.
Rumah itu tampak sepi. Suara batuk pun tak lagi terdengar. Rumput-rumput liar
nyaris memakan rumah reot lelaki tua itu. Tumbuh subur di pekarangan rumah.
Dedaunan yang luruh menggunung di mana-mana. Pintu dan jendela tertutup. Ke
manakah lelaki tua yang terus berkidung tentang anak-anaknya itu?
Angin berhembus pelan, bunga kamboja berguguran. Aroma wangi aneka kembang
memberikan ketenangan. Nyanyian burung yang berlompatan di pepohonan memecah
keheningan. Sesosok gadis berbusana duka mengusap lembut sebuah nisan. Matanya
terus berair meluapkan lautan perih dalam jiwa. Tanah yang masih basah seolah
ingin berpesan bahwa mendiang sang ayah telah tenang.
Ada kerinduan yang teramat dalam tersemat dalam hatinya. Rindu menyeduh
secangkir kopi untuk ayahnya. Rindu bertukar derita. Rindu saat-saat bersama
orang yang sangat disayanginya.
“Aku si bungsu yang pergi dari rumah, ayah ……ingatkah Ayah pada anak nakal ini?
Aku hanya ingin membuktikan pada Ayah, bahwa pernikahan bukanlah
solusi dari masalah ekonomi keluarga. Aku ingin berdiri dengan kakiku sendiri
kemudian membahagiakan ayah.
Maafkan aku, Ayah…… Kenapa
ayah tidak mau menungguku? Aku pulang untuk menjemputmu, Ayah ……. Sekarang
siapa yang akan meminum secangkir kopi di meja itu ? cukupkah secangkir rindu
buat ayah?” ucap si Bungsu yang terus terisak. Kemudian bangkit dari duduknya,
meninggalkan sang ayah agar beristirahat dengan tenang.
Hembusan angin menerbangkan dedaunan kering di sekitar pemakaman. Berbisik
pelan pada orang-orang yang datang untuk memberi tahu dua anak lelaki tua itu
yang masih belum ada kabar hingga sekarang. Sang ayah sangat merindukan
mereka agar bisa beristirahat dengan tenang di alam penantian.
“Orang bilang aku harus membuat secangkir kopi untuk ayah saat upacara adat
agar ayah merasa tenang. Tetap saja ayah tidak mungkin meminumnya. Biarkan
secangkir rindu ini kuseduh dengan do’a buat Ayah, “ ucap bungsu ketika
menyambangi makam sang ayah untuk yang kesekian kalinya. Meski sang ayah telah
tiada, namun tetap hidup dalam hatinya. **
Lamongan –
Jawa Timur
Sabtu, 25 Februari 2012
Gua
Rahasia dan Penulis yang
Ingin
Bunuh Diri
Cerpen : Ria Ristiana Dewi
“Ini kemarahan, Sam!”
“Aku tahu!”
“Dan kamarahan bukanlah belas kasihan!”
“Aku paham.”
“Kau paham? Paham apa? Tahumu berdiri di balik ketiak orang lain!”
“Menurutmu aku bahagia? Ra, Sudah berapa lama kau menjadi penulis? Kau tak
pernah mengeluh. Kau tak pernah mengungkapkan akan melakukan ini. Hentikan, Ra! Buang pisau itu!”
“Gampangnya kau!”
“Aku minta maap. Kau tak pernah begini sebelumnya. Aku tahu. Ini bukan kau yang
sesungguhnya.”
“Inilah aku yang sebenarnya, Sam! Jadi, jika selama yang kau kenal aku tak
pernah mengungkapkan akan melangkahi ajal, itu semualah kebohongan. Aku ingin
mati, Sam! Ingin! Sangat!”
“Hentikan! Hentikan!”
Kurun dua jam menunggu, Sam semakin panik. Ambulan di depan rumah begitu
mengilu di telinga Sam. Suara orang-orang berdatangan seperti pengkhianat.
Kucing yang mengeong seperti malaikan maut, sementara itu kelender yang
tergantung di dinding kamar seperti menebas punggungnya dengan belati, suara
jam berdentang pertanda neraka terbuka lebar. Api menyala-nyala seperti gas meledak
mengenai sekujur tubuhnya, terbakar tak sempat berdarah-darah. Walaupun begitu
ia sempat memergoki doa-doa pengajian yang terucap di inti ruang rumah ini
sebagai rasa iri dibalik iba. Mereka iri dengan Ra. Mereka iri, begitu,
begitulah Sam menikmati rasa bersalahnya.
Aku
yang salah Ra, tak mengerti keinginanmu.
Sam menikungi segala kebiadaban pikiran ini. Ia berusaha melupakan
pertanyaan-pertanyaan yang terus berusaha melukainya di balik kematian Ra. Sam
gila, lebih tepatnya hampir gila memikirkan Ra. Sam merasa kesalahan terletak
padanya. Di balik punggung rumah itulah. Rumah yang sekarang ini penuh dengan
masyarakat: polisi, ibu bapak Ra, saudaranya. Di situlah Ra sempat meminta satu
hal pada Sam. Malam itu mereka sempat bercakap-cakap. Ya, Ra ingin agar Sam
bercerita, namun Sam menolak hanya karena sebuah pertengkaran yang itu dan itu
lagi. Oh, entahlah...
Suara radio di channel 109,4 seperti jaringan setan malam itu. Setelah
sebelumnya ia menutup percakapan, Ra dengan gilanya memenuhi pikiran Sam.
Namun, itulah yang lagi-lagi mengiang di telinga Sam. Meskipun Ra tak sedang
berada di sampingnya, ia merasa dihantamkan dahan-dahan dari pepohonan di depan
rumah. Akh, Ra! Tega kau meninggalkan aku seperti ini, dengan semua
pikiran-pikiran ini.
Sam sedang terus mengganti-ganti channelnya—105,4—cambuk yang mampu
melukai Sam, 100,2—menyiksanya untuk cepat-cepat masuk ke liang kubur. Dan
103,2—Sam baru sadar ia mendengar sebuah teriakan keras, sangat keras. Semuanya
berasal dari ingatan-ingatan indah sekaligus menyebalkan bersama Ra.
Zzzzttttttt....
Sam akhirnya benar-benar gila. Beberapa hari kemudian ia meniduri rumah sakit
yang dipenuhi orang-orang calon penghuni surga. Begitulah Sam menganggapnya.
Setidaknya ia juga menganggap bahwa dengan memasuki tempat orang-orang gila, ia
juga adalah calon penghuni surga. Ia bahagia karena dengannya tak perlu
memikirkan lagi perihal kelender yang tertawa terbahak-bahak, setiap kali,
setiap ia melakukan kesalahan lagi kepada Ra. Ia tak mampu merubahnya hingga
batas waktu yang Ra berikan sendiri.
Di kamar itu, Sam melilitkan tali demi tali untuk mempraktekkan sebuah kematian
hingga ia tak sadar ia hampir saja menghabisi nyawanya sendiri sebelum akhirnya
beberapa perawat memergokinya. Beberapa kali waktu, ia sempat menyadari dan
mengatakan banyak hal kepada dinding-dinding polos di kamarnya.
Jika saja aku tak merahasiakannya. Jika saja aku mengatakannya pada Ra. Jika
saja saat itu aku tak marah dan aku berhasil mengungkapkan apa yang perlu aku
ungkapkan padanya. Mungkin ia masih hidup. Ia akan bahagia menjadi seorang
penulis seperti keinginannya selama ini.
Esoknya, Sam pulang. Ia telah mampu mengingat perihal
kematian itu. Kematian satu lawan satu, saat ia tak mampu menghentikan Ra
menyembelih urat nadinya sendiri. Mungkin kenyataan berat hingga Sam menganggap
seakan bumi akan menelannya hidup-hidup. Ia gugup, masih tampak cemas
berkeliaran di wajahnya. Sampai akhirnya tak sengaja ia menonton berita di
televisi menayangkan peristiwa kematian, kematian sembilan orang ditabrak
mentah-mentah oleh seorang pecandu narkoba, kecelakan bus dengan sopir sedang
kondisi mengantuk, belum lagi akhirnya Sam menemukan berita kematian seorang
wanita bunuh diri: akibat kondisi ekonomi, akibat diputusi pacar, akibat
tekanan orang tua. Akibatnya, Sam sendiri menyadari luapan di sekitar cekung
mata adalah kewajaran. Ia tak mampu membendungnya kali itu. Sewaktu-waktu
apabila akhirnya kenyataan adalah jalan kehidupan. Sam menganggapnya telah
wajar, wajar.
Sam...
Sam... ceritakanlah padaku walau hanya dalam mimpi.
Mimpi?
Sam, mimpi itu seperti nyata
Nyata?
Ceritakan padaku, waktu kita tak banyak.
Baiklah.... Ra, ini tak sesederhana yang kau pikirkan, namun dengarlah! Aku
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Beberapa gua di sekitar sungai yang
sempat aku singgahi di daerah Dairi. Kau tahu Ra cerita ini tak pernah aku ungkapkan
karena aku berjanji pada seseorang yang sangat aku hormati, maka simpanlah
baik-baik.
Aku tahu. Lanjutkanlah!
Baiklah.... Begini, gua itu diyakini memiliki ribuan rahasia. Warga telah
banyak menceritakanya. Dahulu penduduk di sana memiliki kepercayaan apabila gua
itu terbuka, maka akan banyak sekali warga yang tertolong. Mereka yakin apapun
isi di dalam gua tersebut mampu membuat mereka terhindar dari kemiskinan.
Namun, saat beberapa menganggap ada harta karun di dalam gua itu, beberapa yang
lain percaya pula bahwa di dalamnya tak lain adalah jin yang sedang beribadah
dan hendak menyampaikan pesan pada Tuhannya bahwa ia sangat ingin ada
kemakmuran di daerah ini. Selain itu... apa yang ada di gua itu mampu
menghidupkan orang mati.
Sam aku ingin ke sana. Bawa aku ke sana.
Tapi, tapi bagaimana caranya?
Sam... lekaslah!
Ra, kau di mana
Sam bawa aku!
Ra... Ra....
Beberapa
puluh jam terlewati setelah kejadian itu, Sam terlalu sering untuk diam. Ia
masih berpikir bagaimana caranya membawa Ra pergi sampai ke tempat itu walaupun
dengan sebuah kenyataan bahwa kemarin hanyalah mimpi. Biarpun mimpi, biarlah
pula mimpi yang menyelesaikannya. Sam ingin tidur dua puluh empat jam tanpa ada
yang membangunkannya. Ia harus bermimpi panjang. Dan hari itu Sam memutuskan
mengunci pintu kamar lalu tidur dengan menelan obat tidur.
Sam,
bawa aku dengan sebuah amplop.
Ra, aku tak mengerti
Tulislah namaku di sebuah kertas, ceritakan apa yang sedang terjadi padaku
dalam kertas itu
Maksudmu?
Masukkan ke dalam amplop dan bawa amplop yang berisikan kertas kematianku itu
ke gua yang kau ceritakan. Aku perlu itu!
Apa kau yakin Ra?
Aku sangat yakin!
Beranjak
dari tidurnya, suara burung hantu berkeliaran di telinga bersambutan
jangkrik-jangkrik yang enggan berpindah. Seperti ada peluit mendekat persis
dari arah bawah tempat tidur, namun Sam tak peduli. Sebuah jas tua berwarna
daun gugur tampak tergantung di dinding kamar, Sam mengambilnya dengan
buru-buru. Lalu ia melihat sebatang pena mengeles hendak dipungut dan Sam mulai
menuliskan apa yang Ra perintahkan. Di dalam lemari, sebuah amplop pasrah
digenggam Sam, lalu Sam menjilati ujungnya. Setelah memasukkan kertas tadi, ia
mengeratkan penutup amplop. Ia merasa tak perlu membaca ulang dan ia tahu harus
cepat-cepat ke tempat itu sebelum matahari terbangun esok pagi.
Gua
itu akan menghidupkan kekasihmu. Gua itu akan menghidupkan kekasihmu.
Ini gila. Perkataan Romo, seorang warga tetua di Dairi itu mendesak-desak di
telinganya, menyerang seluruh saraf-sarafnya. Seluruhnya mengalir dan
membuatnya terdorong mengetahui lebih banyak. Walaupun satu dua menit saja ia
melihat Ra hidup kembali, ia akan melakukannya. Ia hanya meminta beberapa waktu
agar cerita itu mengalir di telinga Ra.
Sungai mengalir deras menampar-nampar bebatuan, ikan-ikan bersembunyi di
baliknya, sebuah gua yang menganga elok di depan sana. Sam mesti menyebrang
sungai—ia melompat-lompat di bebatuan yang lumayan rapat. Kakinya terjerembab
ke air, air deras memelintir tubuhnya dan menyangkut di bebatuan yang lain. Ia
bangkit dan tak perduli—meski tenaganya terkuras dalam. Ia merangkak penuh
hati-hati, gua itu mulai tampak dan ia akan masuk. Ia sudah tak sabar
mengetahui sesuatu di dalam gua itu. Ia beruntung gua itu terbuka—kemarin
beberapa orang warga tak sempat berhasil memergoki gua itu terbuka bahkan
hampir dipastikan gua itu tak terlihat saat-saat tertentu.
Kau
harus hati-hati Sam. Jin di dalam gua itu belum tentu mampu menolongmu.
Perkataan Romo yang satu itu terngiang lebih jelas saat ia telah berada di
dalam gua. Ia tak tahu apakah peralatan dalam tas di bahunya seluruhnya
berguna, namun ia bersyukur senter yang dibawanya tidak rusak dan berhasil
dinyalakan. Sejauh lima meter Sam berjalan, ia menemukan beberapa tengkorak
manusia, dan Sam mendadak kaget namun tak berteriak. Ia mesti tenang. Ia
berjalan terus memenuhi arah tikungan yang hanya ada satu jalan. Tidak ada
jalan-jalan yang lain seperti dalam permainan petak umpet. Sam tahu ia harus
menemukan ujung dari gua ini. Dan di sanalah Sam melihat cahaya seperti api menyala-nyala,
di ujung gua.
“Aku tahu kenapa kau kemari! Bawa amplop itu ke padaku!”
Sam tak tahu mengapa dapat semudah ini. Ia tak tahu harus memberikannya pada
siapa sebab di depannya hanya ada nyala api dan suara yang tak tahu dari mana
asalnya. Ia meletakkan amplop ke lantai, lalu nyala api itu mengangkatnya.
Amplop itu terbakar dan habis. Sam terperangah—giginya menyala memenuhi
ruangan. Lalu di depannya seorang wanita berdiri sambil tersenyum.
“Ra, kau Ra? Aku tak percaya!”
Wanita itu hanya diam. Sam kemudian mendekatinya. Namun, sebuah suara yang tak
dikenalnya mengatakan, “Jangan menyentuhnya, ceritakanlah apa yang ingin kau
ceritakan!”
“Tapi, aku tak perlu lagi menceritakannya!”
“Apa maksudmu?”
“Cerita
itu telah terbongkar! Aku ingin menceritakan hal ini. Rahasia ini, rahasia
kematian dan kehidupan kembali.”
Belum dalam hitungan menit, sebuah pusaran hebat mencampakkan Sam ke dataran
yang jauh dari tempat itu dan ia berdiri pun tak mengerti apa yang terjadi.
“Ra... Ra... Ra....”
“Sam....”
Sam berbalik. Seorang wanita keluar dari dalam rumahnya dan berjalan menuju
dirinya.
“Sam, aku sudah tahu! Aku tahu kenapa selama ini aku tak menemukan cerita yang
menarik untuk aku ceritakan! Sam aku hanya terlalu ambisi. Padahal kisahku akan
datang sendiri! Sam, aku tak perlu khawatir lagi selama kau ada di sisiku. Kau
adalah kisahku!”
“Ra... ini, apa?”
“Kau dari mana saja? Lima hari kau tak pulang. Katanya kau hanya sehari ke
Dairi untuk melihat kebunmu. Ah, payah....”
“Tapi...”
“Oya, Sam, sekarang ceritakan padaku tentang gua rahasia di Dairi itu.
Bisa, kan? Aku ingin menulis. Aku sudah tak penat lagi.”
Serambi KOMPAK, 5 Februari 2011
Penulis
bernama asli Ria Ristiana Dewi. lahir di Aceh tanggal 7 Maret 1989. Saat ini
beralamat di Jalan Garu II Gg. Melati, No. 85 A, Medan. Lulusan jurusan Bahasa
dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Medan. Anggota Komunitas Penulis
Anak Kampus dan Laboratorium Sastra Medan. Karya penulis pernah keluar di media
massa lokal dan nasional. Mengikuti Temu Sastrawan Indonesia-4 di Ternate dan
Jakarta International Literary Festival-2. Buku puisi pertamanya berjudul
"Angin Kerinduan" terbit tahun 2011.
Sabtu, 18 Februari 2012
BUNGA LAYU
Cerpen
: Suri Agustina
Lampu warna-warni selalu
menemani Asti setiap malam. Ditemani dengan minuman, obat-obatan dan juga rokok
yang selalu menempel di bibir manisnya. Asti sudah terbiasa dengan hal seperti
ini. Kadang dia dijemput oleh Oom-oom ke sebuah hotel dan pulang dalam keadaan
mabuk. Aku sebagai teman satu lokalnya di universitas swasta ini pun prihatin
dengan keadaanya yang seperti itu.
“Asti…, apa gunanya kamu seperti ini terus? Malah yang ada cuma
menguras badan kamu.”
“Hmmm..napa lo? Jangan sok peduli ma gue,
orang tua gue aja gak pernah peduli ma gue..”
“Tapi, As, aku ini teman kamu. Aku takut kamu kenapa-kenapa
nantinya.”
“Heh denger ya, urusin aja diri lo sendiri,
apa untungnya sih ngurusin gue. Enggak ngaruh..
tau lo…”
Gayanya sudah seperti orang Jakarta saja, elo gue – elo
gue.
Dia hidup sangat berkecukupan. Namun karena tidak mendapat perhatian dari orang
tua, akhirnya dia seperti ini. Orang tuanya selalu sibuk dengan urusan mereka
masing-masing.
Berbeda dengan keluargaku, hidup serba pas-pasan. Untung saja aku
bekerja menjadi SPG di salah satu mal kota ini. Dari sinilah sumber
kehidupanku. Kadang bila uangku sudah tidak cukup lagi baru aku minta uang pada
ibuku. Kami hanya tinggal bertiga saja. Ayah meninggal saat usia Ningsih 6
tahun. Ningsih adalah adikku yang masih berusia 8 tahun. Dia masih duduk di
bangku sekolah dasar.
Pagi ini aku pergi ke kampus telat lagi karena tugas-tugas yang selalu menuntut
membawaku bangun di pagi hari. Setelah membereskan segala tugasku, aku pun
membantu ibu membuat pecel untuk diedarkan keliling di gang-gang sekitar
rumahku. Akibatnya aku sering terlambat ke kampus.
Aku duduk di sebelah Asti. Ya ampun, bibirnya begitu merah. Rambutnya tergerai
panjang dengan cat warna coca cola. Namun kecantikan rambutnya
sedikit tertutupi oleh selendang hijau yang hanya diselempangkan di atas
kepalanya. Tumit sepatu yang tingginya mungkin 5 cm, mengenakan jeans biru dan
kemeja hijau yang begitu ketat.
Sentilan teman-teman kampus yang selalu memojokkannya membuat
panas telinga.
“Hei teman-teman, tahu enggak, di sini ada artis loh..”
“Oh, ya tahulah, siapa juga yang enggak kenal artis.”
“Hhuuh…..”
“Enak mungkin yaa jalan sama om-om..”
“Ya iya, dapet bajet yang besar tuh!”
Asti hanya menarik napas panjang. Kupingnya sudah dipasang tebal-tebal untuk
hal seperti ini. Tak lama kemudian dosen datang dan kami pun memulai pelajaran.
Setelah perkuliahan berakhir, Asti telah dijemput oleh seorang separoh baya.
Menuju dan menggandeng tangannya kemudian masuk ke dalam sebuah mobil dan
menghilang. Entah siapa laki-laki itu, pakaiannya begitu rapi. Apa itu om-om
yang sering membawanya ke sebuah hotel? Entahlah..
Langsung saja aku pulang. Setibanya di rumah, aku melihat ibuku sudah pulang
berdagang keliling membawa pecel di atas kepala.
“Lho, ibu sudah pulang?”
“Iya, dagangannya sudah abes terjual. Hari ini ibu nda’ perlu
pulang magrib, beruntung hari ini. Ibu seneng, ndu’..,”
sebut Ibu sembari menghela napas panjang. “Hmmmmmm…! Andai saja bapakmu masih
hidup, mungkin kita enggak kan seperti ini. Kasihan kamu mesti
harus bekerja dulu baru bisa belajar. Sabar yo, ndo’…”
“Enggak papa, Bu’, yang penting aku masih bisa kuliah,
belajar dan bantuin ibu jualan. Ya tohh..”
“Yo wes, sana mandi dulu, terus makan. Kamu kan harus kerja
sore ini.”
Aku yang bekerja SPG masuk shift sore pun segera beranjak ke
kamar. Kamar yang berukuran kecil itu saja belum sempat aku bereskan, karena
pagi sekali aku harus bantui ibu dan berangkat kuliah. Kadang Ningsihlah yang
masih 8 tahun itu yang membereskan kamar dan rumah kami yang hanya berukuran
kecil.
Sedangkan Asti, hidupnya serba berkecukupan. Keluarga yang
lengkap. Mengapa harus menjadi ayam kampus? Dibawa oleh laki-laki
ke sebuah hotel. Menyerahkan tubuhnya tanpa rasa ragu, malah mungkin menikmati
setiap belaian laki-laki garang yang hanya ingin merasakan kehangatan tubuhnya
dan menelanjanginya di atas ranjang. Membelainya dengan lidah dan menciumi
setiap lekuk tubuhnya. Setelah itu barulah dia memeroleh imbalan uang.
Hari berikutnya, aku mendengar tangisan seorang perempuan. Kulihat duduk di
sebuah bangku dekat dengan ruang kuliah kami. Dia sendiri terpaku, tersedu-sedu
melihat dedaunan yang basah oleh air hujan. Hari itu bumi dibasahi hujan,
bersama dengan turunnya air mata Asti yang menetes dan mengalir seperti hujan.
Aku melihatnya tidak jauh dari bangku yang dia duduki. ‘Ada apa
lagi dengan Asti?’ pikirku…
Aku mendekatinya dan berusaha menanyakan apa yang telah terjadi.
Dia masih terus saja menangis dan menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Kamu kenapa, As?”
“Entahlah.. rasanya aku sudah muak dengan keadaan yang seperti
ini. Aku enggak sanggup. Aku hanya seorang ayam kampus, tidak pantas hidup
bukan…hanya mengotori kelas saja. Menjadi cemooh teman-teman di sini. Jika aku
pulang, di rumah hanya ada seorang pembantu yang menemaniku. Kedua orang tuaku
selalu ke luar kota dengan urusannya masing-masing. Tidak pernah mau peduli
bagainama dengan keadaanku di sini. Bahkan mereka kira aku ini adalah mahasiswa
yang tugasnya hanya belajar.
Aku hanya mendapat kesenangan di luar, bersama om-om untuk
memuaskan napsu mereka dan mendapat bayaran. Kadang aku menyesali semuanya.
Namun aku merasa tidak ada gunanya, karena memang enggak ada yang peduli sama
aku.”
“Kamu salah, As.. Kamu enak hidup berkecukupan. Sedangkan aku,
uang kuliah saja aku sendiri yang membiayai demi mendapat gelar sarjana. Aku
mati-matian bekerja dan membantu ibuku. Tapi aku enggak pernah patah semangat.
Mungkin kalau aku jadi kamu, aku akan senang, As…. Enggak perlu
bekerja keras, enggak perlu merasa kesepian dan enggak dipedulikan. Masih
banyak teman-teman di kampus ini bisa belajar bersama, tertawa bersama,
iya kan… Banyak hal yang bisa kita nikmati kalau kita tahu cara
menikmatinya.”
“Tapi rasanya aku sudah terlambat, aku rusak.”
Asti merasa mual, katanya kepalanya pusing, lalu tidak lama
kemudian Asti muntah-muntah.
“Ya ampun, As…kamu enggak kenapa-kenapa kan? Muka kamu
pucat banget.”
“Aku enggak tahu,” tiba-tiba pandangannya gelap dan brreeeekk…..
Tubuh Asti pun jatuh ke tanah. Aku segera minta bantuan orang-orang dan
membawanya ke rumah sakit.
Begitu terkejutnya kami ketika dokter berkata dia HAMIL…….
“Astaga… bagaimana ini?”
Asti langsung kubawa pulang ke rumahnya untuk beristirahat.
Bagaimana kalau keluarganya tahu kalau dia hamil?
Ku iarkan dia beristirahat dan aku pun pulang. Kali ini aku
terlambat kerja, semua belum aku kerjakan secara sempurna. Aku takut atasan
memecatku karena keterlambatanku.
Seminggu Asti tidak hadir mengikuti perkuliahan. Entah apa yang terjadi padanya
sekarang. Teman-teman selalu heboh di kelas.
“Artis itu ke mana ya?”
“Kawin, mungkin…”
“Mungkin dia hamil, jadi dia enggak pernah masuk lagi. Dia kan
malu, hehe..”
“Ya.. lebih baik dia enggak pernah masuk lagi, agar kelas kita
tidak tercemar..”
Aku menjawab dengan ketus… “Mau kalian tuh sebenarnya
apa sih..? Dia enggak datang karena sakit.”
“Oh, iyanya.. duh, kasihan Artis kita. Enggak ada junpa fans-lah
satu hari ini..”
“Mahasiswa bukan sih? Kita seharusnya prihatin dengan
keadaan dia sekarang, bukan malah menyudutkannya.”
“Hah, apa ? Orang seperti dia enggak perlu dikasihani.”
“Ayam kampus.”
“Perusak masa depan bangsa.”
Kata-kata pedas selalu bersahut sahutan memenui ruangan kelas. Ada
atau tidak adanya Asti, selalu menjadi bahan omongan anak-anak setiap saat.
Kata-kata pedas yang langsung menancap bahkan tembus bahkan merobek-robek
segala isi hati Asti.
Hmmmmm, dua minggu telah berlalu tanpa Asti di ruangan ini. Begitu sepi. Aku
pun bergegas menuju rumah Asti. Kulihat dia di kamarnya depan jendela. Lesu
benar dia.. aku mendekatinya.
“Hai, As, apa kabar?”
Asti tersenyum. “Seperti inilah keadaanku sekarang. Aku kangen
dengan keluargaku. Entah kapan mereka kembali.”
“Mengapa kamu enggak masuk kampus, As? Sudah dua minggu ini kamu
menghilang.”
“Aku lelah, telingaku panas jika mendengar kata-kata pedas mereka.
Apalagi jika mereka tahu kalau aku hamil.. mereka pasti heboh. Aku pusing… Aku
ingin tenang, hidupku normal seperti kamu. Meskipun keadaanmu berekonomi
pas-pasan seperti teman yang lain juga. Aku enggak tahu bagaimana cara
memulainya lagi. Aku sering minum dan menelan obat-obatan terlarang itu.
Rasanya masalah jadi hilang.
“Ya ampun, inget sama Allah, As, sama orang tuamu. Kasihan mereka.
Kamu masih bisa memulainya dari awal lagi. Enggak ada kata terlambat untuk
menjadi lebih baik. Kamu bisa mulai dari awal lagi. Aku enggak tega dengan
keadaanmu seperti sekarang ini. Berubah, As, ke arah yang lebih baik. Dicoba,
aku pasti bantu kamu. Yah….”
Keesokan harinya Asti datang ke kampus. Seperti biasa mulut-mulut bermunculan
di udara. Asti berusaha mendiamkan mereka dan tidak menghiraukan. Namun ada
saja alasan mereka untuk memojokkan Asti. Telingaku pun panas juga mendengar
ocehan mereka.
Asti duduk seperti biasa berada di sebelahku. Pelajaran pun dimulai. Asti
meminjam catatanku karena sudah banyak pelajaran yang diatinggalkan.
Tiba-tiba ada pemeriksaan tas di ruangan kami. Langsung saja petugas memeriksa
tas-tas kami. Banyak yang mereka temukan. Ada kaset porno, majalah porno. Yang
tertangkap langsung dibawa ke luar. Mereka pasti mendapat hukuman.
Petugas mendekati tas Asti, Asti gugup dan gemetar. Dia merasa khawatir dan
cemas. Tas segera dibuka dan ternyata petugas mendapatkan obat-obatan
terlarang. Ya ampun, Narkoba…..
Asti langsung dibawa dengan barang bukti
Aku sangat menyesal dengan keadaan ini. Inikah mungkin terbaik jalan buat
seorang Asti? ***
Sabtu, 11 Februari 2012
Bangun
Pagi
Cerpen Alex R. Nainggolan
Bangun pagi. Sinar matahari. Dingin. Hari-hari berlalu seperti
biasa. Hidup yang rutin. Orang-orang bergegas, menggapai mimpi. Suara
kendaraan. Orang-orang berjejalan di jalan-jalan.
“Sudah pagi, bangun dong,
sayang. Katanya, mau pergi ke kantor pagi-pagi.”
“Sudah pagi?”
“Tuh,” perempuan dengan
mata indah itu menudingkan telunjuk ke arah jendela. Dahulu, saat masih remaja
ia gemar berlama-lama di tepi jendela. Mengharapkan lelaki. Menunggu seorang
pangeran datang menjemput. Memberi ciuman di mulut, setiap pagi. Membuatnya
terbang ke atas kabut. Sambil membangunkan laki-laki itu, kemudian menyeduhkan
segelas kopi, membawa sepotong handuk, menyuruh lelaki itu segera ke kamar
mandi.
Kini, lelaki itu memang
telah di sisinya, tidur satu ranjang dengannya. Memeluk tubuhnya saat hujan
deras merambatkan dinginnya ke dalam kamar.
“Ayo, dong bangun. Sudah
pagi, nanti telat lagi, loh!”
Lelaki itu melirik manja.
Minta sesuatu.
“Bangun pagi??”
“Iya, wake up,
mister!”
“Don’t you give me a
little kiss..?”
Muah.
“Just like that?”
“It doesn’t enough”
“What about big kiss?”
“Ehm..big kiss. Like
this..”
“Yeah…”
Mmmmuuuuaaaahhh…
Ada yang bangun, di pagi
ini. Di bawah pusar lelaki.
“Ayo dong, bangun. Sudah
pagi. Nanti terjebak macet lagi. Kan nggak enak hampir tiap
hari kau terlambat.”
“Ini udah bangun.”
“Belum, kau bohong!”
“Sudah.
Tidak percaya?”
”Mana?”
”Mana?”
“Di sini,” sembari
menudingkan jari telunjuk ke arah bawah pusar.
“Ih, nakal. Mulai bandel,
ya…”
“Siapa yang ngajarin?”
“Kamu.”
“Nakal.”
“Sama kayak kamu.”
Mereka berciuman lagi. Pagi
memang masih dingin.
“Udah, ah…nanti aja kalau
pas kamu pulang kerja.”
“Bangunnya sekarang,”
“Kamu yang minta bangunin,”
“O, ya?”
“Iya, tadi malam. Katanya,
Ma, besok bangunin pagi-pagi, ya. Gitu loh.”
“O, ya,” si lelaki meraih
pundak istrinya. Mereka larut. Dalam kembaranya lelaki itu sempat bertanya
dalam hati: sudah seberapa lama aku benar-benar mengenal dirinya? Apakah aku
betul-betul telah memahami apa isi hatinya? Yang pernah tersirat dari balik
mata beningnya yang demikian indah. Adalah dirinya yang memaksanya bertahan
untuk tetap berdiam di atas ranjang.
“Ayo, dong. Bangun! Udah
pagi, nih…”
“Sebentar lagi, nanggung
nih. Abis kau bangunin yang lain sih,”
Hari sudah terang. Tak
kedengaran lagi kokok ayam jantan. Cuma riuh suara percakapan, menembus halaman
rumah.
“Aku akan buatkan
yang special today. Tapi bangun dulu dong,”
“Ke sini,” si lelaki
menarik lengannya kembali.
“Nggak mau, ah.
Kamu mulai nakal sekarang.”
“Emangnya nakal sama
kamu nggak boleh?”
“Jangan banyak-banyak
dong.”
Cahaya pagi menetes rendah
di sela-sela ruangan. Si perempuan kembali beranjak. Mengingat-ingat, betapa
bahagia ia memunyai suami yang teramat menyayanginya. Tak ada yang berubah.
Lelaki yang selalu membuatnya selalu merasa remaja.
“Kamu juga ngantor,
Ma?”
Ia mengangguk. Ia masih
merasa jika lelaki itu masih terasa tampan, masih selalu memenuhi semua sudut
dalam rongga hatinya. Lelaki yang selalu ia tunggu, dahulu, di muka jendela.
Lelaki yang sampai sekarang masih sering membuatnya hatinya berdegup, saat
mendengar kata: sayang dari selusup bibirnya.
“Ya, udah, kita mandi
bareng. Abis sudah bangun sih,”
Si perempuan tertawa geli.
“Kenapa tertawa.”
“Yang dibangunin itu, bukan
yang anu. Tetapi kamu keseluruhannya.”
“Ini sudah bangun,” lelaki
itu telanjang. Berdiri menuju kamar mandi, sambil menyambar handuk yang
digantungkan oleh si perempuan di pinggir ranjang.
“Bener nih, nggak mau
mandi bareng.”
Si lelaki masuk ke kamar
mandi. Bersiul-siul sesuai irama lagu Bangun Tidur: bangun
tidur kuterus mandi/tidak lupa menggosok gigi/abis mandi/…
Pasangan itu kembali
terlontar ke masa kecil. Masa yang penuh dengan kenangan manis. Masa yang
selalu menancapkan jejak kuat dalam tungkai ingatan mereka. Kemudian remaja,
menamatkan sekolah, mendapatkan gelar, mencari pekerjaan, menikah, memunyai
anak (ups, tunggu dulu. Ini mereka belum punya. Tepatnya belum
diberikan kepercayaan Tuhan. Meskipun mereka berdua telah memeriksakan kepada
ahli kelamin dan kandungan bila sebenarnya mereka bisa memiliki keturunan.
Mungkin, belum digariskan oleh Tuhan), lalu tua. Sesuai dengan trilogi hidup
yang paling enak: kecil disuka, muda terkenal, tua kaya-raya, mati masuk sorga.
Si perempuan melamun, baru-baru ini ia membaca sebuah artikel di koran, tulisan
yang terlampau ngejelimet, berbau filsafat, mirip dengan judul
lagu: Jika sorga & neraka tak pernah ada *. Ia kembali termenung.
Suara air di kamar mandi.
Pagi masih membelah, turun di sebuah kota. Cahaya matahari dengan lembut
melemparkan jejaringnya ke seluruh sudut. Suara siulan si lelaki, siulan yang
tak begitu merdu, namun mampu membuat si perempuan tersenyum.
Si lelaki ke luar dari
kamar mandi. Dengan tubuh yang tak sepenuhnya kering. Dengan sepotong handuk
yang dililitkan dari pinggang sampai ke arah paha. Perempuan itu bergumam, “Duh, seksinya
lelakiku!”
“Udah mandinya. Udah
bangunnya.”
“Kamu, sih yang
bangunin.”
Lelaki itu mengenakan
pakaian. Bersiap-siap untuk sarapan. Ia melirik ke arah istrinya yang menuju ke
kamar mandi, “Kamu bangun juga nggak, Ma?”
“Apanya?”
Si lelaki mengikuti ke
dalam kamar mandi.
“Nanti basah, telat ke
kantor, dimarahin sama atasan. Nanti aku juga yang kena kesalahan. Nanti aja
pas pulang kantor. Aku juga mau berangkat, kita bareng jalannya.”
“Biarin. Abis…”si lelaki
mengunci bibir perempuan itu dengan telunjuk kanannya. Kemudian merengkuhnya.
Dalam napas yang
terengah-engah, suara air kamar mandi yang mengalir. Suara kendaraan yang
menembus kebisingan ruangan si pereempuan berujar, “Apa?”
“Terlanjur bangun pagi.”
Pagi sudah terbangun di
kota itu.
Jakarta, Minggu, 5 Februari
2005
Catatan:
* sebuah judul lagu yang
dinyanyikan Chrisye & Dhani Ahmad
Sabtu, 4 Februari 2012
ISTRIKU ITU BERNAMA LAMPIR,
BUKAN ROSA!
Cerpen Saiful Amri
Sebuah tempat kumasuki.
Di situ ada warung kopi. Meski tersembunyi, warung ini ramai pengunjungnya. Tak
banyak pikir, aku duduk di salah satu sisi warung , pas di bawah pohon mangga.
Lama aku diam. Sampai satu jam aku duduk,tak satu pun orang-orang di warung ini
yang kukenal. Entah ke mana perginya orang-orang yang kukenal.
Aku sudah memesan kopi. Tapi sebelum kopiku datang, wajah istriku
muncul dalam benak. Rosa namanya. Memang hebat
kali Rosa itu. Selalu menyelinap di setiap diamku. Hantamannya sangat
dahsyat. Sering kali aku tak berkutik dibuatnya.
Kuseruput kopi panas yang disediakan pemilik warung. Duh,
nyamannya di sini. Warungnya beratap nipah. Di sekelilingnya ditumbuhi
pohon-pohon rindang. Ada tiga buah pohon waru besar di sisi Timur. Di
sisi Barat, tempat aku duduk, dinaungi oleh tiga pohon mangga. Teduhnya
bukan main.
Sejak aku masih remaja, warung ini sudah ada. Waktu itu
pemiliknya seorang kakek. Tapi kini tak kulihat wajah kakek itu. Pemilik
warung yang sekarang, jauh lebih muda dariku. Mungkin cucunya.
Pantas dia tak mengenaliku. Mungkin juga karena tahun-tahun belakangan ini aku
jarang ke sini. Tapi bukan berarti aku melupakan warung ini.
Sampai sekarang pun cita rasa kopi di warung ini tetap enak.
Resepnya tetap sama seperti dulu. Kopinya diseduh dengan air yang benar-benar
mendidih. Airnya direbus dengan kayu bakar yang diperoleh dari
potongan-potongan batang pohon waru.
Pantas saja si pemilik warung selalu menanam pohon waru di sekitar
warungnya. Batang pohon waru memang cepat membesar dan membelahnya pun tidak
sulit.
Nama warung ini pun masih sama: “Simpang Waru Bandar Setia.” Ya,
sebenarnya tak ada merek yang tertulis di warung ini. Pengunjung memberikan
nama begitu karena pohon-pohon waru tak pernah absen di situ.
Tak peduli dengan sekitar, aku duduk saja di warung sambil
memperhatikan seekor lalat di atas meja. Mulanya lalat itu diam. Tak lama
kemudian ia menungging, menggerak-gerakkan kedua kaki belakangnya. Asyik juga
melihat adegan salto lalat itu. Tapi kurang ajar, dia berak di mejaku.
Kutepuk! Lalat itu terbang. Hadirlah wajah Rosa. Pikiranku pun kembali
mengingat kejadian di suatu malam.
“Minum susu ini, atau aku juga ikut kabur bersama kucing dan
nyamuk-nyamuk itu!” kata Rosa, istriku itu. Ucapannya bernada
mengancam. Aku tersentak. Lalu, tanpa menunggu komando yang kedua,
kuteguk habis susu itu.
“Besok, jual atau buang komputer itu. Aku tak mau tinggal di neraka. Ini sudah
bukan malam lagi. Sudah hampir pagi, tau!” ucap Rosa. Der! Suara
pintu kamar membuat jantungku melorot. .
Kutinggalkan komputer. Kutunda pekerjaan membuat daftar pembayaran honor para
guru yang akan gajian tanggal lima nanti. Aku masuk ke kamar
menemui Rosa yang telah siap menerkamku di ranjang bertilam kapuk.
Ajaib, semua marahnya hilang begitu aku telanjang. Besoknya, aku tak melihat
istriku berangkat ke kantor. Dia sudah lenyap sementara aku baru membuka mata.
Sekejap bayangan Rosa pergi. Aku masih di warung
waru. Agak kaget aku ketika mendengar teguran,
“Pak…!” kata yang satu.
“Pak…!” jawabku.
“Ayo minum kopi, “ kata yang gondrong.
“Ayo...,” kataku.
“Woi, sudah lama?” kata yang lain.
“ Belum…,” jawabku.
Entah siapa mereka. Namanya di warung, tak kenal pun saling tegur.Ya, itulah
enaknya di warung. Memang lebih enak daripada di
rumah.
Kubuang penat sepuasnya sambil menyeruput kopi. Lalu diam. Sepatah
pun tak ada yang ke luar dari mulutku. Mataku tak ke mana-mana,
memerhatikan seekor lalat lain yang merdeka hinggap di bekas tumpahan
kopiku. Beberapa saat kemudian lalat itu menggerak-gerakkan kaki belakangnya. Sama
seperti lalat yang tadi.
Tanpa permisi, lalat itu pun buang kotoran di tanganku. Tingkahnya
juga sama jelek dengan lalat yang tadi. Aku tak bertanya apa-apa pada lalat
itu.Dasar lalat, gerutuku dalam hati. Apa mungkin aku marah? Kalau aku marah,
pasti aku dibilang gila. Tak kutepuk, hanya kutepis. Lalat itu terbang.
Datang lagi Si Rosa dalam benakku. Semua pakaianku dibungkusnya
dengan plastik asoi. Diletakkannya di depan pintu.
“Udah kubungkus pakaianmu. Piginya aja yang belum. Tanah aku yang belik.
Rumah aku yang buat. Jangan tinggalkan jejak di rumah ini! Banyak orang yang
bisa kugaji untuk ngurusi sekolah! Masih banyak guru yang bisa
kuangkat jadi kepala sekolah! Kalau kau pergi atau mati, tak ada
masalah!” katanya.
Aku diam. Ucapannya itu memang betul. Itu memang rumahnya. Sejak
bayi aku memang tak pernah punya rumah. Kukawini Rosa, salah satu tujunnya
adalah agar aku tak repot-repot pindah dari kontrakan yang satu ke kontrakan
yang lain. Biarlah janda! Toh, aku pun duda.Yang penting aku bisa punya rumah.
Ternyata itu pertimbangan yang salah.
Rosa memang janda bermodal. Kami mendirikan sekolah. Alhamdulillah,
aku diangkat jadi kepala sekolah. Tapi, ya, beginilah tabiat Rosa. Lebih mirip
dengan tabiat Mak Lampir dalam sinetron televisi. Entah berapa hargaku di
matanya.
Aduh, kejam kali kau Rosa. Pantang ada sedikit salahku.
Jadilah pertengkaran. Memang waktu itu aku pulang sampai lewat magrib.
Itu karena aku singgah dulu ke rumah temanku. Namanya teman akrab, ya kami main
trup dulu.Tak terasa, lewat magrib, barulah aku tiba di rumah. Itu pun,
mobil kijang sudah kutancap gas habis-habisan. Hampir kutabrak tukang
cendol di Lau Dendang. Gitulah jadinya. Nyaliku sebagai suami diujinya sampai
dekat final.
Hampir kupungut pelastik asoy yang
diletakkan Rosa di depan pintu. Tapi mendadak Ilham menghampiriku.
Ilham melendotiku. Biasanya mau minta uang. Kuberi dia seribu perak.
“Ayah mau es-nya? Biar kubeli dua,” tanya Ilham sambil melebarkan lembaran uang
seribu itu.
“Mamak?” tanyaku pada anakku. Rosa masih dengan mata berapi
memelototiku.
“Mamak tak usah. Mamak tak suka es, “ jawab Ilham.Tak ada ucapan yang
mengharukan dari mulut Ilham. Tapi air mataku menitik dibuatnya. Kuusap kepala
Ilham dan kucium rambutnya. Apakah Ilham harus punya bapak tiri?
Lalu Rosa, entah apa yang ada di hatinya. Kulihat matanya masih berapi.
Kutatap mata Rosa yang belum padam apinya.
“Kau serius?” tanyaku. Rosa tak menjawab. Tapi juga tak mencegahku
untuk pergi. Ah, nyaliku benar-benar diujinya. Tak lama kemudian, ia masuk ke
dapur, mencuci piring. Sengaja ditimbulkannya suara gaduh di dapur. Biasanya
ada empat atau lima piring yang pecah. Aduh, mak! Inilah istri paling
paten di dunia.
Plastik asoi berisi pakaianku masih tergeletak di depan pintu.
Tak kusentuh. Kucium Ilham lekat-lekat. Lalu, aku terbang. Meninggalkan Rosa
dan rumah miliknya. Malam itu aku tidur di losmen.
Semua kejadian yang ada di benakku terputar jelas. Seperti menyaksikan adegan
film. Layarnya meja warung ini.Untung ada warung ini, tempatku
memaki-maki Rosa dalam hati.
Kopi tinggal satu seruput lagi. Pikiranku sudah sampai di rumah Rusdi.
Teringat suasana main trup yang penuh keakraban. Aku bisa tertawa
lepas di situ. Melupakan taring dan seramnya wajah Rosa, seseram Mak
Lampir. Ya, cocoknya namanya diganti dengan Lam…pir!
Kopi habis. Dengan berat hati, kutinggalkan warung. Kutinggalkan tempat yang
sering menjadi peneduh gundahku. Tapi sebelum itu, kubuang
dulu Rosa dari benakku. Kubuang juga fotonya yang ada di dompetku.
Sebab, setiap kali aku memandang foto itu, selalu terlihat
taring-taring Rosa yang panjang. Seram.
***
Banyak juga uang sekolah siswa yang kukutip hari ini, hampir satu juta. Sebelum
kusetor pada Rosa, kusisihkan tiga lembar uang lima puluh ribuan.
Selanjutnya aku pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi, uang itu kulipat delapan,
lalu kuselip di dompetku. Inilah caraku mengantisipasi kiriman buat anakku, anak
tiri Si Rosa.
Rosa selalu tak senang bila aku berkomunikasi dengan anakku yang
dilahirkan oleh bekas istriku dulu. Kalau dia tahu sedikit saja…ya,
ancaman cerai pasti datang untukku. Makanya aku selalu mengarang berbagai
alasan jika sewaktu-waktu aku rindu dengan darah dagingku.
Aku menemui anakku, anak tiri Si Rosa. Kerinduanku pada buah hati
hanya dapat kuungkapkan di sebuah rumah makan, di terminal Amplas. Duhai,
ternyata anakku ini ganteng. Perpaduan antara aku dan si Siti, bekas
istriku. Tak terasa, sudah kelas dua SMA dia.
“Mamakmu sehat?” tanyaku.
“Sehat, Yah. Semuanya pun sehat,” jawabnya sambil menyantap hidangan yang baru
saja selesai disajikan oleh pemilik rumah makan.
Itu saja cakap kami sampai selesai makan. Terasa lezat sekali
hidangan di rumah makan ini. Tapi aku yakin bukan karena bumbu masak.
Kelezatan itu timbul karena senang hatiku melihat buah hati, pendiam, sama
sepertiku dulu.
“Ada yang penting kau sampaikan?” tanyaku.
“Nggak, Yah. Aku cuma rindu sama ayah. Kan udah lama
kita tak jumpa, ” jawabnya, tanpa ada bumbu-bumbu kata. Tak ada canda
dalam pertemuan kami kali ini. Tapi kumaklumi itu. Kurangnya pertemuan di
antara kami membuat suasana menjadi canggung.
Aku pun terbawa rendong, tak banyak cakap. Lebih banyak kupandangi
wajahnya daripada bercakap. Dia juga begitu, ingin berlama-lama memandangi
wajahku. Kalau ia sedang mengamatiku, sengaja kupalingkan pandangan ke arah
lain, agar ia tidak kisruh.
“Yah…,” sapanya.
“Eh, ada apa, Jo?”
“Aku cuma mau bilang…. Mau bilang…”
“Mau bilang apa, Jo. Bilang aja. Kok takut?” selaku
“Aku cuma mau bilang, ayah sudah nampak tua. Garis di kening ayah semakin
jelas. Apa ayah sering sakit? Kalau sakit, kabari aku, ya…,” katanya.
“Yah, namanya usia. Tambah tahun, tentu tambah tua. Tapi ayah tidak sering
sakit, kok!” balasku.
“Syukurlah kalau ayah sehat-sehat aja. Doakan sekolahku sukses, biar nanti
kalau aku sudah punya penghasilan, aku bisa ngirim uang untuk ayah, juga untuk
adik-adik.”
“Ya. Ayah doakan,” balasku. Setelah itu, mataku basah. Merasakan pedihnya
harus berpisah dengan Sumarjo, anakku ini.
“Lho. Ayah menangis? Akukan tak ada mengabarkan yang sedih-sedih?” tanyanya.
“Ya, ya. Ayah tak apa-apa. Nanti kau juga akan mengerti apa sebabnya ayah
menangis,” jawabku.
Kurangkul anakku. Kuciumi dia menjelang keberangkatannya ke
Sibolga. Kuselipkan uang seratus ribu rupiah ke sakunya. Dia tak bicara.
Saat bus berangkat, dia melambaikan tangannya. Meninggalkan rinduku yang masih
hangat.
Dua hari kemudian, aku pulang lewat magrib lagi. Kuketuk pintu berkali-kali,
tak jua dibukakan. Kupangil si Ilham,
“Ham, bukakan pintu, Ham …!” Ada tujuh kali aku memanggil. Yang
membukakan pintu bukan Ilham, tapi istriku. Hajab!
“Tuh! Di sebelah banyak ruang kelas yang bisa kau tiduri. Tidur aja
di sana! Tak usah tidur di rumah ini lagi! Kau pikir aku tak tahu, ngapain kau
kemarin!” ucapnya. Aduh, dari mana pula dia tahu kalau dua hari yang lalu
aku menemui anakku.
“Ke mana rupanya aku kemarin? Kan aku ke kantor dinas! Kok marah pulak kau?”
kilahku. Mudah-mudahan dia percaya.
“Udah bosan aku dengar bongakmu! Kan kau
ke Amplas! Njumpai anakmu, kan? Lalu titip salam
untuk mamaknya kan? Tak usah bohong! Tak ada lagi paen sama
kau! Tidur di kelas!” Gitu katanya. Brak!! Dihempaskannya pintu. Tertutuplah
rumahku. Hampir saja keningku tersambar daun pintu.
Aku tidur di dalam kelas. Ini bukan yang pertama kali kulakukan. Sudah
sering. Tak terhitung entah berapa kali.
Bangun tidur, kulihat pakaianku sudah terbungkus dengan plastik asoi.
Plastik itu tepat diletakkannya di depan pintu kelas. Ah, kejam kali
kau, Rosa! Apa yang harus kulakukan?
Masih belum diam otakku membuat keputusan, telepon genggamku berdering.
“Ada apa, Jo?” tanyaku.
“Yah. Datanglah ke sini. Bapak Sibolga meninggal dunia tadi malam. Pas selesai
sholat magrib..,” pinta anakku.
“Ya.Ya. Bapak dating,” balasku. Setelah itu, langsung kularikan kijangku ke
Sibolga. Tak perlu kuberi tahu si Lampir! Aku sudah bosan digertak! ***
Bandar
Setia, Agustus 2011
Sabtu, 28 Januari 2012
Nyonya
Cerpen
: Sunita Maharani
N
|
yonya. Orang-orang
sering memanggilnya begitu, ia sendiri hanyalah sebuah alat. Alat yang dapat
mengerjakan banyak hal yang dimintakan padanya. Dan kelebihan lainnya dari
banya alat yang ada di muka bumi ini. Ia dapat berjalan sendiri serta
bicara gagal manusia layaknya, kepintarannya hampir sama dengan komputer.
Tidak jelas bagaimana mulanya alat itu dipanggil Nyonya oleh
orang-orang di sini. Atau mungkin karena ia lebih sering mengerjakan banyak
pekerjaan perempuan.
“Ya, mungkin saja, Mbak.” ujar Nyonya suatu ketika padaku saat
perihal namanya itu dipermasalahkan.
“Nyonya sendiri kurang begitu paham apakah yang Nyonya kerjakan
selama ini memang pekerjaan perempuan atau wanita memang, kalau sudah berkaitan
dengan perempuan banyak, masalah yang Nyonya ketahui,” tutur Nyonya pula.
Nyonya sendiri, meski ia dianugerahi kemampuan untuk berbicara
sebenarnya, ia termasuk yang kurang suka banyak orang. Tapi, jika sudah
denganku! Wah, omongan Nyonya kadang nyerocos mirip dengan
kereta api berkecepatan tinggi.
”Perempuan itu tak ada bedanya dengan rembulan,” ucap Nyonya
ketika menyinggung soal perempuan.
Rembulan itu sukanya bersembunyi di balik awan. Kemudian lebih
banyak ia mengintip-intip isi jagad ini dari balik persembunyiannya.
Begitu juga perempuan seringkali menyembunyikan isi hati orang
lain. Dalan kalau isi hatinya diketahui orang ia cenderung tidak mau
mengakuinya. “Ya, begitulah perempuan!” ujar Nyonya sungguh-sungguh.
Tentang memilih perempuan, Nyonya juga pernah bilang agar
laki-laki sebaiknya tidak memilih perempuan untuk istri, misalnya semata-mata
karena kecantikannya saja. Kecantikan yang ditunjukkan dengan senyumannya yang
manis, tubuhnya yang indah dengan lekukan-lekukan pinggul hanya terbalut kaos
dan jeans ketat. Rambutnya yang panjang menyebarkan bau harum yang menyengat.
Nyonya malah menyarankan sebaiknya kaum laki-laki khususnya
abangku, sebab Nyonya memberikan nasihat itu memang ditujukan untuk abangku,
agar melihat pada kepribadian yang dimiliki oleh perempuan itu. Itu, kalau kita
ingin menyayanginya.
“Kecantikannya itu tidak abadi dan gampang pudar. Tetapi
kepribadian akan begitu kekal terbawa sampai mati,“ ujar Nyonya berkali-kali!
Setiap ada perempuan berbicara denganku.
Matahari masih memancarkan sisa-sisa sinarnya di sore ini. Angin
sesekali bertiup kencang mengiringi datangnya musim penghujan kali ini. Sejenak
aku menatap jendela. Oh… ternyata Nyonya sudah berada di beranda rumahku.
“Silakan, Nyonya.” Aku memersilakan Nyonya ke dalam. ”Sehat-sehat
saja hari ini, Nyonya?”
“Ya, syukurlah. Begitu doamu jua”. Jawabannya tetap serta
sebagaimana biasanya. Memang, setiap minggu sore seperti ini, Nyonya selalu
menyempatkan untuk datang ke rumahku sekadar berbincang-bincang. Dan setiap
minggu sore pula, aku dengan setia menunggu di rumah, mendengarkan berbagai
ocehan-ocehan, suka dan duka, yang terlontar dari benak Nyonya.
“Wah, gembira sekali kemarin rasanya,” Nyonya langsung saja
menyampaikan apa yang di pikirannya.
Kemarin Nyonya dapat pesanan catering 500 kotak
nasi untuk dua kantor perusahaan swasta.
?Dan kami telah menandatangani kontrak untuk satu tahun, terhitung
dari Senin besok.”
“Ya, syukurlah kalau begitu, aku tentu turut bergembira,” jawabku
sembari menepuk-nepuk pundak Nyonya yang terlihat amat bergembira hari itu.
Ternyata semakin hari, semakin banyak saja orang yang tidak makan siang di
rumahnya masing-masing.
Tampaknya perempuan ini mulai akan melepaskan uneg-unegnya yang
lagi mengganjal. Nyonya sendiri merasa segala ini adalah potret kehidupan zaman
sekarang.
Nyonya diam sejenak dan kemudian kembali berkata, “Semula hal ini
disebabkan karena kini mulai banyak para istri yang merelakan waktu mereka
untuk bekerja di luar rumah. Kesibukan ini dilakukan semata-mata karena
ingin membantu suaminya untuk mencari nafkah guna menopang perekonomian
keluarga. Yang berakibat banyak para istri tidak ada di rumah ketika para suami
dan anak-anaknya makan siang.
Namun. seberapa pun wanita sibuk di luar, dia akan tetap kembali
ke rumahnya untuk mengurusi suami dan anaknya di rumah. Dengan
menyediakan makan siang mereka yang langsung dimasakkan oleh istrinya. Suami
yang mendambakan masakan istrinya atau anak-anaknya yang mengagungkan masakan
ibunya, tentu akan merindukan suasana seperti ini.
Eh,,,sesibuk apapun wanita tetap memikirkan suaminya. Kecantikan
perempuan yang didasari kecantikan alami maupun kecantikan melalui olesan-olesan
kosmetik, sepenuhnya diberikan untuk suami. Kecantikan yang dapat dinikmati
oleh seorang suami di saat-saat mereka menghabiskan malam bersama dalam dunia
malam mereka.
“Ya enggak!“ Nyonya berkata dengan nada agak keras.
Aku sendiri tak berani mengomentarinya lagi, kecuali hanya manggut-manggut
seperti orang yang sakit ayan.
......
Aku baru saja selesai
mandi pagi pada Minggu pagi menjelang akhir bulan ini. Tiba-tiba aku dikejutkan
dengan kehadiran Nyonya di rumah kecilku. Tak biasa ia datang sepagi ini,
apalagi dengan mimik mukanya yang begitu suram, tak secerah seperti biasanya.
“Tolong aku, Mbak!“ Nyonya langsung menghampiri aku.
“Lho, ada apa?”
“Pokoknya tolonglah aku,” ujar Nyonya yang sejenak terdiam. Sejak
sekian tahun baru kali ini mendengar Nyonya menyebut dirinya aku sebagai
pengganti Nyonya.
Aku terdiam sejenak sembari mencoba memahami apa sebenarnya
yang terjadi. Nyonyapun ikut diam, seperti memahami keterkejutanku itu.
”Ternyata selama ini aku hanya diperalat,” Nyonya mendahului bicara setelah
kami sama-sama terdiam.
“Diperalat, bagaimana Nonya!” Aku tetap tidak mengerti.
“Aku sudah merenungkannya tadi malam, ternyata aku hanya
diperalat.”
“Ya, diperalat bagaimana?” Aku bertanya dengan pertanyaan
yang sama.
Nyonya kemudian bicara panjang lebar perihal kekecewaanku itu. Ia
sendiri mengaku telah mengerjakan pekerjaan yang dimintakan kepadanya sebaik
mungkin. Bahkan hampir semua jenis pekerjaan dan aktivitas sudah ia lakukan
dengan sungguh-sungguh.
”Mulai tugas mencuci piring, mencuci pakaian bayi, tas, dan celana
tuan, membersihkan lantai dirumah tuan, menyiapkan masakana untuk tuan
dan anak-anaknya, juga tamu-tamunya.
Sementara di luar sana aku juga selalu ,mengerjakan dengan baik
apa yang mereka inginkan. Mulai menyiapkan makanan, segala jenis bunga hias
untuk ruang kantor bagi para pemesan, sampai menyiapkan kegiatan bakti sosial,
bulan dana anak cacat, semua dilakukan dengan penuh pengabdian.”
Pelan-pelan diiringi deru mobil yang menghiasi jalan persis di
pinggir jalan rumahku. Nyonya seperti terisak, tak dapat menahan kedukaan dalam
hati.
”Nyonya, sadar. Nyonya adalah sebuah alat yang harus menurut apa
yang dimaui orang lain. Tapi walaupun hanya sebuah alat, toh tidak salah kalau
Nyonya sendiri menjadi bagian penting dari apa yang Nyonya kerjakan selama ini.
Nyatanya mereka hanya memperalat Nyonya. Hanya memperalat!”
“Siapa yang Nyonya anggap memperalat Nyonya itu?”.tanyaku pula.
“ Ya, mereka-mereka itu,” jawab Nyonya ketus.
“Mereka-mereka itu siapa?”
“ Pokoknya mereka-mereka itu. Titik!” kali ini suara Nyonya
benar-benar membelah langit.
Kembali aku tak berani mengomentari ucapan Nyonya. Apalagi kali
ini kata-katanya begitu lantang, salah-salah nanti malah kemarahannya bisa
beralih kepadaku.
Setelah mencoba tetap bersikap tenang, aku kembali berkata, “Lalu,
apa kira-kira yang bisa aku tolong untuk Nyonya?”
“Masukkan saja Nyonya ke dalam kulkas!”
“Lho, untuk apa?”
“Agar seluruh tubuhku kembali dingin seperti semula, tidak
kepanasan. Seperti yang Nyonya rasakan saat ini.”
“Oh, tidak mungkin Nyonya. Tubuhmu bias jadi kaku dan beku bila
aku memasukkanmu kedalam kulkas”.
“Tapi aku memerlukan pendingin itu”.
“Ah, mungkin Nyonya hanya strees, karena hampir tak ada
istirahat”. Cobalah Nyonya pikirkan sekali lagi”, ujarku mencoba
menenangkannya”.
Sejurus Nyonya terdiam diri sembari merenungkan sesuatu.
Entah apa yang ia renungkan. “Oh, baiklah kalau begitu.” Tiba-tiba Nyonya
kembali mengeluarkan suaranya. ”Aku tak jadi memintamu memasukkanku ke dalam
kulkas. Tapi dengan syarat…”.
“Syarat apa Nyonya?” Aku langsung memotong sebelum Nyonya sempat menyelesaikan
kata-katanya.
“Kau harus memenuhi permintaanku yang satu ini sebagai permintaan
terkhir.”
”Aku berjanji, Nyonya,” ujarku setuju, meski aku sendiri tetap
belum memahami apa maunya Nyonya ini.
“Baiklah, kalau begitu masukkan saja Nyonya ke dalam mesin cuci,
agar setelah itu hati dan jiwa Nyonya bisa kembali bersih tidak sekusut hari
ini. Nah, lakukanlah demi aku.”
Kupikir tidak begitu jelek bila kuturuti saja kehendak Nyonya kali
ini, di samping aku sendiri sudah berjanji untuk memenuhinya. Tanpa banyak
bicara, kubantu Nyonya memasukkan tubuhnya ke dalam mesin cuci di belakang
rumah yang hampir dua bulan ini tidak pernah kupakai lagi.
“Nah, masuklah Nyonya, dan aku akan tetap menunggumu di luar,”
kataku sembari melepaskan tubuh Nyonya ke dalam mesin itu.
Di beranda, matahari mulai naik. Daun-daun berbisik-bisik diterpa
angin yang membiaskan kesegaran. Kuhirup udara dalam-dalam. Napas aku lepaskan
dalam-dalam, sambil berdoa semoga Nyonya mendapatkan apa yang dia inginkan dan
menemukan kembali sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.
“Ah, Nyonya!” kataku dalam hati. Sembari tak henti-hentinya
menggelengkan kepalaku di teras rumah, kecuali pada hari Minggu yang sebenarnya
amat cerah. ***
Sabtu, 21 Januari 2012
SRI
Cerpen : Nuraini
S
|
ebut
saja namanya Sri. Kembang desa yang menjadi pujaan dan rebutan kaum lelaki di
desanya, entah itu yang tua maupun yang muda. Bagaimana tak menjadi rebutan,
selain berparas cantik dan bertubuh molek Sri adalah gadis desa
yang pintar, berpendidikan dan berpikiran maju. Dia baru saja menyelesaikan
studinya di sebuah perguruan tinggi negeri di kota.
Karena telah menyelesaikan studinya,
lepas wisuda Sri pulang ke desanya.
Lama juga Sri tidak memiliki
kegiatan di desanya.
Karena mengetahui Sri si kembang desa
sudah pulang ke kampung halamannya, para pria pun mulai sibuk bersaing dengan
berbagai cara untuk mendapatkan perhatian dan cintanya Sri. Baik tua ataupun
muda, berlomba-lomba datang meminangnya, berharap Sri mau dipersunting
menjadi istri. Siapa coba yang tidak mau mempunyai istri yang cantik.
Tak kalah hebohnya dengan kaum pria, perempuan-perempuan di desa itupun sibuk
kasak-kusuk, menggosip di sana sini, membicarakan Sri. Mereka khawatir
kalau-kalau suami ataupun pacarnya kepincut kepada Sri.
Sri tidak terlalu memedulikan gunjingan-gunjingan, gosip-gosip para tetangga.
Dia pun mengabaikan lamaran yang datang, walaupun datangnya dari seorang
juragan yang sangat kaya di kampungnya.
“Pak, Bu! Sri itu belum ada kepikiran
mau kawin, pinginnya Sri kerja. Untuk apa Sri sekolah tinggi-tinggi
kalau harus cepat-cepat kawin.”
“Bukannya Bapak sama Ibumu ini memaksa
kamu supaya cepat-cepat kawin, bukan kami melarang kamu untuk bekerja di kota.
Kamu kan tau sendiri, Bapak
sama Ibumu ini sudah tua, sudah pingin melihat kamu menikah dan menimang cucu
dari kamu Sri. Kami sudah tua, kalau kamu pergi, siapa yang akan merawat kami
nantinya?”
“Sri tau, Pak, Bu , tapi niat Sri untuk
kerja ini sudah Sri fikirkan sejak lama.”
“Ya sudah, kalau kau bersikeras dengan
keinginanmu itu, kami tidak akan menghalang-halangimu lagi.”
Setelah sebulan lebih dia berada di
desa, sejak malam perdebatan itu, akhirnya Sri jadi juga berangkat ke kota untuk bekerja. Siang
itu Sri berangkat dengan berat hati, derai air mata Bapak dan Ibunya ikut
mengiringi kepergian Sri. Siang itu, langit mendung, seperti hendak
menggambarkan suasana hati mereka saat itu.
“Sampai di sini Bapak dan Ibu
mengantarmu. Hati-hatilah kau di sana. Jaga dirimu baik-baik. Sering-seringlah
mengirim kabar.”
“Ya, Bu, Pak! Sesampainya di sana Sri
akan langsung mengabari.”
Maka, berangkatlah Sri. Di kota, Sri
sudah ada tempat untuk tinggal. Dia tinggal satu rumah kos dengan teman
kuliahnya dulu, Rita namanya. Ritalah yang membantunya mendapatkan pekerjaan.
Sekarang Sri bekerja di sebuah perusahaan sebagai sekretaris direktur.
Direktur muda pemilik perusahaan yang tampan dan kharismatik itu bernama Aldo.
Ia sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak, dikarenakan kedua rahim istrinya
harus diangkat sebab suatu penyakit.
Sebagai sekretaris, tentunya dia selalu bertemu dengan Pak Aldo, atasanya itu.
Setiap urusan pekerjaan di kantor ataupun di luar kantor tentunya Sri juga
berperan di sana. Sri merupakan karyawan yang disiplin. Pak Aldo menyukai cara
kerjanya.
Dari gaji yang diperolehnya, Sri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengirim
uang ke kampung, untuk meringankan beban ekonomi keluarganya, karena Bapaknya
hanyalah seorang pensiunan pegawai kebon. Dengan uang itu terbantulah Bapak dan
Ibunya. Ada rasa bangga timbul di
hati kedua orang tuanya atas keberhasilanya di kota.
Selama Sri tinggal di kota, jauh dari sanak keluarga. Hanya
Ritalah yang menjadi kerabat, saudara dan juga tempat mencurahkan segala isi
hatinya. Tapi tak lama lagi dia akan pulang ke desanya, karena akan
melangsungkan pernikahan. Sepulangnya Rita, Sri jadi tinggal sendiri di rumah
kostnya itu.
Hari itu Sri kerja lembur dan pulang lebih lama dari biasanya, karena ada
pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Karena sibuknya, dia tiddak
menyadari kalau Pak Alda ada di sana dan sedang memerhatikannya.
“Hh….,” Sri menarik nafas. “Akhirnya selesai juga, sudah malam rupanya, masih
ada angkot gak ya ? Harus
buru-buru nih.”
Lama Sri menunggu angkot ataupun taksi yang lewat, tapi tidak juga datang. Dari
belakang, rupanya Pak Aldo juga baru ke luar dari parkiran dengan mobilnya.
“Lho, Sri masih di sini?”
“Iya, Pak, belum dapat taksi nih.”
“Bagaimana kalau saya antar kamu
pulang? Sudah malam sekali nih!”
“Terima kasih, Pak, tidak usah, Pak,
saya naik taksi saja.”
“Bukankah kita satu arah, ini sudah
malam, nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu bagaimana?”
”Kalau begitu, baiklah, Pak.”
Dalam perjalanan itu, mereka berdua
mengobrol panjang lebar.
“Sudah sampai, Pak, saya turun di sini
saja, terimakasih! Mari, Pak, singgah minum kopi dulu!”
“Oh, terima kasih, saya langsung
pulang saja. Selamat malam!”
Sejak malam itu hubungan Pak Aldo
dengan Sri semakin dekat, semakin sering Pak Aldo mengantarkan Sri pulang, dan
minum kopi di kostnya. Kedekatan mereka kini berkembang dan entah disadari atau
tidak rasa simpati dan benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka berdua.
Sekarang mereka terlihat lebih sering bersama-sama dalam berbagai kesempatan.
Hari itu mereka harus pergi ke luar
kota untuk beberapa hari karena urusan pekerjaan. Mereka menginap di sebuah
vila dan hanya tinggal berdua saja jika malam, karena penjaga vila itu pulang
pada malam hari. Jauhnya mereka dari orang-orang yang mengenal mereka. Hubungan
yang mereka jalani semakin mesra, karena tidak perlu canggung, takut, ataupun
risih dengan gosip-gosip, orang yang membicarakan atau memerhatikan gerak-gerik
mereka.
Selesai survei lapangan, Sri dan Aldo
tidak dapat kembali ke kota sesuai apa yang sudah dijadwalkan, akibat
cuaca buruk. Keduanya kembali ke vila dalam keadaan basah
kuyup karena hujan.
Pakaian Sri yang basah, menggambarkan lekuk-lekuk
tubuhnya yang molek. Rambutnya basah tergerai membuat dia terlihat seksi dan
menggairahkan. Aldo yang melihat Sri dalam keadaan basah itu, tidak dapat
memungkiri perasaanya bahwa ada hasrat birahi di sana, yang menginginkan
Sri dan tubuhnya dalam keadaan utuh.
Mereka mengeringkan tubuh dan mengganti
pakaian yang basah itu dengan piyama. Keduanya menghangatkan diri dengan duduk
di sebuah sofa yang empuk dekat perapian, sambil mendengarkan irama musik
klasik yang romantis.
Dalam suasana yang romantis itu, ada
getaran hebat yang dirasakan Sri saat Aldo menggenggam tangannya.
Dirangkulnya dan dipandanginya Sri dalam-dalam, seperti hendak menyampaikan
sesuatu lewat matanya. Sri merasa canggung, tetapi menikmati.
Dia tenggelam dalam pelukan dan belaian
tangan Aldo. Aldo mencium kening, pipi dan……. ”Sri aku
menginginkanmu”.
“Bagaimana dengan,…..?” Belum sempat
selesai Sri berkata, Aldo telah melumat bibir Sri dengan penuh
kehangatan. Kenikmatan yang dirasakan Sri membuatnya terlena dan membalas
lumatan bibir itu dengan penuh gairah.
Entah setan apa yang merasuk dan
menggoda, hingga mereka melakukan hal itu, kenikmatan sesaat. Dirasakannya
selangkangannya perih. Terbayang dia dengan kedua orang tuanya dan akibat
yang akan ditanggungnya nanti.
“Mas, bagaimana kalau Sri nanti hamil?
Bagaimana, Mas?” tanya Sri dengan isak tangis.
“Jangan takut, Sri, aku akan
bertanggung jawab, aku mencintaimu.”
Dua bulan telah berlalu setelah
kejadian itu, Sri merasa tidak sehat dan mual pada perutnya. Setelah diperiksakan
ke dokter, ternyata Sri dinyatakan positif hamil. Hal yang
dikhawatirkanya terjadi juga, hal ini diberitahukanya pada Aldo. Tentunya Aldo
merasa senang, karena itu yang diinginkannya selama ini, seorang anak yang tak
mungkin didapatnya dari istrinya sekarang.
“Aku akan segera menikahimu, Sri.”
Sri tahu hal ini tidak baik dan tidak
mungkin. Istri Aldo adalah wanita baik, lagi pula keluarga besarnya tidak
menyukainya. Orang-orang selalu membicarakannya, memvonisnya sebagai wanita
tidak benar, pengganggu dan perusak rumah tangga orang. Ini semua membuat Sri
terpukul, gundah, gelisah, malu rasa bersalah sebesar-besarnya.
”Mengapa aku mengenalnya, memujanya dan
mengapa akhirnya aku jatuh cinta padanya, hingga terjadi hal ini?”
Lama Sri menyadari, merenung, dan
menimbang-nimbang ajakan Aldo untuk menikah. Tapi tekanan berat
yang dirasakannya begitu melemahkan dirinya. Sri tidak mau mengganggu
hubungan suami-istri Aldo. Akhirnya dengan perasaan yang kacau balau, dia pergi
dan meninggalkan Aldo dan pulang ke kampung halamanya, berharap kedua orang
tuanya mau memaafkan dan menerimanya.
Sri pulang ke kampungnya tanpa
berpamitan pada Aldo, hanya sepucuk surat ditinggalkannya.
“Dear, Mas Aldo
Sebelumnya Sri minta
maaf karena Sri pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Mungkin kepergianku
untuk selamanya dan tak akan kembali. Bukan aku tak mau di sisimu lagi, bukan
ku jatuh hati pada yang lain. Demi kebaikan semua, dengan berat hati Sri
mengambil keputusan ini.
Biarlah hati ini, biarlah derita ini ku tanggung sendiri. Aku mencintaimu Mas,
tapi, sayangilah istrimu, Mas.
Tak perlu mengkhawatirkan aku, jangan mencariku.
“
“
SRI
Sesampainya Sri di kampung,
Bapak-Ibunya merasa senang, sampai akhirnya kecewa dengan cerita Sri tentang
kejadian yang dialaminya. Bapak-Ibunya terpukul dan mengusir Sri dari rumahnya.
Dengan
sedih, Sri pergi ke luar kota,
jauh dari kampungnya, Bapak-Ibunya dan juga Aldo. Sri tinggal di sebuah panti
asuhan dan menyambung hidupnya dengan bekerja sebagai pengasuh anak di sana. Di kota yang sejuk
itu Sri memulai kehidupan baru dan melahirkan
Sabtu, 14 Januari 2012
KAPAN KISAH INI BERAKHIR
Cerpen : Neni Wahyuni
R
|
intik hujan turun perlahan membasahi trotoar yang berada
di jalan raya. Dari kejauhan terlihat manusia berlari kecil sambil menutupi
kepalanya dengan telapak tangan agar tidak terkena langsung dengan air hujan.
Mereka berlari ke arah tempat aku berdiri. Di depan halte tempat aku berdiri,
terpampang papan reklame besar. Spanduk universitas swasta berlomba
memerkenalkan keistimewaannya.
Ini
merupakan kedatanganku yang entah keberapa kalinya di kota ini. Aku adalah
mahasiswi yang kuliah di salah satu universitas swasta di kota ini. Sebut
saja aku Kumala atau akrab dipanggil Mala. Usia 23 tahun, saat ini sedang
menyusun skripsi. Untuk menuju ke rumah kontrakan, aku menggunakan jasa
taksi karena hujan yang turun tidak juga reda.
Di depan pagar coklat, supir taksi kusuruh untuk melambankan jalannya. “…Di
sini saja ….!” Aku turun sesudah membayar ongkos taksi.
Di kamar, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur yang berada di sudut ruangan
berukuran 4 x 3.
Walaupun tubuhku sangat lelah, namun aku tidak bisa memejamkan mata.
Mataku hanya menatap langit-langit kamar. Masih jelas ingatanku ucapan
ibu tadi siang.
“ Mala, kuliah kamu sudah hampir selesai…”
“Iya, Bu.” Aku melihat raut wajahnya yang sudah mulai nampak keriput. Terlihat
jelas di raut wajahnya kehidupan ini begitu keras. Apalagi setelah ibu
ditinggal ayah 10 tahun yang lalu. Ibu sendirilah yang berjuang membanting
tulang. Membesarkan aku dan kedua adikku, Dewi dan Tono.
Dewi sudah menyelesaikan SMA di kampong,
sedangkan Tono masih duduk di kelas dua SMK.
Aku sendiri melanjutkan ke perguruan tinggi
hanya ingin seperti teman-teman. Mereka merantau ke kota untuk kuliah
dan setiap bulan selalu dikirimi uang kontrakan.
Sedangkan aku anak seorang janda. Ibuku
menjadi buruh cuci di kampung dan membiayai kedua adikku lagi.
Aku sadar biaya kuliah tidaklah sedikit.
Untuk menutupi uang kontrakan dan keperluan lainnya, aku bertekad untuk mencari
pekerjaan.
Tapi di kota metropolitan ini mencari
pekerjaan tidak semudah yang aku bayangkan.
Sore hari, seperti biasanya aku duduk di
beranda rumah sambil membaca buku filsafat, aku dikagetkan dari belakang.
“ Hiy….!! Lagi ngelamun ya Mala….!”
Aku hanya tersenyum. Apa
yang selama ini aku buat rupanya menjadi perhatian Melan teman satu
kontrakanku.
“Melan, aku butuh pekerjaan….!”
Dengan santai Melan menjawab, ”Kalau tak
dapat pekerjaan ngapain capek-capek cari pekerjaan?”
“Aku serius, Mel…”
“Mala, sejak kapan aku bercanda denganmu.”
Melan tertawa kecil seperti mencibir.
“Mala, bagaimana kalau nanti malam kamu aku
kenalkan dengan temanku. Mungkin dia bisa membantumu…”
“Baiklah, Mel! Nanti malam aku mau kamu
kenalkan dengan temanmu.”
Setelah Magrib, kami menuju pusat
perbelanjaan. Melan telah menyusun rencana ini semua.
Dia mengajak aku ke kampung nelayan. Di
sana sudah ada seorang laki-laki duduk sendiri. Dan sepertinya sedang
menunggu seseorang.
“ Hai, Pras?? Sudah lama nunggunya?”
“Lumayan,” jawab laki-laki setengah baya yang
duduk di hadapanku dengan singkat.
Aku sendiri masih berdiri di hadapannya
sambil berpikir, “Inikah seseorang yang akan menolongku?”
“Silakan duduk…! Mau pesan apa?” sapa
laki-laki itu dengan wajah bersahabat.
Dengan agak sedikit gugup aku duduk. “Orenjus
aja.”
“Kamu, Mel?” Aku menanyakan pada Melan yang
masih berdiri di sampingku.
“Aku mau ke toilet sebentar. Kalian
lanjutkan saja!” Melan lalu pergi meninggalkan kami berdua.
“Namaku Prasetyo…” Laki-laki itu membuka
pembicaraan.
“Aku Kumala, biasanya dipangil Mala. Kepada
Anda, saya bisa memanggil apa ya…?”
“Panggil saja aku Mas…”
“Baiklah…”
Selama kami mengobrol,
aku memerhatikan Mas Prasetyo sangat perhatian dan baik kepadaku.
Malam
semakin larut, kami sepakat untuk pulang. Mas Presetyo mengantarkan
aku ke rumah kontrakan.
Hari demi hari terus bergulir. Mas Prasetyo
sering menghubungi aku lewat telepon selular. Dia mengetahui nomor aku dari
Melan.
Ternyata diam-diam Melan memberikan nomor
telepon selularku kepadanya.
MasPprasetyo menjeput aku di kampus dengan mobil Teranonya. Dari
kebersamaan yang sering kami lalui… aku jatuh hati kepada Mas Prasetyo. Apalagi
pada saat itu aku belum membayar kontrakan. Mas Prasetyo yang melunasi
semuanya, hingga membayar uang kuliahku dan memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
Hingga pada suatu malam, setelah menjemputku dari kampus Mas Prasetyo
mengajakku menginap di hotel.
“
Mala, bagaimana kalau malam ini kita menginap di hotel saja?”
“Baiklah, Mas…aku mau. Aku bosan di
kontrakan.”
Malam kami membuking satu kamar.
Mulanya aku sangat ragu karena baru pertama
kalinya aku satu kamar dengan orang yang bukan muhrimku.
Paginya aku melihat Mas Prasetyo
merapikan pakaiannya.
“Mala, cepat ke kamar mandi… kamu gak ke
kampus hari ini?” Mas Prasetyo mengingatkanku. “Tapi sebelum
berangkat, kita sarapan dulu.”
Aku segera masuk ke kamar mandi dan merapikan
pakaianku.
Seperti biasanya, Mas Prasetyo sering menjeput aku ke kampus. Kami sering
menghabiskan waktu di hotel. Dan ini sudah menjadi kebiasaan kami. Aku
tahu perbuatanku ini dosa, karena apa yang kami lakukan tanpa ikatan apapun.
Tapi ini semua atas dasar suka sama suka. Aku sangat mencintai Mas
Prasetyo. Walaupun
aku terkadang berpikir…mungkin ini adalah imbalan kebaikan Mas Prasetyo selama
ini.
Aku masih begitu jelas ucapan ibu… “Mala, cepatlah menikah!” Aku
hanya tersenyum mendengar perkataan ibu.
“Lihat badanmu kurus kering seperti orang kelaparan saja.”
Aku
tertawa mendengar ucapan Ibu. Ya, aku memang terlalu kurus dibandingkan
adik-adikku.
“Kalau kamu menikah, kan kamu tidak capek-capek lagi kerja sambil kuliah…sudah
ada suami kamu yang kerja.“
Setahu ibu, aku di kota ini kuliah sambil kerja. Ibu tidak tahu apa yang
sebenarnya aku kerjakan.
Air mataku mengalir mengingat kesalahanku selama ini.
Semenjak kecil aku dan kedua adikku tidak merasakan kebahagiaan yang
sesungguhnya. Sejak aku berumur 9 tahun dan kedua adikku masih kecil-kecil, ada
seorang wanita setengah baya datang ke rumah ibuku. Perempuan itu memaki-maki
ibu dengan kasar. Para tetangga yang mendengar keributan itu langsung
melerainya. Sejak itu, aku tahu kalau ibuku istri kedua yang dinikahi secara
sirih.
Semenjak itu berusaha menjadi perempuan yang kuat. Hingga 4 tahun kemudian ayah
pergi meninggalkan kami semua dan dunia ini.
Aku
disadarkan dengan getaran telepon selular di sampingku. Segera kuangkat…
“Halo…”
“Kak, ini Tono… kakak cepat kembali lagi ke kampung…”
“Kenapa, Ton…?”
Aku masih bingung, karena di seberang sana suara Tono terputus-putus.
“Kak, ibu sudah sekarat…cepatlah kembali!”
Tanpa
pikir panjang, segera aku bangkit dari tempat tidur. Hanya dompet dan telepon
selular yang aku bawa dan baju yang melekat di badan.
Agar cepat sampai aku menggunakan jasa taksi untuk menuju stasiun.
Sesampainya di kampung tepat pukul 10.00 WIB karena aku dari kota sudah hampir
pagi. Aku melihat di depan rumah sudah ada teratak dan para tetangga yang
mengenakan jilbab dan kopiah.
Jantungku langsung berdebar…
“Apa yang terjadi, Mbah…?”
Aku menanyakannya kepada tetanggaku. Mbah Jainab memelukku sambil menangis…
“Ibumu sudah tiada...“
“Dia menghembuskan nafas terakhirnya begitu Tono memberi kabar kepadamu tadi
malam.“
“Sekarang pergilah ke pusaranya…!”
Aku berlari sambil menangis menuju pusaran Ibu. Langsung kupeluk tanah yang
masih basah itu.
“Bu…..Maafkan aku…”
“Aku tidak bisa memenuhi permintaan Ibu yang terakhir…”
“Maafkan
aku, Bu…aku sangat mencintai lelaki itu…”
Mala menghapus air mata di pipinya.
“Bu…aku tidak bisa menikah dengannya…Bu. Laki – laki itu sudah menikah.”
Ah,
kapan kisah ini
Sabtu,
7 Januari 2012
UNTUNG
AKU TIDAK GILA…!!!!
Cerpen
: Dewi Erika Sitompul
M
|
atahari memancarkan
cahayanya yang begitu terik, mengajakku berlindung di bawah pohon yang cukup
rindang di trotoar jalan raya. Mataku yang liar melihat sejumlah manusia yang
melakukan kegiatan yang cukup aneh bagiku. Ada yang tertawa, ada yang menangis,
ada yang bersujud sambil memeluk pohon, ada yang menimang-nimang boneka, tapi
kemudian mencampakkannya.
Mereka melakukan semuanya itu sendiri-sendiri tanpa ada lawan
bicara. Mereka memakai pakaian yang sama. Warna pakaian dari atas hingga bawah
sama. Sekali-kali ada seorang lewat dengan pakaian putih-putih dengan membawa
alat tulis dan secarik kertas di tangannya.
Panplet bertuliskan R.S Jiwa Perdana terlihat oleh mataku yang liar ini. Aku
pun berkesimpulan bahwa mereka yang kulihat itu adalah mereka yang terganggu
jiwanya.
Aku hendak pergi meninggalkan tempat itu, tapi ada sesuatu yang
mengajakku untuk mengetahui semua tentang mereka yang ada di sana. Maka, dengan
langkah yang ringan dan pe de yang cukup besar aku memasuki rumah sakit itu.
“Oh….kasihku, mengapa kau pergi dariku?”
“Kau jahat…..!!!”
“Kau bilang kau sayang dan cinta padaku, tapi
kenapa kau selingkuh…!!!”
Aku terkejut dan ia membuatku terdiam seperti patung. Pria itu
tiba-tiba ada di depanku, dan setelah ia melihat reaksiku, lalu mengatakan,
“Kau Jahat” berulang kali ia berlari meninggalkanku sambil menangis.
Aku segera menarik nafas dan setelah merasa lebih tenang aku terus melangkahkan
kakiku menyelusuri trotoar rumah sakit itu.
“ Selamat siang ada yang bisa saya bantu ?”
Pria berambut panjang ada di sampingku. Dia memakai pakaian
putih-putih layaknya seorang dokter. Dan aku merasa tidak takut karena aku
menduga kalau dia dokter rumah sakit ini.
“Tidak, Pak, saya hanya ingin tahu apa yang menyebabkan mereka
seperti ini.’
“Oh….Anda sakit. Sini saya periksa !!”
“Apa Anda sudah minum obat ?”
“Tapi, Pak….saya…..”
Pria itu menarikku dan mendudukkanku di bangku taman. Aku berusaha
untuk berontak, tapi tenagaku belum cukup kuat untuk melawannya. Tiba-tiba ia
mengeluarkan gergaji, palu, pisau, dan alat pertukangan lainnya.
Melihat hal itu aku semakin ketakutan dan jantungku berlari dengan
cepat secepat kereta api. Aku berontak sekuat tenaga dan berhasil lolos dari
cengkeramannya. Aku terus berlari dan sempat terlintas di benakku, pria ini
gila karena terobsesi untuk menjadi seorang dokter.
Aku yang berlari ketakutan tidak memerhatikan lagi apa yang ada di
depanku. Aku terjatuh dan tersadar kalau telah menabrak seseorang. Seorang pria
berpakaian rapi dengan warna putih-putih ada di depanku dan mengulurkan
tangannya untuk membantuku.
“Maaf, saya tidak sengaja !”
“Tidak, saya yang telah menabrak Anda jadi saya
yang meminta maaf !”
“Saya Budi Prakoso, dokter rumah sakit ini,”
katanya memerkenalkan diri
“Saya Wina. Saya hanya ingin tahu mengapa mereka seperti ini dan
apa penyebabnya.”
“ Kalau ditanya penyebab, banyak sekali penyebabnya… Coba lihat
itu….”
Dokter itu menunjukkan
seorang pria yang membawa sebuah bingkai foto sambil berkata seperti berteriak:
“Pilihlah aku…..”
“Aku akan menjadikan daerah kita menjadi daerah yang maju, bebas
KKN adil dan makmur…
“Pilihlah aku…OK!”
“Pilihlah aku…. Pilihlah aku…. (sambil bernyanyi seperti lagu KD)
“Dia bernama Rudi. Ia menjadi gila kerena gagal menjadi seorang
pemimpin di daerahnya. Dan menurut cerita dari keluarganaya, dia telah
mengeluarkan uang yang cukup banyak, tapi tetap saja gagal.” Dokter itu
melanjutkan ceritanya.
“Dan lihat itu….” Dokter itu kembali menunjukkan seorang
pria yang membaca puisi AKU. Tapi sekali-kali ia tertawa berbicara dan
tiba-tiba seperti orang menangis lalu tertawa dan melanjutkan puisinya.
“Dia bernama Andi. Dulu dia bercita-cita menjadi seorang seniman
yang hebat, tapi orang tuanya melarang dia menjadi seniman karena mereka
menginginkan agar Andi menjadi seorang pengusaha hebat. Larangan orang
tuanyalah yang menyebabkan mereka seperti itu,” kata dokter itu
“Saya kagum, Anda mampu menjalani semua ini dengan cukup
tenang.” Aku memuji dokter itu
“Terima kasih tapi sekarang saya menjadi gila dan hanya mampu
seperti ini.”
Aku heran mendengar perkataan dokter itu, dalam benakku timbul
pertanyaan, apa dia juga seperti yang lainnya? Tapi kenapa ketika kami
berbicara semuanya ‘nyambung.
Pandanganku lalu tertuju ke depan, aku melihat ada beberapa orang
datang menuju ke arah kami. Pandangan mereka sinis apalagi kepadaku. Akhirnya
mereka sampai tepat di depan kami dan…
“Awas dia orang gila ….Pergi kau orang gila….!!!!”
“Pergi…..! pergi…!”
“Aku tidak butuh uangmu ….aku butuh cintamu…!!!”
“Lihat dia ini anak kita , sekarang ia sudah besar…”
“Ayo lihat…. (Menunjukkan sebuah boneka padaku)
Mereka berbicara hampir serempak, tapi dokter yang ada di
sampingku tetap tenang dan bahkan ia tersenyum lalu tiba-tiba …..
“Ha…Ha…..Ha….”
“Semua orang di sini gila, tidak ada yang waras….”
“Kau….Kau….Kau…. (sambil menunjuk pada orang yang ada di
sekitarnya)
“Hanya aku yang waras dan tidak gila ……”
“Ha… Ha….Ha….”
“Aku waras….aku waras…..” (sambil bernyanyi dan menari)
Keadaan yang tidak bersahabat membuatku semakin ketakutan. Aku berlari
sekencang mungkin menuju pintu gerbang. Dan hal yang tak kuduga mereka berlari
dan mengejarku. Satpam yang bekerja di situ ternyata bertindak dengan sigap, ia
mengamankan mereka sehingga mereka kembali ke dalam rumah sakit.
Sementara aku dengan nafas yang terputus-putus merasa lega karena
bisa lepas dari keadaan yang gila itu.
“ Untung aku bisa keluar dari sana, kalau tidak aku bisa ikut
gila,” gumamku dalam hati
Setelah merasa lebih tenang aku melangkahkan kakiku menuju tempat
tujuanku yang tertunda akibat peristiwa gila itu.
“Untung…untung….kalau tidak bisa gila beneran aku…” Aku terus
melangkahkan kakiku meninggalkan tempat itu sambil berkata-kata sendiri
Untung saja aku tidak dianggap gila oleh mereka yang lewat di
sekitar itu karena melihat aku berkata-kata sendiri……….. ****
Sabtu, 31 Desember 2011
HATI MAMA
Cerpen:
Saiful Amri
M
|
ama pindah rumah. Semua
terasa pergi. Meninggalkanku dalam hati yang sepi.
Ada yang menggigil
di sini. Menerima lambai langkah mama. Terasa berlalu sejuta kasih yang pernah
terpatri. Lalu tiap detik menggema ucapan rindu di hati.
Apa boleh buat. Ini mungkin yang tersurat dari-Nya. Aku hanya insan, tanpa daya
menolak semua. Semoga ada hikmah atas apa yang sedang mendera hati. Anak,istri,
orang tua, keluarga, sama pentingnya dalam hidupku. Sama kucinta dalam hati.
Tapi pola pikir berbeda. Tak semua harus terpahami.
Mama pindah tak jauh. Masih satu kampung denganku. Setiap hari pun aku bisa
datang. Tapi goresan luka di hatinya, itu yang membuatku beristighfar di atas
sajadah.
Siang ini aku tugas setengah hari. Kubuka pintu rumah. Tak ada
orang. Ruang tamu dan dapur melompong. Tak ada bekakas apapun di rumah. Semua
telah diangkut mama. Seakan tak tersisa jejak di sini. Ah, mengapa hati ini
begitu kehilangan?
Memang sejak berumah tangga sepuluh tahun yang lalu pun kami tak
pernah membeli perabotan rumah. Kalau kubeli, rumahku tak muat. Sebelum
semuanya pergi, penghuni rumah ini sangat padat. Perabot milik mama pun
terlalu banyak. Semuanya perabot tua. Aku tak berani memusnahkannya. Mama
bilang, perabot-perabot itu pusaka. Yang namanya pusaka, tak boleh
ditelantarkan. Harus tetap dipakai atau dijaga. Kalau tidak, kualat!
Rumah tumpangan dari adik iparku ini terlalu kecil untuk
ukuran kami. Anakku dua orang, ditambah istriku, ditambah mama, ditambah dua
orang abangku, ditambah seorang gadis anak pemilik rumah sekaligus keponakanku.
Semuanya harus dijejal di rumah ini.
Rumah ini hanya berkamar dua. Panjang ruang tamu hanya enam meter
dan lebarnya tiga meter. Ruang tamu dan dapur sama besarnya. Di dapur didirikan
lagi kamar untuk si gadis. Kalau malam,ruang tamu disulap menjadi tempat tidur
kedua anakku. Kalau kami beli perabotan rumah, di mana diletakkan?
Sekarang rumah ini kosong. Setelah mama mengangkut semua
bersama luka hatinya. Anak pemilik rumah pun pergi. Dia memilih tinggal
dengan Nang Borunya. Itu tak mengosongkan rumah dan hatiku.
Kedua abangku tak lagi di sini. Itu pun tak menyepikan hatiku. Tapi, mama ikut
tinggal di rumah sewa bersama kedua abangku. Itulah yang membuat kesunyian
panjang. Pun rasa bersalah tak berkesudahan menyesak pada hatiku. Beribu kali
kusesali hati. Apa masih ada gunanya?
Masih kuingat jelas percakapanku dengan mama dua bulan yang lalu.
“Ya sudah. Kalau kau tak snaggup menanggung mamak,biar mamak
menyewa rumah saja. Dari dulu pun aku miskin. Kitakan orang miskin. Beginilah!”
ucap mama yang saat itu sedang tak enak hati.
“Mamak di sini saja. Biarkan orang itu dua saja yang menyewa. Aku
tak pernah mengusir mama. Iparku pun pernah berpesan, mamak jangan sampai
pindah. Mamak sudah dianggapnya sebagai namboru kandung. Bukan
dianggap sebagai pihak luar lagi.!” balasku.
“Tapi mamak tak sampai hati. Abang-abangmu itu masih lajang. Siapa
yang membimbing mereka? Mereka masih perlu bimbingan!” balas mama pula.
“Tapi Bang Mulya dan Bang Pian sudah tua, Mak. Biarlah orang itu
dua mandiri. Bang Mulya udah lima puluh tahun. Bang Pian udah empat
puluh lima tahun. Jangan mamak anggap masih anak kecil!” bantahku.
“Bang Mulya takkan mau kawin karena cacat fisiknya. Bang Pian baru
diceraikan biniknya. Apa kau tak kasian!” bentak mama. Aku terdiam beberapa
saat. Memilih kata yang tepat untuk kuucapkan. Aku memaklumi, memang sulit
bertukar pikiran dengan mama. Itu karena kerentaannya. Tapi, pengapnya suasana
di rumah dan keluhan istriku setiap menjelang tidur, membuat aku harus
mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Istriku merasa tak cocok dengan tingkah
kedua abangku. Mereka tak beranak istri, tingkahnya pun memang tak tentu-tentu.
Itu menambah pengapnya suasana di rumah.
“Memang aku kasihan, Mak. Tapi rumah ini sudah tak muat. Gajiku
saja selalu terutang. Mana sanggup aku menanggung makan mereka. Lagi pula… aku
malu, Mak. Malu sama keluarga istriku. Di rumah tumpangan ini hanya keluarga
kita yang menjadi beban. Bang Mulya dan Bang Pian tak pernah mau membantu
belanja istriku. Bayangkan mamak. Gajiku saja sudah habis terpotong hutang.
Jadi kita semua dikasi makan istriku.”
“Istrimu saja tak pernah mengeluh. Kau pulak yang mengeluh. Dasar
kau yang tak ikhlas menanggung orang tua. Udah mamak pindah aja. Memang anak
mamak tak ada yang ngerti sama orang tua! Terserah kau aja!” Mama marah. Aku
terdiam. Lalu mama menangis. Aku merasa sangat berdosa. Dalam hati aku
beristighfar. Tak sampai hati aku melukai hati mama. Tapi mama telah menangis.
Mungkin malaikat telah menorehkan catatan hitam di bahu kiriku. Astaghfirullah!
Mama tambah menangis. Aku tambah diam. Sejuta dosa terasa menghantam
kepala dan hatiku.
Maka kuputuskan saja menuruti apa maunya mama. Kurasa itu
lebih baik untuk mama. Walau bukan untukku.
Berkali-kali mama kularang. Dia bersikeras ingin pindah bersama
Bang Mulya dan Bang Pian. Tapi aku masih tak yakin apakah Bang Mulya dan Bang
Pian bisa menghidupi mama. Sudahlah. Mama tak bisa dilarang. Istriku tak
berkata apa-apa. Dia memang tak pernah mengusir mama, hanya selalu mengeluhkan
belanja dapur. Dia tak sanggup kalau harus menanggung Bang Mulya dan Bang Pian.
Menurutnya, itu bukan kewajibannya. Yang wajib hanyalah menanggung mertua.
“Kalau mertua, itu memang tugas kita, Bang! Tapi Bang Mulya dan
Bang Pian, itu bukan kewajiban. Tak tahan aku belanjanya, Bang! Utangku tambah
banyak. Abang aja tak pernah gajian! Abang bilanglah sama orang itu dua. Kasi
aku uang belanja! Itu aja, Bang. Kalau sempit, masih bisa kutahan. Perut?” kata
istriku saat kami akan tidur.
“Udah kupesan, tapi orang itu dua bandal. Tak didengarnya
cakapku!” timpalku.
“Ya, sudah. Kalau mau nyewa, nyewalah! Yang penting aku tak pernah
mengusir mertua! Ibuk pun aneh! Untuk apa ikut sama orang itu dua!”
“Aku tak berani memberikan saran itu sama mamakku. Aku lebih takut
sama durhaka daripada sama kau!” ucapanku pedas. Istriku merasakanya. Ia
terdiam. Dalam hati aku merasakan bebannya. Ah, posisi ini sangat sulit.
Ada satu sisi yang tak pernah cocok buat mama. Semua sikap
istriku selalu dilihat dari sisi negatifnya. Aduh, di mana sisi pembelaan yang
dapat kuberikan untuk mama. Mama selalu bersalah sikap. Ada saja
kekurangan istriku yang dilebihkannya,
“Cucian menumpuk. Sudah kubereskan semua! Istrimu itu tak pandai
mengurus rumah!” katanya sesekali.
“Takut kali istrimu. Dia belanja dapur sendiri. Apa dia pikir aku
mau korupsi uang belanja! Sifatnya tak bagus. Kau nasehati dia!” katanya di
hari yang lain.
“Memang aku sudah jadi budak kalian. Dari belanja dapur sampai
masak dan nyuci, urusanku! Istrimu pulang kerja tenang-tenang. Kalau pun kerja,
cuma ngerjai borongannya aja. Biar dapat duit. Duit aja yang ada di otaknya.
Tak pernah peduli sama kerja dapur!” omelnya setiap kali aku pulang cepat dan
istriku belum sampai di rumah!” ucap mama di lain hari lagi. Kurasa, aku harus
memberi pandangan pada mama. Kubalas ucapannya,
“Mak. Istriku itu capek. Masalah cucian, tak usah mamak cuci. Kami
sama-sama tukang cari duit. Siapa yang punya kesempatan, dialah yang
mengerjakan. Mamak tak usah menyentuhnya. Memang tak pernah kami suruh!”
“Cakapmu sama orang tua, tak pernah enak. Mentang-mentang sudah
punya istri, kau tak pernah membela orang tua! Kau tak bayangkan capeknya orang
tua!” bentak mama. Aku memang sudah biasa dibentaknya. Namanya masih punya
mama. Tapi keinginan untuk beradu argumen masih belum berhenti.
“Aduh, Mak. Kami tak pernah membebankan pekerjaan apapun sama
mamak. Mamak aja yang tak mau diam. Tapi mamak mengeluh jugak!”
“Ya, sudah. Udah tau mamaksekarang. Kau berat sama istri. Tak usah
berpanjang cakap. Istrimuitulah yang hebat!” Begitu ucapan mama. Aku tak
menimpali. Semakin lama semakin banyak saja pertentanganku dengan mama. Mungkin
semakin besar pula dosaku. Hatiku semakin tak nyaman. Jelas, apa yang kuperbuat
tak pernah menyenangkan hati mama. Aku pun tak dapat memaksa mama agar senang
padaku. Itu hak dia. Tugasku hanya berbakti padanya. Tapi inilah hasilnya.
Kegagalan telah tampak. Apa lagi yang harus kuperbuat.
Andaikata ayah masih hidup, tentu takkan seperti ini. Aku yakin
ayah akan dapat menjadi penengah. Ketegasan ayah tentu akan dapat mengatasi
mama. Sosok ayah sangat kurindukan. Tapi ayah telah berpulang. Leleh air
membuat mataku berkaca. Aku dalam kebingungan yang memerlukan kebijaksanaan.
Mama pindah juga. Ia terluka padaku. Menurutnya, merekku jelek.
Menurutku, tak ada anak yang baik bagi mama. Semua saudaraku pun tak pernah
mendapat catatan baik darinya. Inilah perbedaan itu. Aku yakin, Allah maha
bijaksana. Itu peganganku.
Mama sudah pindah rumah. Terasa kosong dan sepinya rumah ini. Aku
pulag tengah hari. Mama tak lagi membukakan pintu untukku. Tak perlu kubunyikan
klakson sepeda motorku. Kubuka sendiri pintu dengan kunci yang ada di tanganku.
Kosong. Tak ada apa-apa di rumahku. Istriku belum pulang kerja. Keponakanku
memang tak lagi di rumah ini. Kedua anakku ke rumah neneknya. Tak ada yang
menyapaku. Lalu aku menangis sendiri. Entah apa yang kusedihkan. Mama pindah
rumah atas kemauannya sendiri. Tapi aku serasa memikul dosa. Ke mana kubuang
dosa ini?
Terasa pergi semuanya. Berpuluh tahun aku tak pernah pisah dengan
mama. Kami selalu serumah sejak aku dilahirkan hingga usia rumah tanggaku yang
ke sepuluh ini. Kini, Aku seperti tertirikan. Padahal, bulan lalu mereka pergi
dengan pamit.Kosong. Hatiku kosong. Sama kosongnya dengan isi rumahku. Semoga
sholat zuhurku dapat mengisi batin siang ini. Benarlah, kehilangan akan
mendekat setelah semua pergi. Mama, maafkan aku. Aku belum berbakti padamu. Aku
belum pernah menyelam dalam hatimu.
Aku terdiam. Tak sebuah kerja pun kulakukan. Sekarang aku selalu
rindu pada mama. Seperti bayi yang ingin menyusu. Terasa sekarang, bahwa
pertengkaran dengan mama sudah menjadi bumbu hidupku. Sehari tak kulihat wajah
renta mama, terasa hilang semangat hidupku. Ternyata, aku sangat membutuhkan
mama.
Sepeninggal mama, kedua anakku tak pernah betah tinggal di rumah.
Pulang sekolah langsung saja mereka ke rumah neneknya. Istriku pun begitu,
malah nimbrung di rumah kontrakan mama. Anehnya, kedua abangku kini bergiat
memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah mama. Mungkin inilah hikmah itu.
Dua tahun berlalu. Dua tahun itu juga aku lebih sering tidur
sendiri di rumahku. Dua tahun juga anak dan istriku membebani mama di rumah
kontrakan. Rumah yang kutempati ini sepertinya protes dengan apa yang terjadi.
Laeku menyuruh aku menjual rumah ini. Aku berharap keuntungan dari penjualan
rumah. Ketika ditanya orang yang ingin membeli rumah ini, asal saja kusebutkan,
“Memang mau dijual. Harganya seratus juta!” Padahal, Laeku cuma
minta enam puluh juta. Mungkin itulah jalan agar dapat kembali serumah dengan
mama. Tak tanggung, aku mendapat untung hampir empat puluh juta. Kubeli rumah
di pedesaan. Aku dapat rumah dengan empat buah kamar. Rumah itu kubayar kontan
seharga enam puluh lima juta.
Sekarang aku punya hutang dua puluh lima juta di koperasi tempat
kerjaku.Tak apa, itu sangat kecil dibanding kesepianku tanpa mama. Dibanding
kedamaianku setiap kali memandang rambut-rambut putihnya. Sekarang, apapun yang
diomelkan mama adalah indah bagiku. ***
Bandar Setia, November 2011
Sabtu, 24 Desember 2011
PERTEMUAN PERTAMA DI PANTAI SENJA
Cerpen : Khairun Nissa
Aku melangkahkan kaki menuju
tepian pantai. Menikmati pesisir pantai berpasir putih, yang menyajikan
panorama indah ciptaan sang ilahi. Hembusan semilir angin memainkan ujung-ujung
rambutku yang tergurai. Aku menyandarkan badan di pohon kelapa dan kuedarkan
pandanganku menyusuri tepi pantai. Kutarik nafas dalam-dalam, menikmati udara
pantai senja.
Hmmmm........hmmm, ternyata pantai ini masih seperti dulu. Tidak
ada yang berubah. Asyik. Menyenangkan dan romantis. Anak-anak nelayan
berlari-lari dengan riangnya sambil bercanda gurau menikmati masa kecilnya.
Di tengah samudera,
cahaya mentari tenggelam menyinari air laut yang biru, memberikan kebahagiaan
tersendiri bagi setiap orang yang memandangnya. Dan, awan pun turut meramalkan
suasana di senja hari dengan ombak-ombak yang bersahutan saling berlomba-lomba
menuju tepi pantai.
Nun di sana, aku melihat sepasang muda-mudi bermesraan. Menikmati
seluk-beluk dan lembah yang senja. Hm, masa-masa muda yang penuh dengan suka
dan duka.
Melihati sepasang kekasih tersebut, aku pun teringat masa lalu. Di
pantai ini, bersama dengan Adnan, kekasihku yang kini tiada. Di pantai ini, aku
pertama bertemu dengannya dan dialah cinta pertamaku. Hingga kini. Detik ini
belum mampu aku melupakan sosok wajahnya yang manis.
Walaupun banyak lelaki
yang manis, tak seorang pun yang dapat menggantikannya. Kenangan yang terindah
bersamanya membekas di dalam hatiku yang menyebabkan aku enggan untuk mencari
pengganti dirinya.
Aku masih ingat
bagaimana Adnan memang gila dengan sebutan "Kecil", ditambah dengan
senyumannya yang manis. Kasih sayangnya, manjanya, selalu menyebabkan bahagia
bersama dirinya. Hanya kepada dirinyalah aku berbagi cerita, mulai dari hal
yang kecil hingga yang besar. Dengan kata-katanya yang lembut, serta tingkah
lakunya yang sopan membuatku senantiasa rindu akan dirinya.
Namun, antara aku dan
Adnan harus berpisah, karena aku harus melanjutkan studi ke luar negeri. Aku
pun tidak mampu membendung rasa kesedihan yang mendalam, karena harus berpisah
jauh darinya. Namun, aku harus sportif demi meraih masa depan yang akan
mendatang.
Di pantai inilah
terakhir kali bersama dan jumpa sebelum aku pergi meninggalkannya. Dengan
kata-kata yang lembut dan senyum yang manis, dia memberikan semangat kepadaku
sambil berkata "Aku akan menunggumu kembali dan kita akan jumpa di pantai
ini." Kata-kata itulah terakhir yang diucapkannya kepadaku sebelum aku
pergi.
Hari demi hari. Bulan
demi bulan. Tahun demi tahun, telah aku jalani di negeri orang, untuk menuntut
ilmu. Namun, aku tidak melupakan wajah Adnan yang selalu hadir dalam
bayang-bayangan di dalam benakku, karena Adnanlah aku bisa seperti ini dan bisa
hidup.
Selama aku di luar
negeri, kami sering berkomunikasi tiada henti. Aku selalu menanyakan kabarnya
di sini, namun dia selalu menjawab kabarnya selalu baik-baik saja.
Dan, di saat aku wisuda,
Adnan sama sekali tidak mengucapkan selamat padaku. Aku pun heran kenapa
beberapa bulan ini Adnan tiada menghubungi aku. Namun, aku tidak
memermasalahkan hal itu.
Dengan susah payah,
akhirnya ku dapat menyelesaikan studi di negeri orang. Tentu saja, aku tidak
sabar untuk pulang dan agar bisa berjumpa dengan Adnan.
Namun semua telah
terlambat. Di saat aku sampai di sini, aku melihat orang-orang sedang menangis.
Ibunda Adnan menangis tersedu-sedu. Lalu aku melihat di sebelah sudut yang
dikelilingi orang-orang yang membaca ayat-ayat Al-Quran, jasad Adnan terbujur
kaku di atas pembaringan.
Aku terduduk lemas
sambil menahan rasa kesedihan, tetapi tidak bias. Hatiku pun entah bagaimana
rasanya. Tidak bisa berkata sepatah pun. Aku melihat wajah Adnan untuk terakhir
kalinya sambil menangis dan teringat akan kata-kata terakhir Adnan padaku. Lalu
kuhapus air mataku yang telah membasahi pipi, dan tersentak akan lamunanku.
Walaupun ia telah tiada
namun ia akan selalu hadir dan terukir dalam hatiku. ***
Sabtu, 17 Desember 2011
RAUT WAJAH IBU PERTIWI
Cerpen
: Fery Prayogi
Mengamuk mentari di siang hari, membuat semangat hari ini mengecil hilang ditelan cahaya panas itu. Kulaju keretaku menyusuri kota di hari yang membakar kulit. Hal ini hampir setiap hari kulalui. Maklum, aku tinggal di salah satu kota terbesar dan tersibuk di negara ini. Aku ingin pulang dari kegiatan lelahku sebagai karyawan di satu perusahaaan yang bergerak di bidang pelayanan dan jasa. Lalu. menuju kampus tempat aku menuntut ilmu demi berharap akan mendapatkan hari esok yang lebih baik. Setiap hari kulalui semua itu dengan semangat dan keyakinan serta memohon doa kepada Sang Pencipta.
Jalan yang sama sepanjang hari kulalui. Persimpangan yang sama.
Pepohonan yang sama, serta debu-debu yang sama. Erangan klakson mobil mewah
sering membuat bosan telingaku. Aktivitas jalanan yang ramai itu seakan untuk
memacu keretaku dengan cepat. Liuk kanan dan kiri, selip sana selip sini,
akhirnya lampu merah yang menghentikan laju keretaku.
Sesal kulihat angka di rambu merah itu menunjukkan 130. Selama ini
aku harus menunggu. Namun saat asyik kesal dengan keadaan, tiba-tiba terlihat
sesosok gadis kecil dengan memakai baju kaos warna pink yang sudah kusam.
Rambut ikalnya yang kusut serta sorot mata yang menanti pengharapan
dan belas kasih. Jemari lentik itu yang berdarah membawa teman susah senangnya,
membawa alat penyambung hidup itu, gitar keroncong yang selalu setia
menemaninya.
Namun yang membuat hatiku semakin meringis di salah satu indera
pengheliatanya tidak biasa seperti biasanya layaknya manusia normal,di salah
satu matanya tidak dapat melihat karena tertutup oleh segumpal daging yang
membengkak seperti sebuah bola bassball.melihat gadis kecil itu membuat mata ku
semakin berkaca kaca.Aku terkejut dengan apa yang kulihat, dengan penuh
pengharapan, ia hibur pengguna jalan dengan nyayian jiwa ya yang terluka.jemari
lentik itu berdayu memetik gitar,dengan suara fals ya, serta nafas yang
tersengal menahan haus, ia trus bernyayi demi menyambung hidup dan berharap iba
dari penumpang angkutan kota.
Tapi apa yang diharap? Petikan gitar itu tak menggoyahkan nurani
mereka. Hanya pandangan terusik yang ia dapat. Hanya sorotan tajam yang ia
dapat. Hempasan tangan menolak,serta lekukan wajah tak ingin melihat. Semua itu
yang ia rasakan saat mencoba memberikan nyanyian jiwa.
Kulihat wajah gadis kecil itu murung. Sedih, karena tak ada
satupun yang iba kepadanya. Di atas keretaku, aku terus memerhatikan gadis itu.
Segera ia pergi berlari dengan tak menggunakan alas kaki di aspal yang membuat
kakinya dapat melepuh dan berdarah.
Ia menuju ke mobil angkutan kota yang lainnya. Di mobil ini
kulihat ia tersenyum dan girang membawakan sebuah nyanyian jiwa. Ternyata ada
yang memberikan sedikit rezekinya kepada gadis kecil itu. Tak lupa ia selalu
mengucapkan terima kasih di setiap akhir penampilanya.
Aku pun merasa gembira melihat itu, melihat senyuman itu. Aku
memutuskan untuk berhenti,dan membolos kuliah pada hari itu. Aku ingin lebih
dekat dengan gadis kecil itu.Di tengah-tengah aku berpikir, suara klakson hebat
dari belakang menghujaniku dengan sangat keras. Kesal aku mendengarnya. Kulaju
cepat keretaku tanpa kusadari yang tadinya rambu jalan tadi berwarna merah kini
telah berubah menjadi hijau.
Bertanya aku di dalam hati "Kemana orang tuanya?"
"Apakah ini takdir mereka?" "Di mana janji mereka?"
Semua pertanyaan itu membius pikir dan jiwaku.
Aku memarkirkan kereta tak jauh dari ruma, tempat mereka tinggal,
tempat gadis kecil itu berada di persimpangan jalan itu. Kubawakan ia sebungkus
nasi, lalu kuberikan kepadanya.
Dengan heran dan berkata ia kepadaku. "Maaf, Bang, apa
maksudnya ini?"serunya.
"Silakan ini rezeki kamu," sambutku.
Tanpa basa-basi ia memakan nasi tersebut dengan lahapnya.
Dengan senyum dan hati haru aku melihat gadis kecil itu. Aku berpikir, andai
ada saja yang segelintir orang memikirkan nasib mereka pasti tak hal seperti
ini yang kita lihat. Kemiskinan, kesenjangan sosial, seperti tak ada habisnya
di bumi pertiwi ini. Sedih aku melihat negeri ini. seperti tak ada hal yang
mampu membuatku bangga dengan negeriku.
Ternyata di sela kuperhatikan semua hal di persimpangan jalan itu,
ada sosok renta berjalan menyusuri jalan. Dibantu tongkat, dengan langkah
tertatih ia meminta kepada pengguna jalan dengan cangkir retak di tangannya,
melambai berharap iba. Sungguh ironis kurasa.
Sedih rasanya banyak orang yang bilang negeri ini negeri kaya,
namun apa yang kulihat jauh dari semua apa kata mereka. Negeri yang kaya,
negeri yang sedang berkembang, negeri yang maju, dan negeri yang berlimpah
sumber daya alam. Namun apa negerinya saja yang kaya sedangkan rakyatnya jauh
dari kata kemakmuran.
Gadis kecil itu, andai saja pemerintah ini peduli, ia biasa
dapatkan lebih baik dari ini. Ia bisa mendapatkan baju yang lebih baik dari
baju yang telah kusam itu. Ia bisa merasakan bangku sekolah seperti anak
lainnya. Bagi tubuh renta itu, seharusnya ia sekarang menikmati masa tuanya
dengan melihat anaknya yang telah dewasa. Bersama istri tercinta, ia bisa
menimang-nimang cucu di istana mereka.
Masih banyak lagi contoh korban kesenjangan sosial itu.
Ketidakseriusan pemerintah dalam membahas masalah ini, membuat mereka yang
nasibnya sama, semakin memenuhi persimpangan jalan kota. Di took-toko, di halte
bus, di pasar-pasar, mereka akan semakin terlihat. Ini sebuah dilema kehidupan.
Apakah harus air mata ini mengalir terus melihat negeriku. Ibu
pertiwi pun pasti menangis melihat semua ini. Bukan ini yang ia harap, tapi
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indosesia. **
Sabtu, 10 Desember 2011
Halte Kesunyian
Cerpen
: Gatot
Zakaria Manta
A
|
ku bayangkan sebuah bus sedang melaju dengan kecepatan
tinggi dari Surabaya, entah dari Terminal Bungurasih atau Osowilangun. Bus itu
biasa saja. Dengan cat yang berkilau, namun menyisakan beberapa karatan –bahkan
lubang –di bagian lantai. Suara dentingan logam yang berbahaya keluar dari
salah satu bagian bus yang tak diketahui. Setiap
bus melewati tanjakan atau jalan rusak yang banyak tersebar di sepanjang
Surabaya-Lamongan atau jika berjalan lebih dari 80 Km per jam.
Di atas bus itulah, di tengah-tengah
penumpang yang tak seberapa banyak, seorang perempuan sedang berusaha memenuhi
janjinya bertemu denganku. Dia datang dari Surabaya hanya untuk menemuiku di
halte bus ini.
Aku pikir kami tak pernah berjanji apa-apa
karena memang kami tidak pernah bicara. Kata-kata tak pernah cukup menunjukkan
perasaan yang sebenarnya. Berapa banyak kata-kata disalahartikan dan
disalahpersepsikan, entah sengaja atau tidak. Banyak kata yang ambigu, dan di
sisi yang lain kekurangan makna untuk mengartikan sesuatu yang lebih besar. Dan
untuk perempuan itu, aku pikir manusia harus mampu membuat kata yang lebih
besar artinya dari kata cinta. Karena aku bayangkan hati perempuan itu tengah penuh
dengan rasa cinta sekarang. Cinta yang mungkin tertuju padaku dan seolah-olah
jika dia jatuh cinta maka perempuan itu pasti jatuh cinta padaku. Meski tanpa
kata-kata. Tanpa suara.
Dia mungkin sedang duduk di sebelah jendela.
Matanya yang teduh seolah memberitahuku bahwa dia suka sekali melihat
pemandangan yang melintas sekilas di depan mata. Dari matanyalah, aku terkadang
melihat jajaran tambak luas dengan warna hijau yang nyaman. Ada juga pohon
mangga, pisang, dan pohon kecoklatan berbatang besar yang aku duga adalah pohon
asam. Kelihatannya dia tak pernah pergi ke pantai atau gunung, karena aku tak
pernah melihat pemandangan itu tergambar dari kedua matanya yang seperti
cermin, memantulkan setiap hal yang dia lihat. Namun sesekali aku juga melihat
awan-awan mendung di atas aspal. Asap hitam yang pekat, yang keluar ketika
kendaraan mengantre di jalanan yang
sempit.
Tapi dari semua hal yang aku selami dari
matanya, yang paling sering aku lihat dan paling aku suka adalah suasana langit
malam yang kelam. Tak ada bintang, apalagi bulan. Segera aku tahu bahwa langit
gelap seperti itu adalah pemandangan yang paling dia suka dan menunjukkan bahwa
dia mungkin suka kesendirian.
Tiba-tiba sebuah corak batik yang tidak
pernah kulihat sebelumnya terbersit dalam pikiranku. Ah, iya. Dia pasti sedang
mengenakan batik. Ya, perempuanku sangat menyukai batik. Setiap kami
bertemu,.dia selalu terlihat anggun dalam busana batik yang dikenakannya. Meski
dengan corak yang berbeda-beda, namun setiap pakaiannya selalu menampakkan lehernya
yang jenjang, tanpa cacat.
Aku sedang duduk di sebuah halte bus, dan
memandang ke arah Timur. Dari arah itulah
perempuanku akan datang dengan naik bus, dan hanya akan naik bus. Seolah tak
ada kendaraan lain yang lebih layak, lebih agung, lebih besar, untuk membawa
perempuanku dari Surabaya menuju Lamongan.
Jika dia datang nanti, kaki kirinya akan
menyentuh permukaan jalan terlebih dahulu. Yang pertama dia lakukan adalah
memindah posisi tas punggungnya, dari dadanya ke tempat yang seharusnya. Sering
aku menduga alasannya memakai tas di dadanya ketika berada di dalam bus.
Mungkin dia berjaga-jaga dengan tangan-tangan jahil yang bisa saja melakukan
sesuatu pada tas itu jika ditaruh di punggung. Ya, membawanya di dada akan
membuat tas itu lebih bisa diawasi.
Entah berada di mana bus yang membawa
perempuanku itu sekarang. Aku bayangkan saja bus itu sedang berada di Gresik,
sedang terjebak kemacetan karena jalan yang sempit. Ah, semoga dia mendapati
bus yang ber-AC. Tak apa jika bus itu berkarat lantainya, bahkan berlubang
sekalipun. Yang penting perempuanku tidak akan kepanasan jika terjebak dalam
kemacetan. Tidak akan ada keringat sebesar biji jagung keluar dari wajahnya
sehingga dapat merusak riasannya yang telah tipis itu.
Ah, mungkin lebih baik jika dia sedikit
berkeringat. Garis-garis keindahan wajahnya akan jelas terlihat jika wajah itu
basah. Pipi yang kemerahan melekat pada tulang yang sedikit menonjol membuat
paras cantiknya seperti bercahaya dibasahi butiran-butiran keringat itu. Bibir
yang basah, leher yang basah, dan hal yang serupa juga akan terjadi pada
hatiku.
Ketika dia turun dengan kaki kirinya terlebih
dahulu, kemudian menapak di jalan beraspal, kemudian memindah posisi tas
punggungnya, kemudian mengusap keringat yang tak seberapa banyak di keningnya
dengan punggung tangannya, maka hal yang aku rasakan berikutnya adalah
kesunyian. Seolah dunia hanya aku yang sedang duduk di halte ini dan dia yang
aku bayangkan baru turun dari bus. Namun bus itu akan segera menghilang,
beserta penumpang yang ada di dalamnya, sekalian pedagang kacang-permen dan
mungkin juga pengamen. Hal yang serupa terjadi orang-orang yang sedari tadi
juga bersama diriku di halte kecil ini. Mereka akan hilang satu persatu, tak
bersisa. Dan akhirnya hanya ada aku dan perempuan yang aku bayangkan itu.
Tak seperti hari-hari sebelumnya, aku akan
menyapanya kali ini. Sapaan yang hangat, yang aku rasa bisa menguapkan setiap
bulir kecemasan dan penantian.
“Emm, menunggu seseorang?”
Dia pasti tersipu, kemudian menggeleng pelan.
Aku tahu maksudnya. Dia pasti malu denganku, karena dia sadar bahwa justru
dirinyalah orang yang sedang ditunggu itu. Namun aku tak akan menyiksanya lebih
lama dengan rasa malu itu. Aku akan mempersilakannya untuk duduk di sampingku,
di halte kecil ini.
Namun dia tidak sedang duduk bersamaku
sekarang. Tidak juga baru turun dari bus atau menyeka keringat yang menghiasi
wajahnya. Orang-orang akan tetap ada di sekelilingku di halte ini. Beberapa
perempuan muda akan tetap berdiri di pojokan, mengobrol dan tak sungkan tertawa
keras. Pedagang kacang-permen akan masih duduk mengangkangi keranjangnya tak
jauh dari becak-becak yang mangkal. Lalu di kiri dan kananku, berbagai macam
orang akan duduk atau berdiri sambil sesekali menatap layar ponsel atau jam
tangan atau menatap ke arah Timur.
Aku tak pernah menduga kalau sejalan dengan
terbitnya matahari dari arah itu, terbit pula harapanku tentang cinta. Begitu
matahari terbit, aku akan datang ke halte ini dan menunggu perempuanku datang
untukku. Tak akan ada kejenuhan, karena aku yakin bahwa penantian pun adalah
bagian dari pertemuan. Semua rasa penat karena menunggu akan terguyur oleh
kesejukan saat dapat menatap wajahnya yang sendu dan masuk ke matanya yang
teduh.
Tapi kali ini berbeda. Penantianku hampir
mencapai puncaknya, namun perempuanku tidak juga tiba. Senja sudah bersiap-siap
turun dengan cahayanya yang kemerah-merahan, siap mengubah warna hitam jalanan
menjadi seperti logam. Kalau sudah begitu, bus-bus seperti akan berubah menjadi
perahu-perahu yang berlayar di sebuah kali keemasan, lengkap dengan tali
pancang dan layarnya. Padahal, perempuanku sudah berjanji untuk datang padaku
dengan menggunakan bus, dan hanya dengan bus. Bukan perahu, bukan kapal.
Namun aku memang tak pernah berharap banyak
pada janji yang tak pernah terucapkan. Janji itu hanya menelusup begitu saja
dalam kepalaku, dan aku begitu yakin bahwa janji itu berasal dari perempuan
yang sampai sekarang masih aku bayangkan masih berada di dalam sebuah bus untuk
menuju ke halte ini. Perempuan terindah yang membuatku jatuh cinta tanpa
berkata-kata. Perempuan paling manis yang membuat halte kecil ini jadi tempat
romantis.
Ah, penantian panjang ini memaksaku mengingat
masa-masa indah dengannya untuk bisa membuatku bertahan. Dan tentu saja jika
merunut jalinan cerita kami, masa terindah itu hadir saat pertama kali aku
bertemu dengannya. Pagi yang kekuningan, sehabis hujan sehingga meninggalkan
jejak tergenang yang tak pernah habis meski sering terlindas oleh roda-roda
kendaraan. Aku merekam setiap detik pertemuan kami dengan baik. Bau parfumnya,
baju batiknya, leher jenjangnya, dan suara kecilnya ketika sedikit terjengkang
saat turun dari bus. Hatiku memutuskan bahwa aku harus jatuh cinta padanya.
Meski perempuan itu hanya berdiri sekilas di
halte ini, namun pikiranku telah bergerak sangat panjang dan jauh ke masa
depan. Aku membayangkan usaha-usahaku untuk mendapatkannya. Bagaimana aku harus
mengumpulkan keberanian untuk menyapanya, berbincang ringan dengannya, kemudian
diakhiri dengan meminta nomor teleponnya. Ah, jika nomor sudah ditangan pasti
sangat mudah mendapatkan dirinya.
Diawali dengan sapaan-sapaan ringan, sedikit
demi sedikit aku akan semakin dekat dan bisa masuk ke dunianya. Meskipun
sebenarnya hanya dengan menatap matanya saja, aku serasa masuk ke dunia yang
lain. Dunia yang penuh dengan keindahan, dan hanya ada dia. Jika kami semakin
dekat, maka mau tidak mau pasti ada hubungan yang tercipta di antara kami.
Entah sahabat, entah kekasih, entah hubungan kasih sayang lain. Kami belum akan
mengetahuinya, sehingga akan datang waktu bagiku untuk menegaskan posisi
hubungan kami selanjutnya.
Namun kami tak pernah saling sapa, tak pernah
berbicara, tak pernah bertukar nomor telepon, dan tak pernah berjanji. Aku
menyalahkan waktu tentu saja. Begitu eratnya dia mengekang perempuanku sehingga
begitu turun dari bus dia akan segera beranjak pergi. Tak ada cukup waktu untuk
saling bicara, atau sekedar menawarinya sapu tangan untuk menghapus keringat.
Semua lebih mirip omong kosong.
Senja sudah menyemburat di Barat. Pemandangan yang begitu indah
sebenarnya, namun aku tak pernah mengalihkan pandanganku dari arah yang
sebaliknya. Sementara itu, di dalam mataku bus-bus telah berubah menjadi
perahu-perahu dengan kecepatan tinggi sambil menggaruk-garuk air.
Aku tetap berada di halte ini, masih
membayangkan seorang perempuan sedang berada di dalam sebuah bus untuk memenuhi
janji yang tak pernah ada padaku. Entah di mana.
Lamongan, 5 Juli 2011
Penulis lahir di Lamongan, 30 Maret 1990.
Penikmat anime dan anggota situs kepenulisan Kemudian.com.
BIODATA PENULIS
1. Nama
: Gatot Zakaria Manta
2. Alamat
: Dusun/ Desa Baturono, RT.02, RW. 03, Kec. Sukodadi
Kab. Lamongan
3. Alamat
korespondensi : Rumah Sakit
Muhammadiyah Lamongan
Jl. Jaksa Agung Suprapto, 76 Lamongan 62215
5. No.
HP
:0857 3121 8839
6. No.
Rekening
: BRI No. 6293-01-001728-53-1 an. Gatot Zakaria Manta
7. Riwayat
kepenulisan :
Sekarang sedang aktif di situs kepenulisan Kemudian.com
Karyanya
telah dimuat di sejumlah media lokal dan
majalah. Salah satu cerpennya masuk dalam kumcer 4 Tahun Kemudian
Sabtu, 3 Desember 2011
Wanita Itu Seperti Ibu
Cerpen
: Nanda Rezeki Anisa
J
|
arum sudah menunjukkan
pukul setengah lima sore. Aku harus menambah kecepatan kereta untuk bisa sampai
di rumah. Apalagi di rumah hari ini ada acara keluarga.
Melihat jalanan yang begitu tidak macet, kutambah kecepatan laju
kereta. Saat kereta itu meleset, dari jauh aku melihat seorang Ibu menyeberang
dengan tiba-tiba. Jelas saja aku panik dan mengerem kereta itu berhenti tepat
seperempat meter dari Ibu itu berdiri.
Rasa dongkol, marah dan kesal bercampur satu. Biasa, aku paling
gampang mengumbarkan kemarahan pada setiap orang yang sudah membuatku kesal.
Tapi kali ini saat aku lihat dan bermaksud memarahi Ibu itu, aku tak sanggup
wajahnya aku jadi teringat pada Ibu ku yang telah meninggal beberapa bulan yang
lalu.
Meski tak tega memaki Ibu itu, aku yang biasanya sering marah
kepada orang yang membuat aku kesal kini menggantinya dengan menasihati.
“Lain kali kalau mau menyeberang hati-hati ya, Bu! Lihat dulu kiri
dan kanan. Kalau tadi ketabrak bagaimana?”
“Terima Kasih, Nak! Maafkan Ibu yang sudah membuat kamu panik, Ibu
buru-buru.” Setelah ia melanjutkan jalannya sambil menenteng satu piring dan
satu mangkok kosong. Ibu itu menuju warung yang terletak tidak begitu jauh dari
jalan tadi.
Aku jadi penasaran apa yang sebenarnya kerjaan Ibu itu. Dugaanku,
Ibu ini mungkin berdagang nasi soto atau jualan siomay. Bisa jadi dia jualan
makanan yang lainnya.
Keinginan untuk secepat pulang jadi tertunda gara-gara aku
mendengar dan melihat pertengkaran yang terjadi di warung Ibu di tempat Ibu itu
masuk. Aku mendengar jelas suara Ibu tadi yang sepertinya tengah mempertahankan
sesuatu.
“Jangan kau ambil uang itu lagi, Nak! Itu hasil dagang Ibu hari
ini. Kalau kamu mengambilnya, modal untuk berjualan Ibu besok apa ?”.
“Ah, peduli dengan semua itu! Itu jadi urusan Ibu. Fadhli
membutuhkan uang itu.”
Ibu itu masih berusaha mencegah anak itu menguras uang dalam laci,
tapi sia-sia. Malah yang ada, Ibu itu terdorong jatuh dan anak itu tak
menghiraukannya, ia pergi begitu saja.
Rasa kemanusiaanku tersentuh saat malihat Ibu itu terjatuh.
Cepat-cepat aku mengampiri dan mengangkatnya bangun.
“Ibu tidak apa-apa?”
“Tidak, Nak! Terima kasih. Kamu belum kembali?”
“Belum, Bu! ‘Aku mendengar pertengkaran Ibu tadi. Itu tadi siapa?”
“Itu anak Ibu.”
“Kok tega sekali dia sama Ibu.”
“Ibu tidak tahu mengapa dia sering membuat Ibu seperti itu.
Mungkin pengaruh lingkungan dan teman pergaulan.” Ibu itu melanjutkan pekerjaan
mencuci piring. Saat sedang mencuci piring ia kedatangan beberapa pelanggan.
Ibu itu terpaksa menghentikan cuci piringnya dan menyiapkan siomay buat
pelanggannya.
“Anak itu namanya siapa ya? Sejak tadi Ibu belum tahu nama kamu.”
“Saya Ipan, Bu!”
“Nak Ipan makan siomay dulu ya di warung Ibu yang tidak seberapa
ini, sekalian pernyataan maaf Ibu karena sudah membuat Nak Ipan dangkol, kesal
dan marah tadi.”
“Tidak apa-apa, Bu! Saya mau pulang. Ada acara keluarga di rumah.
Lain kali saja saya singgah dan mampir ke sini. Ini ada sedikit uang untuk
mengganti uang yang diambil anak Ibu tadi, mohon diterima ya, Bu!”
“Lho, kok kamu memberi Ibu uang? Kamu tak ada berbuat kesalahan
apa-apa sama Ibu.”
“Ibu terima saja uang yang ini!”
“Tidak, Nak! Ibu tidak boleh terima uang begitu saja tanpa tahu
tujuan yang jelas.”
“Jujur saya prihatin melihat sikap anak Ibu. Lain dari itu, wajah
Ibu mengingatkan saya akan almarhumah Ibu. Dulu saya juga anak yang bandel dan
pernah melawan pada Ibu. Pada saat itu semua kesalahan belum tertebus dan saya
belum bisa buat Ibu tersenyum akan prestasi-prestasi yang saya capai, Ibunda
sudah meninggal. Saya merasa menyesal sekali, Bu! Kalau dunia dapat berputar
kembali pada saat itu saya tidak akan mengecewakan Ibu saya. Maaf, Bu, saya
jadi curhat.”
“Jadi itu alasan kamu tiba-tiba baik sama Ibu?”
“Maaf jika sikap baik saya buat Ibu tak terkenan dan salah.”
“Tidak ada yang salah. Ibu merasa heran saja. Tapi….!”
“Ibu terima saja uang ini ya buat menutupi modal berdagang Ibu.”
“Ibu akan terima asal kamu juga bersedia mencicipi siomay dan
minuman yang ada di warung ini. Ibu siapkan dulu hidangan buat mereka yang
telah menunggu lama.”
Setelah menghidangkan seluruh pesanan mereka, Ibu itu menyiapkan
siomay untuk aku lengkap dengan secangkir teh manis dingin. Sambil menemani aku
makan, sesekali kusempatkan bertanya tentang usaha siomay yang ia jalani.
Ternyata usaha Bu Nani sudah cukup lama berjalan dan langganannya
lumayan banyak. Ibu itu juga pernah memekerjakan beberapa orang untuk
membantunya. Sayangnya ia terlalu percaya dan menyerahkan juga urusan keuangan
pada mereka. Tanpa sepengetahuan Bu Nani, seringkali uang yang dibayar
pelanggan diam-diam diambil oleh pegawainya. Saat menghitung hasil penjualan,
Ibu Nani merasa rugi. Padahal perhitungan sebelumnya ia merasa mendapat
keuntungan. Karena tangan jahil pegawainya yang mengambil uang tanpa
sepengetahuannya, ia terpaksa lebih memilih bekerja sendiri. Harapan dia
terhadap Fadhli putra satu-satunya juga sirna karena anak itu lebih senang
keluyuran dan tadi telah mengambil paksa uang hasil berjualannya.
Aku coba menghibur Ibu itu dan memberikan sedikit solusi yang bisa
saja meringankan dia dalam menjalankan usahanya. Setidaknya ia tidak terlalu
repot.
“Jika Ibu berkenan, saya akan bantu mencarikan orang untuk
meringankan pekerjaan Ibu. Dari segi kejujuran, saya jaminan orang ini bisa
dipercaya,”Ujarku berjanji.
“Terima kasih, nak! Tapi Ibu ragu bisa memberikan gaji yang pantas
untuk orang itu. Apalagi uang Ibu sering diambil secara paksa oleh Fadhli.
Andai saja bapak masih ada mungkin keadaan Fadhli tidak seperti ini.”
Wajah Ibu Nani menjadi berkaca-kaca. Mungkin teringat dengan
suaminya. Dari nada bicara dan raut wajahnya bisa kutebak suaminya sudah
meninggal. Kembali aku coba menabahkan hati Ibu itu untuk sabar menghadapi
kelakuan putranya. Sabar juga dalam arti berusaha secara perlahan, tapi pasti
untuk menyadarkan kelakuan putranya yang selalu menyusahkan dirinya.
Selesai melakukan semua itu aku segera permisi pulang. Apalagi
petang sudah dating, aku harus segera tiba di rumah.
Sepanjang perjalanan, wajah Ibu itu terus hadir dalam ingatanku.
Wajah yang amat mirip dengan wajah Ibunda. Juga perjuangan hidupnya. Aku jadi
kepikiran untuk ziarah ke makam Ibu. Aku besok akan melakukan ziarah.
Hitung-hitung melepas kangenku pada Ibu yang telah beberapa bulan tak
kuziarahi.
Tiba di rumah, suasana sudah ramai, anak-anak Ayah, berserta cucu
sekaligus keponakan telah ramai berkumpul. Hari ini adalah hari ulang tahun
Ayah. Aku jauh-jauh hari telah menyiapkan kado spesial untuk Ayah. Aku berharap
kado spesial dari aku membuat Ayah senang dan bahagia.
Setelah itu acara tiup lilin dimulai diiringi tepuk tangan serta
lagu ulang tahun. Mata Ayah kelihatannya berkaca-kaca. Melihat foto Ibu yang
ada di depannya, setelah itu Ayah meniup lilin yang melingkar di tengah kue
bolu itu. Tepuk tangan pun mengiringi lilin yang telah ditiup.
Kemudian setelah ditiup lilin selesai, Ayah menerima salam anak
dan keponakannya yang menyerahkan satu demi satu kado. “Selamat ulang tahun,
Ayah. Hanya kado ini yang bisa Ipan berikan Ayah. Mudah-mudahan Ayah panjang umur,
tambah bahagia dan sehat walafiat. ***
Sabtu, 26 November 2011
Pelangi di Mata Nana
Cerpen : Lia Elviana
Sejak kecil Nana diasuh
oleh neneknya. Ibunya telah tiada saat Nana masih umur dua tahun. Ayahnya
meninggal saat menerima telepon dari seseorang di kantornya, yang membuat
penyakit jantungnya kumat dan tak bisa tertolong lagi. Saat itu Nana berulang
tahun yang ke-13, ia melihat ayahnya terkapar di kantor tak bernyawa lagi.
Kondisi Nana semakin hari semakin parah, yang membuat nenek Nana
terpaksa pindah. Ia lakukan ini agar Nana bisa kembali seperti dulu lagi.
Segala cara sudah dilakukan neneknya, tapi itu tak berhasil. Sering Nana marah
karena kesalahan sedikit saja, misalnya selai roti coklat yang dibuat neneknya
sedikit, Nana langsung melempar roti itu ke lantai dan menginjaknya. Ia
marah-marah dan pergi tanpa permisi kepada neneknya dan tak pulang semalaman.
Pagi pukul 06.45 Nana diantar neneknya ke sekolah baru. Nenek
memandangi Nana dalam mobil, ia melihat cucunya itu tidak menyukai sekolah
barunya. Nana memang tidak suka sekolah lagi sejak ayahnya meninggal. Ia
menggangap sekolah itu adalah penjara kedua setelah rumahnya.
Pernah ia diasramakan oleh neneknya di pesantren. Tidak lama di
pesantren, ia di keluarkan, semua guru telah kewalahan menghadapi sikap Nana.
Nana menginjakkan kakinya ke halaman depan sekolah dengan
mengunyah permen karet. Ia terseyum melihat sekolah itu. Neneknya tahu pasti
senyuman itu rencana baru yang ada di otaknya. Neneknya menarik Nana ke ruangan
kepsek dan menyuruhnya membuang permen karet yang dimakannya, tapi Nana tidak
peduli. Ia tetap saja mengunyah permen karetnya itu.
Jabatan tangan nenek Nana dan kepsekpun terjadi. Artinya, Nana
resmi menjadi siswa baru di sekolahan itu. Nana didampingi nenek dan guru pergi
menuju ruangannya. Di depan kaca jendela, neneknya memerhatikan Nana sejenak,
untuk saat itu Nana masih diam dan belum berbuat apa-apa.
Neneknya berpamitan kepada guru dan menyarankan agar berhati-hati
terhadap Nana. Nenek Nana telah menceritakan kondisi Nana yang sebernanya agar
guru-guru di sana memaklumi sikap Nana. Semua guru mengerti dan siap menghadapi
Nana jika sewaktu-waktu Nana berbuat nakal.
Pelajaran kedua telah selesai, jam istirahat digunakan oleh murid.
Nana hanya mematungkan diri di kursi. Ia melihat situasi kelasnya saat ini
cukup baik kenapa tidak, kini ia tidak repot-repot mengusir guru agar tidak
masuk kelas. Semua telah telaksana, ternyata sekelompok murid di kelas persis
sepertinya yang berandalan. Hanya berbeda, mereka masih mempunyai orangtua.
Ketika Nana sedang mengotak-atik hape, ia mendengar suara
seseorang yang memanggil namanya. Ia melihat dan ternyata seorang murid
sebangkunya ingin berkenalan. Gadis itu mengulurkan tangan dan menyebutkan
namanya, yaitu Pela. Nana yang tak suka berteman mengacuhkan Pela, tapi Pela
sabar menghadapi Nana.
Seminggu telah Nana masuki sekolah. Pela teman sebangkunya
menunggu Nana, ia memberitahu Nana bahwa hari ini pelajaran Bu Melvi ada PR,
tapi Nana tak peduli. Sering Nana marah-marah dengan Pela karena ia selalu
mengajak Nana untuk belajar dan memberi contekan PR agar Nana tidak dihukum
karena tidak mengerjakan PR.
Sebaik apapun pela, itu tidak membuat Nana berubah. Nana tetap
saja tidak berterima kasih terhadap Pela yang sering membantunya di sekolah.
Suatu hari Nana mengikuti Pela pulang. Ia berniat menghancurkan
Pela karena Pela selalu ikut campur urusannya. Ia ingin tahu tujuan Pela kenapa
ia berbuat baik terhadapnya.
Ia mengamati gerak-gerik Pela. Ia melihat kondisi Pela setiap
hari. Lama-kelamaan Nana sadar bahwa Pela berusaha untuk hidup, membiayai
hidupnya.
Nana terus mencari informasi tentang Pela dari teman dan guru-guru
di sekolah. Sekarang ia benar-benar mengerti kenapa Pela begitu.
Sudah lebih sebulan Nana mengamati Pela. Nana yang cuek terhadap
Pela sekarang mulai mendekati Pela dan lebih ingin tahu Pela sebenarnya. Nana
mengatakan kepada Pela bahwa ia ingin ke rumahnya. Pela kaget dan ia tersenyum
mendengarkannya. Ia heran, Nana yang cuek, sering marah-marah dan benci
kepadanya, sekarang ingin melihat rumahnya.
Pelajaran terakhir telah selesai saat bel berbunyi semua siswa
berhamburan keluar dari kelas menuju gerbang. Siang itu matahari sangat terik.
Wajah putih Nana mulai memerah. Lima belas menit kemudian angkot yang ditunggu
datang, Nana dan Pela menaiki angkot tersebut.
Di perjalanan, Nana hanya diam. Sesampai di rumah Pela, Nana
melihat kondisi rumah Pela. Ia tidak kaget lagi karna telah mengamati Pela
selama lebih satu bulan. Nana menanyakan orang tua Pela, tapi Pela hanya tersenyum
dan menjawab ibunya berada di tempat yang terindah nun jauh di sana.
Nana kaget mendengarnya, dari mana Pela bisa hidup sendiri di
rumah yang sepi dan kotor seperti ini. Pela terseyum dan menceritakan kenapa ia
masih bisa tertawa dan berusaha hidup,apalagi bisa berbuat baik kepada siapa
saja. Itu dikarenakan kesalahan Pela yang membuat dia kehilangan orang tuanya.
Pela sama seperti Nana yang bandel dan tak mau mendengarkan orang
tuanya. Sampai suatu hari ibunya sakit-sakitan, ingin sekali melihat Pela, tapi
Pela tak ingin bertemu dengan ibunya. Ia tidak percaya bahwa ibunya sakit.
Hingga akhirnya saat ia pulang, ia melihat ibunya sudah meninggal.
Ia menangis tapi ayahnya marah kepadanya dan mengusirnya dari rumah. Sejak saat
itu Pela berjanji bahwa ia akan berubah demi arlmarhumah ibunya.
Nana tercengang dan mengusap air mata Pela. Ia mengajak Pela pergi
ke rumah orang tuanya, tapi pela tidak mau. Nana mengatakan ia lakukan ini
untuk ucapan terima kasih. Pela kaget mendengar itu, ia tidak mengerti maksud
nana. Nana terus membujuk Pela tanpa menjelaskan maksudnya. Bujuk rayu Nana
yang membuat Pela akhirnya mau pergi menemui ayahnya.
Sesampai di sana, Nana keluar dari angkot dan mengajak Pela masuk.
Pela takut, bahwa ia akan ditolak oleh ayahnya. Tapi ketakutan Pela berubah
jadi senyuman saat seorang bapak tua menyambut dan memeluknya dengan hangat.
Ayah Pela mengatakan bahwa ia menyesal mengusir Pela. Ia berjanji akan menjaga
Pela dengan baik.
Kini semua kondisi telah baik. Pela berterima kasih kepada
Nana dan memeluk Nana erat-erat. Tapi Nana mengatakan bahwa ia juga akan
memberi kejutan lagi. Nana mengajak Pela pergi ke rumahnya.
Sesampai di rumah, Nana memeluk neneknya yang sedang menonton
teve. Neneknya kaget melihat Nana yang meminta maaf atas sikapnya selama ini.
Neneknya memeluk Nana dan menciumnya. Nana menceritakan kondisi Pela yang
sebenarnya.
Nana berterima kasih kepada Pela karena ia telah menyadarkan
betapa pentingnya hidup ini. Nana meminta tolong kepada neneknya agar mau
membantu Pela dan ingin bertemu dengan ayah Pela.
Nenek, Nana, dan Pela pergi ke rumah Pela. Sesampai di rumah Pela,
nenek Nana bertemu dengan ayahnya Pela. Ia berkata bahwa ia akan memberi modal
kepada ayah Pela untuk membuka usaha dan akan membiayai sekolah Pela hingga Pela
tamat. Ia juga mengangkat Pela sebagai cucunya seperti Nana.
Pela senang mendengarnya dan memeluk nenek Nana. Nenek Nana
tersenyum dan Nana pun ikut memeluk Pela. ***
Sabtu, 19 November 2011
TANPAMU, AKU MASIH BISA BERNAPAS MESKI
SATU-SATU
Cerpen : Rufaida
Hidup memang selalu menyodorkan kejutan, tak soal walaupun kejutan itu
tak menyenangkan. Tapi jangan pernah sembunyi dari kenyataan.
Aku membaca
pesan singkat itu sekali lagi dalam kurun waktu ratusan hari. Ya, pesan itu sudah berada
di inbox ponselku kurang lebih satu
tahun lamanya. Ratusan kali pula aku membacanya untuk memotivasi diri, mencoba
menyamarkan luka hati. Namun tetap saja aku belum bisa mengaplikasikannya dalam
hidupku, dalam nyataku.
Benarkah aku
sembunyi dari kenyataan? Inikah tujuanku jauh-jauh datang dari Pekanbaru ke
Kota Medan yang semakin gersang ini? Medan
yang tak pernah terlihat suram meski banyak jerit tangis pilu di setiap sudut
jalanan. Semua itu terselubungi oleh mewahnya Medan metropolitan. Tapi luka itu
sudah dua tahun berlalu. Berlalu bersama sang waktu yang sungguh tak pernah
bersahabat denganku.
Untuk kesekian
kalinya kurenungi pesan singkat itu. Pesan dari seseorang yang sudah kuanggap
lebih dari sekadar sahabat. Orang yang tahu siapa aku, masa laluku, dan bahkan
apa tujuanku ke Medan ini. Wia, Rabiatul Hadawiya namanya, tapi cewek tomboy
itu lebih suka dipanggil dengan Wia. Wia adalah orang yang pertama kali kukenal
ketika menghirup udara Kota Medan.
Saat itu kami
sama-sama sedang mendaftar di salah satu PTS di Kota Medan ini. Sejak itu kami
menjadi dekat dan akrab. Kebetulan kami satu kelas di Fakultas Ekonomi. Wia
banyak membantu aku untuk bangkit dari keterpurukan masa lalu. Meski sampai
saat ini aku belum bisa bangkit sepenuhnya, namun setidaknya telah bisa kembali
menatap dunia. Pesan singkat itu adalah salah satu bukti bahwa Wia sangat
memotivasi aku untuk terus menjalani hidup yang terasa getir ini.
Kupencet
tombol back di ponselku dan bersikap
seolah sedang tiduran ketika kudengar pintu kamarku diketuk seseorang.
“Masuk,“
jawabku tanpa tanya, pintu kamarku terkuak setengah.
Kak Lia muncul
dengan senyuman khasnya. Kak Lia ini kakak iparku, istri Mas Doni, abangku yang
sulung. Mas Doni yang saat itu tengah kuliah di salah satu PTN di Medan ini
jatuh cinta dengan Kak Lia yang asli orang Medan. Setamat kuliah dan bekerja,
mereka memutuskan untuk menikah. Awalnya Ayah dan Ibuku tak setuju ketika
setelah menikah Kak Lia tidak mau diboyong ke rumah keluargaku di Pekanbaru. Malah
membujuk Mas Doni untuk tinggal di Medan saja walaupun di rumah kontrakan.
Namun karena Kak Lia keukeuh dan Mas
Doni pun setuju dengan istrinya, Ayah dan Ibu luluh juga.
Alasan Kak Lia
nggak mau pindah adalah karena dia
sangat mencintai Medan, nggak bisa
pisah dengan Medan. Klise memang, siapa coba yang tidak mencintai kampung
halamannya?
“Medan ini kota
yang memikat Dek, kau pasti akan jatuh cinta juga pada Medan nantinya seperti
Masmu itu,“ ucapnya suatu kali.
Aku hanya
tersenyum tipis mendengar statement-nya
itu. Tak soal bagiku. Toh andai tidak
ada mereka aku tidak mungkin bisa kuliah di Medan. Ayah, apalagi Ibu pasti
tidak akan memberiku izin untuk tinggal di Medan sendiri. Dan bisa dipastikan akan
setengah mati membalut luka itu, luka yang sampai saat ini tak jua mengering
meski dampak global warming tengah
mengeringkan Medan setiap hari.
“Lho kok malah
melamun, Dek? Ditawarin makan mie Aceh kok bengong,
biasanya kau langsung semangat.“
Aku tergeragap.
Kak Lia kembali tersenyum tapi kali ini posisinya sudah berada di tepi tempat
tidurku. Entah sejak kapan dia berpindah dari ambang pintu.
“Mie Aceh?”
tanyaku bodoh.
“Ya, mie Aceh.
Dari tadi kakak tawarin malah bengong.
Mikirin apa, hayoo? Pacar baru ya, pasti si Rian kan yang sering datang ke rumah itu?” goda Kak Lia masih dengan
senyumannya yang khas, tulus dan menentramkan siapa saja yang mendapat senyuman
darinya.
Aku nyengir kuda. “Nggak-lah, Kak. Lagi memikirkan bangsa ini, Kak,” dustaku cepat
sembari mengubah posisi menjadi duduk di sebelah Kak Lia. Tapi aku tidak
berbakat bohong sehingga Kak Lia masih terus menggodaku.
“Bangsa ini?
Bangsa ini beserta isi-isinya kan?
Khususnya yang bernama Rian?”
Aku terkekeh.
“Iya, iya, iya
biar Kakak senang. Ayo kita makan Mie Aceh-nya,” dustaku lagi seraya menarik
tangan Kak Lia bangkit dan menuju ruang makan. Kali ini sepertinya dustaku
berhasil, sebab tanpa banyak tanya Kak Lia mengikuti langkahku.
**
“Bulan depan
aku mau married, Ci.”
“Apa? Married? Kau bercanda kan? Sama siapa? Kau kan sudah putus dengan Yoga yang cupu itu? Lagian kita baru seminggu lulus SMA, masa mau married langsung?”
“Ih,
kebiasaan. Kalau ngomong nyerocos. Satu-satu dulu selesaikan,” gerutu Fitri
manyun, namun tak seperti layaknya orang yang mau menikah. Fitri tidak terlihat
bahagia.
“Kau pun
ngomong sembarangan gitu.”
“Nggak sembarangan kok, aku memang mau married, Ci.” Fitri menatapku lurus, aku
tak mengerti apa maksud pandangan mata itu. “Maafin aku ya, Ci, aku tahu ini
akan sangat menyakitkan buatmu. Tapi nggak
ada gunanya menyesal sekarang seharusnya dari dulu aku menyesal.”
“Aku nggak ngerti, Fit, aku seneng-lah kalau kau mau married, kalau itu sudah menjadi
keputusan terbaik buatmu. Apa yang harus buat aku sedih atau sakit?”
Fitri diam
saja, hanya setetes air bening tergelincir dari kedua sudut matanya “Kenapa
nangis? Memangnya kau mau married
sama siapa?”
Fitri
menggigit bibir bagian bawahnya, air bening itu semakin deras membanjiri kedua
pipinya. Aku merengkuh Fitri, tiba-tiba terlintas satu pertanyaan di benakku
“Memangnya apa yang membuatmu ingin cepat-cepat menikah Fit?”
“A..aku hamil,
Ci.” Reflek aku melepas rengkuhanku di bahunya, kutatap dengan nanar matanya
yang basah.
“Siapa yang
berbuat itu padamu? Katakana padaku, Fit, katakan!”
“Satria.”
“APA?!!”
Angkutan kota
yang kutumpangi berhenti di sebuah persimpangan ketika lampu merah traffic light menyala memberi tanda,
membuyarkan lamunanku, menyentakku kembali ke masa sekarang. Tak sedikitpun aku
peduli akan berapa lama lampu merah itu hentikan perjalananku sepulang dari
kampus siang ini, separuh pikiranku masih tertinggal di masa lalu.
“Suci !!”
Panggil Wia setengah teriak, padahal dia berada di sebelahku, itu membuatku
terkejut.
“Bisa nggak mmanggilnya pelan aja? Kaya’
jarak kita jauh aja, Wi,” sungutku geram.
“Heh, udah dari tadi ya aku manggil, kau asyik
melamun aja.”
“Apa”
“Kau lihat
anak kecil itu?” Wia menunjuk ke arah luar jendela angkot, aku mengikuti arah
jari telunjuknya. Seorang bocah kira-kira berusia 9 tahun berbadan kurus dan
berkulit hitam legam tengah memetik dawai sebuah gitar plastik dengan amat
khusyuk. Bibirnya yang sehitam kulit tubuhnya komat-kamit menyanyikan sebuah
lagu cinta milik band lokal ternama.
“Ya, aku lihat,”
jawabku tanpa menoleh lagi ke arah Wia.
“Apa perbedaan
antara kau dan dia?” pertanyaan Wia yang terdengar konyol itu memaksa aku
untuk menoleh ke arahnya.
“Banyak, tapi
yang jelas aku cewek, dia cowokA. Aku sudah berusia 20 tahun dan dia masih
kecil, mungkin baru berusia delapan atau sembilan tahun.”
“Ya, kau
benar. Tapi yang paling mendasar ialah kau lebih beruntung daripada dia. Kau
jauh-jauh datang ke Medan
untuk mengenyam pendidikan tinggi menimba ilmu sebanyak-banyaknya agar menjadi
orang yang berguna dan bisa membanggakan kedua orang tuamu. Sementara dia? Pada
usia sebelia itu dia yang entah dari mana datangnya sudah harus menelan
bulat-bulat getirnya ibukota. Tidak ada yang peduli akan nasibnya kecuali
dirinya sendiri.
Begitu juga
dengan ribuan teman-temannya sesama anak jalanan yang lain. Mereka tidak
mendapat kesejahteraan yang layak. Tidak bisa mengenyam pendidikan seperti yang
kita rasakan. Bagaimana mungkin bangsa ini khususnya kota Medan ini bisa maju
jika masih banyak masyarakatnya yang terlantar dan berpendidikan rendah?
Dan bagaimana
mungkin mereka bisa mengenyam pendidikan tinggi jika semakin hari biaya
pendidikan semakin mahal saja? Bisa menyambung hidup setiap harinya saja sudah
cukup.”
“Lalu? Apa
hubungannya dengan aku, Wia? Kenapa tiba-tiba nyerocos nggak jelas gitu
ke aku?”
“Supaya kau
bersyukur saja. Masalahmu itu hanya masalah kecil, masalah cinta. Selain itu,
kau tak punya masalah berat. Kau pintar, keluargamu berasal dari keluarga yang
berkecukupan. Banyak orang di sekelilingmu yang menyayangimu dan peduli akan
kau.”
Aku masih
belum tahu arah pembicaraan Wia, tapi aku diam saja. Membiarkannya terus nyerocos. “Maksudku, masalahmu dengan
Satria mantan kekasihmu itu dan dengan Fitri sahabatmu itu…………..”
“Mantan
sahabat!” tukasku cepat.
“Oke, mantan
sahabat, sudah selayaknya kau mengubur masalah itu jangan pikirkan lagi, sudah
dua tahun berlalu Suci, aku tidak mau kau terus terpuruk seperti ini”
“Tunggu
tunggu! apa yang tiba-tiba membuatmu berpikiran bahwa aku masih memikirkan hal
itu?”
“Aku tahu, kau
pasti sedang memikirkan masa lalumu itu kan?
Makanya ketika aku memanggilmu kau tidak dengar.”
Aku tersenyum
tipis. ”Memangnya kelihatan ya?”
“Kelihatan
sekali malah, kau sudah harus bangkit, Ci. Kau sudah harus membuka mata, hati,
dan pikiranmu. Di luar sana
masih banyak orang-orang yang nasibnya lebih menyedihkan daripada kau. Hidup
ini terlalu indah untuk kaugunakan menangisi cinta. Lebih baik kaugunakan untuk
memikirkan bagaimana caranya memberantas koruptor di Kota kita tercinta ini.
Yang karena ulah mereka, pembangunan kota Medan ini jadi terhambat!”
Traffic light memberi tanda hijau agar
kendaraan-kendaraan segera melanjutkan perjalanannya, aku menghela napas. “Kok
jadi kaya’ orasi kau, Wi, hahaha,”
tawaku terdengar garing sebab ucapan Wia yang panjang lebar itu mengena di
sudut hatiku.
“Hahaha, bukan
orasi, Suci, tapi cuma mau mengingatkan. Kau kan mahasiswa, harus kritislah dengan keadaan di sekitarmu. Selama
ini kau selalu berpikir bahwa kau adalah orang yang paling menderita sedunia,
sehingga kau tidak peduli dengan lingkungan sekitarmu. Tidak peduli dengan
saudara-saudara kita yang lebih miris kehidupannya dibanding dengan kehidupan
kita.”
“Ya, mungkin
kau benar tapi apalah yang bisa kita lakukan. Kita cuma mahasiswa yang tidak
memegang kuasa. Siapa yang mau dengar suara kita? Dengan apa kita memrotes keadaan
kota ini? Demo? Iya kalau berhasil, bukannya malah menimbulkan korban seperti
biasa yang terjadi jika ada demonstrasi…”
Wia tersenyum
menang. Aku tahu dia sudah sukses mengalihkan pikiranku yang hampir selalu
tertuju pada masa lalu, pada Satria, pada Fitri.
“Justru peran
kita sangat besar, Ci, apalagi kalau kau bergabung dengan Badan Eksekutif
Mahasiswa seperti aku. Kau kan selama
ini cuma kupu-kupu, kuliah-pulang kuliah-pulang. Hehehehee.”
“Mulai deh
sosialisasi.” Wia terkekeh mendengar gerutuanku.
“Sekalian kan nggak
apa-apa. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memikirkan kemajuan kota ini?
Seperti masalah sampah. Para pemegang kuasa di atas sana sudah tidak sempat
lagi memikirkannya, sebab mereka sudah sibuk memikirkan uang, uang, dan uang. Dampaknya,
ya seperti sekarang ini, semakin hari semakin kotor saja Medan ini bah!”
Meski sudah
biasa mendengar ocehan Wia yang khas aktivis kampus, aku masih saja
geleng-geleng kepala.
“Alah Wi, kau
berpikir idealis seperti ini kan
karena kau masih jadi mahasiswa, coba nanti kau jadi pejabat mungkin kau lebih
parah dari mereka yang kau kecam itu!”
“Aku nggak mau jadi pejabat, aku mau jadi
kritrikus saja.” Aku dan Wia sama-sama tertawa.
“Pinggir, ya
Bang!”teriak Wia ketika angkot yang kami tumpangi melintasi rumahnya. Kami
berencana mengerjakan tugas makalah di rumahnya siang ini. Itu sebabnya aku
tidak pulang ke kontrakan Mas Doni dan Kak Lia.
Mungkin aku
akan meneteskan air mata setiap hari jika tidak ada Wia di sampingku. Cerita
masa laluku yang pahit membuatku terus sendiri. Tak bisa membuka hati untuk
yang lain.
Wia yang
membuatku percaya bahwa masih ada yang namanya sahabat di dunia ini, bahwa
tidak semua sahabat itu penghianat.
“Selama ini
aku punya hubungan dengan Fitri di belakangmu, Ci. Maafkan aku. Aku memang
salah. Aku sudah berhianat, dan sekarang aku harus meninggalkanmu karena Fitri
lebih membutuhkan aku.”
Saat itu aku berpikir,
semudah itukah aku diabaikan? Tiga tahun aku menjalani hari-hariku dengan
Satria pacarku dan Fitri sahabatku. Sempat aku merasa hidupku sempurna waktu
itu. Namun ternyata memang tak ada yang sempurna di dunia ini, semuanya fana.
“Aku minta
maaf, Ci. Aku tahu ini menyakitkan buatmu. Tapi aku dan Satria saling
mencintai, kau harus tahu itu.”
Mudah bagi
mereka meminta maaf, semudah mereka membuang aku. Tapi itu kini tak menjadi
persoalan lagi bagiku. Aku tak akan lagi dikejar-kejar masa lalu yang tak
pantas dikenang itu. Aku lebih berharga dari mereka, meski aku menyesal sempat
membenci mereka. Tapi paling tidak jauh, di dasar hatiku, aku telah tengah
memaafkan mereka.
“Hey, pasti mikir Satria lagi. Sudahlah,
biarkan dia bahagia dengan sahabatmu. Mungkin memang bukan kau yang terbaik
untuknya.” Lagi-lagi Wia membuyarkan lamunanku, aku tersenyum tipis.
“Kok senyum? Sudah
selesai kesimpulan dari makalah kita?” Wia mengambil alih mouse dari tanganku dan memeriksa ketikan makalah kami. Sejurus
kemudian ia tersenyum puas.
“Oke, kan?”
aku mengedipkan sebelah mataku.
Wia menangguk.
“Ya, tumben pemikiranmu tentang
masyarakat sangat antusias.”
“Tentu saja,
perubahan itu perlu.”
“Hadoooh, mati
lampu terus. Jadi gerah.” Wia mengipas-ngipas tubuhnya dengan selembar kertas.
Seperti biasa, tiap malam minggu kami menginap bareng, dan malam minggu ini giliran di rumahku, rumah kontrakan abangku
maksudnya.
“Serasa di zaman
purba, ya,” sahutku terkikik geli. “Ya, namanya aja tinggal di Kota Medan metropolitan, tapi tiap malam
gelap-gelapan.”
Aku hanya
tertawa, Wia memang benar. Sekarang sudah mending cuma satu hari sekali mati
lampu. Beberapa waktu lalu sempat juga satu hari tiga kali kaya’ minum obat aja.
Kalau minum obat kan karena ada resep
dokter, nah, kalau mati lampu siapa yang ngasih
resep ya?
“Hobi kok
melamun!”
“Yang penting kan nggak melamun jorok, week!”
“Hmmmm, jadi cemana
tentang seminar sosialisasi pendidikan itu? Kau ikut kan, Ci? Gratislah buatmu, kan
aku panitianya.”
“Iya, cerewet!
Aku tertarik dengan judul seminar itu. Aku berharap masyarakat dapat menerima
dengan baik dan mereka jadi sadar akan pentingnya pendidikan bagi kemajuan
bangsa ini bahkan bagi kesejahteraan hidup mereka.”
“Ya, aku juga
berharap begitu. Aku juga mengundang wartawan kampus untuk meliput seminar itu.
Yah, semoga saja penguasa-penguasa di atas sana membaca beritanya dan akan
menjadi peduli dengan rakyatnya.”
Wia menepuk
bahuku. “Benar, Wi, mereka harus sadar bahwa karena ulah KKN mereka kota Medan
ini jadi semakin memrihatinkan, terutama infrastrukturnya. Mereka tidak maju
dan terkesan tidak mau maju. Apa jadinya kalau pemerintah tidak peduli dengan
keadaan masyarakat yang seperti itu?” ucapku panjang lebar, sepertinya aku
sudah mulai ketularan Wia.
“Ciyeeee, kritis ah! Bagus itu, jadi udah lupa kan sama Satria?”
“Yup!”
‘Udah lupa sama sakit hati?”
“Pasti!”
BYAAARR! Lampu
hidup “Horeee!” aku dan Wia berteriak kegirangan, semoga ini adalah terakhir
kalinya pemadaman listrik bergilir di kota Medan . Amiiiiiin. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar