CENDRAMATA BIENALE SASTRA INTERNASIONAL
B
|
ienale Sastra Internasional (International
Literary Biannale) Utan
Kayu-Salihara 2011 telah berlalu. Kegiatan yang mengusung tema “Klasik nan
Asik” itu berlangsung mulai tanggal 8 –
29 Oktober 2011 dengan berbagai mata acara, antara lain Pentas dan Diskusi
sastra – yang meliputi “Sastra dan Sejarah”, “Ironi, Humor, Sufi”, “Sastra dan
Tradisi Islam”, dan “Sumpah Puisi”.
Dalam acara
tersebut, Hasan Al Banna didaulat membacakan cerpennya yang pernah dimuat di Koran Tempo tahun 2009 dengan judul
“Malim Pesong”. Ada kebahagiaan tersendiri jika mendengar berita tersebut.
“Orang kita” diberi kesempatan unjuk kebolehan di panggung bergengsi tersebut
mewakili Sumatera Utara.
Selain Hasan Al
Banna, beberapa sastrawan nasional dan internasional yang diundang antara lain:
Bre Redana, Clara Ng, Iain Bamforth, Manal Omar, Steven Conte, Yusi Pareanom,
Danarto, Joko Pinurbo, F. Rahadi, D. Zawawi Imron, A. Fuadi, Ben Sohib, Okky
Madasari, Syaiful Alim, F. Aziz Manna, Esha Tegar Putra, Zaim Rofiqi, dan
beberapa lagi yang lain.
Klasik
Nan Asik dalam Sebuah Buku
Sepulangnya dari
sana, Hasan Al Banna menunjukkan dan memerbolehkan saya meminjam buku kumpulan
karya dari Bienale Sastra Internasional itu yang saya yakini sebagai cendramata.
Buku bersampul biru tersebut kelihatan biasa saja terutama dari desain
sampulnya. Setelah diamati ternyata di situlah memang letak klasiknya.
Di lembar
pertama setelah sampul tertulis nama penyunting, yaitu Ayu Utami, Hasif Amini,
Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Selanjutnya untuk penerjemah yaitu
Ariantri Eddy Tarman, Indah Lestari, Kadek Krishna Adidarma, Marjorie Ruth
Suanda, dan Miagina Amal serta untuk Desain dan Tata Letak oleh Ari Prameswari.
Ayu Utami yang
sebagai Direktur Bienal Sastra Utan Kayu-Salihara 2011, dalam kata pengantar di
buku tersebut mengatakan:
“Adakah yang
klasik di negeri ini sedangkan Indonesia sendiri adalah sebuah hasil modernime
? Kita memiliki sastra Melayu Klasik, Jawa Klasik, Bali Klasik dan lain-lain –
yang ditulis dengan aksara serta bahasa masing-masing. Dengan pemahaman ala
Eropa, “Kesusastraan Klasik Indonesia” adalah sebuah oksomoron.
Dengan
mengerahkan sumber daya yang dekat maupun yang jauh, serta memahami bahwa dalam
pengalamannya yang khas itu telah muncul pula sesuatu yang klasik. Maka yang
klasik di sini barangkali adalah yang memberi dasar dan konvensi bagi proyeksi
kesusastraan itu sendiri ke dapan.”
Dengan demikian,
sajak-sajak Chairil Anwar, meskipun bersifat sangat modern, telah menjadi
klasik dalam trayek kesusastraan Indonesia. Novel-novel Sutan Takdir
Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer, sekalipun ditulis secara terang-benderang
dan mendakwahkan ide-ide modern, telah pula menjelma klasik.
Maka, yang
klasik di sini adalah sebentang khazanah kesusastraan, yang isinya bisa jadi
tradisional, bisa jadi modern tetapi yang memberikan pijakan-pijakan kokoh bagi
kelangsungan kesusastraan kita.
Di tengah
percepatan serta ributnya produksi sastra itu, keadaan yang mesti disyukuri
sekaligus dicermati – merasa penting berjeda sejenak dan memberi waktu pada
khazanah klasik untuk mengungkapkan dirinya kembali. Agar kita tahu kekayaan
kita. Agar kita tidak mengulangi sesuatu secara sia-sia. Mungkin itulah yang
menjadi tujuan kegiatan itu menurut saya.
Dalam buku
tersebut dimuat karya sastra berupa puisi dan cerpen pilihan. Antara lain karya
Ahmad Fuadi (cerpen “Percikan-percikan dari Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna ”
hal. 18 ), karya Avianti Armand (puisi “9000 KM. Satu Matahari. Menit” hal. 32),
Karya Ben Sohib (cerpen “Apang Bokek dan Pidato Istrinya” hal. 40), karya Bre
Redana (cerpen “ Namaku Gitanyali” hal. 54).
Karya Clara Ng (cerpen
“Monsoon” hal. 68), D. Zawawi Imron (puisi “Menembus cakrawala. Perahu Ruh.
Tanah. Sop. Sungai Kecil” hal. 82), karya Esha Tegar Putra (puisi “Hallo, Cinta
yang Jauh di Mata. Lagu Api Padam. Sajak Sentimentil. Pertanyaan dan Jawaban.
Momento. Berkelakar Sendiri Terbenam Sendiri ” hal. 96).
Lalu, F. Rahardi
(puisi “Sepasang Tuyul di Pojok Pantai Ancol. Seorang Laki-laki Bernama Sastro.
Sastro di Rumah Tahanan.” hal. 110), karya Giorgos Veis (puisi “Jika Bisa, Aku
Akan Kau Bunuh. Demi Malam Beku. Lagu Sang Phoenix. Kegunaan Kedai Kopi.
Pekerjaan Si Penyair. Tanpa Kokain, Melbourne Selatan” hal.124), karya Hanna Fransisca
(puisi “Ayam Putih. Pencuri Ranum Pepaya. Burung Api. Kambing Guling.”hal. 136).
Hasan Al Banna (cerpen
“”Malim Pesong” hal. 150), karya Iain Bamforth (“Dari Catatan Pengamat Alam. Anekdot
Medis Kaki Tangan yang tercerai Berai” hal. 166), karya Joko Pinurbo (puisi
“Mudik. Penumpang terakhir. Telepon Tengah Malam. Dengan Kata Lain. Terompet
Tahun Baru” hal. 178).
Selanjutnya,
karya Linda Cristanti (cerpen “Seekor Anjing Mati di Bala Murghab” hal. 190),
karya M. K. Singh (puisi “Mega Duta” hal. 204), karya Okky Madasari (cerpen
“Dewandaru” hal. 220), karya Steven Conte (Cuplikan Novel “Perang Penjaga Kebun
Binatang” hal. 232), karya Syaiful Alim (cerpen “Penjara yang Terkoyak ”hal.
238), karya Yusi Pareanom (cerpen “Ajal Anwar Sadar di Cempaka Putih” hal.
248), dan karya Zaim Rofiqi (puisi “Malin Kundang. Ikarus. Kali. Wang Fo” hal.
268).
Karya-karya tersebut ditulis dalam dua bahasa,
yaitu Indonesia dan Inggris dalam satu buku. Jika awalnya karya tersebut
ditulis dalam bahasa Indonesia, maka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan
begitu juga sebaliknya. Itulah usaha lain untuk menghidangkan karya sastra ke
khalayak lokal dan internasional agar lebih mudah dikonsumsi.
Dengan
usaha-usaha seperti ini, mudah-mudahan karya sastra dapat merebut kembali peranannya
di tengah peradaban manusia yang penuh tanda tanya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar