Siapa Sastrawan dan Sastrawati Sumatera Utara?
P
|
ertanyaan sederhana, namun sangat
berarti ketika digiring pada perdebatan
yang “berpikir indah”. Saya katakan berpikir indah dalam tanda kutip
karena ada fenomena baru seakan mudah sekali mendapatkan gelar “sastrawan atau
satrawati”. Persoalannya, siapa mereka yang patut dan pantas mendapat gelar
kehormatan itu?
Buku
antologi puisi Refleksi ; Antologi Puisi Penyair Sumut yang lahir
spontan karena “proyek” pertemuan
seniman, refleksi akhir tahun 2011 dari Pemprovsu, adalah bukti betapa konsep
pertemanan mendominasi lahirnya antologi itu.
Bukan
saja proses kelahirannya terkesan “tebang pilih” dalam memilih penyair yang
mewakili Sumatera Utara dengan sebutan lintas generasi. Garapan antologi itu
sendiri dalam bentuk buku sederhana yang
dicetak asal-asalan, seperti kekurangan dana dan banyak kesalahan dan
kejanggalan.
Jumat
siang yang lalu (30/12), di kantin Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis
Kemerdekaan 33 Medan, penyair gaek A
Rahim Qahhar dengan berang menunjukkan buku antologi itu kepada saya.
“Lihat , kayak gini
bentuknya. Bukan apa-apa, banyak kali
kesalahannya, tak ada daftar isi, puisinya ada yang dua kali dimuat, biodata
Idris Pasaribu tak ada, foto penyairnya
gelap seperti difotokopi. Memalukan, seharusnya yang diberi kepercayaan
menerbitkan ini bertanggung jawab penuh, jangan banyak kali ‘tebasnya;. Sebagai salah seorang yang dipilih mengisi antologi
itu, saya sangat kecewa,” kata Rahim Qahhar.
“Tahun
70-an saja, antologi puisi dan cerpen saya, bisa dicetak lebih bagus dari ini.
Ini sangat memalukan dan menjatuhkan marwah PLT Gubernur Sumut H Gatot
Pujonugroho,ST yang namanya dicantumkan memberikan kata sambutan,” tambah
Rahim.
Usai
Jumat-an, Rahim mengaku barusan mendapat
honor Rp500.000 dari YS Rat. “Tadi malam
membaca puisi di Tapian Daya dapat honor
Rp 500.000. Lumayanlah …Bukan apa-apa …,” ujarnya.
Saya
pegang buku itu. Saya bolak-balik dan baca serta perhatikan kejanggalan yang
beliau sebutkan, ternyata benar dan sangat tidak layak ditampilkan sebagai
produksi Pemprovsu. Cover-nya
saja menampilkan gambar shiluete sepasang manusia berlari di bukit pohon kelapa
dengan backround matahari
bersinar (bisa mulai muncul atau akan tenggelam), lalu lima ekor burung terbang
di awan. Ada logo Pemprovsu di bagian tengah bawah, tapi tulisannya tak bisa
dibaca. Alahai, kayaknya cuma
kulitnya yang dicetak, dalamnya difotokopi saja. Hajab kali bah!
Suyadi
San yang duduk berdampingan dengan saya bertanya, “Berapa dapat honornya, Bang?”
“Belum jelas nih, “
jawab Rahim Qahhar. Dia juga cerita tidak tahu proses pemilihan penyair yang
delapan orang dalam antologi itu. Percakapan kami terputus sesaat karena
terdengar suara azan dari masjid di bekas Kampus IAIN Medan.
Di
dalam buku tersebut, selain Rahim Qahhar dengan 5 puisi karyanya ada 7 orang lagi, Hasan Al Banna, Idris Pasaribu,
Teja Purnama, Syaiful Hadi JL, YS Rat, Wahyu Wiji Astuti, dan intan HS.
Semuanya menampilkan 5 puisi , kecuali Syaiful Hadi JL dan YS Rat masing maing
4 judul.
Delapan
orang ini kalau diperhatikan dari usianya membenarkan konsep lintas generasi. Karena Rahim Qahhar
yang lahir 29 Juni 1943 terpaut jauh
dengan Wahyu Wiji Astuti yang lahir
tanggal 8 November 1988.
Kemudian mewakili kelahiran
50-an ada Syaiful, 14 Nopember 1957. Mungkin dengan Idris Pasaribu (sayang biodatanya
tidak ditampilkan). YS Rat mewakili kelahiran 60-an, karena ia lahir tanggal 18
Agustus 1962. Teja Purnama untuk kelahiran 1970-an, ia lahir 19 Januari 1973. Sementara Intan dan Wahyu penyair wanita muda
belia kelahiran tahun 80-an, Intan 18 September 1981 dan Wahyu 8 November 1988.
Konon,
YS Rat dapat mandat dari Choking Susilo Sakeh untuk menggarap buku dan merekrut
para penyair tersebut. Tentu saja dia harus masuk, dan ia memilih orang-orang
yang dekat dengannya, yang mempunyai hubungan emosional, karena teman satu
kantor, sesama redaktur sastra, atau
karena hubungan kerja jurnalisnya dengan instansi BUMN tertentu, atau apalah,
pokoknya suka-suka hati dia saja. Yang penting, (kalau) Choking oke, (maka) mainlah.
Saudara,
peristiwa ini sepatutnya memang harus dikritisi. Sebab sang penyair saja yang
notabene mendapat honor Rp 500.000 untuk
puisi dan Rp 500.000 honor pembacaannya, merasa kecewa, karena buku itu dibuat
asal cetak.
Memang
setelah diamati, sungguh keterlaluan. Selain tanpa daftar isi, ada puisi di halaman
8 dan 9 sama judul dan isinya karya
Hasan Al Banna yang berjudul Rindu/2. Juga, kesalahan cetak karyanya
yang berjudul Bahasa Hujan dimuat
pada halaman 12 dan 13. Fatal banget nih,
kata orang Jakarte. Berabe do lay, mateho, kata si Poltak.
Semestinya,
kehati-hatian dilakukan dengan cermat. Malu dengan generasi muda peminat
sastra, dan dengan pembaca lainnya yang mengamati dan menikmati perkembangan
sastra di Sumatera Utara. Hari gini? Di mana penerbitan sudah didukung dengan
teknologi canggih, bisa cepat bagai kilat tanpa cacat, kok masih ditemukan
kebodohan itu ?
Ada
lagi judul puisi yang membuat tidak mengerti pembacanya “Seperti Menanti Tak Berarir”
karya YS Rat. “Berarir” apa maknanya,
mungkin maksudnya berair, tapi di dalam baris puisinya tetap tertulis berarir,
bisa jadi sengaja. Kalau sengaja begitu, apa artinya. Kalau kesalahan ketik,
betapa tololnya si penyair yang sekaligus pimpronya.
Tapi anehnya, YS Rat
itu selalu sok paten. Siapa sih dia?
Konon akhir-akhir ini dia yang kepingin digelar “perkutut urakan” karena ada
puisinya yang berjudul itu, selalu diberi kepercayaan oleh lembaga kesenian di
Medan untuk mengatur dan mengutak-atik keberadaan para penyair.
Tapi sepak terjangnya
selalu tidak simpati. Padahal, masih banyak yang lebih eksis dan lebih baik
dari dia. Barangkali lembaga seperti Taman Budaya Sumatera Utara selalu
memberinya “proyek kegiatan sastra” karena takut, dia penyair yang juga
wartawan. Waduh. Hal ini tidak boleh dibiarkan di tahun 2012, kita harus mengritisinya.
ITU !!!! ***
Penulis, penyair dan hidup di Medan juga…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar