KAPAN KISAH INI BERAKHIR
R
|
intik hujan turun perlahan membasahi trotoar yang berada di jalan raya.
Dari kejauhan terlihat manusia berlari kecil sambil menutupi kepalanya dengan
telapak tangan agar tidak terkena langsung dengan air hujan. Mereka berlari ke arah
tempat aku berdiri. Di depan halte tempat aku berdiri, terpampang papan reklame
besar. Spanduk universitas swasta berlomba memerkenalkan keistimewaannya.
Ini merupakan kedatanganku yang entah
keberapa kalinya di kota ini. Aku adalah mahasiswi yang kuliah di salah satu
universitas swasta di kota ini. Sebut saja aku Kumala atau akrab dipanggil Mala. Usia 23 tahun, saat ini
sedang menyusun skripsi. Untuk menuju ke
rumah kontrakan, aku menggunakan jasa taksi
karena hujan yang turun tidak juga reda.
Di depan pagar coklat, supir
taksi kusuruh untuk melambankan jalannya. “…Di sini saja ….!” Aku turun sesudah
membayar ongkos taksi.
Di kamar, kuhempaskan
tubuhku ke tempat tidur yang berada di sudut ruangan berukuran 4 x 3.
Walaupun tubuhku sangat
lelah, namun aku tidak bisa memejamkan mata.
Mataku hanya menatap
langit-langit kamar. Masih jelas ingatanku ucapan ibu tadi siang.
“ Mala, kuliah kamu sudah
hampir selesai…”
“Iya, Bu.” Aku melihat raut
wajahnya yang sudah mulai nampak keriput. Terlihat jelas di raut wajahnya
kehidupan ini begitu keras. Apalagi setelah ibu ditinggal ayah 10 tahun yang
lalu. Ibu sendirilah yang berjuang membanting tulang. Membesarkan aku dan kedua
adikku, Dewi dan Tono.
Dewi sudah menyelesaikan SMA di kampong, sedangkan
Tono masih duduk di kelas dua SMK.
Aku sendiri melanjutkan ke perguruan tinggi hanya
ingin seperti teman-teman. Mereka merantau ke kota untuk kuliah dan setiap
bulan selalu dikirimi uang kontrakan.
Sedangkan aku anak seorang janda. Ibuku menjadi buruh cuci di kampung
dan membiayai kedua adikku lagi.
Aku sadar biaya kuliah tidaklah sedikit. Untuk
menutupi uang kontrakan dan keperluan lainnya, aku bertekad untuk mencari
pekerjaan.
Tapi di kota metropolitan ini mencari pekerjaan
tidak semudah yang aku bayangkan.
Sore hari, seperti biasanya aku duduk di beranda
rumah sambil membaca buku filsafat, aku dikagetkan dari belakang.
“ Hiy….!! Lagi ngelamun ya Mala….!”
Aku hanya tersenyum. Apa yang selama ini aku buat rupanya menjadi perhatian
Melan teman satu kontrakanku.
“Melan, aku butuh pekerjaan….!”
Dengan santai Melan menjawab, ”Kalau tak dapat
pekerjaan ngapain capek-capek cari
pekerjaan?”
“Aku serius, Mel…”
“Mala, sejak kapan aku bercanda denganmu.”
Melan tertawa kecil seperti mencibir.
“Mala, bagaimana kalau nanti malam kamu aku
kenalkan dengan temanku. Mungkin dia bisa membantumu…”
“Baiklah, Mel! Nanti malam aku mau kamu kenalkan
dengan temanmu.”
Setelah Magrib, kami menuju pusat perbelanjaan. Melan telah menyusun rencana ini semua.
Dia mengajak aku ke kampung nelayan. Di sana sudah ada seorang laki-laki duduk
sendiri. Dan sepertinya
sedang menunggu seseorang.
“ Hai, Pras?? Sudah lama nunggunya?”
“Lumayan,” jawab laki-laki setengah baya yang
duduk di hadapanku dengan singkat.
Aku sendiri masih berdiri di hadapannya sambil
berpikir, “Inikah seseorang yang akan menolongku?”
“Silakan duduk…! Mau pesan apa?” sapa laki-laki
itu dengan wajah bersahabat.
Dengan agak sedikit gugup aku duduk. “Orenjus aja.”
“Kamu, Mel?” Aku menanyakan pada Melan yang masih
berdiri di sampingku.
“Aku mau ke toilet sebentar. Kalian lanjutkan saja!” Melan lalu pergi
meninggalkan kami berdua.
“Namaku Prasetyo…” Laki-laki itu membuka
pembicaraan.
“Aku Kumala, biasanya dipangil Mala. Kepada Anda,
saya bisa memanggil apa ya…?”
“Panggil saja aku Mas…”
“Baiklah…”
Selama kami mengobrol, aku
memerhatikan Mas Prasetyo sangat perhatian dan baik kepadaku.
Malam semakin larut, kami sepakat untuk
pulang. Mas Presetyo mengantarkan
aku ke rumah kontrakan.
Hari demi hari terus bergulir. Mas Prasetyo sering
menghubungi aku lewat telepon selular. Dia mengetahui nomor aku dari Melan.
Ternyata diam-diam Melan memberikan nomor telepon
selularku kepadanya.
MasPprasetyo menjeput aku
di kampus dengan mobil Teranonya. Dari kebersamaan yang sering kami lalui… aku jatuh hati kepada Mas
Prasetyo. Apalagi pada saat itu aku belum membayar kontrakan. Mas Prasetyo yang
melunasi semuanya, hingga membayar uang kuliahku dan memenuhi kebutuhanku
sehari-hari.
Hingga
pada suatu malam, setelah menjemputku dari kampus Mas Prasetyo mengajakku menginap
di hotel.
“ Mala, bagaimana kalau malam ini kita menginap di
hotel saja?”
“Baiklah, Mas…aku mau. Aku bosan di kontrakan.”
Malam kami membuking satu kamar.
Mulanya aku sangat ragu karena baru pertama
kalinya aku satu kamar dengan orang yang bukan muhrimku.
Paginya aku
melihat Mas Prasetyo merapikan pakaiannya.
“Mala, cepat ke kamar mandi… kamu gak ke kampus
hari ini?” Mas Prasetyo
mengingatkanku. “Tapi sebelum berangkat,
kita sarapan dulu.”
Aku segera masuk ke kamar mandi dan merapikan
pakaianku.
Seperti biasanya, Mas
Prasetyo sering menjeput aku ke kampus. Kami sering menghabiskan waktu di
hotel. Dan ini sudah menjadi
kebiasaan kami. Aku tahu perbuatanku ini dosa, karena apa yang kami lakukan tanpa
ikatan apapun.
Tapi ini semua atas dasar
suka sama suka. Aku
sangat mencintai Mas Prasetyo. Walaupun aku terkadang berpikir…mungkin ini adalah imbalan kebaikan Mas
Prasetyo selama ini.
Aku masih begitu jelas
ucapan ibu… “Mala, cepatlah menikah!” Aku hanya tersenyum mendengar perkataan
ibu.
“Lihat badanmu kurus
kering seperti orang kelaparan saja.”
Aku tertawa mendengar ucapan Ibu. Ya, aku memang
terlalu kurus dibandingkan adik-adikku.
“Kalau kamu menikah, kan
kamu tidak capek-capek lagi kerja sambil kuliah…sudah ada suami kamu yang
kerja.“
Setahu ibu, aku di kota
ini kuliah sambil kerja. Ibu tidak tahu apa yang sebenarnya aku kerjakan.
Air mataku mengalir
mengingat kesalahanku selama ini.
Semenjak kecil aku dan
kedua adikku tidak merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya. Sejak aku berumur 9
tahun dan kedua adikku masih kecil-kecil, ada seorang wanita setengah baya
datang ke rumah ibuku. Perempuan itu memaki-maki ibu dengan kasar. Para
tetangga yang mendengar keributan itu langsung melerainya. Sejak itu, aku tahu
kalau ibuku istri kedua yang dinikahi secara sirih.
Semenjak itu berusaha
menjadi perempuan yang kuat. Hingga 4 tahun kemudian ayah pergi meninggalkan
kami semua dan dunia ini.
Aku disadarkan dengan getaran telepon selular di
sampingku. Segera kuangkat…
“Halo…”
“Kak, ini Tono… kakak
cepat kembali lagi ke kampung…”
“Kenapa, Ton…?”
Aku masih bingung, karena
di seberang sana suara Tono terputus-putus.
“Kak, ibu sudah
sekarat…cepatlah kembali!”
Tanpa pikir panjang, segera aku bangkit dari
tempat tidur. Hanya dompet dan telepon selular yang aku bawa dan baju yang
melekat di badan.
Agar cepat sampai aku menggunakan
jasa taksi untuk menuju stasiun.
Sesampainya di kampung
tepat pukul 10.00 WIB karena aku dari kota sudah hampir pagi. Aku melihat di
depan rumah sudah ada teratak dan para tetangga yang mengenakan jilbab dan
kopiah.
Jantungku langsung
berdebar…
“Apa yang terjadi, Mbah…?”
Aku menanyakannya kepada
tetanggaku. Mbah Jainab memelukku sambil menangis…
“Ibumu sudah tiada...“
“Dia menghembuskan nafas
terakhirnya begitu Tono memberi kabar kepadamu tadi malam.“
“Sekarang pergilah ke pusaranya…!”
Aku berlari sambil
menangis menuju pusaran Ibu. Langsung kupeluk tanah yang masih basah itu.
“Bu…..Maafkan aku…”
“Aku tidak bisa memenuhi
permintaan Ibu yang terakhir…”
“Maafkan aku, Bu…aku sangat mencintai lelaki itu…”
Mala menghapus air mata di
pipinya.
“Bu…aku tidak bisa menikah
dengannya…Bu. Laki – laki itu sudah menikah.”
Ah, kapan kisah ini berakhir…. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar