Sabtu, 02 Februari 2013

Cerpen: Otang K.Baddy



KEJUJURAN ALA BARJO

 

I
a memang pintar dalam menulis cerita, namun yang namanya menulis baik ia tak mampu. Bayangkan, catatan-catatan yang selama ini diperlihatkan bernilai merah. Bahkan, karena hanya gumam dan geramnya terus meluncur, telah menjadikan kertas putih itu menjadi buram. Betapa carut-marut begitu kentara atas kepemimpinan dirinya sebagai ketua keluarga. Namun semua itu baginya, lebih dari sekedar wajar dan seolah tanpa dosa, manakala  mau mengungkapkannya dengan kejujuran.  Suatu ironi kronis dan menyebalkan, ketika  mengusung suatu nilai di tengah fakta yang bersebrangan.
       Begitulah, pandangan di benak-benak mereka. Suguhan keseharian dan waktu tertentu, yang tak ada bedanya, sehingga yang timbul malah menyakitkan.
       Seperti malam di rumah itu. Kendati daun pintu tak rapat terkunci, namun jika sudah masuk serasa terperangkap di kerangkeng berduri. Ia tak mampu lari kenyataan. Bak di sebuah rutan, di ruang itu tak ada hidangan khusus tersaji di hadapan mereka. Padahal lazimnya suatu pertemuan malam,  namanya makanan ringan atau sekedar teh dan kopi pahit layak disajikan. Namun semua itu luput. Jangankan itu, air putih pun tak ada. Kendati ada di teko, hanyalah konsumsi sehari-hari si empunya rumah, yang tercampak mengisolir di sudut ruangan bersama meja dan kursi yang sebelumnya sengaja ditumpukan.
       Untuk tidak mengurangi kesakralan,  semua yang hadir duduk bersila di lantai. Tanpa alas selembar tikar maupun karpet.
       “Tapi biarlah, kita datang bukan untuk beramah-tamah dan bermanja-manja, kan?” Barjo, selaku pribumi sekaligus pemimpin di sini mencoba mengingatkan situasi.
        Semua yang hadir terdiam. Karena ucapan itu tak butuh jawaban lisan atau pun anggukkan. Lagi pula bagi mereka, ada dan tiadanya apa yang disebutkan bukan suatu dambaan. Mereka tahu apa keinginan Barjo, kebisuan yang terdesak. Ketidakberdayaan atas manuvernya yang arogan di atas kemasan yang mengatasnamakan kejujuran.  Ya, seperti kebiasaan-kebiasaan sebelumnya,  pada acara Evaluasi Diri dan Tutup Buku yang digelar setiap akhir tahun di rumahnya. Pada waktu yang telah ditentukan, ia undang istri dan anak-anaknya. Bukan untuk diskusi --apalagi bagi rezeki, forum ini digagasnya untuk menelanjangi diri dari kemunafikan dan kepura-puraan.
      “Dalam setahun ini kejujuran tak mapu kita lakukan sepenuhnya. Masih banyak yang harus kita perbaiki, bahkan terkesan merosot,” kata Barjo.
      Semua masih terdiam.
      Malam tak sebagaimana biasa. Udara yang masuk lewat ventilasi terasa menusuk tulang. Namun kadang terasa hangat manakala kecemasan-kecemasan itu datang melanda. Cemas dan alergi dalam menelanjangi diri. Kejujuran untuk memperlihatkan borok atau luka perban. Noda-noda di bagian sensitif  sekalipun, harus dibuka dengan transparan tanpa pembalut atau celana dalam. Benar-benar harus asongkan ketelanjangan itu. Jangan bertopeng atau pakai kacamata hitam, lucuti semua, tanggalkan seutuhnya. Arogansi perumpamaan yang harus diwujudkan ke tindakan, baginya sungguh membuat rasa gerah dan melahirkan duri-duri.
       “Kalian ingat peristiwa setengah tahun yang lalu? Aku ingin ungkapkan salah satu contoh bagaimana kalian memulai kejujuran.” Kata Barjo. Yang inilah mungkin puncak kecemasan orang-orang bersila di hadapan Barjo. Kebisuan yang terdesak, ketidakberdayaan manuver di atas borok yang sengaja diobok. Kesalahan atau entah apa, yang kerap diulang-ulang dalam ingatan sang bapak ini.
      “Cobalah ceritakan apa yang kau lakukan saat itu, Karsih?” Barjo menatap perempuan itu. “Anak-anakmu sudah dewasa, sudah saatnya mendengar kejujuran kita!” sambung laki-laki yang sudah beruban itu.
      Karsih, istri Barjo, hanya membisu. Menunduk. Demikian pula anak-anaknya. Bagi mereka suasana bagai berkwintal atau malah bertonan beban memberat di kepalanya. Enam bulan yang lalu, bagi anak-anak mereka bagai mimpi buruk. Apa yang disebut Barjo sebagai penghianatan Karsih terhadap rumah, terhadap keutuhan keluarga. Seolah menjadi awal puncak kekeruhan yang mengalir sepanjang waktu belakangan ini. Keadaan selalu bergolak dan memanas, kemalasan-kemalasan anak-anak dan kerap menjauh dari perilaku positif. Begitupun dirinya, ambisi-ambisi yang terpenggal karena konflik yang berkepanjangan, kerapkali terlampiaskan pada hal-hal yang brutal. Piring-piring terbang, gelas-gelas terpecah, beberapa telepon seluler hancur terlempar, beberapa kain terbakar hingga pada saat lapar meradang. Suatu konflik rumah tangga  yang tak berkesudahan, melahirkan konfrontasi di segala sisi hingga menambah catatan-catatan buram atas dirinya sebagai keluarga besar di antara anak-anaknya yang delapan.
       “Jangan khawatir, akan kubeberkan nanti semua kesalahan dan kelemahanku selama setahun ini. Tetapi alangkah baiknya jika kalian memberikan pengakuan terlebih dulu. Dari semua pengakuan itu, kita bisa membuat garis-garis perenungan untuk menyiapkan langkah di tahun berikutnya,” Barjo seolah mengalihkan pembicaraan.
      Salah seorang anak Barjo mengangkat muka.
      “Kesalahan aku sudah tidak bisa dihitung,Pak. Lagi pula tak sedikit yang bisa aku ingat, karena kesalahanku dalam setahun hampir terlakukan tiap hari. Dan perharinya pun kesalahan itu amat banyak terlakukan, termasuk salah dalam pelajaran di sekolah. Namun, setahuku yang kesalahan dapat dimaafkan, atau diperbaiki. Betul kan, Pak?”
       Barjo memandang anak laki-laki bungsu baru kelas 3 SMP itu. “Bersihkan pikiranmu. Berbicaralah tentang hal-hal buruk yang telah kau lakukan selama ini. Seluruhnya, sampai lelah. Kita nanti akan tahu, apakah kesalahan itu dapat diampuni atau tidak. Salah satunya cara mengurangi beban kesalahan yang telah kita perbuat adalah berbuat sebaik mungkin pada tahun berikutnya. Tetapi untuk sekarang yang terbaik adalah melakukan kejujuran, setidaknya hal ini dapat mengurangi rasa berdosa kita,” kata Barjo berlaga bijak.
      Semua hening. Tunduk. Bisu. Malam-malam terasa semakin berat dan panjang.
      “Sekarang bagian kamu, Karsih. Kamu bisa memberi contoh pada anak-anakmu, bagaimana yang namanya bicara jujur!” masih kata Barjo. Kata-kata itu menggelegar bagai petir.
       Perempuan itu menunduk. Ia mulai menangis berat. Seolah tak mampu untuk berkata-kata. “Lihatlah ibumu, berkata jujur baginya suatu yang menyedihkan,” ujar lelaki itu mulai sinis. Sudah berapa kali sikap seperti itu dilakukan Barjo, seperti kebiasaannya meludah di sembarang tempat. Namun tak ada yang berani mengoreksi atau memberontak. Baginya dengan Barjo seakan berhadapan dengan harimau lapar, yang harus siap digertak atau diterkam.
      “Lihatlah ibumu, dan dengarkan tangisnya. Apa arti tangis itu di saat kita harus memulai cerita kejujuran?”
       Perempuan itu masih terisak. Barjo pun diam membisu, seolah memberi waktu luang untuk mendengarkan  tangis istrinya. Kebisuan Barjo di tengah sebuah tangis, bagaikan malam gerimis  yang tanpa gelegar petir atau guntur. Sepi, bagai kematian.
      Namun sekonyong-konyong perempuan itu mengangkat wajahnya. Sorot matanya berubah tajam pada Barjo.
      ”Baiklah, akan kuceritakan semua kebusukan-kebusukan selama setahun ini pada kalian, jika kalian anggap kejujuran hanya sebatas mengatakan kesalahan sendiri,” kata Karsih dalam isaknya.
      Semua tercengang. Diam mematung.
      “Mungkin aku harus memulai dengan pengakuan betapa aku sudah sangat bosan tinggal di rumah
ini.  Seperti kelinci dicengkeram elang lapar, itulah yang selalu aku rasakan saat ini. Mungkin itulah kesalahan terbesar dan pertama-tama…”
      Dengan kalimat-kalimat yang mengalir bagai sungai, perempuan  itu menjejer narasi-narasi panjang yang kadang menggigit, menancap, dan menggores hati orang-orang yang mendengarkannya. Apa yang telah dilakukannya selama setahun ini? Apa?
      Wajah perempuan  itu tiba-tiba menyerburkan warna murka. Pemadangan demikian itu membuat semua yang duduk bersila itu terpana. Tapi sekali lagi, tangisan menghapus semua kebimbangan dan keraguan yang menyelimuti hati bapak dan anak-anak itu.  Mereka yakin apa yang dikatakan perempuan itu suatu kejujuran yang nyata-nyata. Kejujuran air sungai yang mengalir, tanpa ragu dan sungkan kendati kadang ia melewati medan panas  dan lumpur yang keruh.
      “Dengarlah anak-anakku! Ketahuilah bahwa selama ini ibu telah berkali-kali bercinta di luar rumah. Ingat, bercinta! Bukan bersenang-senang. Artinya ibu tak mendapatkan cinta di rumah ini. Lalu ibu menemukan cinta itu di luar rumah. Apa salahnya ibu meraih itu. Kemudian, ibu merasa bahwa selama ini menanggung beban yang tak bisa ibu pungkiri. Kalian semakin bodoh dan lugu. Tak mampu berbuat dan berfikir di sebuah ruangan yang dikitari jaring berduri ini. Maka semakin betapa sia-sia ibu berharap akan terjadi perubahan. Kalian paham…?”
      Perempuan itu menahan isaknya.
      “Aku ingin menemukan keteduhan, agar hidup yang pendek ini dapat memberi arti dan penting.”
      “Dan keteduhan itu pengkhianatan kepada kodrat?”
      Semua yang tinggal di dalam ruangan itu membisu. Tak ada kalimat-kalimat yang mesti mereka ucapkan.  Semua kosong dan datar.
      Perempuan itu telah bercerita panjang. Dan menurutnya cerita itu pengakuan. Pengakuan atas segala yang dianggapnya suatu kesalahan, meski dengan sadar dilakukannya.
      Malam makin berat.  Kantuk tak datang-datang, meski semua otot telah lelah. Barjo memandang anak-anaknya yang membisu.
      “Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian juga mengkhianati rumah ini?”
      Tak ada seorang pun yang mampu berkata-kata. Mereka menunduk. Terasa sangat berat. Dan pada keheningan itu hanya isak-isak perempuan yang merasa getir. Makin berubah perlahan, lalu biasa. Ini terjadi bukan semata-mata karena kewibawaan Barjo yang mutlak positif. Melainkan suatu rasa takut dan ketertindasan, karena keluarga itu sudah jauh mengayuh sampannya di arus sungai yang mengalir deras. Bagi Barjo, kejujuran adalah penelanjangan yang semata-mata agar ia mendapatkan kertas putih untuk ia tulisi kemudian. Ia sebagai suami, bahwa laki-laki adalah penulis cerita. Dan juga berhak membuat sandiwara di panggung lainnya.
       Rumah itu seperti kubur. Sepi dan mati. Tapi Barjo masih saja tak berubah dengan suaranya yang menggemuruh oleh gumam dan geram.
       “Baiklah, jika kalian tak mau berkata jujur, sekarang aku akan bercerita tentang segala kesalahan yang telah kulakukan selama setahun ini. Kalian boleh mendengarkannya atau tutup telinga. Tapi ingat!  Pengakuan ini penting buat menentukan langkah kita selaanjutnya.”
      Semua terdiam. Mata-mata berjatuhan di lantai.  Mulut-mulut mereka terkunci, tetapi telinga terbuka lebar.  Musik belasungkawa yang selalu terdengar di kejauhan, pada setiap malam buta, menghadirkan rasa tercekam di tengah mereka. Tapi kemudian mereka terjaga. Lalu tenggelam dalam kalimat-kalimat Barjo, suami dan ayah mereka.
       Barjo mulai bercerita. Panjang.  Panjang sekali. Hingga tak ada satu pun kalimat yang mampu menutup kepanjangan ceritanya. Selain suasana malam yang semakin pekat dan berat. Kejujuran yang  mengalir dari mulut lelaki itu terus meluncur tak ada habisnya. Tak rampung-rampung.
       Hingga gelap semakin mendekap, orang-orang tetap  bersila di lantai yang dingin itu. Terasa tak ada yang telah selesai yang mereka tunggu. Jika kejujuran bagi laki-laki tentang keburukan-keburukan dan kegagalan atas hidup, maka sungguh menyakitkan bagi mereka.  Tapi Barjo tak mau berubah sikap dengan pendiriannya, yang kerap menggemuruh oleh gumam dan geram. Ia tulisi terus kertas  kosong dan putih itu dengan lakon buramnya, untuk kemudian diluncur dengan jujur versi dirinya. ***

       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar