SRI
S
|
ebut saja namanya Sri. Kembang desa yang menjadi pujaan dan
rebutan kaum lelaki di desanya, entah itu yang tua maupun yang muda. Bagaimana
tak menjadi rebutan, selain berparas cantik dan bertubuh molek Sri adalah gadis desa yang pintar,
berpendidikan dan berpikiran maju. Dia baru saja menyelesaikan studinya di
sebuah perguruan tinggi negeri di kota.
Karena telah
menyelesaikan studinya, lepas wisuda Sri
pulang ke desanya. Lama juga Sri
tidak memiliki kegiatan di desanya.
Karena mengetahui Sri si kembang desa sudah pulang ke kampung
halamannya, para pria pun mulai sibuk bersaing dengan berbagai cara untuk
mendapatkan perhatian dan cintanya Sri.
Baik tua ataupun muda, berlomba-lomba datang meminangnya, berharap Sri mau dipersunting menjadi istri.
Siapa coba yang tidak mau mempunyai istri yang cantik.
Tak kalah
hebohnya dengan kaum pria, perempuan-perempuan di desa itupun sibuk
kasak-kusuk, menggosip di sana sini, membicarakan Sri. Mereka khawatir
kalau-kalau suami ataupun pacarnya kepincut kepada Sri.
Sri tidak
terlalu memedulikan gunjingan-gunjingan, gosip-gosip para tetangga. Dia pun
mengabaikan lamaran yang datang, walaupun datangnya dari seorang juragan yang
sangat kaya di kampungnya.
“Pak, Bu! Sri itu
belum ada kepikiran mau kawin, pinginnya
Sri kerja. Untuk apa Sri sekolah
tinggi-tinggi kalau harus cepat-cepat kawin.”
“Bukannya Bapak
sama Ibumu ini memaksa kamu supaya cepat-cepat kawin, bukan kami melarang kamu
untuk bekerja di kota. Kamu kan tau
sendiri, Bapak sama Ibumu ini sudah tua, sudah pingin melihat kamu menikah dan
menimang cucu dari kamu Sri. Kami sudah tua, kalau kamu pergi, siapa yang akan
merawat kami nantinya?”
“Sri tau, Pak, Bu
, tapi niat Sri untuk kerja ini sudah Sri fikirkan sejak lama.”
“Ya sudah, kalau
kau bersikeras dengan keinginanmu itu, kami tidak akan menghalang-halangimu
lagi.”
Setelah sebulan
lebih dia berada di desa, sejak malam perdebatan itu, akhirnya Sri jadi juga
berangkat ke kota
untuk bekerja. Siang itu Sri berangkat dengan berat hati, derai air mata Bapak
dan Ibunya ikut mengiringi kepergian Sri. Siang itu, langit mendung, seperti
hendak menggambarkan suasana hati mereka saat itu.
“Sampai di sini
Bapak dan Ibu mengantarmu. Hati-hatilah kau di sana. Jaga dirimu baik-baik. Sering-seringlah
mengirim kabar.”
“Ya, Bu, Pak!
Sesampainya di sana Sri akan langsung mengabari.”
Maka, berangkatlah
Sri. Di kota, Sri sudah ada tempat untuk tinggal. Dia tinggal satu rumah kos
dengan teman kuliahnya dulu, Rita namanya. Ritalah yang membantunya mendapatkan
pekerjaan. Sekarang Sri bekerja di sebuah perusahaan sebagai sekretaris direktur.
Direktur muda
pemilik perusahaan yang tampan dan kharismatik itu bernama Aldo. Ia sudah
menikah tetapi belum dikaruniai anak, dikarenakan kedua rahim istrinya harus
diangkat sebab suatu penyakit.
Sebagai sekretaris,
tentunya dia selalu bertemu dengan Pak Aldo, atasanya itu. Setiap urusan
pekerjaan di kantor ataupun di luar kantor tentunya Sri juga berperan di sana.
Sri merupakan karyawan yang disiplin. Pak Aldo menyukai cara kerjanya.
Dari gaji yang
diperolehnya, Sri dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengirim uang ke kampung,
untuk meringankan beban ekonomi keluarganya, karena Bapaknya hanyalah seorang
pensiunan pegawai kebon. Dengan uang itu terbantulah Bapak dan Ibunya. Ada rasa bangga timbul di hati kedua orang tuanya atas
keberhasilanya di kota.
Selama Sri
tinggal di kota,
jauh dari sanak keluarga. Hanya Ritalah yang menjadi kerabat, saudara dan juga
tempat mencurahkan segala isi hatinya. Tapi tak lama lagi dia akan pulang ke desanya,
karena akan melangsungkan pernikahan. Sepulangnya Rita, Sri jadi tinggal
sendiri di rumah kostnya itu.
Hari itu Sri
kerja lembur dan pulang lebih lama dari biasanya, karena ada pekerjaan yang
harus segera diselesaikannya. Karena sibuknya, dia tiddak menyadari kalau Pak
Alda ada di sana dan sedang memerhatikannya.
“Hh….,” Sri
menarik nafas. “Akhirnya selesai juga, sudah malam rupanya, masih ada angkot gak ya ?
Harus buru-buru nih.”
Lama Sri
menunggu angkot ataupun taksi yang lewat, tapi tidak juga datang. Dari belakang,
rupanya Pak Aldo juga baru ke luar dari parkiran dengan mobilnya.
“Lho, Sri masih di
sini?”
“Iya, Pak, belum
dapat taksi nih.”
“Bagaimana kalau
saya antar kamu pulang? Sudah malam sekali nih!”
“Terima kasih, Pak,
tidak usah, Pak, saya naik taksi saja.”
“Bukankah kita
satu arah, ini sudah malam, nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu bagaimana?”
”Kalau begitu,
baiklah, Pak.”
Dalam perjalanan
itu, mereka berdua mengobrol panjang lebar.
“Sudah sampai, Pak,
saya turun di sini saja, terimakasih! Mari, Pak, singgah minum kopi dulu!”
“Oh, terima kasih, saya langsung pulang saja.
Selamat malam!”
Sejak malam itu
hubungan Pak Aldo dengan Sri semakin dekat, semakin sering Pak Aldo
mengantarkan Sri pulang, dan minum kopi di kostnya. Kedekatan mereka kini
berkembang dan entah disadari atau tidak rasa simpati dan benih-benih cinta
mulai tumbuh di antara mereka berdua. Sekarang mereka terlihat lebih sering
bersama-sama dalam berbagai kesempatan.
Hari itu mereka
harus pergi ke luar kota untuk beberapa hari karena urusan pekerjaan. Mereka
menginap di sebuah vila dan hanya tinggal berdua saja jika malam, karena
penjaga vila itu pulang pada malam hari. Jauhnya mereka dari orang-orang yang
mengenal mereka. Hubungan yang mereka jalani semakin mesra, karena tidak perlu canggung,
takut, ataupun risih dengan gosip-gosip, orang yang membicarakan atau memerhatikan
gerak-gerik mereka.
Selesai survei
lapangan, Sri dan Aldo tidak dapat
kembali ke kota sesuai apa yang sudah dijadwalkan, akibat cuaca buruk. Keduanya
kembali ke vila
dalam keadaan basah kuyup karena hujan.
Pakaian Sri yang
basah, menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya yang molek. Rambutnya basah tergerai
membuat dia terlihat seksi dan menggairahkan.
Aldo yang melihat Sri dalam keadaan basah itu, tidak dapat memungkiri
perasaanya bahwa ada hasrat birahi di sana,
yang menginginkan Sri dan tubuhnya dalam keadaan utuh.
Mereka
mengeringkan tubuh dan mengganti pakaian yang basah itu dengan piyama. Keduanya
menghangatkan diri dengan duduk di sebuah sofa yang empuk dekat perapian, sambil mendengarkan irama musik klasik yang
romantis.
Dalam suasana yang
romantis itu, ada getaran hebat yang
dirasakan Sri saat Aldo menggenggam tangannya. Dirangkulnya dan dipandanginya
Sri dalam-dalam, seperti hendak menyampaikan sesuatu lewat matanya. Sri merasa canggung, tetapi menikmati.
Dia tenggelam
dalam pelukan dan belaian tangan Aldo. Aldo mencium kening, pipi dan……. ”Sri aku menginginkanmu”.
“Bagaimana
dengan,…..?” Belum sempat selesai Sri berkata, Aldo telah melumat bibir Sri dengan penuh kehangatan. Kenikmatan
yang dirasakan Sri membuatnya terlena
dan membalas lumatan bibir itu dengan penuh gairah.
Entah setan apa
yang merasuk dan menggoda, hingga mereka melakukan hal itu, kenikmatan sesaat.
Dirasakannya selangkangannya perih. Terbayang dia dengan kedua orang tuanya dan
akibat yang akan ditanggungnya nanti.
“Mas, bagaimana
kalau Sri nanti hamil? Bagaimana, Mas?” tanya Sri dengan isak tangis.
“Jangan takut,
Sri, aku akan bertanggung jawab, aku mencintaimu.”
Dua bulan telah
berlalu setelah kejadian itu, Sri merasa tidak sehat dan mual pada perutnya.
Setelah diperiksakan ke dokter, ternyata Sri dinyatakan positif hamil. Hal
yang dikhawatirkanya terjadi juga, hal
ini diberitahukanya pada Aldo. Tentunya Aldo merasa senang, karena itu yang
diinginkannya selama ini, seorang anak yang tak mungkin didapatnya dari
istrinya sekarang.
“Aku akan segera
menikahimu, Sri.”
Sri tahu hal ini
tidak baik dan tidak mungkin. Istri Aldo adalah wanita baik, lagi pula keluarga
besarnya tidak menyukainya. Orang-orang selalu membicarakannya, memvonisnya
sebagai wanita tidak benar, pengganggu dan perusak rumah tangga orang. Ini
semua membuat Sri terpukul, gundah, gelisah, malu rasa bersalah sebesar-besarnya.
”Mengapa aku
mengenalnya, memujanya dan mengapa akhirnya aku jatuh cinta padanya, hingga
terjadi hal ini?”
Lama Sri
menyadari, merenung, dan menimbang-nimbang ajakan Aldo untuk menikah. Tapi tekanan
berat yang dirasakannya begitu melemahkan dirinya. Sri
tidak mau mengganggu hubungan suami-istri Aldo. Akhirnya dengan perasaan yang
kacau balau, dia pergi dan meninggalkan Aldo dan pulang ke kampung halamanya,
berharap kedua orang tuanya mau memaafkan
dan menerimanya.
Sri pulang ke kampungnya
tanpa berpamitan pada Aldo, hanya sepucuk surat ditinggalkannya.
“Dear, Mas Aldo
Sebelumnya Sri minta maaf karena Sri pergi tanpa berpamitan
terlebih dahulu. Mungkin kepergianku untuk selamanya dan tak akan kembali.
Bukan aku tak mau di sisimu lagi, bukan ku jatuh hati pada yang lain. Demi
kebaikan semua, dengan berat hati Sri mengambil keputusan ini.
Biarlah hati
ini, biarlah derita ini ku tanggung sendiri. Aku mencintaimu Mas, tapi,
sayangilah istrimu, Mas.
Tak perlu
mengkhawatirkan aku, jangan mencariku.
“ “
SRI
Sesampainya Sri di
kampung, Bapak-Ibunya merasa senang, sampai akhirnya kecewa dengan cerita Sri
tentang kejadian yang dialaminya. Bapak-Ibunya terpukul dan mengusir Sri dari
rumahnya.
Dengan sedih, Sri pergi ke luar kota, jauh dari kampungnya, Bapak-Ibunya dan
juga Aldo. Sri tinggal di sebuah panti asuhan dan menyambung hidupnya dengan
bekerja sebagai pengasuh anak di sana.
Di kota yang sejuk itu Sri memulai kehidupan baru dan melahirkan putrinya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar