Sabtu, 31 Agustus 2013

PARA PEMBURU

Cerpen : Zurnila Emhar Ch


L
eherku sakit. Cengkraman laki-laki itu sangat kuat. Aku terus berusaha untuk membuka mataku. Aku tidak ingin lupa akan wajahnya. Agar aku mudah mengenalinya suatu saat nanti jika kami bertemu lagi. Seandainya aku masih hidup.

Air mataku menderas ketika satu per satu anggota keluargaku ditangkap. Anak-anakku merintih memohon belas kasih namun tak mereka hiraukan.

“Kita akan kaya dengan menjual mereka. Hahaha...” Teman laki-laki yang mencengkeramku tertawa terbahak-bahak. Pun laki-laki yang lain.

Suara itu memerihkan hatiku. Anak-keturunanku, mereka akan menjualnya. Entah pada siapa. Seketika ketakutan menelikungku. Aku bakal sendirian. Tidak akan pernah lagi bersenda gurau dalam suasana yang akrab dan hangat.

Aku teringat cerita yang beredar di kampung sebelah. Tentang sosok yang pernah bertemu denganku beberapa waktu yang lalu. Sorot matanya penuh keputusasaan. Sepertinya dia sudah letih menjalani hari-harinya. Mungkin juga sudah lelah menangis.

Dia bukan penduduk di kampung itu. Hanya pengelana yang tidak tahu harus ke mana. Menurut ceritanya, sebelum terlunta-lunta, dia pernah hidup mewah. Dia menjadi peliharaan seorang kolektor. Walau hidupnya tidak bebas namun dia cukup beruntung. Laki-laki itu merawatnya dengan baik. Semua keperluannya selalu dipenuhi. Dia ditempatkan di rumah yang bersih dan terawat. Sesekali dia dibawa jalan-jalan. Dipertemukan dengan sesama jenisnya.

Hingga suatu saat, sang kolektor menghadiahkannya kepada keponakannya. Hidupnya berubah drastis. Dia dipenjarakan di kandang yang sama sekali tak terurus. Makannya tidak lagi teratur. Sang pemilik yang masih muda terlalu sibuk dengan dunianya sehingga sering melupakannya. Palingan dia mendapat perhatian kalau kawan-kawan si pemuda datang bertandang.

Lebih buruknya lagi, pemilik barunya yang hobi mabuk-mabukan juga tidak segan-segan menyemburnya dengan bir. Atau memukulnya sebagai pelampiasan kekesalan. Di sana, dia sangat merindukan kebebasan.

Berkali-kali dia mencoba kabur. Pernah dia merayap di sisi pagar tembok. Berlindung di balik rimbun bunga-bunga. Melepas dahaga dengan air yang tergenang di atas dedaunan. Lapar tidak lagi terasa. Penat dan letih diabaikan. Aroma kemerdekaan mulai dihirupnya. Bayangan rumah, berkumpul dengan keluarga memenuhi rongga kepalanya. Air mata bahagia mengucur. Namun rasa itu segera menguap. Begitu dia sampai di pagar besi, pemuda itu menemukannya. Dia dipukul. Dibanting. Dan kembali dikandangkan.

Setelah peristiwa itu dia mulai berpindah tangan. Bukan untuk dipelihara. Tapi sebagai taruhan judi. Dari satu meja dia terlempar ke meja yang lain. Berganti-ganti tuan. Hingga tidak tahu siapa yang lebih baik di antara mereka. Dia semakin sering bepergian. Dari balik kaca mobil dia hanya bisa melihat pepohonan dan bangunan yang tidak pernah sama.

Ketika peluang untuk kabur itu kembali datang, dia kembali memanfaatkan. Tapi jalan pulang tidak pernah ditemukannya. Berulang kali dia tersesat. Perjalanannya seperti tidak punya ujung. Tidak pernah dia menemukan pepohonan dan bangunan yang sama dengan yang dilaluinya dulu. Dia mulai lelah. Diputuskannya untuk memulai hidup baru. Di tempat yang baru. Dengan masyarakat yang baru.

Aku merasakan ngilu yang sangat di hatiku. Aku tidak ingin kejadian itu juga menimpaku. Apalagi anak-anakku. Tidak! Oh, Tuhan.

Anak sulungku meronta sewaktu dimasukkan ke dalam karung. Dia coba melilit. Menggigit. Benar-benar jantan. Namun usahanya tidak berhasil. Pawang itu berhasil melumpuhkannya.

“Bagaimana dengan yang ini, Pak?” laki-laki yang mencengkramku bersuara.

“Bawa saja. Biarpun sudah tua, dia masih bisa beranak.”

Aku diseret. Dipurukkan ke dalam karung. Laki-laki itu bersiul riang. Begitu tangannya melepaskan leherku, aku langsung melompat. Menggigit. Dia mengerang.

“Aaa... Ularnya lepas!”

“Tangkap!”

“Awas! Jangan sampai dia lari ke lereng.”

Hanya satu orang yang mengejarku. Yang dua orang lagi sibuk mengarungkan anak-anakku. Teriakan-teriakan mereka terus berhamburan di belakangku.

Sekuat tenaga aku lari. Terjun ke lereng terjal di sisi pemukiman kami. Di sana aku pun terguling-guling. Terhempas. Tersuruk di rerumputan.

Itulah kali terakhir aku melihat keluargaku.
* * *
Beberapa hari sejak kejadian itu, kondisiku mulai pulih. Kuputuskan untuk pulang. Aku mencoba mendaki lereng itu lagi.  Berharap bisa bertemu keluargaku. Setidaknya ada yang tertinggal di antara mereka. Bayangan anak-anak yang memangilku ibu terus menyemangatiku.

Kuretas lereng yang licin, terjal, dan tanpa pepohonan. Ketika sampai di rumah hatiku ngilu. Rumahku berantakan. Tidak ada gelak tawa, adu mulut ataupun hanya sekadar siul, yang biasa menyemarakkan rumah. Sepi.

Aku tidak berani berkhayal anak-anakku akan kembali. Saat itu, orang-orang tersebut datang dengan mobil. Berarti mereka telah membawa keluargaku ke tempat yang jauh dari sini. Akan dijadikan apakah anak-anakku? Dijual?  Barang taruhan juga? Semoga tidak! Semoga mereka masuk penangkaran. Ya. Penangkaran! Aku pernah mendengar tentang tempat itu dari cerita orang-orang yang berdiri di pinggir rawa. Itu lebih baik. Dengan membayangkan itu aku juga bisa mati dengan tenang. Walau sendirian.

Berhari-hari aku berkelana. Di tiap pemukiman yang kutemui kutanyakan tentang keluargaku. Berharap di anatara mereka ada yang tersisa. Namun aku tidak menemukan apapun.
* * *

Sore ini udara berkisar dengan lembut. Berada di bawah pohon sambil menikmati birunya langit sungguh menenteramkan. Hilanglah segala penat yang menghimpit tubuh sedari pagi. Sembari dibuai angin aku mencoba untuk tidur. Seperti biasa; aku berharap bisa melihat anak-anakku dalam mimpi.

Baru sebentar kunikmati istirahatku, perasaanku mulai tidak enak. Seperti tengah terjadi sesuatu. Aku bisa merasakan kegaduhan dan kepanikan dari suara-suara yang menjerit, teriakan marah, juga tawa penuh angkara. Seketika ingatanku dipenuhi kejadian yang pernah menimpaku dulu. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Aku beringsut. Mencari-cari asal kegaduhan. Rawa ini cukup luas untuk dijelajahi. Di sepanjang jalan, aku melihat jejak kaki yang tertanam dalam ke lumpur. Aku juga menemukan jejak tubuh yang diseret. Air yang biasanya jernir juga kotor. Perasaanku jadi campur aduk. Takut, keingintahuan, kebencian, melebur jadi satu.

Dilindungi keladi yang tumbuh rimbun, aku menyaksikan semuanya dengan leluasa. Mereka yang datang waktu itu, kembali mengacaukan rawa ini. Aku ingat persis dengan wajah salah satunya.

“Ternyata rawa ini memang ladang uang buat kita! Haha...”

“Tepat sekali kita berburu di sini.”

“Ya, rupanya di sini adalah surga mereka, tempat mereka berkembang biak...”

“Juga surga kita! Haha...”

“Bawa karungnya ke sini! Aku dapat anaknya!”

Darahku mendidih. Kepalaku terasa panas. Dendamku membara. Pelan-pelan aku mendekat.

“Dapat!” serunya.

“Wah... berat juga... Karung-karung...!” seorang yang lebih muda berteriak.

Jarak kami kian dekat. Laki-laki yang pernah mencengkramku sedang sibuk melepaskan diri dari lilitan mangsanya.

“Awas, Pak! Ada ular di dekatmu...”

Dia menoleh.

“Aargh...”

Sebelum meluncur pergi aku tegak di depannya. Berharap dia masih mengingatku. Sepasang matanya mendelik. Aku menyeringai. (Zech) ***


Perawang, 27 Desember 2012



ZURNILA EMHAR CH, lahir di Bukittinggi, 18 Desember 1986. Menulis cerpen, sajak, esai dan resensi. Tulisannya pernah dimuat di Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, Riau Pos, Haluan Riau, Metro Riau,  Majalah Sastra Sagang, Majalah Story, Ilmuiman.net dll.


GELANGGANG SAJAK : Hesti Sartika

Aku Pada Risalah Pikir

Tiada yang peduli ketika halilintar
merajai bumi tanpa sadar diri
menghantarkanku pada mimpi yang sulit terperih
tiada kujumpai hasrat yang beda
musnahkan segala keji dan lara
memikul tubuh yang tak layak
serupa seruan-seruan angin
dalam jalan pikirku
yang berhembus pergi
dan ketika kelahiran itu kembali
aku tetap tak ingat pernah hidup disini.


Kado Cinta

Sekotak bingkisan serupa hiasan
kukemasi isi dan pita hati
bukanlah barang mahal yang menetap
menyesakkan kado cinta yang tersembunyikan
meruas garis liris dari sudut  pemanis
Ini untuk kekasihku
masih jauh dari paru-paru
ia menyebut dirinya kelana sastra jiwa
dalam hatiku yang sendu
selalu rindu suaranya yang syahdu.



Cicilan Hutang

Lihatlah, walau aku menggantinya
dengan sisa-sisa nyawa
namun tak juga dapat melunasinya
dalam kelam aku terduka lara
sedikit tanpa bukit tak terbayar
aku serupa kaum papa
berhutang raga dan jiwa
maaf  Tuhan yang Maha
ceritaku perihal sujud yang belum habis terganti
sering lupa bahwa Engkaulah segala
memberi nuansa bahagia
 meski hutang cinta takkan sanggup aku rupiahkan.


Pada Malam Yang Berkedip

Riuh gemuruh menjadi tabu
merayuku di bilik peradu
tiada gejolak yang mengaitkannya
aku dalam kelirihan yang tiada
menerka malam yang tiap sudutnya tertawa
lalu mengerlingkan mata tanpa senyum
di senyapnya malam yang kulirik
maka dalam gerik keadaan
kutak dapat menerjemahkan bahasanya.

Fokus UMSU, 2012


Dalam Samar-samar Bayangmu

Ungkapan rasa yang hitam
tak terjamah tatkala sendu senyap pikun
akan mengusikku mencipta segala heningnya
lirik melirik dalam rabun
samar-samar kubayangkan adamu
mengikis dalam rintik-rintik hujan sore tadi
masih ingatkah dalam seruan dunia
perihal cerita kita pada lembah-lembah kesendirian.

Fokus UMSU, 2012


Mata yang Kosong

Jangan menatapku bungkam kawan
selaksa mengernyitkan dahi
dalam sesunyian yang lekas pergi
lihat aku dalam tajam kepedihan
kemilau pada sepasang cantik bola mata
manatapku kosong tetapi
tak berarti apa-apa
meski aku menemukan sebilah luas
petak-petak dalam bulat mata hitammu.

Fokus UMSU, 2012


Jangan Tampar Dadanya

Pernah hidup aku dalam lorong-lorong dadanya
sulit melupakan renta-rentanya
seakan mati setelah aku
mengujudkan sejuta tangis lalu larinya
pada bunyi-bunyi keras
yang memberi sakit keras-keras di telinga
tolong aku
jangan tampar dadanya
disitu ada duniaku
yang tak kudapat pada alur-alur mimpiku

Fokus UMSU, 2012



Hesti Sartika, lahir di Medan 13 Januari 1994. Sedang menjalani pendidikan di jurusan Bahasa dan  Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

Opera Batak




P
usat Latihan Opera Batak (PLOt) pada 30-31 Agustus 2013 menggelar pementasan Opera Batak di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan 3 Medan. Kali ini mengusung cerita “Perempuan di Pinggir Danau”. Lakon legenda Danau Toba ini sangat tepat mengangkat isu perempuan, air, dan lingkungan.
Direktur Artistik PLOt sekaligus co-sutradara “Perempuan di Pinggir Danau”, Thompson HS, dalam temu pers di TBSU, Kamis petang (29/08/2013) mengatakan, opera yang dibawakan dengan campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Batak Toba ini akan dimainkan di Siantar, Balige, Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Koeln (Jerman).
Pentas keliling tahun 2013 ini rencananya akan diadakan ke tiga tempat di Sumut (Medan, Siantar, Balige), Jawa (Bandung, Solo, Yogyakarta, Jakarta) dan ke Koeln, Jerman dengan membawa cerita terbaru yang ditulis dalam bentuk naskah oleh sutradara Lena Simanjuntak.
Konon, naskah “Perempuan di Pinggir Danau” yang ditulis dan disutradarai Lena Simanjuntak ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Mikhael Bodden, seorang teaterawan dari Universitas Kanada, ke dalam Bahasa Jerman oleh Sabine Mueller, dan Bahasa Batak Toba oleh Thompson Hs (Direktur PLOt) serta dengan transliterasi aksara varian Toba oleh Thompson Hs dan Manguji Nababan (Batakolog).
Dalam waktu dekat, bentuk naskah dalam empat bahasa dan aksara Toba itu akan diterbitkan dari Yogyakarta dan disebarkan ke kantong-kantong kebudayaan dan lembaga formal di seluruh dunia.
Naskah “Perempuan di Pinggir Danau” menghantarkan kisah Danau Toba melalui legendanya dan proses geologi yang mendebarkan dunia puluhan ribu tahun lalu. Lakon ini akan dimainkan tujuh pemain dari Indonesia dan Jerman dalam acara “Batak Day” di Rautenstrauch-Joest-Museum Koel, Jerman 2 November 2013.
Hm, opera Batak! Menurut catatan penulis, jenis kesenian teater rakyat ini sempat merajai dunia hiburan di Sumatera Utara. Hingga dekade 1980-an, opera Batak merupakan tontonan menarik meski diadakan di lapangan terbuka dengan  resiko misbar(gerimis bubar).  Pada  masa jayanya, group opera jumlahnya mencapai 30-an. Di antaranya  Serindo, Serada, Rompemas, Seribudi, Roos, Ropeda, Serbungas, Roserda, Sermindo dan lain-lain.
Sebagaimana yang ada di Eropa, opera ini menyajikan cerita sandiwara yang diselingi lagu-lagu, tari-tarian, dan lawak. Musik pengiringnya uning-uningan atau seperangkat alat musik tradisional Batak yang terdiri atas serunai, kecapi, seruling, garantung, odap, dan hesek.
Biasanya, panggungnya sederhana namun cukup unik. Bentuknya menyerupai rumah adat Batak dan diberi hiasan gorga (ukiran khas Batak) serta nama operanya. Panggung sengaja diberi lukisan atau properti sebagaimana tuntutan cerita. Sebuah tirai penutup menjadi alat penghubung pergantian adegan atau bila acara berganti ke selingan lagu, tari atau lawak.
Makanya, Opera Batak masa lalu sama durasinya dengan film India. Apalagi kalau sang primadona mampu menghipnotis penonton hingga saweran banyak mengalir, tak jarang sebuah lagu dilama-lamakan. Penonton puas meski pertunjukan usai dini hari. Tak peduli pulang menembus kegelapan malam. Maklum saja, tidak seperti sekarang ini alat penerangan listrik pada masa itu belum menjangkau pelosok pedesaan di Sumatera Utara.
Suasana panggung opera tempoe doeloe hanya diterangi lampu petromak yang lazim disebut lampu gas, yang terkadang mesti diturunkan untuk menambah angin atau karena kehabisan minyak. Mirip ludruk atau wayang wong di Jawa, opera Batak biasanya berkeliling dari desa ke desa. Sasarannya tentu desa yang baru selesai panen dengan tujuan agar peluang menyedot penonton lebih terbuka.
Lama pementasan di sebuah desa tergantung dari kondisi namun biasanya tidak sampai sebulan. Mengingat dunia hiburan zaman dahulu terbilang langka, tidak heran bila kehadiran opera selalu ditunggu-tunggu masyarakat.
Karena berlokasi di alam terbuka, bukan suatu kejanggalan bila penontonnya duduk margobar atau mengenakan sarung atau selimut untuk melawan dinginnya angin malam. Yang unik, bila tidak ada uang, tiket bisa digantikan beras atau hasil sawah ladang asal sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Kini, Opera Batak telah masuk kota. Itu, berkat kegigihan Thompson yang sejak 2002 melakukan revitalisasi di kawasan Pematangsiantar, tempat bermukim PLOt. Opera Batak sudah dilakukan penggaliannya beberapa kali. Grup Opera Silindung (GOS) sebagai cikal-bakal PLOt sudah melakukan di Tarutung, Sipoholon, Medan, Jakarta, Laguboti, Siantar, Bandung, menyusul Balige, Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Koeln (Jerman).
Selamat. Horas! ***

      


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Sahabat dalam Manajemen Baca Puisi

Oleh: Ria Ristiana Dewi


M
embaca puisi juga perlu manajemen yang baik. Jika baca puisi ibarat memainkan parodi, maka pembacaan puisi  dianggap gagal memenuhi teknik penampilan. Akhirnya, tawa penonton-lah yang akan bergema di ruangan. Terlebih, sulit ditemukan puisi dengan tambahan anekdot, sehingga seyogiyanya puisi memiliki tingkat penafsiran dari sedih, senang, haru, sendu, kritis, dan perjuangan. Untuk memenuhi penafsiran tersebut, membaca puisi dirasa perlu menampilkan kinesika yang baik. Selain itu ada banyak penilaian, mulai dari volume, artikulasi, warna suara, efektivitas, dan estetika.
Volume adalah tinggi rendahnya suara pada saat membacakan puisi. Terkadang, kita perlu memberikan batas mana yang harus ber-volume tinggi dan mana yang harus ber-volume rendah. Jika ada kata-kata yang perlu penekanan untuk memberikan penyampaian makna penting dan inti pada puisi, tentu saja volume sedang hingga tinggi perlu diterapkan. Biasanya volume seperti ini dilakukan pada pembacaan puisi-puisi perjuangan dan keagamaan. Sementara itu, puisi-puisi seperti puisi cinta justru cenderung memaknainya dengan nada rendah dan mendalam, seperti berbisik, namun tetap terdengar oleh penonton.
Kedua, artikulasi adalah pengucapan kata demi kata pada pembacaan puisi dengan jelas. Seperti yang kita ketahui, puisi merupakan karya sastra yang memakai pilihan kata-kata kias atau bergaya bahasa. Namun, dalam implementasi pengucapannya kata demi kata perlu eksperimentasi. Misalnya saja, kata rembulan perlu dilakukan pengucapan “rem-bu-lan” sehingga jelas terdengar dan tidak hanya seperti penyampaian tanpa makna. Dalam pengucapan kata-kata tertentu dimungkinkan dengan penekanan jelas agar penonton merasakan usaha kita dalam penyampaian makna isi puisi.
Ketiga, warna suara, tentu saja persoalan intonasi dan artikulasi adalah cakupan untuk menemukan warna suara. Ketika membaca puisi dengan penekanan-penekanan seperti pada tahap artikulasi, secara jelas warna suara juga akan tergambar dalam pendengaran penonton. Tinggi-rendah, kasar-lembut, jelas-samar akan tampak menjadi warna pada suara sang pembaca puisi.
Keempat, efektivitas adalah masalah kesesuaian atau ketepatan. Masalah ini sesungguhnya berpedoman pada masalah pembacaan dengan isi puisi seperti pada masalah volume tadi. Apabila kemudian pemberian ketentuan penekanan kata mana yang harus ditinggirendahkan mampu diimplementasikan, maka akan tercermin pula efektivitas. Dan terakhir adalah estetika. Estetika adalah keindahan. Pada puisi, terdapat rima (persamaan bunyi) yang turut mendukung dalam pemberian estetika. Tentu saja apabila kemudian keempat penilaian terpenuhi, estetika pada puisi menjadi pembacaan puisi yang paling dirindukan.

Mahasiswa, Sahabatnya, Puisi
            Penulis merasa perlu menyajikan teknik ini, mengingat masih hangat dalam benak penulis tentang bagaimana penampilan mahasiswa-mahasiswi LP3I untuk membaca puisi dalam acara Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) LP3I, Sabtu, 25-30 Maret 2013 lalu. Menarik! Mengingat mahasiswa-mahasiswi LP3I berasal dari jurusan-jurusan seperti: Akuntansi dan Manajemen.
Namun, kali ini antusias mereka untuk mengikuti perlombaan membaca puisi pantas diangkat jempol. Yang terpenting adalah semangat untuk bersaing. Dalam hari pertama perlombaan, mahasiswa diperlombakan terlebih dahulu untuk menyaring 3 besar yang nantinya—juara pertama, kedua, dan ketiga akan diperebutkan pada acara puncak. Pada babak penyaringan tiga besar itulah, mereka lebih banyak menemukan pemahaman yang salah tentang baca puisi. Meskipun mereka berusaha dengan penghayatan, namun jika pemahaman salah tentu akan sia-sia.
            Lomba baca puisi, bukan lomba musikalisasi puisi, atau visualisasi puisi. Kebanyakan peserta menganggap bahwa baca puisi lebih cocok jika dibawakan dengan gitar, atau gerakan-gerakan mendekati drama. Sebenarnya untuk ajang Porseni yang menggelar perlombaan baca puisi, hal ini akan menjadi salah acuan.
Apabila panitia menggelar lomba musikalisasi puisi, maka yang dibawa adalah gitar, seruling, atau alat musik pendukung lainnya—yang mana puisi dijadikan lirik lagu pula. Dan, jika yang diperlombakan visualisasi puisi, maka perserta boleh membuat gerakan-gerakan seperti drama untuk memberikan gambaran jelas pada puisi yang akan disampaikannya.
Namun, kali ini panitia Porseni LP3I menyajikan lomba baca puisi. Maka, peserta yang awam masalah baca puisi justru salah penafsiran dengan membawa alat musik atau membuat gerakan seperti drama dalam pembacaan puisinya.
Dalam membaca puisi, seharusnya peserta hanya perlu membaca (bukan menghafal) puisi dan menonjolkan keunggulan intonasi, penghayatan, mimik, pelafalan, jeda, gerakan tubuh (seperlunya), dan penampilan. Apabila kombinasi di antara penilaian ini baik, maka hasil yang dicapai untuk menyampaikan makna puisi pada penonton juga baik.
            Inti utama dan pertama yang menjadi acuan adalah penghayatan. Penghayatan adalah soal rasa. Apabila penghayatan berhasil, maka pembaca puisi dianggap berhasil untuk merasakan isi puisi. Hal itu akan terlihat pada suara yang dihasilkan. Penghayatan dalam membaca puisi setidaknya tercermin dalam 4 hal yaitu: pemenggalan, intonasi, ekspresi, dan kelancaran (Doyin, 2008: 74).
Pemenggalan dalam hal ini, adalah pembacaan puisi dengan tanpa terburu-buru untuk menyelesaikan pembacaan puisi. Apabila kemudian pemenggalan yang dilakukan baik, maka pengaturan napas pada pembaca juga akan baik. Begitu pula dengan ekspresi dan kelancaran pembacaan yang dihasilkan.
            Salah seorang peserta wanita pada lomba pembacaan puisi tersebut, membacakan puisi ciptaannya sendiri berjudul “Warna itu kita”. Dengan pemilihan tema persahabatan, tentu saja judul ini akan mendukung penghayatan si pembaca puisi.
Namun, sayang sekali pada penentuan akhir penjurian yang penulis lakukan saat itu, sang pembaca puisi ini terkesan datar dan kurang memberikan energi vokal pada “justru” warna suaranya sendiri. Sehingga pembaca puisi tidak memberikan kesan merah, kuning, biru, abu-abu (apapun) pada penonton selain ya, mendengarkan berbicara di depan penonton.
Membaca puisi perlu pula mimik, namun pembaca puisi “Abadi Kita”, salah seorang peserta lainnya dalam ajang ini, memberikan kesan persahabatan sebagai politik yang sadis. Bukankah ini sungguh berlawanan? Nah! Memang, pembacaan puisi juga harus disesuaikan dengan tema dan puisi itu sendiri, khususnya. Jadilah jiwa pada puisi itu, lakukanlah pada cara kita membacakannya.
            Menarik! Peserta terakhir yang maju ke babak akhir ini, kemudian membacakan puisi berjudul “Kalian Sahabatku”. Sejenak, judul puisi itu terkesan biasa. Namun, pada isinya “kalian” dalam hal ini menunjukkan siapapun, musuh atau teman adalah sahabat. Inilah yang menarik dari isi puisi peserta terakhir.
            Pada babak awal, peserta terakhir ini melakukan kesalahan dengan membawakan puisi dengan isi luas seperti itu dengan teknik mimik dan intonasi yang tidak konsisten. Namun, setelah melalui proses penjurian dan pengarahan ulang saat penjurian babak awal.
Dengan  kejutan, peserta terakhir yang mengawalinya dengan tarik napas pelan dan dalam kemudian mampu membuat penonton bertepuk tangan puas. Ia membacakannya tentu dengan persabatan. Ya, sesuai dengan tema baca puisi kali ini: Sahabat. ***

Serambi Kompak, April 2013

Penulis adalah guru SMP Al-Azhar Medan dan
Dewan Ahli Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak).




Jumat, 30 Agustus 2013

GELANGGANG SAJAK : Leily Nirwani, Halim Mansyur Siregar (Sabtu, 24 Agustus 2013)


Leily Nirwani :
Elegi Rindu Wanita Tua

Ini kali kedua belas tahun penantian terangkum
berwaktu-waktu lisan memunajat rindu dan hampir terlipat di bangku rapuh
lalu di bangku reo t itu beribu tanya menapak resah :
; apakah usia yang layu ini bersedia menunggu, untuk kita mengukir temu

Sepi-rindu dibuai waktu
semakin menyempurna pula kala lembayung syawal menjelma
sebentar lagi langit akan menyalakan kembang rembulan
dan gemintang terpaksa membasuh kilaunya untuk sementara
kali ini, wanita tua berkutat diam hanya memikirkan mata, tawa, liukan langkah serta tarian kecil anaknya yang sungguh membuat rindu semakin meraja
masih sama seperti dulu, di malam syawal gerimis kuyup di kerudung kumal 
terlebih lagi, tetangga sebelah bersuka ria anak berkumpul di hari raya
wanita tua ingin laungkan rasa kecewa :
; anak yang jauh, cucu yang dicita tak kunjung tiba dan tiada berkirim kabar.

Entah sampai kapan perahu rindu kan dikayuh
sementara laut semakin membuih pilu
dan angin haluan mengundang gaduh
di tikungan cemas, ada sederet ragu yang melintas
meragu tentang jasad yang akan berpulang atau pertemuan yang hanya bayang
             


Berhijab bukan Semusim

Setelah maghfirah menerbitkan fitrah. Semestinya kita senantiasa mengukuhkan ibadah ; ibadah sholat-puasa-sedekah ibadah apa saja demi menjalankan syariat agar tak lupa untuk mendekat dan sememangnya kita harus semakin taat. Setelah kepergian ramadhan, lailatul qadar tak lagi mensejahterakan hingga fajar. Rangkaian tarawih dan witir pun berakhir, kini berganti dengan takbir.
Setelah maghfirah menerbitkan fitrah. Semestinya kerudung tetap melilit mahkota agar aurat  terjaga selamanya. Bukan pula bermukim hanya semusim di bulan puasa. Namun, berhijab pekara wajib bagi muslimah yang mesti dikenakan dengan istiqomah. Terlebih lagi, bukan untuk mengharap puji tetapi semata karena ilahi.  


 Berhari Raya Tanpa Mak dan Ayah

Tempat tak bertiang itu baru saja berganti wajah setelah puas memandikan semesta. Rerintik kali ini memang lebih gemericik dibanding kemarin, tak ada jejak yang menapak di halaman muka bersebab tempias tersesat dan memercik ke teluk wajah. Andai bisa kulipat jarak menjadi dekat dan kukayuh langkah menuju rumah. Saat ini kita kan bersama hingga hasil peluh yang luruh dapat kubagi meski air mata yang mewakili.  

Mak,Yah ! Di sini aku baik-baik saja, apakah kalian di sana begitu juga ?
Jangan semakin merindukanku ketika ketupat telah matang di tungku, dan jangan pula menimbah asa tentang kepulanganku di hari raya. Hanya sepaket maaf yang dapat kukirim dari seberang bersebab temu takkan mengambang.

Mak,Yah !. Tempias ini terlalu sulit nak kukuras dan kutahu kalian pun begitu, hingga tangis tergenang di bilik-bilik remang. Aku tetap tak bisa pulang di hari nan fitri meskipun hanya sehari. Uang ringgit yang digenggam masih kurang, belum bisa mengganti menu cercaan (merica-empedu) yang terlalu lama di api-periuk kita. Meski berhari raya tanpa mak dan ayah, meski sulit nak kupunggah laut nasib. Aku kan berkarib dengan ketegaran sekalipun bermatian memagut peruntungan di rantau orang.


Maaf Sebenar Memaafkan
           
Adalah memaafkan penenang jiwa
menenang dendam dan amarah 
qolbu pun tersenyum
martabat terangkat menjadi harum

Jangan lagi menyulam dendam yang tak berkesudahan
ataupun merasa segan untuk mengulur salam 
hati adalah tempat yang harus dicuci
bukan dengan berbagai pewangi
tetapi dengan bermaafan di hari nan fitri

Sepuluh jari takkan mengikat silaturrahmi
jika hanya gerak di bibir,
tanpa rentak di hati dan senafas di qalbu
antara ikhlas dan tulus bertemu
bermaafan menjadi satu
maaf sebenar memaafkan


                Leily Nirwani adalah gadis Melayu yang lahir di Desa Guntung Batubara, 28 Maret 1989. Produktif menulis puisi sejak memasuki mata kuliah telaah puisi dan bergabung di WSC (Win’s Sharing Club). Beberapa kali juara lomba cipta puisi. Di antaranya, Juara III lomba cipta puisi dalam acara Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah Sport and Art Competition (IMMSAC) FKIP UMSU 2012. Juara I lomba cipta puisi dalam rangka hari puisi nasional yang diselenggarakan oleh HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sejumlah puisi pernah dimuat di Medan Bisnis dan Harian Analisa serta antologi seperti Ini Tentangmu Perempuanku, Kanvas Sastra, Goresan Pena Anak Medan, serta Rinai-rinai Imaji. 


Halim Mansyur  Siregar :
Masih Saja Ditemani Gulita

Di dadaku ada sebentuk tanda tanya
mengapa setelah sang malam tiba
hari demi hari langit di atas sana
kedatangannya selalu saja ditemani gulita
bahkan ketika berjanji hendak mengajak sang purnama
sosok gerhanapun muncul menghalanginya


Tak Ingin Aku Serupa Mereka

Di antara kepingan malam yang bertebaran
di mana resah telah menjadi rumah
ada yang berbisik di telinga waktu
usah terlalu berharap dapat menyulap gelap menjadi gemerlap
sebab, adalah keanehan yang tak lagi dianggap asing di negeri ini
jiwa-jiwa kerdil memaksakan diri menampung kekuasaan yang demikian besar
larut dalam imajinasi bahwa namanya-lah yang mensucikan seantero bumi
dan memang aku tak ingin serupa mereka
entahlah, mungkin jabatan dan harta benda memang bukan jodohku




Peristiwa Hari ke-7 Bulan Syawal (Sabtu, 24 Agustus 2013)

Cerpen : Dadang Ari Murtono


P
ada hari ketujuh setelah sholat Ied digelar, di salah satu sudut kampung itu akan selalu terdengar suara ringikan yang memilukan. Ringikan yang seakan bermuasal dari kesakitan yang sukar dibayangkan. Dan kaum ibu akan segera memanggili anaknya yang tengah bermain agar masuk ke rumah sebelum pada akhirnya mereka juga menutup pintu dan dengan was-was berharap agar tak ada sesuatu yang buruk yang akan menimpa kampung. Sedang kaum bapak dan lelaki muda yang masih kuat akan berdiri di sepanjang jalan, bersiaga sambil mengayun-ayunkan senjata tajam atau pentungan.
“Lelaki yang hendak menuntut balas itu kembali,” begitu orang-orang berkata pada waktu seperti itu.
“Dendamnya mengakar begitu kuat,” tambah yang lain.
“Sangat kuat. Hingga rasa-rasanya, tak ada lagi hal lain yang lebih kuat dari dendam lelaki itu,” yang lain menimpali.
“Seandainya dia mau meminta maaf, tentu hal ini tidak akan terjadi. Tentu lelaki itu tidak akan mengganggu kita pada saat di mana seharusnya kita merayakan riyayan kupat.”
Ya. Baiklah. Sesungguhnya ini memang cerita tentang dia. Atau lebih tepatnya, semua bermuasal dari dia. Lelaki yang pernah hidup di kampung ini bertahun-tahun yang lampau. Lelaki yang jenuh dikungkung kemiskinan. Dan pekerjaannya sebagai buruh tani rasanya teramat sulit untuk bisa mengusir kemiskinan yang seakan tak bosan-bosan membelitnya. Dan harapan untuk bisa mengubah nasibnya muncul ketika istrinya melahirkan seorang anak perempuan yang cantik.
Anak itu, demikian orang-orang pernah bercerita, adalah seorang anak yang cantik. Wajahnya bersinar ketika dilahirkan. Suara tangisnya begitu merdu seperti suara penyanyi yang paling merdu. Tatapan matanya bening sebening embun. Dan suaranya begitu menenangkan. Tidak ada satu pun orang yang melihat anak perempuan itu yang tidak berdecak kagum.
Dan kalimat pujian semacam inilah yang paling sering keluar dari mulut orang-orang yang kagum tersebut, “dia bidadari yang terlahir di dunia.”
Seiring pertumbuhan anak perempuan itu, harapan dia untuk bisa mengubah nasibnya juga semakin tumbuh. Bahkan harapan itu tumbuh jauh lebih cepat dari pertumbuhan si anak perempuan. Berulangkali kepada istrinya dia berkata, “nasib kita akan berubah. Sebentar lagi, beberapa tahun lagi, kita tidak perlu lagi berpanas-panas di sawah milik orang lain demi upah yang tidak seberapa. Bahkan, sebenarnya kita benar-benar tidak perlu lagi bekerja. Kita hanya akan ongkang-ongkang kaki dan segala kemewahan yang kita ingini akan dengan sendirinya mendatangi kita. Kita mau mobil dan mobil itu akan mendatangi kita. Kita mau televisi dan televisi itu akan mendatangi kita. Kita mau makan daging maka daging itu akan dengan sendirinya mendatangi kita. Kita mau baju bagus dan baju bagus yang mahal akan mendatangi kita.”
Istrinya akan tersenyum mendengar hal tersebut. Dan dia melanjutkan bicaranya, “Dengan kecantikan yang dimiliki anak kita, para lelaki akan antri melamarnya. Dan kita bisa dengan leluasa memilih. Kita mesti memilih baik-baik. Kita pilih lelaki yang paling kaya. Yang sanggup menuruti apa-apa yang kita ingini.”
Istrinya akan kembali tersenyum. Senyum yang lebih lebar dari senyum semula. Dan senyum itu bertambah lebar seiring bertambahnya usia si anak.  Dan harapan mereka benar-benar nyaris sempurna ketika si anak menginjak usia 17 tahun. Sudah tak terhitung berapa laki-laki yang datang untuk menarik hati si anak perempuan. Bukan hanya dari kampung itu saja lelaki yang datang. Melainkan juga dari kampung-kampung sebelah, bahkan dari kota provinsi. Kecantikan si gadis sudah tersebar ke seluruh penjuru. Dan kecantikan itu benar-benar serupa kecantikan luar biasa yang selama ini dikira orang-orang hanya ada dalam dongeng.
Tapi si anak perempuan selalu menolak para lelaki tersebut. Dan dia bersama istrinya beranggapan, “Anak kita memang anak yang cerdas. Dia pasti sedang menunggu seorang lelaki yang lebih kaya lagi.”
Tapi orang kaya yang diangankannya bersama istrinya, yang mereka kira sedang ditunggu-tunggu anak perempuannya, tidak kunjung datang. Yang kemudian datang malah seorang pemuda pengarit rumput anak seorang janda yang jauh lebih miskin dari dia. Awalnya, dia mengira nasib pemuda pengarit rumput itu akan serupa dengan nasib lelaki lain yang mencoba memasuki hati anak perempuannya. Dengan tersenyum setengah mengejek, ia berbisik-bisik dengan istrinya, “Yang datang dengan mobil saja ditolak, apalagi yang hanya mengarit rumput.”
Sungguh, sepertinya tak ada hal lain yang lebih mengagetkannya bersama istrinya ketika anak perempuan itu kemudian menemui mereka dan berkata, “dengan lelaki pengarit rumput itu aku ingin menikah.”
Seperti ada guntur dahsyat menyambar di dekat telinganya. Ia mengucek-ngucek telinganya seolah tak percaya dengan kualitas pendengaran telinganya. “Apa? Apa kau bilang?”
“Aku ingin menikah dengan lelaki pengarit rumput itu.”
“Apa kau sudah gila? Ada begitu banyak lelaki yang ingin menikah denganmu. Dan kau memilih lelaki pengarit rumput yang jauh lebih miskin dari kita?”
“Aku mencintainya.”
“Omong kosong!”
“Aku mencintainya!”
“Kau gila!”
“Aku memang gila. Aku tergila-gila kepadanya.”
“Aku tidak akan menikahkanmu dengan lelaki itu!”
“Kalau begitu aku akan benar-benar menjadi gila.”
“Lelaki itu memeletmu!”
“Dia menjeratku dengan cintanya.”
“Omonganmu ngelantur. Sudah, aku akan pilihkan lelaki lain yang lebih kaya. Kau tidak boleh menikah dengan lelaki pengarit rumput itu!”
“Aku akan benar-benar gila!”
“Huwahhh.....”
Begitulah. Seminggu kemudian si anak perempuan dinikahkan dengan lelaki dari kota provinsi anak pejabat tinggi yang juga punya banyak perusahaan. Lelaki pengarit itu datang lagi tiga hari sebelum pernikahan digelar. Dan dengan suara menggelegar, dia mengusir lelaki pengarit rumput tersebut. “Pergilah dan jangan mengganggu hidup anakku lagi. Kalau kau tetap membandel, kau akan tahu hukumannya!”
Lelaki pengarit rumput tersebut hanya menundukkan wajah. Berjalan berbalik arah tanpa menoleh atau mengangkat wajah. Barangkali ia menangis. Dan setelahnya, si pengarit rumput itu hanya mengurung diri di dalam rumahnya yang gedeg dan telah banyak lubang-lubangnya. Sedang si anak perempuan, setelah akad dilangsungkan, tiba-tiba berteriak-teriak seperti orang gila. Si anak perempuan memanggil-manggil lelaki penyabit rumput sambil berguling-guling di halaman rumah. Sanggulnya dilepas dengan kasar. Rambutnya dijambakinya sendiri. Dan pakaiannya ia robek-robek sendiri.  Orang-orang panik. Terlebih-lebih dia dan istrinya. Juga anak pejabat provinsi yang baru saja sah menjadi suami si anak perempuan.
“Dia jadi gila! Dia jadi gila!” orang-orang berteriak.
Dan tiba-tiba, dia berteriak lantang. “Lelaki pengarit rumput itu telah mengguna-guna anakku dengan ilmu hitam. Aku menolak lamarannya. Dan dia tidak terima. Dia mengguna-guna anakku. Dia pengikut setan. Dia penganut ilmu hitam. Dan hukuman apa yang pantas bagi orang syirik seperti dia?”
Geram penuh marah segera saja merebak. Orang-orang berteriak marah. Tidak boleh ada penganut ilmu gelap, tidak boleh ada pemuja setan di kampung mereka. Mereka adalah orang yang beragama. Dan memerangi setan wajib hukumnya. Kampung mereka akan menjadi kampung yang terkutuk bila ada penganut setan yang dibiarkan tinggal di sana.
Maka tanpa ada yang mengomandoi, orang-orang yang marah itu bergerak ke rumah si lelaki pengarit rumput. Mereka menyaut apa pun yang terlihat sebagai senjata. Ada yang membawa parang, pacul, linggis, pukulan kentongan, bahkan tak sedikit yang hanya menggenggam batu atau ranting kayu.
Tak butuh waktu lama untuk meluluhlantakkan rumah gedeg di ujung kampung tersebut. Tak mereka pedulikan teriakan meminta ampun dan pembelaan diri yang dilakukan si lelaki pengarit rumput dan ibunya yang janda.
“Aku bukan dukun. Aku tidak bisa ilmu guna-guna. Sumpah!”
Teriakan itu tenggelam di tengah teriakan orang yang marah. Lalu tahu-tahu rumah yang telah runtuh itu dilalap api. Dan tubuh si lelaki pengarit rumput beserta ibunya yang telah tak mampu berkutik, dilemparkan ke unggun api tersebut.
“Itulah hukuman bagi penganut setan.”
Orang-orang yakin, setelah si lelaki pengarit rumput itu mati, akan hilang pulalah pengaruh guna-gunanya dan si anak perempuan tersebut akan kembali waras seperti sediakala. Namun mereka keliru. Si anak perempuan malah semakin gila. Dan dengan telanjang bulat, si anak perempuan berlari-lari ke sisa unggun api pembakaran lelaki pengarit rumput.  Di situlah si anak perempuan meratap. Terus meratap. Meratapkan hal yang sebenarnya terjadi. Meratap bahwa lelaki pengarit rumput itu tidak menguna-gunainya, meratap bahwa ia mencintai lelaki tersebut dan bapaknyalah yang membuatnya menjadi gila karena memaksanya menikah dengan lelaki lain yang tidak dicintainya, dan bahwa bapaknya sengaja menghasut orang-orang kampung dengan menyebarkan berita tidak benar perihal pemuja setan dan penganut ilmu gelap.
Orang-orang tercengang. Dan lebih tercengang lagi ketika kemudian si anak perempuan itu ditemukan mati di sisa unggun api. Entah apa sebab kematiannya. Sampai sekarang masih tidak jelas.
Begitulah. Dia, bapak dari si anak perempuan tersebut, kemudian dikucilkan dari pergaulan kampung. Orang-orang terlanjur mencapnya sebagai lelaki penipu yang kejam. Anak pejabat provinsi itu juga tidak pernah lagi kembali ke kampung tersebut.
Dan pada bulan syawal pertama setelah kejadian itu, pada hari ketujuh di mana sesuai adat yang berlaku di kampung tersebut, orang-orang memasak kupat dan lepet sebagai simbol permintaan maaf (di kampung tersebut, kupat berarti aku lepat, artinya aku bersalah, dan lepet berarti lepat, artinya salah), terdengar suara ringikan. Suara ringikan yang segera mengingatkan mereka pada suara lelaki pengarit rumput.
“Suara itu menginginkan permintaan maaf. Ya, permintaan maaf dari orang yang membuatnya mati dengan cara yang buruk.”
“Lelaki itu datang untuk menuntut balas.”
“Dendamnya mengakar begitu kuat.”
Tapi dia, bapak dari si anak perempuan tersebut, pada waktu itu, ketika orang-orang mendatangi rumahnya untuk memaksanya meminta maaf, telah terbujur kaku bersebelahan dengan istrinya. Tak ada yang tahu kenapa mereka berdua meninggal.
Dan semenjak itu pula, di kampung itu, setiap hari ketujuh di bulan Syawal di mana orang-orang menggelar riyayan kupat, suara ringikan itu terdengar. Dan orang-orang selalu was-was bila hal buruk akan terjadi pada mereka. ***



Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah dan jurnal seperti Padang Ekspres, Fajar, Jurnal Nasional, Global, Solo Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Lampung Post, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Bali Post, Surabaya Post, Minggu Pagi, Sinar Harapan, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jabar, Radar Surabaya, Kendari Post, Bangka Post, Majalah Gong, Majalah Kidung, Majalah Nova, Majalah Esquire, Majalah Sagang, Jurnal The Sandour, Jurnal Lembah Hijau, Buletin Rabo Sore, dll. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti Tentang Kami Para Penghuni Sorter, Medan Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa Timur 2), Manifesto Illusionisme, dll. Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok suka jalan.