Jumat, 01 Februari 2013

CORONG : Suyadi San (Sabtu, 31 Desember 2011)


DEWAN KESENIAN



MASIH perlukah Dewan Kesenian? Bukankah dalam era demokrasi saat ini kemerdekaan berserikat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat—sementara negara berfungsi menjamin kebebasannya? Lalu, mengapa dalam setiap perbincangan mengenai dewan kesenian kerap mengharapkan keringantanganan pemerintah?
            Pertanyaan-pertanyaan itu menjalari pikiran saya. Sejumlah seniman di komplek Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis Kemerdekaan 33 Medan, beberapa hari ini ramai membahasnya. Ada yang diam-diam menyusun kekuatan. Ada yang diam-diam melakukan pendekatan kepada birokrat di kantor gubernur dan balai kota Medan.
            Bahkan, ada yang nekad dan berani membuat pertemuan dan menyusun kepengurusan Dewan Kesenian Sumatera Utara (DKSU) meski tanpa tertib acara. Ada juga yang masih sebatas lobi dan pertemuan informal.
            Semuanya sah-sah saja. Apalagi dalam alam demokrasi saat ini. Apa sebenarnya yang terjadi?
            Bagi saya, dewan kesenian merupakan produk warisan pemerintahan Orde Baru. Lembaga yang dimaksudkan sebagai mitra kerja pemerintah dalam melakukan pembinaan dan pengembangan kesenian di tanah air itu justru sebenarnya merupakan bagian dari gurita Orde Baru untuk menjinakkan seniman.
            Betapa tidak? Lihat saja dari proses pelahirannya; sarat dengan kemauan politik penguasa. Memang sejarah kelahirannya (baca: dewan kesenian) melibatkan sejumlah seniman, namun itu tetap dalam kekangan birokrasi. Lihat saja, hingga sekarang lembaga ini tetap sebagai underbouw penguasa. 
            Embrio lembaga Dewan Kesenian (DK) di Indonesia adalah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). DKJ diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada 3 Juni 1968, terdiri atas 25 orang seniman-budayawan terkemuka. Tujuannya, merumuskan konsep pembangunan budaya yang memberi ruang gerak leluasa bagi seniman untuk menyuarakan pencerahan bangsa.
            Langkah Gubernur Ali Sadikin pada saat itu dipandang sebagai angin segar bagi pengembangan kebudayaan pascarestriksi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan non-Lekra. Beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Medan, kemudian dengan segera ikut pula membentuk DK.
Peran DKJ semakin penting pada penghujung 1970-an sebagai model pembentukan DK di sejumlah provinsi setelah terjalin kontak dan pendekatan melalui Musyawarah DK se-Indonesia di Malang (29-31 Maret 1978), Makassar (24-27 September 1979 dan 31 Oktober-3 November 1992), dan Medan (15-17 Maret 1996).
            Dari serangkaian pertemuan itulah, DK baru mendapatkan landasan hukum dan pengakuan pemerintah Indonesia ketika Presiden Soeharto pada Desember 1992 memberi petunjuk pembentukan DK di seluruh Indonesia. Petunjuk ini dijabarkan Menteri Dalam Negeri melalui Instruksi Nomor 5-A tahun 1993.  
            Pada petunjuk Presiden Soeharto yang dijabarkan dalam Instruksi Mendagri tersebut, dengan jelas dinyatakan peranan pemerintah daerah sebagai pihak yang membiayai kegiatan DK di daerah masing-masing dan memerlakukan lembaga itu sebagai mitra kerja pemerintah dalam bidang kebudayaan.
            Hm, inikah yang menyebabkan sejumlah seniman yang sering mangkal di TBSU berlomba-lomba menjadi pengurus Dewan Kesenian? Instruksi Mendagri tersebut hingga kini belum dicabut.
Dan, sebagai sebuah wadah atau organisasi pula, tentu saja pembentukan dewan kesenian ini memiliki mekanisme. Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia V di Medan (1996)  di antaranya menghasilkan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga (PD/PRT). Di Sumatera Utara, PD/PRT ini telah disempurnakan menjadi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) melalui Rapat Kerja (Raker) Dewan Kesenian se-Sumatera Utara beberapa tahun silam.
Nah! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar