DEWAN KESENIAN
MASIH perlukah Dewan Kesenian? Bukankah dalam era demokrasi saat ini
kemerdekaan berserikat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat—sementara negara
berfungsi menjamin kebebasannya? Lalu, mengapa dalam setiap perbincangan
mengenai dewan kesenian kerap mengharapkan keringantanganan pemerintah?
Pertanyaan-pertanyaan itu
menjalari pikiran saya. Sejumlah seniman di komplek Taman Budaya Sumatera Utara
(TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan 33 Medan, beberapa hari ini ramai
membahasnya. Ada yang diam-diam menyusun kekuatan. Ada yang diam-diam melakukan
pendekatan kepada birokrat di kantor gubernur dan balai kota Medan.
Bahkan, ada yang nekad dan
berani membuat pertemuan dan menyusun kepengurusan Dewan Kesenian Sumatera Utara
(DKSU) meski tanpa tertib acara. Ada juga yang masih sebatas lobi dan pertemuan
informal.
Semuanya sah-sah saja.
Apalagi dalam alam demokrasi saat ini. Apa sebenarnya yang terjadi?
Bagi saya, dewan kesenian
merupakan produk warisan pemerintahan
Orde Baru. Lembaga yang dimaksudkan sebagai mitra kerja pemerintah dalam
melakukan pembinaan dan pengembangan kesenian di tanah air itu justru
sebenarnya merupakan bagian dari gurita
Orde Baru untuk menjinakkan seniman.
Betapa tidak? Lihat saja
dari proses pelahirannya; sarat dengan kemauan politik penguasa. Memang sejarah
kelahirannya (baca: dewan kesenian) melibatkan sejumlah seniman, namun itu
tetap dalam kekangan birokrasi. Lihat saja, hingga sekarang lembaga ini tetap
sebagai underbouw penguasa.
Embrio lembaga Dewan
Kesenian (DK) di Indonesia adalah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). DKJ diresmikan
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 3 Juni 1968, terdiri atas 25 orang
seniman-budayawan terkemuka. Tujuannya, merumuskan konsep pembangunan budaya
yang memberi ruang gerak leluasa bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan
bangsa.
Langkah Gubernur Ali
Sadikin pada saat itu dipandang sebagai angin segar bagi pengembangan
kebudayaan pascarestriksi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan non-Lekra.
Beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Medan, kemudian dengan segera ikut
pula membentuk DK.
Peran DKJ semakin penting pada penghujung 1970-an
sebagai model pembentukan DK di sejumlah provinsi setelah terjalin kontak dan
pendekatan melalui Musyawarah DK se-Indonesia di Malang (29-31 Maret 1978),
Makassar (24-27 September 1979 dan 31 Oktober-3 November 1992), dan Medan
(15-17 Maret 1996).
Dari serangkaian pertemuan
itulah, DK baru mendapatkan landasan hukum dan pengakuan pemerintah Indonesia
ketika Presiden Soeharto pada Desember 1992 memberi petunjuk pembentukan DK di
seluruh Indonesia. Petunjuk ini dijabarkan Menteri Dalam Negeri melalui
Instruksi Nomor 5-A tahun 1993.
Pada petunjuk Presiden
Soeharto yang dijabarkan dalam Instruksi Mendagri tersebut, dengan jelas
dinyatakan peranan pemerintah daerah sebagai pihak yang membiayai kegiatan DK
di daerah masing-masing dan memerlakukan lembaga itu sebagai mitra kerja
pemerintah dalam bidang kebudayaan.
Hm, inikah yang
menyebabkan sejumlah seniman yang sering mangkal di TBSU berlomba-lomba menjadi
pengurus Dewan Kesenian? Instruksi Mendagri tersebut hingga kini belum dicabut.
Dan, sebagai sebuah wadah atau organisasi pula,
tentu saja pembentukan dewan kesenian ini memiliki mekanisme. Musyawarah Dewan
Kesenian se-Indonesia V di Medan (1996)
di antaranya menghasilkan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT).
Di Sumatera Utara, PD/PRT ini telah disempurnakan menjadi Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) melalui Rapat Kerja (Raker) Dewan Kesenian se-Sumatera
Utara beberapa tahun silam.
Nah! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar