Jumat, 01 Februari 2013

GELANGGANG SAJAK : Mugya Syahreza Santosa (Sabtu, 7 Januari 2012)



PAGAR BAMBU


hinggapi punggungku lagi, capung ekor gada
dan selinapi kembali selangkanganku,
wahai jantan pelung jangkung!
tapi tiada apa-apa di ujung runcing besi, selain kikis sulur debu
makin memacak putih langit.
kulit cat terkikir cuaca, harum kemarau di rambut rumput.
hanya ada kesat gembok baja, mematri awas pada diri.

biarkan aku tegak dan membentengi, meski dari nakal kanak-kanak
pagi atau pencuri kembang malam hari.
namun sungguh ada yang lebih mewah harus ternauingi, di antara sisip kawat lilit duri. ada ngeri yang lebih gawat, tetimbang melindungi  sepucuk pohon cabai dan kemanggi.
megah rumah serta isi di antara tancap beling benteng dinding ini.

hingga sampai juga bangkaiku diseret seorang tukang ke rumahnya.
dibiarkannya teronggok rongsok dekat sisa bara tungku.
bersiap menelan api yang lidah jirusnya, berucap syahwat
hendak menelanjangi.

2011



MUSIM MENYERGAP CAPUNG BADAK


menyergapnya, berarti menembusi dinding kanak-kanak
yang kian rimbun tertutup dosa nan lolos dari mata fana.
memilah-milih siasat, apakah getah nangka di ujung lidi
atau tangan cergas di belakang bayang tempat ia menepi.
yang akan menjerat sepasang sayap-hinggap
terapit dua jari mungil, melentik jadi rima sajak.

sesungguhnya aku tak pernah mengeluh maupun rusuh,
menganggap mereka renik di ambang kalang petang
apalagi mengira seluruhnya ialah buruanku.

sebab ramat batang pisang yang kukais jadi serentang benang
menjaras tubuh hijau bulat-membatang.
membikin ekor gada perkasanya, beringas berebut diri dengan sengit.
lantas segalanya percuma ketika ia mengelak,
mengharap langit masih gading dalam semu tatapan polosnya.

2011



MUSIM KIDUNG AYAM PELUNG


kini, anak ayam jantan yang sulah bulunya
telah tumbuh dengan rentang lebar sayap.
siap mengirap, melesapkan seluruh debu
membikin mereka harus menggeriapkan mata.

jangan malu apalagi ragu mengelus jenjang lehernya.
terpesona kekar rahang, tempat lengking suara
lebih cemerlang dari serunai manapun.

di gelanggang, sebelum siap kokoknya menggetarkan
ia merasa mujur ditempa matahari dini
di mana selubung jisimnya, warna-warni melimpahi berkah.

ia tak hanya piawai menggugah berahi sang betina
yang siap menjadi ranjang renjana bagi dirinya.
tapi seluruh yang mengepung ia, karam terlena-pesona
mengira nyanyiannya, adalah juru marwah
doa paling kaswah di waktu pertama kali terjaga
pada sebuah pagi buta.

2011



SONGKOK LEBAK PASAR
– Ustadz Budi

putih menyeluruh ketika dikenakan
mengimami salat, dan tertatap kami
setelah selesai tahiyat.
disusul suara berucap salam bersamaan.

ia duduk di paling utama
hamba di saf kedua,
ingin rasanya segera berseru
bahwa beledu yang terbuat dari bulu kelinci itu
sempurna sudah direnda di sana.
tapi keburu jemari mengusapi muka,
membuang sial-duka.
menyambut jabat tangan
melepas maaf, menyodorkan suka.
lantas gumam doa keselamatan
menyahut dari juru shalawatan.

sungguh tiada yang percaya, bahwa songkok
lebak pasar tiada yang patut memakai
selain ustadz yang gemar menyeduh kopi
kental pahit dan menyulut kretek
yang ia hisap dalam sedap.

serindai Fatihah lantunannya, mambawa
silu ke degap jantung kami para makmum.
kaligrafi di tembok masjid, taswir penuntun
ke kiblat, sambil berwudhu membasuh muka
membasah dada.

ah, hanya songkok Lebak Pasar yang serasi
terjejal di atas kepalanya. memberikan wibawa
sebelum naik  ke mimbar jumat berkhotbah.
menguatkan marwah, saat ia memerhatikan
kami –para muridnya, duduk di depan rekal
membenahi tajwid Quran di tiap suara tikungan
penuh dengan santun dan tawakal.


2011





MUSLIHAT GETAH NANGKA MENJERAT CAPUNG EKOR GADA

kau yang kubiarkan mengering
di ujung patahan ranting
yang warna coklatnya,
memerangkap musim kemarau
yang berlarut-larat.

dilaburi nafsu-padu dari
gairah kanak-kanak
menjadilah di kulit kaku.
kau putih susu yang tak berjarak
dengan kuning daging
kawalanmu.

yang selalu di disingkir-paksakan
dan hanya menanggung perih
semata, di tepi mata pisau
yang mengupas kulit dari sari manis.

kini, tibalah giliranmu
mencuri gairah langit.
menunggu mereka, sepasuk hijau
mengenakan seragam prajurit.
pelaku musim kawin
yang sopan nan rupawan.
gemar melukis dirinya sendiri
lewat bayang-ambang
menimpa ke tanah tegalan.

jeratlah kaki mereka itu.
biarkan mata seribu terkelabui
juga olehmu.

bila saatnya telah tiba
sayap semerawang mereka
tak cukup lagi menarik diri dan terbang.
kau tinggal seserat benang,
mengabdikan pada tangan-tangan
yang enggan turun memburu,
mengecoh risik waktu.
hingga kau selesai sudah
menjerat mereka yang tak pernah
bisa pulang. karena gegabah mengira
akan sementara saja, singgah sekadar istirah.

2011



Mugya Syahreza Santosa atau Faisal Syahreza lahir di Cianjur, 3 Mei 1987. Buku puisi tunggal pertamanya Hikayat Pemanen Kentang  (Bandung, 2011). Puisinya dan tulisannya lainnya dimuat Kompas, Majalah Sastra Horison, Sastra Digital, Koran Tempo, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Padang Ekspres, Lampung Pos, Bali Pos, Sinar Harapan, Majalah Sabili, Suara Pembaruan,  Jurnal Puisi Amper, Tribun Jabar, Jurnal Nasional dan banyak lagi. Sesekali diundang acara pertemuan sastra dan penyair juga jika beruntung memenangkan sayembara kepenulisan. Sekarang bekerja sebagai pekebun dan bersuntuk di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dengan bergiat di ASAS UPI.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar