AGAMA DALAM
PERSPEKTIF ANTROPOLOGI (II)
Hari ini, Sabtu, 16 Februari
2013, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara mengadakan deklrasi damai
pemilihan umum (pemilu) pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) gubernur dan
wakil gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 di Lapangan Merdeka.
Deklarasi
tersebut mengingatkan kepada pada kontestan pemilukada 2013 agar siap menang
dan siap kalah merebut kursi nomor satu daerah ini. Betapa tidak? Aroma
kampanye hitam kerap mewarnai perjalanan pesta demokrasi langsung yang masih
muda ini. Terutama, yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
Sesungguhnya
urusan politik ini dipisahkan dengan urusan agama. Sebab, dalam teori politik
berlaku cara bagaimana menguasai atau dikuasai orang lain. Sedangkan agama
bersifat pribadi, vertikal manusia dengan penciptanya, makhluk dan Khaliq. Jika
agama bercampur dengan politik, niscaya ditemukan ambiguitas pseudodemokrasi.
Dalam
eskalisasi pemilukada Sumut 2013, kita sedang akan memilih pemimpin politik,
bukan pemimpin agama. Apapun latar belakang agama pemimpin politik tersebut,
bagaimana supaya pembangunan di daerah ini berlangsung sukses dan masyarakatnya
adil dan makmur.
Tentang
masalah keagamaan ini, saya teringat pemikiran bahwa perhatian dan minat Barat terhadap
agama-agama di Indonesia, khususnya Islam Indonesia, bisa ditelusuri hingga
abad ke-17, ketika para teolog dan pejabat pemerintahan Belanda mulai
menghadapi kesulitan memahami dan mengawasi masyarakat Islam di Jawa, Sumatera,
dan Indonesia bagian Timur.
Nama-nama
sarjana dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme Inggris-Belanda itu, di
antaranya, Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke, Snouck Hurgronje,
Rassers, dan Piegaud serta Clifford Geertz dan Ben Anderson.
Karya
Geertz, Religion of Jawa,
menggantikan karya Hurgronje The
Atjhehnese sebagai rujukan standar mengenai Islam Indonesia.
Geertz menegaskan, pernyataan Hurgronje “bangunan
Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, ‘tidak ada tuhan selain Allah
dan Muhammad utusan Allah’, tetapi pilar ini sekarang dikelilingi serangkaian
karya yang tak cocok dengannya, yang menjadi profanasi terhadap
kesederhanaannya”, lebih pas diterapkan untuk Jawa.
Sedangkan
Anderson sangat bersandar pada studi-studi kolonial mengenai kerajawian
Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia sebagai negara Hindia.
Pemahaman Anderosn terhadap Islam mencerminkan kembali pandangan Hurgronje dan
Geertz.
Ia menyatakan,
gelar-gelar Islam disandang para penguasa, simbol-simbol keislaman dilekatkan
pada para pengiring mereka, dan atribut Islam ditempelkan pada baju kebesaran
mereka.
Tetapi,
menurut Anderson,
islamik simbolik tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan
pandangan mereka. Pelukisan Anderson terhadap kiai tradisional juga sebanding
dengan pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif,
personal dan mistis, yang banyak dipengaruhi agama pra-Islam”.
Etnolog
teranyar yang melakukan penelitian terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia
adalah Mark Woodward. Dalam penelitian yang dilakukan di Jawa, Woodward
bertekad ingin menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang pernah
dilakukan Geertz tahun 1950-an, yang menancapkan teori aliran dalam masyarakat
Jawa; abangan, santri, priayi.
Berbekal ilmu
filsafat dan ritual Hindu-Budha, Woodward meneropong unsur-unsur Hindu dari
ideologi dan modalitas ritual acara garabeg
maulud, upacara ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad
SAW di Yogyakarta. Usahanya ternyata sia-sia. Ia juga tidak menemukan
prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme tradisional Jawa.
Dalam
bukunya, Toward a New Paradigm: Recent
Development in Indonesian Islamic Though (1996), Woodward mengemukakan
genealogi dari wacana yang berwatak “anti-Islam”. Jejaknya, menurut Woodward,
bisa ditelusuri hingga ke masa Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat
kolonial dan orientalis Inggris, yang memerintah Jawa 1811-1816.
Dalam buku
klasik dan berpengaruhnya, The History of
Java, Raffles memahami Islam (“Mahometanism”) sebagai agama kekerasan dan
kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian khusus terhadap
“institusi-institusi kuno”, yakni kesenian dan kesusastraan Jawa pra-Islam,
namun ia banyak memberikan penilaian yang bernadakan “pejoratif” terhadap
Islam.
Raffles tidak
dapat menyembunyikan perasaannya yang menyayangkan mengapa orang Jawa dan
Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia memberikan deskripsi panjang
lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Hindu-Budha dan mengagungkan
Hindu-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang memukau”.
Pemahaman Raffles mengenai Islam dan
kedudukannya dalam kebudayaan Jawa dan Indonesia lainnya, menurut Woodward
yang mengutip Karel Steenbrink, berakar mendalam dari polemik teologis Kristen
melawan Islam dan telah berkembang di Eropa selama berabad-abad. Polemik-polemik itu sendiri sudah digunakan
oleh para sarjana Belanda senyampang membentuk
“indologi” dan kebijakan Belanda selama periode kolonial. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar