Jumat, 01 Februari 2013

ESAI : Baharuddin Saputra (Sabtu, 7 Januari 2012)



Siapa Sastrawan dan Sastrawati Sumatera Utara?





 
P
ertanyaan sederhana, namun sangat berarti ketika  digiring pada perdebatan yang  “berpikir indah”.  Saya katakan berpikir indah dalam tanda kutip karena ada fenomena baru seakan mudah sekali mendapatkan gelar “sastrawan atau satrawati”. Persoalannya, siapa mereka yang patut dan pantas mendapat gelar kehormatan itu?
            Buku antologi puisi Refleksi  ; Antologi Puisi Penyair Sumut yang lahir spontan karena “proyek”  pertemuan seniman, refleksi akhir tahun 2011 dari Pemprovsu, adalah bukti betapa konsep pertemanan mendominasi lahirnya antologi itu.
            Bukan saja proses kelahirannya terkesan “tebang pilih” dalam memilih penyair yang mewakili Sumatera Utara dengan sebutan  lintas generasi. Garapan antologi itu sendiri dalam bentuk buku  sederhana yang dicetak asal-asalan, seperti kekurangan dana dan banyak kesalahan dan kejanggalan.
            Jumat siang yang lalu (30/12), di kantin Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan 33 Medan, penyair gaek A Rahim Qahhar dengan berang menunjukkan buku antologi itu kepada saya.
“Lihat , kayak gini bentuknya. Bukan apa-apa, banyak  kali kesalahannya, tak ada daftar isi, puisinya ada yang dua kali dimuat, biodata Idris Pasaribu tak ada, foto penyairnya  gelap seperti difotokopi. Memalukan, seharusnya yang diberi kepercayaan menerbitkan ini bertanggung jawab penuh, jangan banyak kali ‘tebasnya;. Sebagai  salah seorang yang dipilih mengisi antologi itu, saya sangat kecewa,” kata Rahim Qahhar.
            “Tahun 70-an saja, antologi puisi dan cerpen saya, bisa dicetak lebih bagus dari ini. Ini sangat memalukan dan menjatuhkan marwah PLT Gubernur Sumut H Gatot Pujonugroho,ST yang namanya dicantumkan memberikan kata sambutan,” tambah Rahim.
            Usai Jumat-an,  Rahim mengaku barusan mendapat honor  Rp500.000 dari YS Rat. “Tadi malam membaca puisi di Tapian Daya dapat honor  Rp 500.000. Lumayanlah …Bukan apa-apa …,” ujarnya.
            Saya pegang buku itu. Saya bolak-balik dan baca serta perhatikan kejanggalan yang beliau sebutkan, ternyata benar dan sangat tidak layak ditampilkan sebagai produksi Pemprovsu. Cover-nya saja  menampilkan gambar shiluete sepasang manusia berlari di bukit  pohon kelapa  dengan backround matahari bersinar (bisa mulai muncul atau akan tenggelam), lalu lima ekor burung terbang di awan. Ada logo Pemprovsu di bagian tengah bawah, tapi tulisannya tak bisa dibaca. Alahai, kayaknya cuma kulitnya yang dicetak, dalamnya difotokopi saja. Hajab kali bah!
            Suyadi San yang duduk berdampingan dengan saya bertanya, “Berapa dapat honornya, Bang?”
“Belum jelas nih, “ jawab Rahim Qahhar. Dia juga cerita tidak tahu proses pemilihan penyair yang delapan orang dalam antologi itu. Percakapan kami terputus sesaat karena terdengar suara azan dari masjid di bekas Kampus IAIN Medan.
            Di dalam buku tersebut, selain Rahim Qahhar dengan 5 puisi karyanya ada 7  orang lagi, Hasan Al Banna, Idris Pasaribu, Teja Purnama, Syaiful Hadi JL, YS Rat, Wahyu Wiji Astuti, dan intan HS. Semuanya menampilkan 5 puisi , kecuali Syaiful Hadi JL dan YS Rat masing maing 4 judul.
            Delapan orang ini kalau diperhatikan dari usianya membenarkan  konsep lintas generasi. Karena Rahim Qahhar yang lahir  29 Juni 1943 terpaut jauh dengan  Wahyu Wiji Astuti yang lahir tanggal 8 November  1988.
Kemudian mewakili kelahiran 50-an ada Syaiful, 14 Nopember 1957. Mungkin dengan Idris Pasaribu (sayang biodatanya tidak ditampilkan). YS Rat mewakili kelahiran 60-an, karena ia lahir tanggal 18 Agustus 1962. Teja Purnama untuk kelahiran 1970-an, ia lahir  19 Januari 1973.  Sementara Intan dan Wahyu penyair wanita muda belia kelahiran tahun 80-an, Intan 18 September 1981 dan Wahyu 8 November 1988.
            Konon, YS Rat dapat mandat dari Choking Susilo Sakeh untuk menggarap buku dan merekrut para penyair tersebut. Tentu saja dia harus masuk, dan ia memilih orang-orang yang dekat dengannya, yang mempunyai hubungan emosional, karena teman satu kantor, sesama redaktur  sastra, atau karena hubungan kerja jurnalisnya dengan instansi BUMN tertentu, atau apalah, pokoknya suka-suka hati dia saja. Yang penting, (kalau) Choking oke, (maka) mainlah.
            Saudara, peristiwa ini sepatutnya memang harus dikritisi. Sebab sang penyair saja yang notabene mendapat honor  Rp 500.000 untuk puisi dan Rp 500.000 honor pembacaannya, merasa kecewa, karena buku itu dibuat asal cetak.
            Memang setelah diamati, sungguh keterlaluan. Selain tanpa daftar isi, ada puisi di halaman 8 dan 9 sama judul dan isinya karya  Hasan Al Banna yang berjudul Rindu/2. Juga, kesalahan cetak karyanya yang berjudul Bahasa Hujan dimuat pada halaman 12 dan 13. Fatal banget nih, kata orang Jakarte. Berabe do lay, mateho, kata si Poltak.
            Semestinya, kehati-hatian dilakukan dengan cermat. Malu dengan generasi muda peminat sastra, dan dengan pembaca lainnya yang mengamati dan menikmati perkembangan sastra di Sumatera Utara. Hari gini? Di mana penerbitan sudah didukung dengan teknologi canggih, bisa cepat bagai kilat tanpa cacat, kok masih ditemukan kebodohan itu ?
            Ada lagi judul puisi yang membuat tidak mengerti pembacanya “Seperti Menanti Tak Berarir” karya  YS Rat. “Berarir” apa maknanya, mungkin maksudnya berair, tapi di dalam baris puisinya tetap tertulis berarir, bisa jadi sengaja. Kalau sengaja begitu, apa artinya. Kalau kesalahan ketik, betapa tololnya si penyair yang sekaligus pimpronya.
Tapi anehnya, YS Rat itu selalu sok paten. Siapa sih dia? Konon akhir-akhir ini dia yang kepingin digelar “perkutut urakan” karena ada puisinya yang berjudul itu, selalu diberi kepercayaan oleh lembaga kesenian di Medan untuk mengatur dan mengutak-atik keberadaan para  penyair.
Tapi sepak terjangnya selalu tidak simpati. Padahal, masih banyak yang lebih eksis dan lebih baik dari dia. Barangkali lembaga seperti Taman Budaya Sumatera Utara selalu memberinya “proyek kegiatan sastra” karena takut, dia penyair yang juga wartawan. Waduh. Hal ini tidak boleh dibiarkan di tahun 2012, kita harus mengritisinya. ITU !!!! ***



                                                            Penulis, penyair  dan hidup di Medan juga…!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar