Minggu, 12 Januari 2014

Sebuah Kota, Berbagai Cerita (Sabtu 14 Desember 2013)



Cerpen : Rifan Nazhif Dalimunthe


S
ebuah kota. Pagi yang merayap. Rumah-rumah mengepul. Bau roti memanggang angkasa. Jalanan masih lengang. Satu-dua pengendara sepeda melintas. Angin seakan menjadi sangat lembut. Dingin. Bukit-bukit yang memenjara kota bersidekap kabut. Sebuah kedai, menebar aroma kopi. Celoteh berterbangan. Wangi mie rebus, menonjok lapar. Bau roti sangat tegas. Barangkali roti akan mereka koyak-koyak, kemudian dibenamkan ke lumpur coklat.
Sama seperti orang-orang yang merasa lapar di pagi menyekap, aku berhenti juga mengayuh sepeda. Mungkin seorang perempuan berbadan sedang akan menerimaku  di kedai dengan lirikan ramah. Dia akan menawarkan secangkir kopi, mie rebus, atau roti berlumpur coklat. Hmm, kuraba perut, kurasakan hati memutuskan masuk ke kedai yang rapih dan bersih itu.
Beberapa orang yang duduk di bangku panjang, seolah tak menyadari kedatanganku. Mereka asyik melihat layar televisi yang menyiarkan acara bola kaki. Sepertinya siaran tunda. Aku mengambil tempat duduk di sela orang-orang. Cukup susah memasukkan sepasang kakiku ke depan bangku panjang. Sejenak ujung sepatuku menyenggol pinggang lelaki berbadan gempal-badak. Dia menoleh, seperti ingin mendengus. Tapi yang tampak hanya senyuman, saat aku mengangguk sebagai tanda meminta maaf.
“Sudah mendengar pembunuhan di Saimori?” Seseorang mengumpankan tanya, sehingga seluruh mata, termasuk aku, menatap orang itu dengan tajam. “Kepalanya terpenggal. Kabarnya hanya masalah uang parkir.”
Lelaki gempal-badak itu memasukkan jari telunjuk kanannya ke sela gigi dan kulit pipi. Dia membersihkan sesuatu yang mengganjal di situ. “Itulah salah orang-orang di Saimori. Terlalu banyak motor. Terlalu banyak mobil. Coba di daerah kita, kebanyakan dilalui sepeda.”
“Tapi sepeda juga perlu tempat dan uang parkir. Cuma tak sesusah memarkirkan motor atau mobil.”
Sesaat hening. Perempuan penjaga kedai mendekat, mungkin ingin menawarkan kopi. Aku sedikit terkesima. Perempuan itu lumayan seksi dan cantik. Kenapa dia bersedia menjadi penjaga kedai? Aku buru-buru meminta segelas kopi dan semangkok mie rebus.
Obrolan orang-orang di sekitarku, kemudian beralih ke masalah korupsi yang merajalela di kota tetangga, di Marsia. Aku menerima segelas kopi, menyusul semangkok mie rebus. Sambil lalu aku melebarkan lobang telinga. Mendengar bincang-bincang korupsi yang menggelitik telinga.
“Masa’ menangkap pelaku korupsi saja tak bisa. Banyak pula alasan, sakitlah, ke luar negerilah. Hahaha, betapa lebih mudah mengejar maling ayam ketimbang koruptor. Persoalan sekarang koruptornya hanya seorang, tapi pertaliannya banyak. Silang-sengkarut. Yang satu menuduh yang sana. Yang sana menuduh yang sini. Yang sini menuduh yang situ. Padahal sama-sama maling. Maling teriak maling.” Seorang lelaki kurus dengan mata selebar uang logam, memberi tanggapan.
“Beruntung di kota ini tak ada koruptor. Semua berjalan dengan aman-damai. Seaman dan damai bersantap di sini.” Lelaki gempal-badak membalas sambil menghirup kopi yang bersisa sedikit di gelasnya.
Hening lagi. Kunikmati mie rebus dengan rasa lebih lezat dari rasa mie rebus yang pernah dicecap lidah ini. Aku seolah berjalan di atas air. Mengapung. Celoteh menjadi lantunan melodi yang menghanyutkan.
“Eh, kalian tahu tak? Di negeri tetangga kita orang-orang berebut kursi yang dibuat seorang kakek tua?” Aku tersadar mendengar tanya itu. Ternyata aku sedang tak berjalan di atas air. Aku tetap di kedai, di hadapan mangkok mie rebus yang sudah licin dan gelas kopi yang berisi ampasnya saja.
Selintas kuingat masa sekolah di bangku esde. Aku dan teman-teman berebut kursi paling belakang dan di dekat jendela. Karena duduk di situ begitu nyaman melihat suasana di luar sana. Ketika guru menyuruh siswa menjawab soal di papan tulis, nasib yang duduk paling belakang di dekat jendela itulah paling beruntung. Sering sekali belum sampai giliran anak yang duduk di belakang dekat jendela itu menjawab soal, tiba-tiba lonceng berbunyi tanda usai pelajaran.
“Berebut kursi? Bagaimana bisa?” Si gempal-badak menanggapi.
“Bisa saja! Orang-orang sampai sogok sana sogok sini demi tercapainya niat menguasai kursi. Baku hantam menjadi hal yang lumrah. Apalagi hanya sekadar caci-maki. Makanya, kalau sudah dapat kursi, bisanya duduk saja. Merintah sana-merintah sini. Ada kesempatan, maling uang rakyat. Ke mana-mana harus bawa kursi. Mungkin masuk kakus juga bawa kursi.”
Mataku terasa semakin terang. Perut tak beriak lagi. Cukup sudah mendengar celoteh mereka yang tak lebih caci-maki. Meskipun sebenarnya apa yang tersebar dari mulut mereka adalah kebenaran.
Aku bersusah-payah keluar dari orang yang mengapitku. Ujung sepatuku kembali menyenggol pinggang si gempal-badak. Tapi dia seperti tak merasakan apa-apa. Berita di televisi tentang negara si anu, si itu, membuatnya banyak komentar. Aku merogoh kantong celanaku, lalu mengeluarkan uang sepuluh ribu.
“Ini uangnya, Bu. Kopi satu, mie rebus satu.” Aku menyerahkan uang itu kepada si ibu. Dia menatapku dengan mata seperti akan lepas dari cangkangnya. “Kenapa, Bu?”
“Ini cuma harga kopi!” ketusnya.
“Cuma harga kopi?” Aku terbelalak.
“Mie rebus dua puluh ribu!”
“Mahal amat!”
Aku merogoh lebih dalam kantong celanaku. Hanya ada uang yang sudah lecek beberapa lembar. Setelah kuhitung, cukuplah dua puluh ribu.
Dia tersenyum setelah uang itu di tangannya. “Tip untuk mendengar perbincangan di sini lima ribu, Pak! Parkir sepedanya sepuluh ribu. Beruntung bapak tak ikut memberi tanggapan, karena bapak harus membayar tip tanggapan juga.” Si ibu semakin menyerocos seperti asap lokomotif.
Aku langsung kabur mengayuh sepedaku. Aku takut orang-orang itu akan mengejarku. Tapi tak, mereka tetap di kedai itu. Mungkin mereka hanya menganggapku sebagai maling kecil yang tak harus dikejar-kejar.
Kuputuskan lurus ke depan. Kemudian membelok seratus delapan puluh derajat. Aku lebih memilih kembali ke negeriku. Di negeri brengsek itu harga-harga masih termasuk murah termasuk harga diri. Biarlah. Jadilah. Lebih baik mati dihantam hujan batu, tapi dikubur di negeri sendiri, ketimbang dihantam hujan emas di negeri orang. Toh semua berakhir sama; sama-sama mati. ***
--sekian---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar