Jumat, 01 Februari 2013

CORONG : Suyadi San (Sabtu, 7 Januari 2012)



POLISI



S
ELAMA dua hari, 4 dan 5 Januari 2012, saya menjadi anggota dewan juri Festival Pantun Telangkai se-Sumatera Utara di Gelanggang Olah Raga dan Seni Istana, Perbaungan, Serdangbedagai. Ikatan Telangkai Melayu dan Adat (Ikama) Serdangbedagai yang menggelar acara itu.
            Kegiatan tersebut diikuti 14 kelompok peserta dari empat daerah kabupaten/kota se-Sumatera Utara, yakni Medan, Serdangbedagai, Deliserdang, dan Binjai. Dua kelompok asal Tabingtinggi dan Batubara dinyatakan gugur karena terlambat melapor kepada panitia.
Ada hal menarik dari acara yang digagas untuk ikut memeriahkan Hari Jadi ke-8 Kabupatan Serdangbedagai itu. Di antaranya, saya tidak menduga kepanitiaan festival pantun ini diketuai seorang perwira polisi, yakni Ajun Komisaris Polisi (AKP) Gunadi, S.P.
Dia bahkan menempati jabatan penting di Kepolisian Resort (Polres) Serdangbedagai, yaitu Kepala Satuan Lalu Lintas (Kasatlantas). Tadinya saya mengira lelaki berseragam lengkap – minus pistol – itu adalah peserta, karena tiba-tiba menyeruak di antara punggung para peserta saat pengambilan nomor undian peserta.
Ternyata, dia yang mengomandani langsung kegiatan. Itu, saya ketahui ketika dia memberikan arahan singkat saat sebelum festival dimulai. Padahal, kegiatan itu hukan dilaksanakan satuan kepolisian. Itu diakui Kepala Polres Serdangbedagai, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Arif Budiman saat didaulat memberi sambutan.
“Pak Gunadi hanya melapor dan memberitahukan kepada saya ditunjuk sebagai ketua panitia festival oleh para anggota ikatan telangkai. Saya tidak hanya mengizinkan, bahkan merestui petugas Satlantas akan menggunakan tanda atau atribut Melayu, seperti kain di pinggang dan teluk belanga, dalam pengurusan SIM dan STNK,” sebutnya.
Bagaimana kata Gunadi? Mantan Kasatlantas Polres Belawan ini mengaku tidak menduga didaulat menjadi ketua panitia festival pantun telangkai tersebut. “Tadinya saya cuma memberi saran-saran, ternyata ditunjuk sebagai ketua,” sergahnya.
Ada hal dilematis ketika dia akan menjalani kepanitiaan itu. Terutama dalam pembuatan proposal. “Tidak mungkin kan seorang polisi membuat dan ikut menandatangani proposal. Apa kata orang nanti? Alhasil saya siasati, nama saya tidak pakai pangkat di dalam proposal,” ujarnya.
Ketika bayangan tubuhnya menyeruak beberapa depa di hadapan saya, persoalan-persoalan yang tengah dialami institusi kepolisian ini berkeliaran di kepala saya. Rata-rata adalah imej tidak sedap. Teranyar, ketika seorang remaja 15 tahun tertangkap karena mencuri sandal polisi dan mengancam penjara 5 tahun anak itu. Gerakan seribu sandal pun mengemuka.
Belum lagi keterlibatan beberapa anggotanya dalam kasus penembakan salah prosedur di Mesuji dan beberapa tempat lain di Indonesia. Juga, perseteruan cicak vs buaya dalam kasus pat gulipat korupsi. Lalu, penanganan diduga teroris yang seperti melanggar hak asasi manusia (HAM). Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Tatkala AKP Gunadi, S.P. berdiri bersama para pemantun telangkai dalam festival pantun telangkai itu, bayangan-bayangan liar saya nyaris tercerabut. Saya pun teringat Norman Kamaru yang rela menanggalkan institusi kepolisian untuk jadi artis serta seorang polisi dari Nias yang beberapa waktu lalu ikut audisi Indonesia Idol di komplek Universitas Negeri Medan (Unimed).
“Kita semua tentu tidak inginkan polisi tidur, yaitu polisi yang pura-pura tidak tahu masalah tari sering membuat orang-orang terkejut. Jika ada masalah dia diam, tapi suatu waktu malah membuat guncangan-guncangan sehingga orang sakit perut,” gurau Gunadi.
Yach, tampaknya masih sangat banyak polisi bersih di negeri ini. Polisi memang sahabat semua orang. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar