Minggu, 17 Februari 2013

CORONG : Suyadi San



AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI (II)


Hari ini, Sabtu, 16 Februari 2013, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara mengadakan deklrasi damai pemilihan umum (pemilu) pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara periode 2013-2018 di Lapangan Merdeka.
Deklarasi tersebut mengingatkan kepada pada kontestan pemilukada 2013 agar siap menang dan siap kalah merebut kursi nomor satu daerah ini. Betapa tidak? Aroma kampanye hitam kerap mewarnai perjalanan pesta demokrasi langsung yang masih muda ini. Terutama, yang berkaitan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Sesungguhnya urusan politik ini dipisahkan dengan urusan agama. Sebab, dalam teori politik berlaku cara bagaimana menguasai atau dikuasai orang lain. Sedangkan agama bersifat pribadi, vertikal manusia dengan penciptanya, makhluk dan Khaliq. Jika agama bercampur dengan politik, niscaya ditemukan ambiguitas pseudodemokrasi.
Dalam eskalisasi pemilukada Sumut 2013, kita sedang akan memilih pemimpin politik, bukan pemimpin agama. Apapun latar belakang agama pemimpin politik tersebut, bagaimana supaya pembangunan di daerah ini berlangsung sukses dan masyarakatnya adil dan makmur.
Tentang masalah keagamaan ini, saya teringat pemikiran bahwa perhatian dan minat Barat terhadap agama-agama di Indonesia, khususnya Islam Indonesia, bisa ditelusuri hingga abad ke-17, ketika para teolog dan pejabat pemerintahan Belanda mulai menghadapi kesulitan memahami dan mengawasi masyarakat Islam di Jawa, Sumatera, dan Indonesia bagian Timur.
Nama-nama sarjana dan teolog awal pelopor tradisi orientalisme Inggris-Belanda itu, di antaranya, Andrian Reland, Edward Gibbon, J.F.C. Gericke, Snouck Hurgronje, Rassers, dan Piegaud serta Clifford Geertz dan Ben Anderson.
            Karya Geertz, Religion of Jawa, menggantikan karya Hurgronje The Atjhehnese sebagai rujukan standar mengenai Islam Indonesia. Geertz menegaskan, pernyataan Hurgronje “bangunan Islam terutama masih didukung oleh pilar utama, ‘tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah’, tetapi pilar ini sekarang dikelilingi serangkaian karya yang tak cocok dengannya, yang menjadi profanasi terhadap kesederhanaannya”, lebih pas diterapkan untuk Jawa.
            Sedangkan Anderson sangat bersandar pada studi-studi kolonial mengenai kerajawian Hindu-Jawa dan karakterisasi Geertz mengenai Indonesia sebagai negara Hindia. Pemahaman Anderosn terhadap Islam mencerminkan kembali pandangan Hurgronje dan Geertz.
Ia menyatakan, gelar-gelar Islam disandang para penguasa, simbol-simbol keislaman dilekatkan pada para pengiring mereka, dan atribut Islam ditempelkan pada baju kebesaran mereka.
Tetapi, menurut Anderson, islamik simbolik tampaknya tidak menyebabkan perubahan terhadap jalan hidup dan pandangan mereka. Pelukisan Anderson terhadap kiai tradisional juga sebanding dengan pelukisannya terhadap para penguasa tersebut, “bersifat intuitif, personal dan mistis, yang banyak dipengaruhi agama pra-Islam”.          
            Etnolog teranyar yang melakukan penelitian terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia adalah Mark Woodward. Dalam penelitian yang dilakukan di Jawa, Woodward bertekad ingin menambah dan melengkapi penelitian lapangan yang pernah dilakukan Geertz tahun 1950-an, yang menancapkan teori aliran dalam masyarakat Jawa; abangan, santri, priayi.
Berbekal ilmu filsafat dan ritual Hindu-Budha, Woodward meneropong unsur-unsur Hindu dari ideologi dan modalitas ritual acara garabeg maulud, upacara ritual keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW di Yogyakarta. Usahanya ternyata sia-sia. Ia juga tidak menemukan prototipe-prototipe Hindu-Budha dalam mistisisme tradisional Jawa.
            Dalam bukunya, Toward a New Paradigm: Recent Development in Indonesian Islamic Though (1996), Woodward mengemukakan genealogi dari wacana yang berwatak “anti-Islam”. Jejaknya, menurut Woodward, bisa ditelusuri hingga ke masa Sir Thomas Stamford Raffles, seorang pejabat kolonial dan orientalis Inggris, yang memerintah Jawa 1811-1816.
Dalam buku klasik dan berpengaruhnya, The History of Java, Raffles memahami Islam (“Mahometanism”) sebagai agama kekerasan dan kefanatikan. Kendati sebenarnya ia mempunyai perhatian khusus terhadap “institusi-institusi kuno”, yakni kesenian dan kesusastraan Jawa pra-Islam, namun ia banyak memberikan penilaian yang bernadakan “pejoratif” terhadap Islam.
Raffles tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang menyayangkan mengapa orang Jawa dan Melayu memeluk Islam. Berlawanan dengan itu, ia memberikan deskripsi panjang lebar mengenai teks-teks dan candi-candi kuno Hindu-Budha dan mengagungkan Hindu-Bali sebagai “sisa-sisa masa lampau yang memukau”.
            Pemahaman Raffles mengenai Islam dan kedudukannya dalam kebudayaan Jawa dan Indonesia lainnya, menurut Woodward yang mengutip Karel Steenbrink, berakar mendalam dari polemik teologis Kristen melawan Islam dan telah berkembang di Eropa selama berabad-abad.  Polemik-polemik itu sendiri sudah digunakan oleh para sarjana Belanda senyampang membentuk “indologi” dan kebijakan Belanda selama periode kolonial.       ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar