PLURALISME
KEAGAMAAN
K
|
ehidupan keagamaan di Indonesia
sesungguhnya saling berdampingan satu sama lain. Semuanya terpelihara berkat
adanya jaminan dari negara melalui Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai
fundamen mendasar kewarganegaraan Indonesia. Karenanya, semua agama
dan aliran kepercayaan di Indonesia
tetap tumbuh subur bersamaan dengan semangat religiositas dan realitas sosial
keagamaan para pemeluknya.
UUD 45 itu
ternyata sangat ampuh menepis dugaan bahwa Indonesia adalah negara Islam atau
negara agama. Dalam penafsiran pasal 29 UUD 45 itu, negara menjamin penduduk
untuk menjalankan ritual keagamaan masing-masing.
Dalam
konteks kewarganegaraan, kedudukan agama di Indonesia memang sangat unik. Hal ini bisa dilihat dari doktrin Pancasila
yang juga mengatur kehidupan keagamaan. Pancasila dan UUD 45 menjadi sumber
kewarganegaraan Indonesia
dan sebagai identitas nasional setiap warga negara Indonesia.
Pancasila dan
UUD 45 itulah yang mengatur kehidupan keagamaan di Indonesia, bukan sebaliknya
– sebagaimana dipercayai nenek moyang bahwa religi rakyat dan religi kerakyatan
itu merupakan sesuatu yang harus dipatuhi sesuai dengan keadaan, ciri khas, dan
adat istiadat masyarakat setempat.
Pluralisme
keagamaan yang dijamin Pancasila dan UUD 45 merupakan pergeseran realitas
objektif agama nenek moyang yang semula dianut penduduk di Indonesia.
Pertanyaannya
kemudian, di mana peran agama dan bagaimana artikulasinya dalam realitas
sosial? Di Indonesia yang menganut
sistem pluralisme agama, artikulasi dan eksternalisasi keberagamaan seseorang
dan masyarakat tentu saja beragam.
Dimensi-dimensi
utama dari sikap keberagamaan itu, antara lain, pertama, kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Karena dimensi ini
begitu abstrak, maka yang terlihat secara sosial hanyalah sebatas keikutsertaan
seseorang dalam aktivitas ritual kelompok dan penggunaan simbol-simbol yang
menjadi konsensus mereka.
Lihat saja,
masyarakat Indonesia
ramai-ramai sembahyang di masjid atau kebaktian di gereja serta penggunaan
simbol salib dan sejenisnya, adalah fenomena yang gampang ditemukan di
mana-mana di Indonesia.
Kedua, perilaku keberagamaan yang paling
dasar selalu bersifat pribadi. Apakah kepercayaan seseorang tentang Tuhan
berpengaruh pada kehidupannya atau tidak, sulit diketahui secara pasti oleh
orang lain.
Dalam analisis
strukturalis-fungsional, dorongan seseorang mengikuti tradisi keagamaan lebih
disebabkan oleh desakan eksternal ketimbang pilihan bebas dan murni dari dalam.
Tindakan semacam itu dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan sosial agar diterima
oleh lingkungan, sebagai sebuah solidaritas kelompok.
Lihat saja,
sebagian masyarakat Indonesia
terpaksa mencantumkan agamanya Islam atau Kristen, meski ia menganut
kepercayaan Kejawen dan sejenisnya
ataupun Permalin (Batak), agama asli
nenek moyangnya.
Ketiga, agama selalu hadir dalam wujud
kultural. Wajah kultur agama yang paling mudah terlihat, antara lain, dalam
ekspresi seni arsitektur. Masyarakat dengan mudah membuat asosiasi bangunan
masjid dengan Islam, gereja dengan Kristen.
Dimensi dan
ekspresi kultural keagamaan ini memiliki cakupan yang sangat luas dan cenderung
berbaur dengan identitas dan kultur lokal. Di Indonesia, misalnya, bedug selalu
dikaitkan dengan umat Islam dan masjid. Padahal, di Jepang dan Cina, juga
terdapat bedug, namun tak ada hubungannya dengan masjid.
Masih banyak
lagi fenomena kultural yang diasosiasikan dengan simbol keagamaan tertentu,
seperti lilin, pohon cemara, menara, kopiah, sorban, jubah, salib, bulan-bintang,
dan sebagainya.
Tak ayal,
kelompok-kelompok Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara pernah
merasa tersinggung terhadap penerbitan karikatur satu surat kabar harian di
Medan karena menyajikan simbol-simbol Islam, seperti sorban, kopiah, pakaian
koko, yang dikaitkan dengan tulisan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dan tidak
berpuasa pada bulan Ramadan.
Di dalam
karikatur itu juga dituliskan firman Yesus yang dikutip dari Alkitab dan puasa
40 hari. Tentu saja karikatur itu membuat emosi keagamaan di kalangan Islam
meninggi, sebab selain merendahkan martabat orang Islam, juga mempertentangkan
Islam dan Kristen. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar