Cerpen : Rifan Nazhif
Dalimunthe
S
|
ebuah kota. Pagi yang merayap.
Rumah-rumah mengepul. Bau roti memanggang angkasa. Jalanan masih lengang.
Satu-dua pengendara sepeda melintas. Angin seakan menjadi sangat lembut.
Dingin. Bukit-bukit yang memenjara kota bersidekap kabut. Sebuah kedai, menebar
aroma kopi. Celoteh berterbangan. Wangi mie rebus, menonjok lapar. Bau roti
sangat tegas. Barangkali roti akan mereka
koyak-koyak, kemudian dibenamkan ke lumpur coklat.
Sama seperti
orang-orang yang merasa lapar di pagi menyekap, aku berhenti juga mengayuh
sepeda. Mungkin seorang perempuan berbadan sedang akan menerimaku di kedai dengan lirikan ramah. Dia akan
menawarkan secangkir kopi, mie rebus, atau roti berlumpur coklat. Hmm, kuraba perut,
kurasakan hati memutuskan masuk ke kedai yang rapih dan bersih itu.
Beberapa orang
yang duduk di bangku panjang, seolah tak menyadari kedatanganku. Mereka asyik
melihat layar televisi yang menyiarkan acara bola kaki. Sepertinya siaran
tunda. Aku mengambil tempat duduk di sela orang-orang. Cukup susah memasukkan
sepasang kakiku ke depan bangku panjang. Sejenak ujung sepatuku menyenggol
pinggang lelaki berbadan gempal-badak. Dia menoleh, seperti ingin mendengus.
Tapi yang tampak hanya senyuman, saat aku mengangguk sebagai tanda meminta
maaf.
“Sudah
mendengar pembunuhan di Saimori?” Seseorang mengumpankan tanya, sehingga
seluruh mata, termasuk aku, menatap orang itu dengan tajam. “Kepalanya
terpenggal. Kabarnya hanya masalah uang parkir.”
Lelaki
gempal-badak itu memasukkan jari telunjuk kanannya ke sela gigi dan kulit pipi.
Dia membersihkan sesuatu yang mengganjal di situ. “Itulah salah orang-orang di
Saimori. Terlalu banyak motor. Terlalu banyak mobil. Coba di daerah kita,
kebanyakan dilalui sepeda.”
“Tapi sepeda
juga perlu tempat dan uang parkir. Cuma tak sesusah memarkirkan motor atau
mobil.”
Sesaat hening.
Perempuan penjaga kedai mendekat,
mungkin ingin menawarkan
kopi. Aku sedikit terkesima. Perempuan itu lumayan seksi dan cantik. Kenapa dia
bersedia menjadi penjaga kedai? Aku
buru-buru meminta segelas kopi dan
semangkok mie rebus.
Obrolan
orang-orang di sekitarku, kemudian beralih ke masalah korupsi yang merajalela
di kota tetangga, di Marsia. Aku menerima segelas kopi, menyusul semangkok mie
rebus. Sambil lalu aku melebarkan lobang telinga. Mendengar bincang-bincang
korupsi yang menggelitik telinga.
“Masa’
menangkap pelaku korupsi saja tak bisa. Banyak pula alasan, sakitlah, ke luar
negerilah. Hahaha, betapa lebih mudah mengejar maling ayam ketimbang koruptor.
Persoalan sekarang koruptornya hanya seorang, tapi pertaliannya banyak.
Silang-sengkarut. Yang satu menuduh yang sana. Yang sana menuduh yang sini.
Yang sini menuduh yang situ. Padahal sama-sama maling. Maling teriak maling.”
Seorang lelaki kurus dengan mata selebar uang logam, memberi tanggapan.
“Beruntung di
kota ini tak ada koruptor. Semua berjalan dengan aman-damai. Seaman dan damai
bersantap di sini.” Lelaki gempal-badak membalas sambil menghirup kopi yang
bersisa sedikit di gelasnya.
Hening lagi.
Kunikmati mie rebus dengan rasa lebih lezat dari rasa mie rebus yang pernah
dicecap lidah ini. Aku seolah berjalan di atas air. Mengapung. Celoteh menjadi
lantunan melodi yang menghanyutkan.
“Eh, kalian
tahu tak? Di negeri tetangga kita orang-orang berebut kursi yang dibuat seorang
kakek tua?” Aku tersadar mendengar tanya itu. Ternyata aku sedang tak berjalan di atas air. Aku tetap
di kedai, di hadapan mangkok mie rebus yang sudah licin dan gelas kopi yang
berisi ampasnya saja.
Selintas
kuingat masa sekolah di bangku esde. Aku dan teman-teman berebut kursi paling
belakang dan di dekat jendela. Karena duduk di situ begitu nyaman melihat
suasana di luar sana. Ketika guru menyuruh siswa menjawab soal di papan tulis,
nasib yang duduk paling belakang di dekat jendela itulah paling beruntung.
Sering sekali belum sampai giliran anak yang duduk di belakang dekat jendela
itu menjawab soal, tiba-tiba lonceng berbunyi tanda usai pelajaran.
“Berebut
kursi? Bagaimana bisa?” Si gempal-badak menanggapi.
“Bisa saja! Orang-orang
sampai sogok sana sogok sini demi tercapainya niat menguasai kursi. Baku hantam
menjadi hal yang lumrah. Apalagi hanya sekadar caci-maki. Makanya, kalau sudah
dapat kursi, bisanya duduk saja. Merintah sana-merintah sini. Ada kesempatan,
maling uang rakyat. Ke mana-mana harus bawa kursi. Mungkin masuk kakus juga
bawa kursi.”
Mataku terasa
semakin terang. Perut tak beriak lagi. Cukup sudah mendengar celoteh mereka
yang tak lebih caci-maki. Meskipun sebenarnya apa yang tersebar dari mulut
mereka adalah kebenaran.
Aku
bersusah-payah keluar dari orang yang mengapitku. Ujung sepatuku kembali
menyenggol pinggang si gempal-badak. Tapi dia seperti tak merasakan apa-apa. Berita di televisi tentang
negara si anu, si itu, membuatnya banyak komentar. Aku merogoh kantong
celanaku, lalu mengeluarkan uang sepuluh ribu.
“Ini uangnya,
Bu. Kopi satu, mie rebus satu.” Aku menyerahkan uang itu kepada si ibu. Dia
menatapku dengan mata seperti akan lepas dari cangkangnya. “Kenapa, Bu?”
“Ini cuma
harga kopi!” ketusnya.
“Cuma harga
kopi?” Aku terbelalak.
“Mie rebus dua
puluh ribu!”
“Mahal amat!”
Aku merogoh
lebih dalam kantong celanaku. Hanya ada uang yang sudah lecek beberapa lembar.
Setelah kuhitung, cukuplah dua puluh ribu.
Dia tersenyum
setelah uang itu di tangannya. “Tip untuk mendengar perbincangan di sini lima
ribu, Pak! Parkir sepedanya sepuluh ribu. Beruntung bapak tak ikut memberi
tanggapan, karena bapak harus membayar tip tanggapan juga.” Si ibu semakin
menyerocos seperti asap lokomotif.
Aku langsung
kabur mengayuh sepedaku. Aku takut orang-orang itu akan mengejarku. Tapi tak,
mereka tetap di kedai itu. Mungkin mereka hanya menganggapku sebagai maling
kecil yang tak harus dikejar-kejar.
Kuputuskan
lurus ke depan. Kemudian membelok seratus delapan puluh derajat. Aku lebih
memilih kembali ke negeriku. Di negeri brengsek itu harga-harga masih termasuk
murah termasuk harga diri. Biarlah. Jadilah. Lebih baik mati dihantam hujan
batu, tapi dikubur di negeri sendiri, ketimbang dihantam hujan emas di negeri
orang. Toh semua berakhir sama;
sama-sama mati. ***
--sekian---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar