Sabtu, 02 Maret 2013

Cerpen : Imam Damara



Bu, Balas Surat Allysa

 

S
emenjak sore Allysa terpaku melihat kotak pos yang berada di depan rumahnya. Berharap Pak tukang pos mengantarkan surat untuknya. Surat balasan yang ia kirim untuk ibunya yang di sana. Yang pergi jauh merantau demi melanjutkan karirnya, begitu kata Ayah bila Allysa bertanya tentang Ibunya.
     “Mungkin Ibu lupa membalasnya. Ibu sangat sibuk.” Ayah mencoba menjelaskan. Khawatir dengan anaknya yang terus menerus berdiam diri menatap kosong pada sebuah kotak pos yang berwarna merah itu.
     “Tidak. Ibu gak mungkin bohong. Ibu sudah berjanji akan membalas surat Allysa.”
     “Tapi Ibu sangat sibuk. Sehingga enggak punya waktu untuk itu, Nak. Mungkin beberapa hari ke depan akan Ibu balas. Percayalah.”
     Allysa hanya diam mendengar penjelasan Ayahnya. Yang ia pikirkan hanyalah mendapatkan surat balasan dari Ibunya. Hanya itu.
     Esok hari, sepulang sekolah, Allysa mendatangi kotak pos di halaman rumahnya. Berharap ada surat balasan. Namun, tetap kosong. Tidak ada surat di dalamnya. Ah, mungkin sudah diambil Bibi, batinnya dalam hati.
     “Bik, surat dari Ibu sudah datang?” tanyanya penuh harap.
     Bibik tertegun. Takut jawaban yang terlontar dari mulutnya akan membuat Allysa sakit hati. Bibik tak ingin melihat kesedihan di bola matanya. Anak sekecil ini belum pantas mengetahui arti dari kehilangan. Mungkin ketika ia beranjak remaja, Allysa akan mengetahui kebenaran yang selama ini tersembunyikan.
     Seperti biasa, sepulang sekolah Allysa selalu mendatangi kotak pos. Lagi-lagi hanya kehampaan yang didapatnya. Tak ada surat dari Ibu. Allysa memendam rasa kecewa yang begitu mendalam. Hatinya terus terusik untuk mengetahui di mana keberadaan Ibunya. Bu, balaslah surat Allysa.
     Malamnya, Allysa menulis surat yang kedua kali untuk Ibunya. Mungkin saja yang pertama hilang atau terjatuh entah ke mana.
     Bu, bagaimana kabar hari ini? Mengapa tidak pernah memberi tahu Allysa? Allysa sangat ingin ketemu dengan Ibu. Allysa kangen ketika Ayah dan Ibu mengajak Allysa ke taman bermain. Dan di sana kita bercanda dan saling berpegangan tangan. Lalu kita pulang ke rumah dengan perasaan gembira. Allysa ingat saat-saat itu. Allysa ingin kenangan itu terulang kembali.
     Allysa juga ingin cerita ama Ibu tentang apa yang Allysa dapatkan di sekolah baru. Di sana banyak teman-teman. Dan mereka sangat baik. Juga tentang Ayah yang selama ini selalu pulang malam. Sepertinya Ayah capek dengan pekerjaannya. Kasihan Ayah. Sepertinya Ayah juga memikirkan tentang Ibu.
     Bu, ini sudah malam. Allysa tidur dulu ya. Soalnya baru pulang dari les bahasa Inggris. Allysa harus istirahat supaya besok bisa sekolah. Begitu kata Ayah. Semoga Ibu selama di sana baik-baik aja ya.
     Sayang Ibu.
     Dari Allysa Annisa
***
     SMA Kyoko, salah satu sekolah swasta yang terkenal milik pengusaha Jepang. Berlokasi dekat dengan Maju Mall, Pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Banyak anak pejabat yang sekolah di sini. Bahkan ada yang bilang cucunya presiden negeri ini juga berada di sekolah internasional ini. Ibarat hotel bintang lima, maka sekolah ini layak mendapat bintang emas berjumlah lima biji di atas logonya.
     Terdapat 5 bangunan bertingkat di sekolah ini. Setiap bangunannya memiliki lift. Setiap kelas terdapat air conditioner, pendingin ruangan. Para pengajarnya bukan sembarangan orang. Minimal sudah menjajaki pendidikan strata 2. Juga harus terampil menguasai bahasa asing. Terutama bahasa Inggris. Singkat cerita, ada juga pengajar dari Jepang yang khusus didatangkan kemari. Maka, tak heran kalau hanya orang berduit sajalah yang mampu mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah ini.
     Allysa pun demikian. Ayahnya adalah seorang pengusaha besar yang disegani di negeri ini. Selain memiliki kebun sawit yang luas, Ayahnya juga memiliki rumah makan sea food yang memiliki beberapa cabang di Eropa. Hidup bergelimang kemewahan sudah menjadi hal yang biasa bagi Allysa. Namun, kehilangan seorang Ibu tak mampu membayar kepedihan hatinya. Sayang, anak sekecil ini sudah harus mengalami demikian.
     Di kelas, teman-teman Allysa selalu berbicara tentang Ibunya. Mereka sangat gemar ngobrol tentang kebaikan Ibu mereka masing-masing. Hal itulah yang membuat hati Allysa semakin perih. Membuatnya malas pergi ke sekolah tiap paginya.
     Pulang sekolah juga sama. Di taman, sambil menunggu jemputan, gadis kecil bermata coklat ini iri melihat senyum teman-temannya yang dijemput oleh Ibu mereka beserta supirnya. Lalu mereka bercerita apa yang telah didapatnya selama di sekolah. Sungguh iba melihat wajah gadis kecil yang masih SD ini. Dengan kehidupan sempurna yang ia miliki ternyata memiliki kekurangan yang tak mampu ia miliki. Ibu.
***
     Genap sudah 10 hari sejak Allysa mengirim surat yang keduanya ke kantor Pos. Seperti yang sebelumnya, tak ada tanda-tanda akan datangnya pembalasan surat yang dibawakan Pak tukang pos ke rumahnya. Entah sampai kapan Allysa terus berharap. Biarlah waktu yang menjawabnya.
     Hari-hari terus berlanjut, dan balasan itu belum menampakkan tandanya. Membuat Ayah khawatir dengan keadaan Allysa yang kian hari semakin lemas terkulai di tempat tidur. Sepanjang hari ia hanya berbaring. Lemas untuk bergerak. Bahkan untuk makan dan buang air pun Allysa memerlukan bantuan Bibik.
     Khawatir dengan kondisi anaknya yang semakin kurus, Ayah membawa Allysa ke rumah sakit. Perawatan intensif dilakukan pihak rumah sakit untuk memulihkan keadaaan Allysa.
     “Yah, ini di mana? Bukan di rumah ya?” tanya Allysa pada ayahnya.
     “Ini di rumah sakit, Nak. Jangan khawatir.” jawab ayah sambil mengelus kening Allysa.
***
     Sepanjang hari tubuh Allysa semakin kurus. Pipinya yang dulu tembem nan menggemaskan, kini tirus seperti orang yang tak pernah makan berhari-hari.
     “Pak, sepertinya Allysa harus dioperasi besok. Keadaaannya semakin parah. Berdasarkan diagnosa kami, sepertinya Allysa mengidap sakit misterius di lambungnya. Hal ini menyebabkannya malas makan akibat rasa sakit yang diderita. Sehingga ia terasa sakit ketika mencerna datangnya asupan makanan.” Dokter Irwan, dokter yang merawat Allysa, mencoba memberi penjelasan kepada Ayah Allysa.
     “Dok, tolong anak saya dok. Apapun akan saya lakukan untuk Allysa. Saya takut kenapa-kenapa. Tolong dok.” Ayah panik mendengarnya. Terpikir olehnya yang tidak-tidak.
     “Sabar Pak. Sebaiknya kita bicarakan hal ini di luar. Tidak enak ngomong di sini.”
     Tanpa sengaja Allysa mendengar pembicaraan mereka. Jantungnya berdegup kencang. Dingin. Gemetar. Mengigil. Seperti ada yang mengancam. Tapi tak tahu apa. Ia tak mau memikirkan hal-hal yang aneh. Di pikiran Allysa hanya Ibu. Tak ada yang lain. Segera diambilnya pulpen dan kertas di samping tempat tidur yang sengaja ia siapkan.
     Bu, ini Allysa. Sekarang Allysa nginap di rumah sakit. Beberapa hari ini badan Allysa gak enak. Seperti ada sesuatu yang muncul di perut Allysa. Sakit Bu. Sangat sakit. Allysa udah enggak kuat lagi. Tapi kata Ayah, Allysa harus sabar dan kuat menghadapi ini. Do’a kan Allysa sembuh ya Bu.
     Bu, sepertinya ini surat terakhir yang Allysa buat untuk Ibu. Mungkin besok-besok tangan Allysa enggak sanggup lagi memegang pulpen. Perut ini semakin sakit. Tadi Pak dokter bilang, Allysa harus dioperasi. Allysa gak tahu apa itu operasi. Tapi Ibu jangan sedih. Allysa akan selalu ada di sisi Ibu. Dan Allysa akan selalu sayang ama Ibu.
     Air mata jatuh membasahi pipi Allysa. Tak kuasa ia menahan diri. Diletakkannya pulpen dan kertas di meja kecil dekat tempat tidurnya. Lalu, Allysa melanjutkan tidurnya. Mata ditutup perlahan-lahan. Senyum bahagia ia sunggingkan kepada yang Maha Kuasa. Terima kasih atas bahagia yang sudah diberikan. ***


Medan, 04 Februari 2013





Imam Damara lahir pada 3 Desember 1991. Merupakan mahasiswa biasa yang sedang belajar dalam dunia kepenulisan. Kini aktif dalam organisasi kepenulisan FLP SU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar