SYAIR A’RABI
P
|
elan-pelan Umri bangkit dari ranjang tidurnya. Ia
menepikan kain gorden jendela kamarnya. Begitupun saat membuka kancingnya,
sangat hati-hati dilakukannya, nyaris tanpa gesekan suara. Agar tidak mengusik isterinya
yang terlelap. Aduhai! Bulan bagai seiris semangka kuning, indah sekali. Pun semilir
angin sepoi-sepoi meneduhkan. Umri terjaga. Alhasil, diambilnya sebuah catatan
yang di dalamnya berisi syair-syair A’rabi: dibacanya, dihayatinya, dan
direnungkannya.
“Aku
menikahi dua wanita karena kebodohanku yang sangat. Dengan apa
yang justru mendatangkan sengsara. Tadinya aku berkata, ku-kan menjadi seekor domba jantan di antara keduanya. Merasakan
kenikmatan di antara dua biri-biri betina pilihan.
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari di antara dua serigala. Membuat ridla isteri yang satu ternyata mengobarkan amarah isteri yang lain. Hingga aku tak pernah selamat dari satu di antara dua kemurkaan. Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan. Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu. Malam ini untuk isteri yang satu, malam berikutnya untuk isteri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam. Maka, bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan yang memenuhi kedua tanganmu, hiduplah membujang, namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu”.
Namun kenyataannya, aku laksana seekor biri-biri betina yang berputar di pagi dan sore hari di antara dua serigala. Membuat ridla isteri yang satu ternyata mengobarkan amarah isteri yang lain. Hingga aku tak pernah selamat dari satu di antara dua kemurkaan. Aku terperosok ke dalam kehidupan nan penuh kemudlaratan. Demikianlah mudlarat yang ditimbulkan di antara dua madu. Malam ini untuk isteri yang satu, malam berikutnya untuk isteri yang lain, selalu sarat dengan cercaan dalam dua malam. Maka, bila engkau suka untuk tetap mulia dari kebaikan yang memenuhi kedua tanganmu, hiduplah membujang, namun bila kau tak mampu, cukup satu wanita, hingga mencukupimu dari beroleh kejelekan dua madu”.
Umri menoleh, dipandangnya dalam-dalam
wajah Dayana. Ia beranjak mengecup lembut kening Dayana. Sebetulnya, syair
A’rabi itu telah dibacanya berulang-ulang. Jika tidak silap, lima belas kali
dibacanya dalam sehari. Hampir hapal. Bukan tanpa sebab Umri giat menafsir
syair A’rabi itu. Pasalnya, apakah hal senada akan menimpanya andai menerima
tawaran Pak Abidin menikahi anak semata wayangnya. Pikirnya, alih-alih bahagia
memiliki isteri lebih dari satu, malah memperoleh sengsara pula sebagaimana
pesan yang diutarakan syair A’rabi tersebut.
Sepekan sudah Umri memendam perihal
permintaan Pak Abidin untuk menikahi Aminah. Ia tiada nyali berterus terang
terhadap Dayana. Di benaknya, Umri masih mencari situasi yang tepat, waktu yang
pas dan kata-kata yang resap. Oh, lamunan
Umri buyar kala diliriknya Dayana meringkuk. Menggigil lantaran udara malam menusuk.
Kemudian, jemari Dayana meraba-raba bagian sisi ranjang. Lantaran yang
dicarinya tiada teraih, ia tersentak. Pun Umri meratap sayu.
“Mengapa memandangku seperti itu?” Tanpa
berpanjang kata Umri mengecup kembali kening Dayana.
“Ada apa, Mas?”
“Ini waktu yang tepat, sudah saatnya menceritakannya
padamu.”
“Seminggu yang lalu Pak Abidin
meenjodohkanku dengan Aminah. Ini keinginan terbesarnya, permohonan seorang ayah
terhadap anaknya.”
“Lantas, jawaban apa, persetujuan apa yang
diberikan, Mas?”
“Aku diam saja.”
Hening. Tiada lagi suara terdengar. Hanya
desah nafas yang melintas di daun telinga. Dayana menatap lekat. Kian hangat. Malam
itu, dipeluknya Umri sangat kuat. Kelimpungan. Katakutan yang seakan-akan Umri akan
mengabaikannya atau pula meninggalkan selama-lamanya. Dalam situasi ini,
pastilah posisi Dayana paling menyakitkan.
***
Utang
emas boleh dibayar, utang budi dibawa mati. Perbuatan baik akan diingat seumur
hidup. Peribahasa ini menggambarkan keadaan yang didera Umri. Ia berhutang budi
terhadap Pak Abidin. Hal ini pula yang memberatkannya menolak mentah-mentah
tawaran Pak Abidin. Sejujurnya, tiada terlintas di benaknya ingin mengecewakan Pak
Abidin, apalagi dicap manusia tak tahu berterima kasih. Segala gelimpangan
harta-benda, kenikmatan jasmani, kecukupan hidup yang mapan, semua di dapat
berkat Pak Abidin. Ketika usia remaja, Pak Abidin menjadikannya anak angkat. Dulunya,
orang tua Umri sahabat karib Pak Abidin. Naasnya, orang tua Umri meninggal
akibat kecelakaan. Dikarenakan supir mengantuk, bus yang ditumpangi melaga
tenaga dengan kendaraan pengangkut bahan bakar minyak. Enam orang tewas
termasuk supir dan kedua orang tua Umri. Saat itu pula Umri tinggal seatap di
istana megah Pak Abidin.
Memang, memiliki isteri lebih dari satu
dalam kepercayaan yang dianut Umri tidak diharamkan. Ada yang mengatakan
hukumnya sunah ataupun boleh, diperkenankan saja, yang sangat ditekankan adalah kesanggupan berbuat adil secara sempurna di
antara para isteri. Baik berbuat
adil dalam perkara lahiriah,
seperti pembagian malam dan nafkah. Sebab, keadilan mengharuskan adanya kecintaan,
motivasi, dan kecenderungan yang sama dalam hati kepada para isteri. Andaipun tiada mampu berlaku adil, maka cukup baginya
beristeri satu saja. Benar, secara materi Umri telah mumpuni, namun, keadilan
di antara para isteri baginya sesuatu yang masih meragukan. Tambah lagi setelah
menerima wejangan dari Ustad Ali.
Paling diingatnya, “Dibenci seorang
suami berwudu’
hanya di rumah salah seorang isterinya, sementara di rumah isteri yang lain ia tidak pernah
melakukannya.”
Perkara keadilan, barangkali Umri mampu
memenuhi asal disertai niat dan keikhlasan yang tulus. Masalah sekarang, apakah
ia tega memadu Dayana? Sementara perbincangan
tempo malam, Dayana belum mengangguk setuju. Kalian pasti paham, layaknya
sepasang kekasih di masa asam-manis cinta, berikrar sebelum pernikahan, kau dan
aku satu selamanya. Romantis, bukan? Di lain pihak, bukan tanpa alasan Pak
Abidin memilih Umri sebagai menantunya.
Pak Abidin mengenal Umri luar dan dalam. Dari didikan Pak Abidin, Umri tumbuh
sebagai pemimpin jujur, disiplin, amanah, peduli, dan penyayang. Pak Abidin
tiada ingin Aminah salah memilih pasangan. Tidak bertanggung jawab pula,
pikirnya. Pasalnya, kelak, yang menjadi suami Aminah akan mewarisi seluruh
harta kekayaan Pak Abidin. Takutnya Pak Abidin, suami tersebut hanya mengincar
kekayaannya saja. Setelah itu, Aminah dicampakkan bagai tisu siap pakai. Itulah
sebab, Umri lelaki yang tepat.
Aminah bukan gadis sembarang. Setengah
tahun lalu ia telah menyelesaikan pendidikan pascasarjana linguistik di usia duapuluh tujuh. Jelas, sebelum
pernikahannya dengan Dayana, Umri tinggal seatap dengan Aminah. Gadis penurut,
baginya, bahagia ayahnya kebahagian pula untuknya. Harta yang tiada ternilai
harganya. Denganya berkeluh kesah. Tiada lain, sebab, ibunya telah lebih dulu
menyambangi Sang Ilahi. Tidak ada kejanggalan dalam hati Aminah kala ayahnya
menawarkan Umri sebagai pendampingnya. Ia enggan membantah. Sejak lalu, ia
paham gelagat ayahnya yang berandai-andai, berancang-ancang kepada Umri. Meskipun
menjadi isteri kedua. Tak apalah. Asal senyum ayah terukir, apalagi memberinya
cucu, pikirnya. Rupanya, dulu, diam-diam Aminah menaruh perhatian lebih pada
Umri -meskipun saat sekarang masih-
ketika hidup seatap. Dengannya pula Dayana sempat ingin mewanti-wanti Umri menjaga jarak, namun diurungkannya.
“Dayana, jika engkau tak ingin aku menikah
lagi, sungguh, aku akan menolaknya. Meskipun ayah mengusir, menyumpah durja,
melaknat tak tahu diri. Akan kukembalikan seluruh kenikmatan yang diberinya.
Kita akan pergi dan manata kembali kehidupan dari awal, percayalah!” Umri menenangkan
Dayana yang gelisah.
“Nikahi saja Aminah. Kita terlalu banyak
berhutang budi. Aku tak apa. ini keikhlasanku sebagai isteri. Apa yang kita
kecap hari ini, esok, sampai mati pun akan terpatri jasa ayah. Aku tak sampai
hati. Lagi pula aku mengenal Aminah. Dia wanita baik-baik.”
“Kau tak perlu memaksa hati, Dayana. Kutahu
ini berat untuk kau terima. Aku bertanggungjawab atas kebahagiaanmu. Celakalah
bagiku mengindahkan sesuatu yang menjadi hak bagimu.” Dayana ambruk dipelukan
Umri. Air matanya merembes, lembut sekali, terisak. Aih, tiadakah waktu dapat kembali diputar? Kenyataan pesan dalam
syair A’rabi mulai terlihat meskipun Umri belum memadu Dayana. Akhirnya, dengan pertimbangan matang-matang, Umri merestui
permintaaan Pak Abidin menikah dengan Aminah.
***
Di hari yang sakral, Umri ber-ijab kabul dan Pak Abidin bertindak
sebagai wali. Dayana tertunduk tirus. Didekapnya Sifa, putrinya, erat-erat. Air
matanya gencar berlinang. Berderai. Disapunya berulangkali, lagi, sekali lagi.
Namun, tetap saja tumpah! Barangkali itu adalah air mata bahagia atau pula
tangis yang berlumur di wajah Dayana merupakan awal dimulainya petaka sesuai
pesan yang diungkapkan syair A’rabi. Mengenai kenyataan dalam syair A’rabi di
kehidupan Umri. Oh, kelak, waktulah
menjawab. Sementara itu, malam nanti Umri mabuk-kepayang dengan wanita berbeda
di kamar pengantin. Nikmatnya! Tentu, malaikat mencatat pahala pertama Umri dan
Aminah sebagai suami isteri. Lalu, Dayana? Entahlah! Satu hal pasti. Jika
kebahagiaan dan keutuhan cinta-kasih tiada serupa sedia kala, puncak amarahnya,
selagi pisau ter-asa tajam, bisa saja darah mengucur sewaktu-waktu, bukan di
tubuhnya. Aih, Aminah! ***
Catatan
: Syair A’rabi
adalah syair-syair bangsa/suku Arab dan Anonim.
Beni Af merupakan mahasiswa FKIP UMSU
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kelahiran Pantai Cermin, Serdang Bedagai,
16 Maret 1992. Saat sekarang bergiat di Komunitas Sastra Forum Kampus (FOKUS) UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar