Cerpen
: Zurnila Emhar Ch
L
|
eherku sakit. Cengkraman laki-laki itu sangat kuat. Aku terus berusaha
untuk membuka mataku. Aku tidak ingin lupa akan wajahnya. Agar aku mudah
mengenalinya suatu saat nanti jika kami bertemu lagi. Seandainya aku masih
hidup.
Air mataku menderas ketika satu per satu anggota
keluargaku ditangkap. Anak-anakku merintih memohon belas kasih namun tak mereka
hiraukan.
“Kita
akan kaya dengan menjual mereka. Hahaha...” Teman laki-laki yang mencengkeramku tertawa terbahak-bahak.
Pun laki-laki yang lain.
Suara
itu memerihkan hatiku. Anak-keturunanku, mereka akan menjualnya. Entah pada
siapa. Seketika ketakutan menelikungku. Aku bakal sendirian. Tidak akan pernah
lagi bersenda gurau dalam suasana yang akrab dan hangat.
Aku
teringat cerita yang beredar di kampung sebelah. Tentang sosok yang pernah
bertemu denganku beberapa waktu yang lalu. Sorot matanya penuh keputusasaan. Sepertinya
dia sudah letih menjalani hari-harinya. Mungkin juga sudah lelah menangis.
Dia
bukan penduduk di kampung itu. Hanya pengelana yang tidak tahu harus ke mana.
Menurut ceritanya, sebelum terlunta-lunta, dia pernah hidup mewah. Dia menjadi
peliharaan seorang kolektor. Walau hidupnya tidak bebas namun dia cukup
beruntung. Laki-laki itu merawatnya dengan baik. Semua keperluannya selalu
dipenuhi. Dia ditempatkan di rumah yang bersih dan terawat. Sesekali dia dibawa
jalan-jalan. Dipertemukan dengan sesama jenisnya.
Hingga
suatu saat, sang kolektor menghadiahkannya kepada keponakannya. Hidupnya
berubah drastis. Dia dipenjarakan di kandang yang sama sekali tak terurus.
Makannya tidak lagi teratur. Sang pemilik yang masih muda terlalu sibuk dengan
dunianya sehingga sering melupakannya. Palingan dia mendapat perhatian kalau
kawan-kawan si pemuda datang bertandang.
Lebih
buruknya lagi, pemilik barunya yang hobi mabuk-mabukan juga tidak segan-segan
menyemburnya dengan bir. Atau memukulnya sebagai pelampiasan kekesalan. Di
sana, dia sangat merindukan kebebasan.
Berkali-kali
dia mencoba kabur. Pernah dia merayap di sisi pagar tembok. Berlindung di balik
rimbun bunga-bunga. Melepas dahaga dengan air yang tergenang di atas dedaunan.
Lapar tidak lagi terasa. Penat dan letih diabaikan. Aroma kemerdekaan mulai
dihirupnya. Bayangan rumah, berkumpul dengan keluarga memenuhi rongga
kepalanya. Air mata bahagia mengucur. Namun rasa itu segera menguap. Begitu dia
sampai di pagar besi, pemuda itu menemukannya. Dia dipukul. Dibanting. Dan
kembali dikandangkan.
Setelah
peristiwa itu dia mulai berpindah tangan. Bukan untuk dipelihara. Tapi sebagai
taruhan judi. Dari satu meja dia terlempar ke meja yang lain. Berganti-ganti
tuan. Hingga tidak tahu siapa yang lebih baik di antara mereka. Dia semakin
sering bepergian. Dari balik kaca mobil dia hanya bisa melihat pepohonan dan
bangunan yang tidak pernah sama.
Ketika
peluang untuk kabur itu kembali datang, dia kembali memanfaatkan. Tapi jalan
pulang tidak pernah ditemukannya. Berulang kali dia tersesat. Perjalanannya
seperti tidak punya ujung. Tidak pernah dia menemukan pepohonan dan bangunan
yang sama dengan yang dilaluinya dulu. Dia mulai lelah. Diputuskannya untuk
memulai hidup baru. Di tempat yang baru. Dengan masyarakat yang baru.
Aku
merasakan ngilu yang sangat di hatiku. Aku tidak ingin kejadian itu juga
menimpaku. Apalagi anak-anakku. Tidak! Oh, Tuhan.
Anak
sulungku meronta sewaktu dimasukkan ke dalam karung. Dia coba melilit. Menggigit.
Benar-benar jantan. Namun usahanya tidak berhasil. Pawang itu berhasil
melumpuhkannya.
“Bagaimana
dengan yang ini, Pak?” laki-laki yang mencengkramku bersuara.
“Bawa
saja. Biarpun sudah tua, dia masih bisa beranak.”
Aku
diseret. Dipurukkan ke dalam karung. Laki-laki itu bersiul riang. Begitu
tangannya melepaskan leherku, aku langsung melompat. Menggigit. Dia mengerang.
“Aaa...
Ularnya lepas!”
“Tangkap!”
“Awas!
Jangan sampai dia lari ke lereng.”
Hanya
satu orang yang mengejarku. Yang dua orang lagi sibuk mengarungkan anak-anakku.
Teriakan-teriakan mereka terus berhamburan di belakangku.
Sekuat
tenaga aku lari. Terjun ke lereng terjal di sisi pemukiman kami. Di sana aku
pun terguling-guling. Terhempas. Tersuruk di rerumputan.
Itulah
kali terakhir aku melihat keluargaku.
* * *
Beberapa
hari sejak kejadian itu, kondisiku mulai pulih. Kuputuskan untuk pulang. Aku
mencoba mendaki lereng itu lagi. Berharap
bisa bertemu keluargaku. Setidaknya ada yang tertinggal di antara mereka. Bayangan
anak-anak yang memangilku ibu terus menyemangatiku.
Kuretas
lereng yang licin, terjal, dan tanpa pepohonan. Ketika sampai di rumah hatiku
ngilu. Rumahku berantakan. Tidak ada gelak tawa, adu mulut ataupun hanya
sekadar siul, yang biasa menyemarakkan rumah. Sepi.
Aku
tidak berani berkhayal anak-anakku akan kembali. Saat itu, orang-orang tersebut
datang dengan mobil. Berarti mereka telah membawa keluargaku ke tempat yang
jauh dari sini. Akan dijadikan apakah anak-anakku? Dijual? Barang taruhan juga? Semoga tidak! Semoga
mereka masuk penangkaran. Ya. Penangkaran! Aku pernah mendengar tentang tempat
itu dari cerita orang-orang yang berdiri di pinggir rawa. Itu lebih baik. Dengan
membayangkan itu aku juga bisa mati dengan tenang. Walau sendirian.
Berhari-hari
aku berkelana. Di tiap pemukiman yang kutemui kutanyakan tentang keluargaku. Berharap
di anatara mereka ada yang tersisa. Namun aku tidak menemukan apapun.
* * *
Sore
ini udara berkisar dengan lembut. Berada di bawah pohon sambil menikmati
birunya langit sungguh menenteramkan.
Hilanglah segala penat yang menghimpit tubuh sedari pagi. Sembari dibuai angin
aku mencoba untuk tidur. Seperti biasa; aku berharap bisa melihat anak-anakku
dalam mimpi.
Baru
sebentar kunikmati istirahatku, perasaanku mulai tidak enak. Seperti tengah
terjadi sesuatu. Aku bisa merasakan kegaduhan dan kepanikan dari suara-suara
yang menjerit, teriakan marah, juga tawa penuh angkara. Seketika ingatanku
dipenuhi kejadian yang pernah menimpaku dulu. Ada dorongan yang begitu kuat
untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Aku
beringsut. Mencari-cari asal kegaduhan. Rawa ini cukup luas untuk dijelajahi. Di
sepanjang jalan, aku melihat jejak kaki yang tertanam dalam ke lumpur. Aku juga
menemukan jejak tubuh yang diseret. Air yang biasanya jernir juga kotor. Perasaanku
jadi campur aduk. Takut, keingintahuan, kebencian, melebur jadi satu.
Dilindungi
keladi yang tumbuh rimbun, aku menyaksikan semuanya dengan leluasa. Mereka yang
datang waktu itu, kembali mengacaukan rawa ini. Aku ingat persis dengan wajah
salah satunya.
“Ternyata
rawa ini memang ladang uang buat kita! Haha...”
“Tepat
sekali kita berburu di sini.”
“Ya,
rupanya di sini adalah surga mereka, tempat mereka berkembang biak...”
“Juga
surga kita! Haha...”
“Bawa
karungnya ke sini! Aku dapat anaknya!”
Darahku
mendidih. Kepalaku terasa panas. Dendamku membara. Pelan-pelan aku mendekat.
“Dapat!”
serunya.
“Wah...
berat juga... Karung-karung...!” seorang yang lebih muda berteriak.
Jarak
kami kian dekat. Laki-laki yang pernah mencengkramku sedang sibuk melepaskan
diri dari lilitan mangsanya.
“Awas,
Pak! Ada ular di dekatmu...”
Dia
menoleh.
“Aargh...”
Sebelum
meluncur pergi aku tegak di depannya. Berharap dia masih mengingatku. Sepasang matanya
mendelik. Aku menyeringai. (Zech) ***
Perawang, 27 Desember 2012
ZURNILA EMHAR CH, lahir di Bukittinggi,
18 Desember 1986. Menulis cerpen, sajak, esai dan
resensi.
Tulisannya pernah dimuat di Padang
Ekspres, Singgalang, Haluan, Riau Pos, Haluan
Riau, Metro Riau, Majalah Sastra Sagang, Majalah Story, Ilmuiman.net dll.