AGAMA DALAM
PERSPEKTIF ANTROPOLOGI
S
|
AYA ingin melanjutkan pembahasan
mengenai keberadaan agama dalam negara modern, terutama dalam perspektif
antropologi. Hal ini saya kemukakan lantaran terusik dengan dikotomi politik
dan agama saat proses demokratisasi pemilihan umum melanda Indonesia. Orang
selalu bersembunyi di balik agama dalam memerjuangkan ambisi politiknya.
Di antara para
ahli yang berpendapat mengenai asal mula agama sebagaimana dikemukakan
Koentjaraningrat (1966) adalah ahli sejarah C. de Brosses (1769), ahli filsafat
August Comte (1850), ahli filologi F. Max Muller (1880), dan lainnya.
Kemudian
barulah muncul teori-teori dari para ahli antropologi, seperti E.B. Tylor
(1880), R.R. Marett (1909), J.G. Frazer (1890), Emile Durkheim (1912), W.
Schmidt (1921), dan sebagainya. Dari teori-teori itu orang berpendapat, bahwa
perkembangan agama menurut ilmu antropologi, dimulai dari animisme, dinamisme,
politeisme, dan baru kemudian monoteisme.
Dilihat dari
sumber terjadinya agama, agama dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu Agama Samawi atau Agama Langit dan Agama Wad’i atau
Agama Bumi. Agama Wahyu adalah agama
yang datang dan bersumber dari Wahyu. Pengalaman yang diterima berdasarkan
Wahyu karena tidak dapat terjadi melalui usaha akal pikiran penelaahan manusia,
akan tetapi merupakan pengetahuan terhadap kebenaran yang diilhami.
Termasuk dalam
Agama Samawi adalah Yahudi, Kristen,
dan Islam, dengan ciri-cirinya : a) konsep Ketuhanannya Monoteisme; b) disampaikan
oleh Rasul Allah sebagai Utusan Tuhan; c) mempunyai Kitab Suci yang dibawa
Rasul Allah berdasarkan Wahyu Allah; d) tidak berubah dengan perubahan
masyarakat penganutnya, bahkan sebaliknya; e) kebenaran ajaran dasarnya tahan
uji terhadap kritik menurut akal manusia; f) sistem merasa dan berpikirnya
tidak sama dengan sistem merasa dan berpikir masyarakat penganutnya.
Sedangkan
Agama Wad’i ialah agama duniawi yang tidak bersumber dari Wahyu Illahi,
melainkan hasil ciptaan akal pikiran dan perilaku manusia, disebut juga Agama Budaya. Lahir berdasarkan filsafat
masyarakat, baik yang berasal dari para pemimpin masyarakat atau dari penganjur
agama yang bersangkutan.
Termasuk dalam
golongan ini, antara lain agama Hindu, Budha, Tao, Kong Hu Chu, dan berbagai aliran
paham keagamaan serta kepercayaan-kepercayaan masyarakat suku-suku sederhana
atau masyarakat yang sudah maju, tidak berpegang pada kitab suci, dan tidak
berdasarkan ajaran Rasul-rasul maupun Nabi-nabi.
Baik Agama
Wahyu (samawi) maupun Agama budaya (wadi’i) yang dianut masyarakat sederhana
atau masyarakat yang sudah maju, memiliki budaya
agama, yaitu hasil-hasil pikiran dan perilaku budaya yang menyangkut
keagamaan.
Budaya agama
tersebut tentunya sesuai dengan ajaran agama dan kepercayaan masing-masing. Ada yang muncul dalam
benak manusia berdasarkan kehendak yang diwahyukan Tuhan kepada para Nabi. Ada pula yang muncul
dalam benak manusia berdasarkan emosi keagamaan pribadi manusia sendiri.
Dalam kaitan
ini, biasanya para ahli antropologi melakukam pendekatan terhadap
konsepsi-konsepsi keagamaan: 1) konsepsi tentang dewa-dewa, sifat-sifat, dan
tanda-tanda (perwujudan bentuk) dari para dewa; 2) konsepsi tentang makhluk
halus, seperti roh-roh, roh leluhur, hantu-hantu, dan tentang Dewa Tertinggi
Yangmaha Pencipta; dan 3) konsepsi tentang kejadian bumi atau alam semesta,
tentang hidup dan mati serta tentang akhirat (surga, neraka, moksha, nirwana,
dan lain-lain).
Konsepsi-konsepsi
tersebut bertautan satu sama lain, yang kesemuanya berdasarkan keyakinan dan
kepercayaan terhadap hal-hal ghaib, ditakuti dan disayangi, yang disebut Tuhan,
Dewa-dewa, Roh-roh atau Makhluk halus di sekitar alam ini, baik bersifat jahat
maupun bersifat baik.
Pada
masyarakat yang budayanya masih sederhana, apa yang timbul dari emosi keagamaan
dan kepercayaannya, kemudian diajarkan dan diwariskan secara tradisional kepada anak cucu, sahabat,
kenalan, dalam bentuk ungkapan, nyanyian, dongeng-dongeng suci atau mitologi,
dan sebagainya, secara lisan.
Sedangkan pada
budaya masyarakat yang sudah maju, sudah mengenal aksara, maka
kepercayaan-kepercayaan itu ada yang dilukiskan dalam bentuk yang masih
sederhana, di atas daun-daunan, pada kulit-kulit kayu atau bambu, dan kemudian
kertas sehingga dibukukan, menjadi buku-buku kesusastraan suci dan disucikan
atau dikeramatkan.
Karena itu, dalam proses demokrasi pemilihan umum seyogianya
kita bisa menempatkan persoalan agama sebagaimana mestinya. Apapun agamanya,
sejatinya mereka memiliki niat yang sama untuk menjaga keharmonisan alam raya
ini. Semoga! ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar