Sastra
yang Men-Dunia
Suatu
Hari, Dunia Mencari Indonesia?
Indonesia bisa saja pesimistis masalah
kesejahteraan, namun optimistik harus dibangun pada sastra. Bisalah dikatakan
Jhon H. Mcglynn bahwa budaya dan sastralah penggeraknya. Jhon merupakan penulis
asal Amerika Serikat yang saat ini mendapatkan kepercayaan dari pemerintah
Indonesia mengembangkan dan memperkenalkan sastra dan budaya Indonesia di
tingkat internasional.
Melalui
www.lontar.org, Jhon menawarkan pada dunia
bahwa Indonesia memiliki kreativitas berkarya lewat tulisan. Sehari itu,
tanggal 7 Desember 2011, seminar internasional yang diadakan penyelenggara
JILFEST (Jakarta International Literary Festival) menampilkan Jhon dari Amerika
sebagai pembicara.
Dikatakannya,
beberapa buku sastra Indonesia telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, di antaranya:
Never the Twain karya Abdul Muis, Shackles oleh Armin Pane, the fall and the heart oleh S. Rukiah, Mirah of Banda oleh Hanna Rambe, Family Room oleh Lili Yulianti Farid, And The War is Over oleh Ismail
Marahimin, The Pilgrim oleh Iwan
Simatupang, Siti Nurbaya oleh Marah
Rusli, Telegram oleh Putu Wijaya, Supernova oleh Dewi Lestari, dan masih
banyak lagi.
Lebih jauh, Jhon dalam makalahnya di
ajang Jilfest, mengungkapkan: “Walaupun Indonesia adalah negara berpenduduk
terbesar keempat di dunia, pengetahuan di luar negeri mengenai Indonesia masih
sangat terbatas. Di luar bidang akademik, informasi yang dapat diperoleh di
luar negeri mengenai Indonesia pada umumnya terbatas pada artikel berita yang
muncul di koran atau acara berita yang ditayangkan di televisi.
Dan
apa yang dimunculkan di situ kalau bukan berita mengenai pemboman teroris di
Bali dan Jakarta, gempa bumi di Yogya, tsunami di Aceh, penembakan orang di
Papua, masalah hak asasi manusia, korupsi, dan lain sebagainya. Masalah-masalah
tersebut memang terjadi dan perlu diberitakan.
Namun
demikian, sangat disayangkan bahwa meningkatnya profil Indonesia sebagai sumber
berita bencana bagi pemirsa global tidak dibarengi dengan usaha menyeimbangkan
informasi tersebut dengan berita tentang kehidupan budaya dan intelektual
Indonesia.”
“Mampu” Memperkenalkan Indonesia
Peluang memperkenalkan Indonesia
ke tingkat global ini sedang terjadi pada dunia sastra. Pada akhirnya
kebudayaan Indonesia yang begitu beranekaragam optimis menjadi bahan, dan
sastra adalah alatnya. Saat seminar yang berlangsung di Hotel Milenium Jakarta
tanggal 7 Desember 2011 itu, ruang-ruang terbuka membicarakan sastra yang
memperkenalkan budaya Indonesia diperhelatkan.
Seorang
budayawan, Sujiwo Tejo berseteru bahwa sebaiknya puisi-puisi berbahasa daerah
tidak serta merta ditikam mati, sebab pada dasarnya puisi berbahasa daerah
memiliki kekuatan makna dan kelangkaan kosa kata. Selain itu, bunyi yang
dihasilkan juga berbeda. Hal ini diungkapkan atas dasar sastra yang kemudian
hanya memakai bahasa Indonesia dari waktu ke waktu.
Beberapa
karya yang berbahasa daerah tidak begitu mendapatkan antusias sebab lebih
banyaknya karya daerah yang hendaknya tetap memakai bahasa Indonesia sebagai
pengantarnya. Perkenalan budaya yang terjadi di kemudian hari adalah budaya
Indonesia yang tidak mencerminkan “Bhineka Tunggal Ika”.
Hal ini memang terkait sastra lama
dan sastra modern. Belakangan ini sastra modern lebih banyak mendominasi, dan
budayawan seperti Sujiwo Tejo menilai, perkembangan sastra ini justru tidak
memberi dampak berarti untuk mempertahankan keaslian kebudayaan daerah
masing-masing di nusantara.
Diperpanjang
pula dengan pihak Yayasan Lontar yang diasuh Jhon H. Mcglynn menerjemahkan
beberapa karya sastra Indonesia yang modern tadi. Hal ini membuat beberapa
budayawan mempertanyakan apakah budaya modern dapat mewakili kebudayaan lama
yang notabene adalah kebudayaan asli beberapa daerah di Indonesia.
Jhon mengatakan, puisi-puisi pada
umumnya memiliki pemaknaan yang sangat bergantung pada kosa kata dan keluaran
bunyi yang dihasilkan pada puisi. Apabila kemudian bahasa-bahasa daerah ini
diterjemahkan ada kemungkinan makna dan bunyinya tidak sampai, pembaca akan
kesulitan dan tidak memahami maksudnya. Ini adalah pekerjaan yang hampir
dikatakan sia-sia.
Pada umumnya, hambatan-hambatan yang
kerap terjadi pada penerbitan buku-buku sastra terjemahan tidak jauh berbeda.
Yayasan Lontar juga mengalami banyak sekali hambatan. Di dalam dunia
penerbitan, khususnya penerbitan sastra terjemahan, hambatan macam-macam,
termasuk kualitas karya dan ongkos penerbitan, namun yang paling mendasar itu
sesungguhnya adalah visi dari pihak pemerintah.
Medan Mau ke Mana?
Di Medan, visi pemerintah ini juga
hanya menjadi bayangan bagi penulis lanjutan. Mau dibawa ke mana penulis kita?
Bila melihat beberapa pekan ini, ada banyak sekali muncul perlombaan-perlombaan
di Medan, akan tetapi perlombaan ini hanya sebatas pada tingkat pelajar,
sementara di sudut sana di tempat yang entah, Medan memiliki generasi yang
dahulu pelajar semakin lama semakin menua, semakin lama semakin membutuhkan
ruang.
Namun,
perhatian pemerintah hanya sepanjang galah. Penulis-penulis itu diundang baik
menjadi peserta maupun pembicara membawa nama Medan dengan tanpa dukungan
pemerintah Medan. Mereka itu menguras uangnya sendiri demi Medan, Medan yang
tercinta! Sudah selayaknya pemerintah memberi ruang bagi sastrawan senior agar
mampu mengembangkan sayapnya, agar mampu meneruskan usaha-usaha Chairil Anwar.
Belakangan pemerintah juga kerepotan
untuk mencairkan dana-dana sastra ini, belakangan pemerintah mengeluh minimnya
pemasukan. Entahlah, apakah itu benar, jadi apa mungkin Medan, kota terbesar
ketiga di Indonesia nihil dana untuk sastra?
Beberapa buku di Medan akhir-akhir
ini kurang diperhatikan, beberapa penulis akhir-akhir ini lagi-lagi menguras
uangnya. Namun beberapa pihak akhir-akhir ini pula sedang berupaya menilik terus
pemerintah dan terus menerus berkarya agar kelak akhirnya percaya usaha para
penulis/sastrawan itu tidak sia-sia.
Beberapa
jelang ke depan, Pesta Danau Toba digelar, para sastrawan Medan akan
menghadirinya. Beberapa telah bersiap pula menegakkan penanya untuk
memperkenalkan budaya Sumatera Utara. Pemerintah mesti bergegas mendukung para
sastrawan muda dan senior ini.
Buku Anak Medan Tertatap ke
Internasional?
Ya, akhirnya apabila cita-cita
sastrawan Medan itu tercapai, keseriusan ini akan diteruskan dengan mengundang
beberapa sastrawan internasional. Saya sangat berharap kelak Yayasan Lontar tadi juga melirik ketertarikan
pada Medan dan menawarkannya ke tingkat Internasional setelah sebelumnya
yayasan ini juga memperkenalkan budaya Jawa, maka Sumatera Utara adalah
selanjutnya!**
Serambi KOMPAK, 10 Desember 2011
Penulis adalah mahasiswa bahasa
dan sastra Indonesia Unimed dan anggota Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar