Jumat, 01 Februari 2013

ESAI : Syafrizal Sahrun (Sabtu, 21 Januari 2012)



CENDRAMATA BIENALE SASTRA INTERNASIONAL

 

B
ienale Sastra Internasional (International Literary Biannale) Utan Kayu-Salihara 2011 telah berlalu. Kegiatan yang mengusung tema “Klasik nan Asik”  itu berlangsung mulai tanggal 8 – 29 Oktober 2011 dengan berbagai mata acara, antara lain Pentas dan Diskusi sastra – yang meliputi “Sastra dan Sejarah”, “Ironi, Humor, Sufi”, “Sastra dan Tradisi Islam”, dan “Sumpah Puisi”.
Dalam acara tersebut, Hasan Al Banna didaulat membacakan cerpennya yang pernah dimuat di Koran Tempo tahun 2009 dengan judul “Malim Pesong”. Ada kebahagiaan tersendiri jika mendengar berita tersebut. “Orang kita” diberi kesempatan unjuk kebolehan di panggung bergengsi tersebut mewakili Sumatera Utara.
Selain Hasan Al Banna, beberapa sastrawan nasional dan internasional yang diundang antara lain: Bre Redana, Clara Ng, Iain Bamforth, Manal Omar, Steven Conte, Yusi Pareanom, Danarto, Joko Pinurbo, F. Rahadi, D. Zawawi Imron, A. Fuadi, Ben Sohib, Okky Madasari, Syaiful Alim, F. Aziz Manna, Esha Tegar Putra, Zaim Rofiqi, dan beberapa lagi yang lain.

Klasik Nan Asik dalam Sebuah Buku
Sepulangnya dari sana, Hasan Al Banna menunjukkan dan memerbolehkan saya meminjam buku kumpulan karya dari Bienale Sastra Internasional itu yang saya yakini sebagai cendramata. Buku bersampul biru tersebut kelihatan biasa saja terutama dari desain sampulnya. Setelah diamati ternyata di situlah memang letak klasiknya.
Di lembar pertama setelah sampul tertulis nama penyunting, yaitu Ayu Utami, Hasif Amini, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge. Selanjutnya untuk penerjemah yaitu Ariantri Eddy Tarman, Indah Lestari, Kadek Krishna Adidarma, Marjorie Ruth Suanda, dan Miagina Amal serta untuk Desain dan Tata Letak oleh Ari Prameswari.
Ayu Utami yang sebagai Direktur Bienal Sastra Utan Kayu-Salihara 2011, dalam kata pengantar di buku tersebut mengatakan:
“Adakah yang klasik di negeri ini sedangkan Indonesia sendiri adalah sebuah hasil modernime ? Kita memiliki sastra Melayu Klasik, Jawa Klasik, Bali Klasik dan lain-lain – yang ditulis dengan aksara serta bahasa masing-masing. Dengan pemahaman ala Eropa, “Kesusastraan Klasik Indonesia” adalah sebuah oksomoron.
Dengan mengerahkan sumber daya yang dekat maupun yang jauh, serta memahami bahwa dalam pengalamannya yang khas itu telah muncul pula sesuatu yang klasik. Maka yang klasik di sini barangkali adalah yang memberi dasar dan konvensi bagi proyeksi kesusastraan itu sendiri ke dapan.”
Dengan demikian, sajak-sajak Chairil Anwar, meskipun bersifat sangat modern, telah menjadi klasik dalam trayek kesusastraan Indonesia. Novel-novel Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer, sekalipun ditulis secara terang-benderang dan mendakwahkan ide-ide modern, telah pula menjelma klasik.
Maka, yang klasik di sini adalah sebentang khazanah kesusastraan, yang isinya bisa jadi tradisional, bisa jadi modern tetapi yang memberikan pijakan-pijakan kokoh bagi kelangsungan kesusastraan kita.
Di tengah percepatan serta ributnya produksi sastra itu, keadaan yang mesti disyukuri sekaligus dicermati – merasa penting berjeda sejenak dan memberi waktu pada khazanah klasik untuk mengungkapkan dirinya kembali. Agar kita tahu kekayaan kita. Agar kita tidak mengulangi sesuatu secara sia-sia. Mungkin itulah yang menjadi tujuan kegiatan itu menurut saya.
Dalam buku tersebut dimuat karya sastra berupa puisi dan cerpen pilihan. Antara lain karya Ahmad Fuadi (cerpen “Percikan-percikan dari Negeri 5 Menara dan Ranah 3 Warna ” hal. 18 ), karya Avianti Armand (puisi “9000 KM. Satu Matahari. Menit” hal. 32), Karya Ben Sohib (cerpen “Apang Bokek dan Pidato Istrinya” hal. 40), karya Bre Redana (cerpen “ Namaku Gitanyali” hal. 54).
Karya Clara Ng (cerpen “Monsoon” hal. 68), D. Zawawi Imron (puisi “Menembus cakrawala. Perahu Ruh. Tanah. Sop. Sungai Kecil” hal. 82), karya Esha Tegar Putra (puisi “Hallo, Cinta yang Jauh di Mata. Lagu Api Padam. Sajak Sentimentil. Pertanyaan dan Jawaban. Momento. Berkelakar Sendiri Terbenam Sendiri ” hal. 96).
Lalu, F. Rahardi (puisi “Sepasang Tuyul di Pojok Pantai Ancol. Seorang Laki-laki Bernama Sastro. Sastro di Rumah Tahanan.” hal. 110), karya Giorgos Veis (puisi “Jika Bisa, Aku Akan Kau Bunuh. Demi Malam Beku. Lagu Sang Phoenix. Kegunaan Kedai Kopi. Pekerjaan Si Penyair. Tanpa Kokain, Melbourne Selatan” hal.124), karya Hanna Fransisca (puisi “Ayam Putih. Pencuri Ranum Pepaya. Burung Api. Kambing Guling.”hal. 136).
Hasan Al Banna (cerpen “”Malim Pesong” hal. 150), karya Iain Bamforth (“Dari Catatan Pengamat Alam. Anekdot Medis Kaki Tangan yang tercerai Berai” hal. 166), karya Joko Pinurbo (puisi “Mudik. Penumpang terakhir. Telepon Tengah Malam. Dengan Kata Lain. Terompet Tahun Baru” hal. 178).
Selanjutnya, karya Linda Cristanti (cerpen “Seekor Anjing Mati di Bala Murghab” hal. 190), karya M. K. Singh (puisi “Mega Duta” hal. 204), karya Okky Madasari (cerpen “Dewandaru” hal. 220), karya Steven Conte (Cuplikan Novel “Perang Penjaga Kebun Binatang” hal. 232), karya Syaiful Alim (cerpen “Penjara yang Terkoyak ”hal. 238), karya Yusi Pareanom (cerpen “Ajal Anwar Sadar di Cempaka Putih” hal. 248), dan karya Zaim Rofiqi (puisi “Malin Kundang. Ikarus. Kali. Wang Fo” hal. 268).
 Karya-karya tersebut ditulis dalam dua bahasa, yaitu Indonesia dan Inggris dalam satu buku. Jika awalnya karya tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia, maka diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan begitu juga sebaliknya. Itulah usaha lain untuk menghidangkan karya sastra ke khalayak lokal dan internasional agar lebih mudah dikonsumsi.
Dengan usaha-usaha seperti ini, mudah-mudahan karya sastra dapat merebut kembali peranannya di tengah peradaban manusia yang penuh tanda tanya. ***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar