POLISI
S
|
ELAMA dua hari, 4 dan 5 Januari 2012, saya menjadi anggota dewan juri
Festival Pantun Telangkai se-Sumatera Utara di Gelanggang Olah Raga dan Seni
Istana, Perbaungan, Serdangbedagai. Ikatan Telangkai Melayu dan Adat (Ikama)
Serdangbedagai yang menggelar acara itu.
Kegiatan tersebut diikuti
14 kelompok peserta dari empat daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara, yakni
Medan, Serdangbedagai, Deliserdang, dan Binjai. Dua kelompok asal Tabingtinggi
dan Batubara dinyatakan gugur karena terlambat melapor kepada panitia.
Ada hal menarik dari acara yang digagas untuk ikut
memeriahkan Hari Jadi ke-8 Kabupatan Serdangbedagai itu. Di antaranya, saya
tidak menduga kepanitiaan festival pantun ini diketuai seorang perwira polisi,
yakni Ajun Komisaris Polisi (AKP) Gunadi, S.P.
Dia bahkan menempati jabatan penting di Kepolisian
Resort (Polres) Serdangbedagai, yaitu Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas).
Tadinya saya mengira lelaki berseragam lengkap – minus pistol – itu adalah
peserta, karena tiba-tiba menyeruak di antara punggung para peserta saat
pengambilan nomor undian peserta.
Ternyata, dia yang mengomandani langsung kegiatan.
Itu, saya ketahui ketika dia memberikan arahan singkat saat sebelum festival
dimulai. Padahal, kegiatan itu hukan dilaksanakan satuan kepolisian. Itu diakui
Kepala Polres Serdangbedagai, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Arif Budiman
saat didaulat memberi sambutan.
“Pak Gunadi hanya melapor dan memberitahukan
kepada saya ditunjuk sebagai ketua panitia festival oleh para anggota ikatan
telangkai. Saya tidak hanya mengizinkan, bahkan merestui petugas Satlantas akan
menggunakan tanda atau atribut Melayu, seperti kain di pinggang dan teluk
belanga, dalam pengurusan SIM dan STNK,” sebutnya.
Bagaimana kata Gunadi? Mantan Kasatlantas Polres
Belawan ini mengaku tidak menduga didaulat menjadi ketua panitia festival
pantun telangkai tersebut. “Tadinya saya cuma memberi saran-saran, ternyata
ditunjuk sebagai ketua,” sergahnya.
Ada hal dilematis ketika dia akan menjalani
kepanitiaan itu. Terutama dalam pembuatan proposal. “Tidak mungkin kan seorang
polisi membuat dan ikut menandatangani proposal. Apa kata orang nanti? Alhasil
saya siasati, nama saya tidak pakai pangkat di dalam proposal,” ujarnya.
Ketika bayangan tubuhnya menyeruak beberapa depa
di hadapan saya, persoalan-persoalan yang tengah dialami institusi kepolisian
ini berkeliaran di kepala saya. Rata-rata adalah imej tidak sedap. Teranyar,
ketika seorang remaja 15 tahun tertangkap karena mencuri sandal polisi dan
mengancam penjara 5 tahun anak itu. Gerakan seribu sandal pun mengemuka.
Belum lagi keterlibatan beberapa anggotanya dalam
kasus penembakan salah prosedur di Mesuji dan beberapa tempat lain di
Indonesia. Juga, perseteruan cicak vs buaya dalam kasus pat gulipat korupsi.
Lalu, penanganan diduga teroris yang seperti melanggar hak asasi manusia (HAM).
Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Tatkala AKP Gunadi, S.P. berdiri bersama para
pemantun telangkai dalam festival pantun telangkai itu, bayangan-bayangan liar
saya nyaris tercerabut. Saya pun teringat Norman Kamaru yang rela menanggalkan institusi
kepolisian untuk jadi artis serta seorang polisi dari Nias yang beberapa waktu
lalu ikut audisi Indonesia Idol di komplek Universitas Negeri Medan (Unimed).
“Kita semua tentu tidak inginkan polisi tidur,
yaitu polisi yang pura-pura tidak tahu masalah tari sering membuat orang-orang
terkejut. Jika ada masalah dia diam, tapi suatu waktu malah membuat
guncangan-guncangan sehingga orang sakit perut,” gurau Gunadi.
Yach, tampaknya masih sangat banyak polisi bersih
di negeri ini. Polisi memang sahabat semua orang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar