PAGAR BAMBU
hinggapi
punggungku lagi, capung ekor gada
dan
selinapi kembali selangkanganku,
wahai
jantan pelung jangkung!
tapi
tiada apa-apa di ujung runcing besi, selain kikis sulur debu
makin
memacak putih langit.
kulit
cat terkikir cuaca, harum kemarau di rambut rumput.
hanya
ada kesat gembok baja, mematri awas pada diri.
biarkan
aku tegak dan membentengi, meski dari nakal kanak-kanak
pagi
atau pencuri kembang malam hari.
namun
sungguh ada yang lebih mewah harus ternauingi, di antara sisip kawat lilit
duri. ada ngeri yang lebih gawat, tetimbang melindungi sepucuk pohon cabai dan kemanggi.
megah
rumah serta isi di antara tancap beling benteng dinding ini.
hingga
sampai juga bangkaiku diseret seorang tukang ke rumahnya.
dibiarkannya
teronggok rongsok dekat sisa bara tungku.
bersiap
menelan api yang lidah jirusnya, berucap syahwat
hendak
menelanjangi.
2011
MUSIM MENYERGAP CAPUNG BADAK
menyergapnya,
berarti menembusi dinding kanak-kanak
yang
kian rimbun tertutup dosa nan lolos dari mata fana.
memilah-milih
siasat, apakah getah nangka di ujung lidi
atau
tangan cergas di belakang bayang tempat ia menepi.
yang
akan menjerat sepasang sayap-hinggap
terapit
dua jari mungil, melentik jadi rima sajak.
sesungguhnya
aku tak pernah mengeluh maupun rusuh,
menganggap
mereka renik di ambang kalang petang
apalagi
mengira seluruhnya ialah buruanku.
sebab
ramat batang pisang yang kukais jadi serentang benang
menjaras
tubuh hijau bulat-membatang.
membikin
ekor gada perkasanya, beringas berebut diri dengan sengit.
lantas
segalanya percuma ketika ia mengelak,
mengharap
langit masih gading dalam semu tatapan polosnya.
2011
MUSIM KIDUNG AYAM PELUNG
kini,
anak ayam jantan yang sulah bulunya
telah
tumbuh dengan rentang lebar sayap.
siap
mengirap, melesapkan seluruh debu
membikin
mereka harus menggeriapkan mata.
jangan
malu apalagi ragu mengelus jenjang lehernya.
terpesona
kekar rahang, tempat lengking suara
lebih
cemerlang dari serunai manapun.
di
gelanggang, sebelum siap kokoknya menggetarkan
ia
merasa mujur ditempa matahari dini
di
mana selubung jisimnya, warna-warni melimpahi berkah.
ia tak
hanya piawai menggugah berahi sang betina
yang
siap menjadi ranjang renjana bagi dirinya.
tapi
seluruh yang mengepung ia, karam terlena-pesona
mengira
nyanyiannya, adalah juru marwah
doa
paling kaswah di waktu pertama kali terjaga
pada
sebuah pagi buta.
2011
SONGKOK LEBAK PASAR
– Ustadz Budi
putih
menyeluruh ketika dikenakan
mengimami
salat, dan tertatap kami
setelah
selesai tahiyat.
disusul
suara berucap salam bersamaan.
ia
duduk di paling utama
hamba
di saf kedua,
ingin
rasanya segera berseru
bahwa
beledu yang terbuat dari bulu kelinci itu
sempurna
sudah direnda di sana.
tapi
keburu jemari mengusapi muka,
membuang
sial-duka.
menyambut
jabat tangan
melepas
maaf, menyodorkan suka.
lantas
gumam doa keselamatan
menyahut
dari juru shalawatan.
sungguh
tiada yang percaya, bahwa songkok
lebak
pasar tiada yang patut memakai
selain
ustadz yang gemar menyeduh kopi
kental
pahit dan menyulut kretek
yang
ia hisap dalam sedap.
serindai
Fatihah lantunannya, mambawa
silu
ke degap jantung kami para makmum.
kaligrafi
di tembok masjid, taswir penuntun
ke
kiblat, sambil berwudhu membasuh muka
membasah
dada.
ah,
hanya songkok Lebak Pasar yang serasi
terjejal
di atas kepalanya. memberikan wibawa
sebelum
naik ke mimbar jumat berkhotbah.
menguatkan
marwah, saat ia memerhatikan
kami
–para muridnya, duduk di depan rekal
membenahi
tajwid Quran di tiap suara tikungan
penuh
dengan santun dan tawakal.
2011
MUSLIHAT GETAH NANGKA MENJERAT CAPUNG EKOR
GADA
kau
yang kubiarkan mengering
di
ujung patahan ranting
yang
warna coklatnya,
memerangkap
musim kemarau
yang
berlarut-larat.
dilaburi
nafsu-padu dari
gairah
kanak-kanak
menjadilah
di kulit kaku.
kau
putih susu yang tak berjarak
dengan
kuning daging
kawalanmu.
yang
selalu di disingkir-paksakan
dan
hanya menanggung perih
semata,
di tepi mata pisau
yang
mengupas kulit dari sari manis.
kini,
tibalah giliranmu
mencuri
gairah langit.
menunggu
mereka, sepasuk hijau
mengenakan
seragam prajurit.
pelaku
musim kawin
yang
sopan nan rupawan.
gemar
melukis dirinya sendiri
lewat
bayang-ambang
menimpa
ke tanah tegalan.
jeratlah
kaki mereka itu.
biarkan
mata seribu terkelabui
juga
olehmu.
bila
saatnya telah tiba
sayap
semerawang mereka
tak
cukup lagi menarik diri dan terbang.
kau
tinggal seserat benang,
mengabdikan
pada tangan-tangan
yang
enggan turun memburu,
mengecoh
risik waktu.
hingga
kau selesai sudah
menjerat
mereka yang tak pernah
bisa pulang.
karena gegabah mengira
akan
sementara saja, singgah sekadar istirah.
2011
Mugya Syahreza Santosa atau Faisal Syahreza
lahir di Cianjur, 3 Mei 1987. Buku puisi tunggal pertamanya Hikayat
Pemanen Kentang (Bandung, 2011).
Puisinya dan tulisannya lainnya dimuat Kompas,
Majalah Sastra Horison, Sastra Digital, Koran Tempo, Suara Merdeka,
Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Padang
Ekspres, Lampung Pos, Bali Pos, Sinar Harapan, Majalah Sabili,
Suara Pembaruan, Jurnal Puisi Amper, Tribun Jabar, Jurnal Nasional dan banyak lagi.
Sesekali diundang acara pertemuan sastra dan penyair juga jika beruntung
memenangkan sayembara kepenulisan. Sekarang bekerja sebagai pekebun dan
bersuntuk di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI) Bandung dengan bergiat di ASAS UPI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar