KEJUJURAN
ALA BARJO
I
|
a memang pintar dalam menulis cerita, namun yang
namanya menulis baik ia tak mampu. Bayangkan, catatan-catatan yang selama ini
diperlihatkan bernilai merah. Bahkan, karena hanya gumam dan geramnya terus
meluncur, telah menjadikan kertas putih itu menjadi buram. Betapa carut-marut
begitu kentara atas kepemimpinan dirinya sebagai ketua keluarga. Namun semua
itu baginya, lebih dari sekedar wajar dan seolah tanpa dosa, manakala mau mengungkapkannya dengan kejujuran. Suatu ironi kronis dan menyebalkan, ketika mengusung suatu nilai di tengah fakta yang
bersebrangan.
Begitulah, pandangan di benak-benak mereka. Suguhan keseharian dan waktu
tertentu, yang tak ada bedanya, sehingga yang timbul malah menyakitkan.
Seperti malam di rumah itu. Kendati daun
pintu tak rapat terkunci, namun jika sudah masuk serasa terperangkap di
kerangkeng berduri. Ia tak mampu lari kenyataan. Bak di sebuah rutan, di ruang
itu tak ada hidangan khusus tersaji di hadapan mereka. Padahal lazimnya suatu
pertemuan malam, namanya makanan ringan
atau sekedar teh dan kopi pahit layak disajikan. Namun semua itu luput.
Jangankan itu, air putih pun tak ada. Kendati ada di teko, hanyalah konsumsi
sehari-hari si empunya rumah, yang tercampak mengisolir di sudut ruangan bersama
meja dan kursi yang sebelumnya sengaja ditumpukan.
Untuk
tidak mengurangi kesakralan, semua yang
hadir duduk bersila di lantai. Tanpa alas selembar tikar maupun karpet.
“Tapi
biarlah, kita datang bukan untuk beramah-tamah dan bermanja-manja, kan?” Barjo,
selaku pribumi sekaligus pemimpin di sini mencoba mengingatkan situasi.
Semua
yang hadir terdiam. Karena ucapan itu tak butuh jawaban lisan atau pun
anggukkan. Lagi pula bagi mereka, ada dan tiadanya apa yang disebutkan bukan
suatu dambaan. Mereka tahu apa keinginan Barjo, kebisuan yang terdesak.
Ketidakberdayaan atas manuvernya yang arogan di atas kemasan yang
mengatasnamakan kejujuran. Ya, seperti
kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, pada
acara Evaluasi Diri dan Tutup Buku yang digelar setiap akhir tahun di rumahnya.
Pada waktu yang telah ditentukan, ia undang istri dan anak-anaknya. Bukan untuk
diskusi --apalagi bagi rezeki, forum ini digagasnya untuk menelanjangi diri
dari kemunafikan dan kepura-puraan.
“Dalam setahun ini kejujuran tak mapu kita
lakukan sepenuhnya. Masih banyak yang harus kita perbaiki, bahkan terkesan
merosot,” kata Barjo.
Semua
masih terdiam.
Malam
tak sebagaimana biasa. Udara yang masuk lewat ventilasi terasa menusuk tulang.
Namun kadang terasa hangat manakala kecemasan-kecemasan itu datang melanda.
Cemas dan alergi dalam menelanjangi diri. Kejujuran untuk memperlihatkan borok
atau luka perban. Noda-noda di bagian sensitif
sekalipun, harus dibuka dengan transparan tanpa pembalut atau celana
dalam. Benar-benar harus asongkan ketelanjangan itu. Jangan bertopeng atau pakai
kacamata hitam, lucuti semua, tanggalkan seutuhnya. Arogansi perumpamaan yang
harus diwujudkan ke tindakan, baginya sungguh membuat rasa gerah dan melahirkan
duri-duri.
“Kalian ingat peristiwa setengah tahun yang lalu? Aku ingin ungkapkan
salah satu contoh bagaimana kalian memulai kejujuran.” Kata Barjo. Yang inilah
mungkin puncak kecemasan orang-orang bersila di hadapan Barjo. Kebisuan yang terdesak,
ketidakberdayaan manuver di atas borok yang sengaja diobok. Kesalahan atau
entah apa, yang kerap diulang-ulang dalam ingatan sang bapak ini.
“Cobalah
ceritakan apa yang kau lakukan saat itu, Karsih?” Barjo menatap perempuan itu.
“Anak-anakmu sudah dewasa, sudah saatnya mendengar kejujuran kita!” sambung
laki-laki yang sudah beruban itu.
Karsih,
istri Barjo, hanya membisu. Menunduk. Demikian pula anak-anaknya. Bagi mereka
suasana bagai berkwintal atau malah bertonan beban memberat di kepalanya. Enam
bulan yang lalu, bagi anak-anak mereka bagai mimpi buruk. Apa yang disebut
Barjo sebagai penghianatan Karsih terhadap rumah, terhadap keutuhan keluarga.
Seolah menjadi awal puncak kekeruhan yang mengalir sepanjang waktu belakangan
ini. Keadaan selalu bergolak dan memanas, kemalasan-kemalasan anak-anak dan
kerap menjauh dari perilaku positif. Begitupun dirinya, ambisi-ambisi yang
terpenggal karena konflik yang berkepanjangan, kerapkali terlampiaskan pada
hal-hal yang brutal. Piring-piring terbang, gelas-gelas terpecah, beberapa telepon
seluler hancur terlempar, beberapa kain terbakar hingga pada saat lapar
meradang. Suatu konflik rumah tangga
yang tak berkesudahan, melahirkan konfrontasi di segala sisi hingga
menambah catatan-catatan buram atas dirinya sebagai keluarga besar di antara
anak-anaknya yang delapan.
“Jangan
khawatir, akan kubeberkan nanti semua kesalahan dan kelemahanku selama setahun
ini. Tetapi alangkah baiknya jika kalian memberikan pengakuan terlebih dulu.
Dari semua pengakuan itu, kita bisa membuat garis-garis perenungan untuk
menyiapkan langkah di tahun berikutnya,” Barjo seolah mengalihkan pembicaraan.
Salah
seorang anak Barjo mengangkat muka.
“Kesalahan
aku sudah tidak bisa dihitung,Pak. Lagi pula tak sedikit yang bisa aku ingat,
karena kesalahanku dalam setahun hampir terlakukan tiap hari. Dan perharinya
pun kesalahan itu amat banyak terlakukan, termasuk salah dalam pelajaran di
sekolah. Namun, setahuku yang kesalahan dapat dimaafkan, atau diperbaiki. Betul
kan, Pak?”
Barjo
memandang anak laki-laki bungsu baru kelas 3 SMP itu. “Bersihkan pikiranmu.
Berbicaralah tentang hal-hal buruk yang telah kau lakukan selama ini.
Seluruhnya, sampai lelah. Kita nanti akan tahu, apakah kesalahan itu dapat
diampuni atau tidak. Salah satunya cara mengurangi beban kesalahan yang telah
kita perbuat adalah berbuat sebaik mungkin pada tahun berikutnya. Tetapi untuk
sekarang yang terbaik adalah melakukan kejujuran, setidaknya hal ini dapat
mengurangi rasa berdosa kita,” kata Barjo berlaga bijak.
Semua
hening. Tunduk. Bisu. Malam-malam terasa semakin berat dan panjang.
“Sekarang bagian kamu, Karsih. Kamu bisa memberi contoh pada
anak-anakmu, bagaimana yang namanya bicara jujur!” masih kata Barjo. Kata-kata
itu menggelegar bagai petir.
Perempuan itu menunduk. Ia mulai menangis berat. Seolah tak mampu untuk
berkata-kata. “Lihatlah ibumu, berkata jujur baginya suatu yang menyedihkan,”
ujar lelaki itu mulai sinis. Sudah berapa kali sikap seperti itu dilakukan Barjo,
seperti kebiasaannya meludah di sembarang tempat. Namun tak ada yang berani
mengoreksi atau memberontak. Baginya dengan Barjo seakan berhadapan dengan
harimau lapar, yang harus siap digertak atau diterkam.
“Lihatlah ibumu, dan dengarkan tangisnya. Apa arti tangis itu di saat
kita harus memulai cerita kejujuran?”
Perempuan itu masih terisak. Barjo pun diam membisu, seolah memberi
waktu luang untuk mendengarkan tangis
istrinya. Kebisuan Barjo di tengah sebuah tangis, bagaikan malam gerimis yang tanpa gelegar petir atau guntur. Sepi,
bagai kematian.
Namun
sekonyong-konyong perempuan itu mengangkat wajahnya. Sorot matanya berubah
tajam pada Barjo.
”Baiklah,
akan kuceritakan semua kebusukan-kebusukan selama setahun ini pada kalian, jika
kalian anggap kejujuran hanya sebatas mengatakan kesalahan sendiri,” kata
Karsih dalam isaknya.
Semua
tercengang. Diam mematung.
“Mungkin
aku harus memulai dengan pengakuan betapa aku sudah sangat bosan tinggal di
rumah
ini. Seperti kelinci
dicengkeram elang lapar, itulah yang selalu aku rasakan saat ini. Mungkin
itulah kesalahan terbesar dan pertama-tama…”
Dengan
kalimat-kalimat yang mengalir bagai sungai, perempuan itu menjejer narasi-narasi panjang yang kadang
menggigit, menancap, dan menggores hati orang-orang yang mendengarkannya. Apa
yang telah dilakukannya selama setahun ini? Apa?
Wajah perempuan
itu tiba-tiba menyerburkan warna murka.
Pemadangan demikian itu membuat semua yang duduk bersila itu terpana. Tapi
sekali lagi, tangisan menghapus semua kebimbangan dan keraguan yang menyelimuti
hati bapak dan anak-anak itu. Mereka
yakin apa yang dikatakan perempuan itu suatu kejujuran yang nyata-nyata.
Kejujuran air sungai yang mengalir, tanpa ragu dan sungkan kendati kadang ia
melewati medan panas dan lumpur yang
keruh.
“Dengarlah anak-anakku! Ketahuilah bahwa selama ini ibu telah
berkali-kali bercinta di luar rumah. Ingat, bercinta! Bukan bersenang-senang.
Artinya ibu tak mendapatkan cinta di rumah ini. Lalu ibu menemukan cinta itu di
luar rumah. Apa salahnya ibu meraih itu. Kemudian, ibu merasa bahwa selama ini
menanggung beban yang tak bisa ibu pungkiri. Kalian semakin bodoh dan lugu. Tak
mampu berbuat dan berfikir di sebuah ruangan yang dikitari jaring berduri ini.
Maka semakin betapa sia-sia ibu berharap akan terjadi perubahan. Kalian paham…?”
Perempuan itu menahan isaknya.
“Aku
ingin menemukan keteduhan, agar hidup yang pendek ini dapat memberi arti dan
penting.”
“Dan
keteduhan itu pengkhianatan kepada kodrat?”
Semua
yang tinggal di dalam ruangan itu membisu. Tak ada kalimat-kalimat yang mesti
mereka ucapkan. Semua kosong dan datar.
Perempuan itu telah bercerita panjang. Dan menurutnya cerita itu
pengakuan. Pengakuan atas segala yang dianggapnya suatu kesalahan, meski dengan
sadar dilakukannya.
Malam
makin berat. Kantuk tak datang-datang,
meski semua otot telah lelah. Barjo memandang anak-anaknya yang membisu.
“Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian juga mengkhianati rumah ini?”
Tak ada
seorang pun yang mampu berkata-kata. Mereka menunduk. Terasa sangat berat. Dan
pada keheningan itu hanya isak-isak perempuan yang merasa getir. Makin berubah
perlahan, lalu biasa. Ini terjadi bukan semata-mata karena kewibawaan Barjo
yang mutlak positif. Melainkan suatu rasa takut dan ketertindasan, karena
keluarga itu sudah jauh mengayuh sampannya di arus sungai yang mengalir deras.
Bagi Barjo, kejujuran adalah penelanjangan yang semata-mata agar ia mendapatkan
kertas putih untuk ia tulisi kemudian. Ia sebagai suami, bahwa laki-laki adalah
penulis cerita. Dan juga berhak membuat sandiwara di panggung lainnya.
Rumah
itu seperti kubur. Sepi dan mati. Tapi Barjo masih saja tak berubah dengan
suaranya yang menggemuruh oleh gumam dan geram.
“Baiklah, jika kalian tak mau berkata jujur, sekarang aku akan bercerita
tentang segala kesalahan yang telah kulakukan selama setahun ini. Kalian boleh
mendengarkannya atau tutup telinga. Tapi ingat!
Pengakuan ini penting buat menentukan langkah kita selaanjutnya.”
Semua
terdiam. Mata-mata berjatuhan di lantai. Mulut-mulut mereka terkunci, tetapi telinga
terbuka lebar. Musik belasungkawa yang
selalu terdengar di kejauhan, pada setiap malam buta, menghadirkan rasa
tercekam di tengah mereka. Tapi kemudian mereka terjaga. Lalu tenggelam dalam
kalimat-kalimat Barjo, suami dan ayah mereka.
Barjo
mulai bercerita. Panjang. Panjang
sekali. Hingga tak ada satu pun kalimat yang mampu menutup kepanjangan
ceritanya. Selain suasana malam yang semakin pekat dan berat. Kejujuran yang mengalir dari mulut lelaki itu terus meluncur
tak ada habisnya. Tak rampung-rampung.
Hingga
gelap semakin mendekap, orang-orang tetap
bersila di lantai yang dingin itu. Terasa tak ada yang telah selesai
yang mereka tunggu. Jika kejujuran bagi laki-laki tentang keburukan-keburukan
dan kegagalan atas hidup, maka sungguh menyakitkan bagi mereka. Tapi Barjo tak mau berubah sikap dengan
pendiriannya, yang kerap menggemuruh oleh gumam dan geram. Ia tulisi terus
kertas kosong dan putih itu dengan lakon
buramnya, untuk kemudian diluncur dengan jujur versi dirinya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar