Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen : Fery Prayogi (Sabtu, 17 Desember 2011)



RAUT WAJAH IBU PERTIWI

 


Mengamuk mentari di siang hari, membuat semangat hari ini mengecil hilang ditelan cahaya panas itu. Kulaju keretaku menyusuri kota di hari yang membakar kulit. Hal ini hampir setiap hari kulalui. Maklum, aku tinggal di salah satu kota terbesar dan tersibuk di negara ini. Aku ingin pulang dari kegiatan lelahku sebagai karyawan di satu perusahaaan yang bergerak di bidang pelayanan dan jasa. Lalu. menuju kampus tempat aku menuntut ilmu demi berharap akan mendapatkan hari esok yang lebih baik. Setiap hari kulalui semua itu dengan semangat dan keyakinan serta memohon doa kepada Sang Pencipta.

Jalan yang sama sepanjang hari kulalui. Persimpangan yang sama. Pepohonan yang sama, serta debu-debu yang sama. Erangan klakson mobil mewah sering membuat bosan telingaku. Aktivitas jalanan yang ramai itu seakan untuk memacu keretaku dengan cepat. Liuk kanan dan kiri, selip sana selip sini, akhirnya lampu merah yang menghentikan laju keretaku.
Sesal kulihat angka di rambu merah itu menunjukkan 130. Selama ini aku harus menunggu. Namun saat asyik kesal dengan keadaan, tiba-tiba terlihat sesosok gadis kecil dengan memakai baju kaos warna pink yang sudah kusam. Rambut ikalnya yang kusut serta sorot mata yang menanti pengharapan dan belas kasih. Jemari lentik itu yang berdarah membawa teman susah senangnya, membawa alat penyambung hidup itu, gitar keroncong yang selalu setia menemaninya.
Namun yang membuat hatiku semakin meringis di salah satu indera pengheliatanya tidak biasa seperti biasanya layaknya manusia normal,di salah satu matanya tidak dapat melihat karena tertutup oleh segumpal daging yang membengkak seperti sebuah bola bassball.melihat gadis kecil itu membuat mata ku semakin berkaca kaca.Aku terkejut dengan apa yang kulihat, dengan penuh pengharapan, ia hibur pengguna jalan dengan nyayian jiwa ya yang terluka.jemari lentik itu berdayu memetik gitar,dengan suara fals ya, serta nafas yang tersengal menahan haus, ia trus bernyayi demi menyambung hidup dan berharap iba dari penumpang angkutan kota.
Tapi apa yang diharap? Petikan gitar itu tak menggoyahkan nurani mereka. Hanya pandangan terusik yang ia dapat. Hanya sorotan tajam yang ia dapat. Hempasan tangan menolak,serta lekukan wajah tak ingin melihat. Semua itu yang ia rasakan saat mencoba memberikan nyanyian jiwa.
Kulihat wajah gadis kecil itu murung. Sedih, karena tak ada satupun yang iba kepadanya. Di atas keretaku, aku terus memerhatikan gadis itu. Segera ia pergi berlari dengan tak menggunakan alas kaki di aspal yang membuat kakinya dapat melepuh dan berdarah.
Ia menuju ke mobil angkutan kota yang lainnya. Di mobil ini kulihat ia tersenyum dan girang membawakan sebuah nyanyian jiwa. Ternyata ada yang memberikan sedikit rezekinya kepada gadis kecil itu. Tak lupa ia selalu mengucapkan terima kasih di setiap akhir penampilanya.
Aku pun merasa gembira melihat itu, melihat senyuman itu. Aku memutuskan untuk berhenti,dan membolos kuliah pada hari itu. Aku ingin lebih dekat dengan gadis kecil itu.Di tengah-tengah aku berpikir, suara klakson hebat dari belakang menghujaniku dengan sangat keras. Kesal aku mendengarnya. Kulaju cepat keretaku tanpa kusadari yang tadinya rambu jalan tadi berwarna merah kini telah berubah menjadi hijau.
Bertanya aku di dalam hati "Kemana orang tuanya?" "Apakah ini takdir mereka?" "Di mana janji mereka?"    Semua pertanyaan itu membius pikir dan jiwaku.
Aku memarkirkan kereta tak jauh dari ruma, tempat mereka tinggal, tempat gadis kecil itu berada di persimpangan jalan itu. Kubawakan ia sebungkus nasi, lalu kuberikan kepadanya.
Dengan heran dan berkata ia kepadaku. "Maaf, Bang, apa maksudnya ini?"serunya.
"Silakan ini rezeki kamu," sambutku.
Tanpa basa-basi ia memakan nasi tersebut dengan lahapnya. Dengan senyum dan hati haru aku melihat gadis kecil itu. Aku berpikir, andai ada saja yang segelintir orang memikirkan nasib mereka pasti tak hal seperti ini yang kita lihat. Kemiskinan, kesenjangan sosial, seperti tak ada habisnya di bumi pertiwi ini. Sedih aku melihat negeri ini. seperti tak ada hal yang mampu membuatku bangga dengan negeriku.
Ternyata di sela kuperhatikan semua hal di persimpangan jalan itu, ada sosok renta berjalan menyusuri jalan. Dibantu tongkat, dengan langkah tertatih ia meminta kepada pengguna jalan dengan cangkir retak di tangannya, melambai berharap iba. Sungguh ironis kurasa.
Sedih rasanya banyak orang yang bilang negeri ini negeri kaya, namun apa yang kulihat jauh dari semua apa kata mereka. Negeri yang kaya, negeri yang sedang berkembang, negeri yang maju, dan negeri yang berlimpah sumber daya alam. Namun apa negerinya saja yang kaya sedangkan rakyatnya jauh dari kata kemakmuran.
Gadis kecil itu, andai saja pemerintah ini peduli, ia biasa dapatkan lebih baik dari ini. Ia bisa mendapatkan baju yang lebih baik dari baju yang telah kusam itu. Ia bisa merasakan bangku sekolah seperti anak lainnya. Bagi tubuh renta itu, seharusnya ia sekarang menikmati masa tuanya dengan melihat anaknya yang telah dewasa. Bersama istri tercinta, ia bisa menimang-nimang cucu di istana mereka.
Masih banyak lagi contoh korban kesenjangan sosial itu. Ketidakseriusan pemerintah dalam membahas masalah ini, membuat mereka yang nasibnya sama, semakin memenuhi persimpangan jalan kota. Di took-toko, di halte bus, di pasar-pasar, mereka akan semakin terlihat. Ini sebuah dilema kehidupan.
Apakah harus air mata ini mengalir terus melihat negeriku. Ibu pertiwi pun pasti menangis melihat semua ini. Bukan ini yang ia harap, tapi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indosesia. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar