Jumat, 01 Februari 2013

CORONG : Suyadi San (Sabru, 21 Januari 2012)



ANG PAO



S
AAT ingin menyelesaikan studi Magister Sains Antropologi Sosial, saya beberapa lama meneliti kehidupan kaum Cina Medan. Penelitian saya ini dibimbing dua guru saya, Pak Usman Pelly dan Pak Muhammad Arif Nasution, serta lulus diuji oleh Pak Bungaran Antonius Simanjuntak, Pak Ichwan Azhari, dan Pak Nur Ahmad Fadhil Lubis.
Dalam tesis saya itu saya mengatakan, orang Cina Medan ternyata juga taat menjalankan ibadah. Apalagi, setelah pemerintah Indonesia mengakui keberadaan Hari Raya Imlek dan membebaskan warga Cina melaksanakan seni-budayanya semacam barongsai sejak pemerintahan Reformasi.
Tahun Baru Imlek adalah salah satu hari raya Cina  tradisional, yang dirayakan pada hari pertama dalam bulan pertama kalender Cina, yang jatuh pada hari terjadinya bulan baru kedua setelah hari terjadinya hari terpendek musim dingin (Latin: solstitium => bahasa Inggris: solstice).
Namun, jika ada bulan kabisat kesebelas atau kedua belas menuju tahun baru, tahun baru Imlek akan jatuh pada bulan ketiga setelah hari terpendek. Pada tahun 2005 hal ini terjadi dan baru akan terjadi lagi pada tahun 2033.
 Di Indonesia pada umumnya, selama 1965-1998, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Tentang Tahun Baru Imlek ini, saya teringat ang pao dan tarian barangsoi. Angpao adalah bingkisan dalam amplop merah yang biasanya berisikan sejumlah uang sebagai hadiah menyambut tahun baru Imlek. Saya sempat menikmati ang pao, kue bakul, dan barongsai saat menikmati masa kanak-kanak di komplek pertokoan Pulobrayan maupun komplek Pecinan Jalan Kawat, Tanjungmulia.
Konon, ang pao sebenarnya bukan hanya monopoli perayaan tahun baru Imlek. Sebab, ang pao melambangkan kegembiraan dan semangat yang akan membawa nasib baik. Tak ayal, ang pao juga ada di dalam beberapa perhelatan penting seperti pernikahan, ulang tahun, masuk rumah baru dan lain-lain yang bersifat suka cita.
Imlek merupakan hari besar bagi kalangan etnis Cina di seluruh dunia. Perayaannya tak lengkap jika tak ada atraksi barongsai. Barongsai adalah tarian tradisional Tiongkok dengan menggunakan sarung menyerupai singa. Seperti kesenian reog ataupun tari topeng di Indonesia.
Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga Sebelum Masehi. Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.
Selain itu, barongsai dipercaya sebagai pembawa keberuntungan dan pengusir bala. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan. Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai.
Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 September. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Cina di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi.
Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Cina lainnya. Banyak perkumpulan barongsai kembali bermunculan. Berbeda dengan zaman dahulu, sekarang tak hanya kaum muda Cina yang memainkan barongsai, tetapi banyak pula kaum muda pribumi Indonesia yang ikut serta.
Gong Xi Fa Chai!***



Tidak ada komentar:

Posting Komentar