Tommy Sianturi :
Petang
Kelopak
mataku meringkuk
terhempas
laksa hembusan angin
menggantungkan
butir-butir rindu
rebah
di dahan yang kita semai.
Aku
rela langit mendung membasuh,
kesunyian
petang membahana pekarangan.
Pun
kutiru lolongan serigala menggelegar
Layaknya
aku tercabik-cabik kenangan.
Ladang
Kompak, 2012
Terngiang
Terngiang
dendang lampau
dari
rahim bumi.
Menempatkan
batin
menjemput
pagi sebelum kembara;
Kembali
cocokan jejak kecil di lapangan,
aroma
hujan,
teriakan
menyambar-nyambar,
suara
bel sepeda kala sayu senja menjalar.
Sekelebat
deruh angin merampas sebingkai album
sinar
rembulan pun mengagetkanku dari lamunan.
Ladang
Kompak
Langkah Kaki
langkah
kaki menghentak
menggoncang
rumput lalu debu berlarian;
biarkan
hentakan penuh semangat
meremukan
daun-daun rapuh;
hamparan ranting-ranting tak kokoh
bergelimpangan
digerogoti waktu.
Kadang
malam semakin dingin,
debur
ombak menghempas batu karang,
jarum
jam menusuk-nusuk.
Pucuk-pucuk
cemara menggigil beku,
langkah
kaki kaku tak menentu
namun
impian semakin menderuh
dalam
kalbu rindu.
Ladang
Kompak
Gadis Berpayung Hitam
gadis
berpayung hitam
tersedan-sedan
menjerit menengadah
merelakan
deras hujan menimpa ubun-ubun
seraya
dalam isak tangis kembara batang kara.
terik
siang menghadang jalan
gadis
berpayung hitam
menggelepar
pada padang belukar,
memuntahkan
batas peluh
akhir
nafas melumat tumpah.
Ladang
Kompak
Sebelum
malam-malam
terasa kembar
mencoba
tilik ranah perjuangan
dalam
kepakan sayap impian rembang.
membasahi
pucuk-pucuk dahaga.
kejora
berpacaran bersama rembulan,
deruh
angin mendesah sukma
menghunus
rembuk nyanyian petuah;
sebelum
rembulan beranjak ke peraduan
meninggalkan
gugusan gemerlapan,
Sebelum
daun-daun berguguran
Menahan
masa rentan.
Sebelum
usia melumat tumpah
Berlayarlah
mendekati impian.
Ladang
Kompak
Tommy
Leonardo Sianturi, lahir di B. Aceh 16 Oktober 1992. Mahasiswa Sastra Indonesia
semester IV, Fakultas Ilmu Budaya, USU. Sekarang aktif dalam komunitas “Kompak”
Taman Budaya dan pecinta karya Sastra.
Halim
Mansyur Siregar :
Lelah
Entah sampai kapan ku tak tahu
diri ini mampu berteman dengan waktu yang terus berpacu
lelah dan jengah rasanya kaki dan hati menjelajahi belantara kehidupan
daun-daun cemara mengering layu, jatuh tersungkur di atas batu
rerantingnya lapuk, remuk membusuk
pohon-pohon meranggas gersang sejauh mata memandang
hingga tatapanpun terbalut kabut
basah oleh butiran-butiran kristal bening
tumpah menggantikan kata-kata
tiada sanggup menampung resah yang membuncah
wadahnya telah pecah lantaran angan tak dapat diwujudkan
sementara langit juga kian temaram oleh mega yang menghitam
seakan cuaca tidak lagi kuasa mengusung sang surya
dan kesunyian semakin menghunjam
tatkala urung bertemu pandang dengan rembulan penghias malam
ah, haruskah kututup saja semua pintu dan jendela rindu di bilik kalbu
agar aku bisa punya lebih banyak waktu
hanya berdua bersama-Mu tanpa ada yang mengganggu
Episode Kali Ini
Tunggu saja saatnya wahai sang tugu batas kota
jadilah saksi bahwa sebentar lagi aku pasti kembali ke sana
kendati mesti membawa luka dari tahun-tahun yang merana
kini aku telah menjelma putik bunga yang begitu rindu kumbang pujaannya
dan aku tak peduli meski episode kali ini sarat dengan keringat, darah dan
airmata
bahkan akupun telah siap dengan resiko menggali lubang tuk mengubur diri
sendiri
entahlah
tapi yang jelas, sekarang aku telah semakin yakin dan berani
karena kupikir hari demi hari akan terus dan tetap saja pergi
sementara aku cuma menangis dan merengek di sini
sungguh, aku telah bosan dihina oleh cuaca
aku jemu hanya duduk termangu menanti hujan reda
akan kulakukan segala yang aku bisa
guna membebaskan rembulan dari sekapan awan
sebelum cahayanya lunglai dan kemilaunya menjadi bangkai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar