Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen : Nuraini (Sabtu, 21 Januari 2012)



SRI

 

S
ebut saja namanya Sri. Kembang desa yang menjadi pujaan dan rebutan kaum lelaki di desanya, entah itu yang tua maupun yang muda. Bagaimana tak menjadi rebutan, selain berparas cantik dan bertubuh molek Sri adalah gadis desa yang pintar, berpendidikan dan berpikiran maju. Dia baru saja menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi negeri di kota.
Karena telah menyelesaikan studinya, lepas wisuda Sri pulang ke desanya. Lama juga Sri tidak memiliki kegiatan di desanya.
Karena mengetahui Sri  si kembang desa sudah pulang ke kampung halamannya, para pria pun mulai sibuk bersaing dengan berbagai cara untuk mendapatkan perhatian dan cintanya Sri. Baik tua ataupun muda, berlomba-lomba datang meminangnya, berharap Sri mau dipersunting menjadi istri. Siapa coba yang tidak mau mempunyai istri yang cantik.
          Tak kalah hebohnya dengan kaum pria, perempuan-perempuan di desa itupun sibuk kasak-kusuk, menggosip di sana sini, membicarakan Sri. Mereka khawatir kalau-kalau suami ataupun pacarnya kepincut kepada Sri.
          Sri tidak terlalu memedulikan gunjingan-gunjingan, gosip-gosip para tetangga. Dia pun mengabaikan lamaran yang datang, walaupun datangnya dari seorang juragan yang sangat kaya di kampungnya.
“Pak, Bu! Sri itu belum ada kepikiran mau kawin, pinginnya  Sri kerja.  Untuk apa Sri sekolah tinggi-tinggi kalau harus cepat-cepat kawin.”
“Bukannya Bapak sama Ibumu ini memaksa kamu supaya cepat-cepat kawin, bukan kami melarang kamu untuk bekerja di kota. Kamu kan tau sendiri, Bapak sama Ibumu ini sudah tua, sudah pingin melihat kamu menikah dan menimang cucu dari kamu Sri. Kami sudah tua, kalau kamu pergi, siapa yang akan merawat kami nantinya?”
“Sri tau, Pak, Bu , tapi niat Sri untuk kerja ini sudah Sri fikirkan sejak lama.”
“Ya sudah, kalau kau bersikeras dengan keinginanmu itu, kami tidak akan menghalang-halangimu lagi.”
Setelah sebulan lebih dia berada di desa, sejak malam perdebatan itu, akhirnya Sri jadi juga berangkat ke kota untuk bekerja. Siang itu Sri berangkat dengan berat hati, derai air mata Bapak dan Ibunya ikut mengiringi kepergian Sri. Siang itu, langit mendung, seperti hendak menggambarkan suasana hati mereka saat itu.
“Sampai di sini Bapak dan Ibu mengantarmu. Hati-hatilah kau di sana. Jaga dirimu baik-baik. Sering-seringlah mengirim kabar.”
“Ya, Bu, Pak! Sesampainya di sana Sri akan langsung mengabari.”
Maka, berangkatlah Sri. Di kota, Sri sudah ada tempat untuk tinggal. Dia tinggal satu rumah kos dengan teman kuliahnya dulu, Rita namanya. Ritalah yang membantunya mendapatkan pekerjaan. Sekarang Sri bekerja di sebuah perusahaan sebagai sekretaris direktur.
          Direktur muda pemilik perusahaan yang tampan dan kharismatik itu bernama Aldo. Ia sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak, dikarenakan kedua rahim istrinya harus diangkat sebab suatu penyakit.
          Sebagai sekretaris, tentunya dia selalu bertemu dengan Pak Aldo, atasanya itu. Setiap urusan pekerjaan di kantor ataupun di luar kantor tentunya Sri juga berperan di sana. Sri merupakan karyawan yang disiplin. Pak Aldo menyukai cara kerjanya.
          Dari gaji yang diperolehnya, Sri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengirim uang ke kampung, untuk meringankan beban ekonomi keluarganya, karena Bapaknya hanyalah seorang pensiunan pegawai kebon. Dengan uang itu terbantulah Bapak dan Ibunya. Ada rasa bangga timbul di hati kedua orang tuanya atas keberhasilanya di kota.
          Selama Sri tinggal di kota, jauh dari sanak keluarga. Hanya Ritalah yang menjadi kerabat, saudara dan juga tempat mencurahkan segala isi hatinya. Tapi tak lama lagi dia akan pulang ke desanya, karena akan melangsungkan pernikahan. Sepulangnya Rita, Sri jadi tinggal sendiri di rumah kostnya itu.
          Hari itu Sri kerja lembur dan pulang lebih lama dari biasanya, karena ada pekerjaan yang harus segera diselesaikannya. Karena sibuknya, dia tiddak menyadari kalau Pak Alda ada di sana dan sedang memerhatikannya.
          “Hh….,” Sri menarik nafas. “Akhirnya selesai juga, sudah malam rupanya, masih ada angkot gak ya ?  Harus buru-buru nih.”
          Lama Sri menunggu angkot ataupun taksi yang lewat, tapi tidak juga datang. Dari belakang, rupanya Pak Aldo juga baru ke luar dari parkiran dengan mobilnya.
“Lho, Sri masih di sini?”
“Iya, Pak, belum dapat taksi nih.”
“Bagaimana kalau saya antar kamu pulang? Sudah malam sekali nih!”
“Terima kasih, Pak, tidak usah, Pak, saya naik taksi saja.”
“Bukankah kita satu arah, ini sudah malam, nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu bagaimana?”
”Kalau begitu, baiklah, Pak.”
Dalam perjalanan itu, mereka berdua mengobrol panjang lebar.
“Sudah sampai, Pak, saya turun di sini saja, terimakasih! Mari, Pak, singgah minum kopi dulu!”
“Oh,  terima kasih, saya langsung pulang saja. Selamat malam!”
Sejak malam itu hubungan Pak Aldo dengan Sri semakin dekat, semakin sering Pak Aldo mengantarkan Sri pulang, dan minum kopi di kostnya. Kedekatan mereka kini berkembang dan entah disadari atau tidak rasa simpati dan benih-benih cinta mulai tumbuh di antara mereka berdua. Sekarang mereka terlihat lebih sering bersama-sama dalam berbagai kesempatan.
Hari itu mereka harus pergi ke luar kota untuk beberapa hari karena urusan pekerjaan. Mereka menginap di sebuah vila dan hanya tinggal berdua saja jika malam, karena penjaga vila itu pulang pada malam hari. Jauhnya mereka dari orang-orang yang mengenal mereka. Hubungan yang mereka jalani semakin mesra, karena tidak perlu canggung, takut, ataupun risih dengan gosip-gosip, orang yang membicarakan atau memerhatikan gerak-gerik mereka.
Selesai survei lapangan, Sri dan Aldo tidak  dapat kembali ke kota sesuai apa yang sudah dijadwalkan, akibat cuaca buruk. Keduanya kembali ke vila dalam keadaan basah kuyup karena hujan.
Pakaian Sri yang basah, menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya yang molek. Rambutnya basah tergerai membuat dia terlihat seksi dan menggairahkan.  Aldo yang melihat Sri dalam keadaan basah itu, tidak dapat memungkiri perasaanya bahwa  ada hasrat birahi di sana, yang menginginkan Sri dan tubuhnya dalam keadaan utuh.
Mereka mengeringkan tubuh dan mengganti pakaian yang basah itu dengan piyama. Keduanya menghangatkan diri dengan duduk di sebuah sofa yang empuk dekat perapian,  sambil mendengarkan irama musik klasik yang romantis.
Dalam suasana yang romantis itu, ada getaran hebat yang  dirasakan Sri saat Aldo menggenggam tangannya. Dirangkulnya dan dipandanginya Sri dalam-dalam, seperti hendak menyampaikan sesuatu lewat matanya. Sri  merasa canggung, tetapi menikmati.
Dia tenggelam dalam pelukan dan belaian tangan Aldo. Aldo mencium kening, pipi dan……. ”Sri aku menginginkanmu”.
“Bagaimana dengan,…..?” Belum sempat selesai Sri berkata, Aldo telah melumat  bibir Sri dengan penuh kehangatan. Kenikmatan yang dirasakan Sri membuatnya terlena  dan membalas lumatan bibir itu dengan penuh gairah.
Entah setan apa yang merasuk dan menggoda, hingga mereka melakukan hal itu, kenikmatan sesaat. Dirasakannya selangkangannya perih. Terbayang dia dengan kedua orang tuanya dan akibat yang  akan ditanggungnya nanti.
“Mas, bagaimana kalau Sri nanti hamil? Bagaimana, Mas?” tanya Sri dengan isak tangis.
“Jangan takut, Sri, aku akan bertanggung jawab, aku mencintaimu.”
Dua bulan telah berlalu setelah kejadian itu, Sri merasa tidak sehat dan mual pada perutnya. Setelah diperiksakan ke dokter, ternyata Sri dinyatakan positif hamil. Hal yang  dikhawatirkanya terjadi juga, hal ini diberitahukanya pada Aldo. Tentunya Aldo merasa senang, karena itu yang diinginkannya selama ini, seorang anak yang tak mungkin didapatnya dari istrinya sekarang.
“Aku akan segera menikahimu, Sri.”
Sri tahu hal ini tidak baik dan tidak mungkin. Istri Aldo adalah wanita baik, lagi pula keluarga besarnya tidak menyukainya. Orang-orang selalu membicarakannya, memvonisnya sebagai wanita tidak benar, pengganggu dan perusak rumah tangga orang. Ini semua membuat Sri terpukul, gundah, gelisah, malu rasa bersalah sebesar-besarnya.
”Mengapa aku mengenalnya, memujanya dan mengapa akhirnya aku jatuh cinta padanya, hingga terjadi hal ini?”
Lama Sri menyadari, merenung, dan menimbang-nimbang ajakan Aldo untuk menikah. Tapi tekanan berat  yang  dirasakannya begitu melemahkan dirinya. Sri tidak mau mengganggu hubungan suami-istri Aldo. Akhirnya dengan perasaan yang kacau balau, dia pergi dan meninggalkan Aldo dan pulang ke kampung halamanya, berharap kedua orang tuanya mau memaafkan  dan menerimanya.
Sri pulang ke kampungnya tanpa berpamitan pada Aldo, hanya sepucuk surat ditinggalkannya.
“Dear, Mas Aldo
Sebelumnya Sri minta maaf karena Sri pergi tanpa berpamitan terlebih dahulu. Mungkin kepergianku untuk selamanya dan tak akan kembali. Bukan aku tak mau di sisimu lagi, bukan ku jatuh hati pada yang lain. Demi kebaikan semua, dengan berat hati Sri mengambil keputusan ini.
          Biarlah hati ini, biarlah derita ini ku tanggung sendiri. Aku mencintaimu Mas, tapi, sayangilah istrimu, Mas.
          Tak perlu mengkhawatirkan aku, jangan mencariku.

                                                                                    
                                                                   SRI

Sesampainya Sri di kampung, Bapak-Ibunya merasa senang, sampai akhirnya kecewa dengan cerita Sri tentang kejadian yang dialaminya. Bapak-Ibunya terpukul dan mengusir Sri dari rumahnya.
 Dengan sedih, Sri pergi ke luar  kota, jauh dari kampungnya, Bapak-Ibunya dan juga Aldo. Sri tinggal di sebuah panti asuhan dan menyambung hidupnya dengan bekerja sebagai pengasuh anak di sana. Di kota yang sejuk itu Sri memulai kehidupan baru dan melahirkan putrinya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar