Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen : Neni Wahyuni (Sabtu, 14 Januari 2012)



KAPAN KISAH INI BERAKHIR

 


R
intik hujan turun perlahan membasahi trotoar yang berada di jalan raya. Dari kejauhan terlihat manusia berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan telapak tangan agar tidak terkena langsung dengan air hujan. Mereka berlari ke arah tempat aku berdiri. Di depan halte tempat aku berdiri, terpampang papan reklame besar. Spanduk universitas swasta berlomba memerkenalkan keistimewaannya.
                Ini merupakan kedatanganku yang entah keberapa kalinya di kota ini. Aku adalah mahasiswi yang kuliah di salah satu universitas swasta di kota ini. Sebut saja aku Kumala atau akrab dipanggil Mala. Usia 23 tahun, saat ini sedang  menyusun skripsi. Untuk menuju ke rumah kontrakan, aku menggunakan jasa taksi  karena hujan yang turun tidak juga reda.
            Di depan pagar coklat, supir taksi kusuruh untuk melambankan jalannya. “…Di sini saja ….!” Aku turun sesudah membayar ongkos taksi.
            Di kamar, kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur yang berada di sudut ruangan berukuran 4 x  3.
            Walaupun tubuhku sangat lelah, namun aku tidak bisa memejamkan mata.
            Mataku hanya menatap langit-langit kamar. Masih jelas ingatanku ucapan ibu  tadi siang.
            “ Mala, kuliah kamu sudah hampir selesai…”
            “Iya, Bu.” Aku melihat raut wajahnya yang sudah mulai nampak keriput. Terlihat jelas di raut wajahnya kehidupan ini begitu keras. Apalagi setelah ibu ditinggal ayah 10 tahun yang lalu. Ibu sendirilah yang berjuang membanting tulang. Membesarkan aku dan kedua adikku, Dewi dan Tono.
Dewi sudah menyelesaikan SMA di kampong, sedangkan Tono masih duduk di kelas dua SMK.
Aku sendiri melanjutkan ke perguruan tinggi hanya ingin seperti teman-teman. Mereka  merantau ke kota untuk kuliah dan setiap bulan selalu dikirimi uang kontrakan.
Sedangkan aku anak seorang  janda. Ibuku menjadi buruh cuci di kampung dan membiayai kedua adikku lagi.
Aku sadar biaya kuliah tidaklah sedikit. Untuk menutupi uang kontrakan dan keperluan lainnya, aku bertekad untuk mencari pekerjaan.
Tapi di kota metropolitan ini mencari pekerjaan tidak semudah yang aku bayangkan.
Sore hari, seperti biasanya aku duduk di beranda rumah sambil membaca buku filsafat, aku dikagetkan dari belakang.
“ Hiy….!! Lagi ngelamun ya Mala….!”
Aku hanya tersenyum. Apa yang selama ini aku buat rupanya menjadi perhatian Melan teman satu kontrakanku.
“Melan, aku butuh pekerjaan….!”
Dengan santai Melan menjawab, ”Kalau tak dapat pekerjaan ngapain capek-capek cari pekerjaan?”
“Aku serius, Mel…”
“Mala, sejak kapan aku bercanda denganmu.”
Melan tertawa kecil seperti mencibir.
“Mala, bagaimana kalau nanti malam kamu aku kenalkan dengan temanku. Mungkin dia bisa membantumu…”
“Baiklah, Mel! Nanti malam aku mau kamu kenalkan dengan temanmu.”
Setelah Magrib, kami menuju pusat perbelanjaan. Melan telah menyusun rencana ini semua.
Dia mengajak aku ke kampung nelayan. Di sana sudah ada seorang laki-laki duduk sendiri. Dan sepertinya sedang menunggu seseorang.
“ Hai, Pras?? Sudah lama nunggunya?”
“Lumayan,” jawab laki-laki setengah baya yang duduk di hadapanku dengan singkat.
Aku sendiri masih berdiri di hadapannya sambil berpikir, “Inikah seseorang yang akan menolongku?”
“Silakan duduk…! Mau pesan apa?” sapa laki-laki itu dengan wajah bersahabat.
Dengan agak sedikit gugup aku duduk. “Orenjus aja.”
“Kamu, Mel?” Aku menanyakan pada Melan yang masih berdiri di sampingku.
“Aku mau ke toilet sebentar.  Kalian lanjutkan saja!” Melan lalu pergi meninggalkan kami berdua.
“Namaku Prasetyo…” Laki-laki itu membuka pembicaraan.
“Aku Kumala, biasanya dipangil Mala. Kepada Anda, saya bisa memanggil apa ya…?”
“Panggil saja aku Mas…”
“Baiklah…”
Selama kami mengobrol, aku memerhatikan Mas Prasetyo sangat perhatian dan baik kepadaku.
            Malam semakin larut, kami sepakat untuk pulang. Mas Presetyo mengantarkan aku ke rumah kontrakan.
Hari demi hari terus bergulir. Mas Prasetyo sering menghubungi aku lewat telepon selular. Dia mengetahui nomor aku dari Melan.
Ternyata diam-diam Melan memberikan nomor telepon selularku kepadanya.
            MasPprasetyo menjeput aku di kampus dengan mobil Teranonya. Dari kebersamaan yang sering kami lalui… aku jatuh hati kepada Mas Prasetyo. Apalagi pada saat itu aku belum membayar kontrakan. Mas Prasetyo yang melunasi semuanya, hingga membayar uang kuliahku dan memenuhi kebutuhanku sehari-hari.
            Hingga pada suatu malam, setelah menjemputku dari kampus Mas Prasetyo mengajakku menginap di hotel.
            “ Mala, bagaimana kalau malam ini kita menginap di hotel saja?”
“Baiklah, Mas…aku mau. Aku bosan di kontrakan.”
Malam kami membuking  satu kamar.
Mulanya aku sangat ragu karena baru pertama kalinya aku satu kamar dengan orang yang bukan muhrimku.
Paginya aku  melihat Mas Prasetyo merapikan pakaiannya.
“Mala, cepat ke kamar mandi… kamu gak ke kampus hari ini?” Mas Prasetyo mengingatkanku.  “Tapi sebelum berangkat, kita sarapan dulu.”
Aku segera masuk ke kamar mandi dan merapikan pakaianku.
            Seperti biasanya, Mas Prasetyo sering menjeput aku ke kampus. Kami sering menghabiskan waktu di hotel. Dan ini sudah menjadi kebiasaan kami. Aku tahu perbuatanku ini dosa, karena apa yang kami lakukan tanpa ikatan apapun.
            Tapi ini semua atas dasar suka sama suka. Aku sangat mencintai Mas Prasetyo. Walaupun aku terkadang berpikir…mungkin ini adalah imbalan kebaikan Mas Prasetyo selama ini.
            Aku masih begitu jelas ucapan ibu…  “Mala, cepatlah menikah!” Aku hanya tersenyum mendengar perkataan ibu.
            “Lihat badanmu kurus kering seperti orang kelaparan saja.”
            Aku tertawa mendengar ucapan Ibu. Ya, aku memang terlalu kurus dibandingkan adik-adikku.
            “Kalau kamu menikah, kan kamu tidak capek-capek lagi kerja sambil kuliah…sudah ada suami kamu yang kerja.“
            Setahu ibu, aku di kota ini kuliah sambil kerja. Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya aku kerjakan.
            Air mataku mengalir mengingat kesalahanku selama ini.
            Semenjak kecil aku dan kedua adikku tidak merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Sejak aku berumur 9 tahun dan kedua adikku masih kecil-kecil, ada seorang wanita setengah baya datang ke rumah ibuku. Perempuan itu memaki-maki ibu dengan kasar. Para tetangga yang mendengar keributan itu langsung melerainya. Sejak itu, aku tahu kalau ibuku istri kedua yang dinikahi secara sirih.
            Semenjak itu berusaha menjadi perempuan yang kuat. Hingga 4 tahun kemudian ayah pergi meninggalkan kami semua dan dunia ini.
            Aku disadarkan dengan getaran telepon selular di sampingku. Segera kuangkat…
            “Halo…”
            “Kak, ini Tono… kakak cepat kembali lagi ke kampung…”
            “Kenapa, Ton…?”
            Aku masih bingung, karena di seberang sana suara Tono terputus-putus.
            “Kak, ibu sudah sekarat…cepatlah kembali!”
            Tanpa pikir panjang, segera aku bangkit dari tempat tidur. Hanya dompet dan telepon selular yang aku bawa dan baju yang melekat di badan.
            Agar cepat sampai aku menggunakan jasa taksi untuk menuju stasiun.
            Sesampainya di kampung tepat pukul 10.00 WIB karena aku dari kota sudah hampir pagi. Aku melihat di depan rumah sudah ada teratak dan para tetangga yang mengenakan jilbab dan kopiah.
            Jantungku langsung berdebar…
            “Apa yang terjadi, Mbah…?”
            Aku menanyakannya kepada tetanggaku. Mbah Jainab memelukku sambil menangis…
            “Ibumu sudah tiada...“           
            “Dia menghembuskan nafas terakhirnya begitu Tono memberi kabar kepadamu tadi malam.“
            “Sekarang pergilah ke pusaranya…!”
            Aku berlari sambil menangis menuju pusaran Ibu. Langsung kupeluk tanah yang masih basah itu.
            “Bu…..Maafkan aku…”
            “Aku tidak bisa memenuhi permintaan Ibu yang terakhir…”
            “Maafkan aku, Bu…aku sangat mencintai lelaki itu…”
            Mala menghapus air mata di pipinya.
            “Bu…aku tidak bisa menikah dengannya…Bu. Laki – laki itu sudah menikah.”
            Ah, kapan kisah ini berakhir…. ***   
                     


             
  
           
                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar