Sabtu, 09 Februari 2013

CORONG : Suyadi San

AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI






S
AYA ingin melanjutkan pembahasan mengenai keberadaan agama dalam negara modern, terutama dalam perspektif antropologi. Hal ini saya kemukakan lantaran terusik dengan dikotomi politik dan agama saat proses demokratisasi pemilihan umum melanda Indonesia. Orang selalu bersembunyi di balik agama dalam memerjuangkan ambisi politiknya.
Di antara para ahli yang berpendapat mengenai asal mula agama sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat (1966) adalah ahli sejarah C. de Brosses (1769), ahli filsafat August Comte (1850), ahli filologi F. Max Muller (1880), dan lainnya.
Kemudian barulah muncul teori-teori dari para ahli antropologi, seperti E.B. Tylor (1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890), Emile Durkheim (1912), W. Schmidt (1921), dan sebagainya. Dari teori-teori itu orang berpendapat, bahwa perkembangan agama menurut ilmu antropologi, dimulai dari animisme, dinamisme, politeisme, dan baru kemudian monoteisme.
Dilihat dari sumber terjadinya agama, agama dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu Agama Samawi atau Agama Langit dan Agama Wad’i atau Agama Bumi. Agama Wahyu adalah agama yang datang dan bersumber dari Wahyu. Pengalaman yang diterima berdasarkan Wahyu karena tidak dapat terjadi melalui usaha akal pikiran penelaahan manusia, akan tetapi merupakan pengetahuan terhadap kebenaran yang diilhami.
Termasuk dalam Agama Samawi adalah Yahudi, Kristen, dan Islam, dengan ciri-cirinya : a) konsep Ketuhanannya Monoteisme; b) disampaikan oleh Rasul Allah sebagai Utusan Tuhan; c) mempunyai Kitab Suci yang dibawa Rasul Allah berdasarkan Wahyu Allah; d) tidak berubah dengan perubahan masyarakat penganutnya, bahkan sebaliknya; e) kebenaran ajaran dasarnya tahan uji terhadap kritik menurut akal manusia; f) sistem merasa dan berpikirnya tidak sama dengan sistem merasa dan berpikir masyarakat penganutnya.
Sedangkan Agama Wad’i ialah agama duniawi yang tidak bersumber dari Wahyu Illahi, melainkan hasil ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, disebut juga Agama Budaya. Lahir berdasarkan filsafat masyarakat, baik yang berasal dari para pemimpin masyarakat atau dari penganjur agama yang bersangkutan.
Termasuk dalam golongan ini, antara lain agama Hindu, Budha, Tao, Kong Hu Chu, dan berbagai aliran paham keagamaan serta kepercayaan-kepercayaan masyarakat suku-suku sederhana atau masyarakat yang sudah maju, tidak berpegang pada kitab suci, dan tidak berdasarkan ajaran Rasul-rasul maupun Nabi-nabi.
Baik Agama Wahyu (samawi) maupun Agama budaya (wadi’i) yang dianut masyarakat sederhana atau masyarakat yang sudah maju, memiliki budaya agama, yaitu hasil-hasil pikiran dan perilaku budaya yang menyangkut keagamaan.
Budaya agama tersebut tentunya sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Ada yang muncul dalam benak manusia berdasarkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi. Ada pula yang muncul dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia sendiri.
Dalam kaitan ini, biasanya para ahli antropologi melakukam pendekatan terhadap konsepsi-konsepsi keagamaan: 1) konsepsi tentang dewa-dewa, sifat-sifat, dan tanda-tanda (perwujudan bentuk) dari para dewa; 2) konsepsi tentang makhluk halus, seperti roh-roh, roh leluhur, hantu-hantu, dan tentang Dewa Tertinggi Yangmaha Pencipta; dan 3) konsepsi tentang kejadian bumi atau alam semesta, tentang hidup dan mati serta tentang akhirat (surga, neraka, moksha, nirwana, dan lain-lain).
            Konsepsi-konsepsi tersebut bertautan satu sama lain, yang kesemuanya berdasarkan keyakinan dan kepercayaan terhadap hal-hal ghaib, ditakuti dan disayangi, yang disebut Tuhan, Dewa-dewa, Roh-roh atau Makhluk halus di sekitar alam ini, baik bersifat jahat maupun bersifat baik.
       Pada masyarakat yang budayanya masih sederhana, apa yang timbul dari emosi keagamaan dan kepercayaannya, kemudian diajarkan dan diwariskan secara  tradisional kepada anak cucu, sahabat, kenalan, dalam bentuk ungkapan, nyanyian, dongeng-dongeng suci atau mitologi, dan sebagainya, secara lisan.
Sedangkan pada budaya masyarakat yang sudah maju, sudah mengenal aksara, maka kepercayaan-kepercayaan itu ada yang dilukiskan dalam bentuk yang masih sederhana, di atas daun-daunan, pada kulit-kulit kayu atau bambu, dan kemudian kertas sehingga dibukukan, menjadi buku-buku kesusastraan suci dan disucikan atau dikeramatkan.
Karena itu, dalam proses demokrasi pemilihan umum seyogianya kita bisa menempatkan persoalan agama sebagaimana mestinya. Apapun agamanya, sejatinya mereka memiliki niat yang sama untuk menjaga keharmonisan alam raya ini. Semoga! ***




Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar