Minggu, 24 Februari 2013

CORONG : Suyadi San



PLURALISME KEAGAMAAN


K
ehidupan keagamaan di Indonesia sesungguhnya saling berdampingan satu sama lain. Semuanya terpelihara berkat adanya jaminan dari negara melalui Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai fundamen mendasar kewarganegaraan Indonesia. Karenanya, semua agama dan aliran kepercayaan di Indonesia tetap tumbuh subur bersamaan dengan semangat religiositas dan realitas sosial keagamaan para pemeluknya.
UUD 45 itu ternyata sangat ampuh menepis dugaan bahwa Indonesia adalah negara Islam atau negara agama. Dalam penafsiran pasal 29 UUD 45 itu, negara menjamin penduduk untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing.  
            Dalam konteks kewarganegaraan, kedudukan agama di Indonesia memang sangat unik.  Hal ini bisa dilihat dari doktrin Pancasila yang juga mengatur kehidupan keagamaan. Pancasila dan UUD 45 menjadi sumber kewarganegaraan Indonesia dan sebagai identitas nasional setiap warga negara Indonesia.
Pancasila dan UUD 45 itulah yang mengatur kehidupan keagamaan di Indonesia, bukan sebaliknya – sebagaimana dipercayai nenek moyang bahwa religi rakyat dan religi kerakyatan itu merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan keadaan, ciri khas, dan adat istiadat masyarakat setempat.
Pluralisme keagamaan yang dijamin Pancasila dan UUD 45 merupakan pergeseran realitas objektif agama nenek moyang yang semula dianut penduduk di Indonesia. 
Pertanyaannya kemudian, di mana peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas sosial?  Di Indonesia yang menganut sistem pluralisme agama, artikulasi dan eksternalisasi keberagamaan seseorang dan masyarakat tentu saja beragam.
Dimensi-dimensi utama dari sikap keberagamaan itu, antara lain, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Karena dimensi ini begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang menjadi konsensus mereka.
Lihat saja, masyarakat Indonesia ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan simbol salib dan sejenisnya, adalah fenomena yang gampang ditemukan di mana-mana di Indonesia.
            Kedua, perilaku keberagamaan yang paling dasar selalu bersifat pribadi. Apakah kepercayaan seseorang tentang Tuhan berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit diketahui secara pasti oleh orang lain.
Dalam analisis strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam. Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agar diterima oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok.
Lihat saja, sebagian masyarakat Indonesia terpaksa mencantumkan agamanya Islam atau Kristen, meski ia menganut kepercayaan Kejawen dan sejenisnya ataupun Permalin (Batak), agama asli nenek moyangnya.           
            Ketiga, agama selalu hadir dalam wujud kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen. 
Dimensi dan ekspresi kultural keagamaan ini memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal, di Jepang dan Cina, juga terdapat bedug, namun tak ada hubungannya dengan masjid.
Masih banyak lagi fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu, seperti lilin, pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang, dan sebagainya.
Tak ayal, kelompok-kelompok Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara pernah merasa tersinggung terhadap penerbitan karikatur satu surat kabar harian di Medan karena menyajikan simbol-simbol Islam, seperti sorban, kopiah, pakaian koko, yang dikaitkan dengan tulisan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan tidak berpuasa pada bulan Ramadan.
Di dalam karikatur itu juga dituliskan firman Yesus yang dikutip dari Alkitab dan puasa 40 hari. Tentu saja karikatur itu membuat emosi keagamaan di kalangan Islam meninggi, sebab selain merendahkan martabat orang Islam, juga mempertentangkan Islam dan Kristen. ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar