RAUT WAJAH IBU PERTIWI
Mengamuk mentari di siang hari, membuat semangat hari ini mengecil hilang ditelan cahaya panas itu. Kulaju keretaku menyusuri kota di hari yang membakar kulit. Hal ini hampir setiap hari kulalui. Maklum, aku tinggal di salah satu kota terbesar dan tersibuk di negara ini. Aku ingin pulang dari kegiatan lelahku sebagai karyawan di satu perusahaaan yang bergerak di bidang pelayanan dan jasa. Lalu. menuju kampus tempat aku menuntut ilmu demi berharap akan mendapatkan hari esok yang lebih baik. Setiap hari kulalui semua itu dengan semangat dan keyakinan serta memohon doa kepada Sang Pencipta.
Jalan yang
sama sepanjang hari kulalui. Persimpangan yang sama. Pepohonan yang sama, serta
debu-debu yang sama. Erangan klakson mobil mewah sering membuat bosan telingaku.
Aktivitas jalanan yang ramai itu seakan untuk memacu keretaku dengan cepat. Liuk
kanan dan kiri, selip sana selip sini, akhirnya lampu merah yang menghentikan
laju keretaku.
Sesal kulihat
angka di rambu merah itu menunjukkan 130. Selama ini aku harus menunggu. Namun
saat asyik kesal dengan keadaan, tiba-tiba terlihat sesosok gadis kecil dengan
memakai baju kaos warna pink yang sudah kusam. Rambut ikalnya yang kusut serta
sorot mata yang menanti pengharapan dan belas
kasih. Jemari lentik itu yang berdarah membawa teman susah senangnya, membawa
alat penyambung hidup itu, gitar keroncong yang selalu setia menemaninya.
Namun yang
membuat hatiku semakin meringis di salah satu indera pengheliatanya tidak biasa
seperti biasanya layaknya manusia normal,di salah satu matanya tidak dapat
melihat karena tertutup oleh segumpal daging yang membengkak seperti sebuah
bola bassball.melihat gadis kecil itu membuat mata ku semakin berkaca kaca.Aku
terkejut dengan apa yang kulihat, dengan penuh pengharapan, ia hibur pengguna
jalan dengan nyayian jiwa ya yang terluka.jemari lentik itu berdayu memetik
gitar,dengan suara fals ya, serta nafas yang tersengal menahan haus, ia trus
bernyayi demi menyambung hidup dan berharap iba dari penumpang angkutan kota.
Tapi apa yang
diharap? Petikan gitar itu tak menggoyahkan nurani mereka. Hanya pandangan
terusik yang ia dapat. Hanya sorotan tajam yang ia dapat. Hempasan tangan
menolak,serta lekukan wajah tak ingin melihat. Semua itu yang ia rasakan saat
mencoba memberikan nyanyian jiwa.
Kulihat wajah
gadis kecil itu murung. Sedih, karena tak ada satupun yang iba kepadanya. Di
atas keretaku, aku terus memerhatikan gadis itu. Segera ia pergi berlari dengan
tak menggunakan alas kaki di aspal yang membuat kakinya dapat melepuh dan
berdarah.
Ia menuju ke
mobil angkutan kota yang lainnya. Di mobil ini kulihat ia tersenyum dan girang
membawakan sebuah nyanyian jiwa. Ternyata ada yang memberikan sedikit rezekinya
kepada gadis kecil itu. Tak lupa ia selalu mengucapkan terima kasih di setiap
akhir penampilanya.
Aku pun merasa
gembira melihat itu, melihat senyuman itu. Aku memutuskan untuk berhenti,dan
membolos kuliah pada hari itu. Aku ingin lebih dekat dengan gadis kecil itu.Di
tengah-tengah aku berpikir, suara klakson hebat dari belakang menghujaniku
dengan sangat keras. Kesal aku mendengarnya. Kulaju cepat keretaku tanpa
kusadari yang tadinya rambu jalan tadi berwarna merah kini telah berubah
menjadi hijau.
Bertanya aku di
dalam hati "Kemana orang tuanya?" "Apakah ini takdir
mereka?" "Di mana janji mereka?" Semua pertanyaan
itu membius pikir dan jiwaku.
Aku memarkirkan
kereta tak jauh dari ruma, tempat mereka tinggal, tempat gadis kecil itu berada
di persimpangan jalan itu. Kubawakan ia sebungkus nasi, lalu kuberikan
kepadanya.
Dengan heran
dan berkata ia kepadaku. "Maaf, Bang, apa maksudnya ini?"serunya.
"Silakan
ini rezeki kamu," sambutku.
Tanpa basa-basi ia memakan nasi tersebut dengan lahapnya. Dengan
senyum dan hati haru aku melihat gadis kecil itu. Aku berpikir, andai ada saja
yang segelintir orang memikirkan nasib mereka pasti tak hal seperti ini yang
kita lihat. Kemiskinan, kesenjangan sosial, seperti tak ada habisnya di bumi
pertiwi ini. Sedih aku melihat negeri ini. seperti tak ada hal yang mampu
membuatku bangga dengan negeriku.
Ternyata di
sela kuperhatikan semua hal di persimpangan jalan itu, ada sosok renta berjalan
menyusuri jalan. Dibantu tongkat, dengan langkah tertatih ia meminta kepada
pengguna jalan dengan cangkir retak di tangannya, melambai berharap iba.
Sungguh ironis kurasa.
Sedih rasanya
banyak orang yang bilang negeri ini negeri kaya, namun apa yang kulihat jauh
dari semua apa kata mereka. Negeri yang kaya, negeri yang sedang berkembang,
negeri yang maju, dan negeri yang berlimpah sumber daya alam. Namun apa negerinya
saja yang kaya sedangkan rakyatnya jauh dari kata kemakmuran.
Gadis kecil
itu, andai saja pemerintah ini peduli, ia biasa dapatkan lebih baik dari ini. Ia
bisa mendapatkan baju yang lebih baik dari baju yang telah kusam itu. Ia bisa
merasakan bangku sekolah seperti anak lainnya. Bagi tubuh renta itu, seharusnya
ia sekarang menikmati masa tuanya dengan melihat anaknya yang telah dewasa. Bersama
istri tercinta, ia bisa menimang-nimang cucu di istana mereka.
Masih banyak lagi
contoh korban kesenjangan sosial itu. Ketidakseriusan pemerintah dalam membahas
masalah ini, membuat mereka yang nasibnya sama, semakin memenuhi persimpangan
jalan kota. Di took-toko, di halte bus, di pasar-pasar, mereka akan semakin
terlihat. Ini sebuah dilema kehidupan.
Apakah harus
air mata ini mengalir terus melihat negeriku. Ibu pertiwi pun pasti menangis
melihat semua ini. Bukan ini yang ia harap, tapi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat Indosesia. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar