Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen : Sunita Maharani (Sabtu, 28 Januari 2012)



Nyonya

 



N
yonya. Orang-orang sering memanggilnya begitu, ia sendiri hanyalah sebuah alat. Alat yang dapat mengerjakan banyak hal yang dimintakan padanya. Dan kelebihan lainnya dari banya alat yang ada di muka bumi ini. Ia dapat berjalan sendiri serta bicara  gagal manusia layaknya, kepintarannya hampir sama dengan komputer.
Tidak jelas bagaimana mulanya alat itu dipanggil Nyonya oleh orang-orang di sini. Atau mungkin karena ia lebih sering mengerjakan banyak pekerjaan perempuan.
“Ya, mungkin saja, Mbak.” ujar Nyonya suatu ketika padaku saat perihal namanya itu dipermasalahkan.
“Nyonya sendiri kurang begitu paham apakah yang Nyonya kerjakan selama ini memang pekerjaan perempuan atau wanita memang, kalau sudah berkaitan dengan perempuan banyak, masalah yang Nyonya ketahui,” tutur Nyonya pula.
Nyonya sendiri, meski ia dianugerahi kemampuan untuk berbicara sebenarnya, ia termasuk yang kurang suka banyak orang. Tapi, jika sudah denganku! Wah, omongan Nyonya kadang nyerocos mirip dengan kereta api berkecepatan tinggi.
”Perempuan itu tak ada bedanya dengan rembulan,” ucap Nyonya ketika menyinggung soal perempuan.
Rembulan itu sukanya bersembunyi di balik awan. Kemudian lebih banyak ia mengintip-intip isi jagad ini dari balik persembunyiannya.
Begitu juga perempuan seringkali menyembunyikan isi hati orang lain. Dalan kalau isi hatinya diketahui orang ia cenderung tidak mau mengakuinya. “Ya, begitulah perempuan!” ujar Nyonya sungguh-sungguh.
Tentang memilih perempuan, Nyonya juga pernah bilang agar laki-laki sebaiknya tidak memilih perempuan untuk istri, misalnya semata-mata karena kecantikannya saja. Kecantikan yang ditunjukkan dengan senyumannya yang manis, tubuhnya yang indah dengan lekukan-lekukan pinggul hanya terbalut kaos dan jeans ketat. Rambutnya yang panjang menyebarkan bau harum yang menyengat.
Nyonya malah menyarankan sebaiknya kaum laki-laki khususnya abangku, sebab Nyonya memberikan nasihat itu memang ditujukan untuk abangku, agar melihat pada kepribadian yang dimiliki oleh perempuan itu. Itu, kalau kita ingin menyayanginya.
“Kecantikannya itu tidak abadi dan gampang pudar. Tetapi kepribadian akan begitu kekal terbawa sampai mati,“ ujar Nyonya berkali-kali! Setiap ada perempuan berbicara denganku.
Matahari masih memancarkan sisa-sisa sinarnya di sore ini. Angin sesekali bertiup kencang mengiringi datangnya musim penghujan kali ini. Sejenak aku menatap jendela. Oh… ternyata Nyonya sudah berada di beranda rumahku.
“Silakan, Nyonya.” Aku memersilakan Nyonya ke dalam. ”Sehat-sehat saja hari ini, Nyonya?”
“Ya, syukurlah. Begitu doamu jua”. Jawabannya tetap serta sebagaimana biasanya. Memang, setiap minggu sore seperti ini, Nyonya selalu menyempatkan untuk datang ke rumahku sekadar berbincang-bincang. Dan setiap minggu sore pula, aku dengan setia menunggu di rumah, mendengarkan berbagai ocehan-ocehan, suka dan duka, yang terlontar dari benak Nyonya.
“Wah, gembira sekali kemarin rasanya,” Nyonya langsung saja menyampaikan apa yang di pikirannya.
Kemarin Nyonya dapat pesanan catering 500 kotak nasi untuk dua kantor perusahaan swasta.
?Dan kami telah menandatangani kontrak untuk satu tahun, terhitung dari Senin besok.”
“Ya, syukurlah kalau begitu, aku tentu turut bergembira,” jawabku sembari menepuk-nepuk pundak Nyonya yang terlihat amat bergembira hari itu. Ternyata semakin hari, semakin banyak saja orang yang tidak makan siang di rumahnya masing-masing.
Tampaknya perempuan ini mulai akan melepaskan uneg-unegnya yang lagi mengganjal. Nyonya sendiri merasa segala ini adalah potret kehidupan zaman sekarang.
Nyonya diam sejenak dan kemudian kembali berkata, “Semula hal ini disebabkan karena kini mulai banyak para istri yang merelakan waktu mereka untuk bekerja di luar rumah. Kesibukan  ini dilakukan semata-mata karena ingin membantu suaminya untuk mencari nafkah guna menopang perekonomian keluarga. Yang berakibat banyak para istri tidak ada di rumah ketika para suami dan anak-anaknya makan siang.
Namun. seberapa pun wanita sibuk di luar, dia akan tetap kembali ke rumahnya  untuk mengurusi suami dan anaknya di rumah. Dengan menyediakan makan siang mereka yang langsung dimasakkan oleh istrinya. Suami yang mendambakan masakan istrinya atau anak-anaknya yang mengagungkan masakan ibunya, tentu akan merindukan suasana seperti ini.
Eh,,,sesibuk apapun wanita tetap memikirkan suaminya. Kecantikan perempuan yang didasari kecantikan alami maupun kecantikan melalui olesan-olesan kosmetik, sepenuhnya diberikan untuk suami. Kecantikan yang dapat dinikmati oleh seorang suami di saat-saat mereka menghabiskan malam bersama dalam dunia malam mereka.
            “Ya enggak!“ Nyonya  berkata dengan nada agak keras.
            Aku sendiri tak berani mengomentarinya lagi, kecuali hanya manggut-manggut seperti orang yang sakit ayan.
......
Aku baru saja selesai mandi pagi pada Minggu pagi menjelang akhir bulan ini. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Nyonya di rumah kecilku. Tak biasa ia datang sepagi ini, apalagi dengan mimik mukanya yang begitu suram, tak secerah seperti biasanya.
            “Tolong aku, Mbak!“ Nyonya langsung menghampiri aku.
“Lho, ada apa?”
“Pokoknya tolonglah aku,” ujar Nyonya yang sejenak terdiam. Sejak sekian tahun baru kali ini mendengar Nyonya menyebut dirinya aku sebagai pengganti Nyonya.
Aku terdiam sejenak sembari mencoba  memahami apa sebenarnya yang terjadi. Nyonyapun ikut diam, seperti memahami keterkejutanku itu. ”Ternyata selama ini aku hanya diperalat,” Nyonya mendahului bicara setelah kami sama-sama terdiam.
“Diperalat, bagaimana Nonya!” Aku tetap tidak mengerti.
“Aku sudah merenungkannya tadi malam, ternyata aku hanya diperalat.”
 “Ya, diperalat bagaimana?” Aku bertanya dengan pertanyaan yang sama.
Nyonya kemudian bicara panjang lebar perihal kekecewaanku itu. Ia sendiri mengaku telah mengerjakan pekerjaan yang dimintakan kepadanya sebaik mungkin. Bahkan hampir semua jenis pekerjaan dan aktivitas sudah ia lakukan dengan sungguh-sungguh.
”Mulai tugas mencuci piring, mencuci pakaian bayi, tas, dan celana tuan, membersihkan lantai dirumah tuan, menyiapkan  masakana untuk tuan dan anak-anaknya, juga tamu-tamunya.
Sementara di luar sana aku juga selalu ,mengerjakan dengan baik apa yang mereka inginkan. Mulai menyiapkan makanan, segala jenis bunga hias untuk ruang kantor bagi para pemesan, sampai menyiapkan kegiatan bakti sosial, bulan dana anak cacat, semua dilakukan dengan penuh pengabdian.”
Pelan-pelan diiringi deru mobil yang menghiasi jalan persis di pinggir jalan rumahku. Nyonya seperti terisak, tak dapat menahan kedukaan dalam hati.
”Nyonya, sadar. Nyonya adalah sebuah alat yang harus menurut apa yang dimaui orang lain. Tapi walaupun hanya sebuah alat, toh tidak salah kalau Nyonya sendiri menjadi bagian penting dari apa yang Nyonya kerjakan selama ini. Nyatanya mereka hanya memperalat Nyonya. Hanya memperalat!”
“Siapa yang Nyonya anggap memperalat Nyonya itu?”.tanyaku pula.
“ Ya, mereka-mereka itu,” jawab Nyonya ketus.
“Mereka-mereka itu siapa?”
“ Pokoknya mereka-mereka itu. Titik!” kali ini suara Nyonya benar-benar membelah langit.
Kembali aku tak berani mengomentari ucapan Nyonya. Apalagi kali ini kata-katanya begitu lantang, salah-salah nanti malah kemarahannya bisa beralih kepadaku.
Setelah mencoba tetap bersikap tenang, aku kembali berkata, “Lalu, apa kira-kira yang bisa aku tolong untuk Nyonya?”
“Masukkan saja Nyonya ke dalam kulkas!”
“Lho, untuk apa?”
“Agar seluruh tubuhku kembali dingin seperti semula, tidak kepanasan. Seperti yang Nyonya rasakan saat ini.”
“Oh, tidak mungkin Nyonya. Tubuhmu bias jadi kaku dan beku bila aku memasukkanmu kedalam kulkas”.
“Tapi aku memerlukan pendingin itu”.
“Ah, mungkin Nyonya hanya strees, karena hampir tak ada istirahat”. Cobalah Nyonya pikirkan sekali lagi”, ujarku mencoba menenangkannya”.
 Sejurus Nyonya terdiam diri sembari merenungkan sesuatu. Entah apa yang ia renungkan. “Oh, baiklah kalau begitu.” Tiba-tiba Nyonya kembali mengeluarkan suaranya. ”Aku tak jadi memintamu memasukkanku ke dalam kulkas. Tapi dengan syarat…”.
            “Syarat apa Nyonya?” Aku langsung memotong sebelum Nyonya sempat menyelesaikan kata-katanya.
“Kau harus memenuhi permintaanku yang satu ini sebagai permintaan terkhir.”
”Aku berjanji, Nyonya,” ujarku setuju, meski aku sendiri tetap belum memahami apa maunya Nyonya ini.
“Baiklah, kalau begitu masukkan saja Nyonya ke dalam mesin cuci, agar setelah itu hati dan jiwa Nyonya bisa kembali bersih tidak sekusut hari ini. Nah, lakukanlah demi aku.”
Kupikir tidak begitu jelek bila kuturuti saja kehendak Nyonya kali ini, di samping aku sendiri sudah berjanji untuk memenuhinya. Tanpa banyak bicara, kubantu Nyonya memasukkan tubuhnya ke dalam mesin cuci di belakang rumah yang hampir dua bulan ini tidak pernah kupakai lagi.
“Nah, masuklah Nyonya, dan aku akan tetap menunggumu di luar,” kataku sembari melepaskan tubuh Nyonya ke dalam mesin itu.
Di beranda, matahari mulai naik. Daun-daun berbisik-bisik diterpa angin yang membiaskan kesegaran. Kuhirup udara dalam-dalam. Napas aku lepaskan dalam-dalam, sambil berdoa semoga Nyonya mendapatkan apa yang dia inginkan dan menemukan kembali sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.
“Ah, Nyonya!” kataku dalam hati. Sembari tak henti-hentinya menggelengkan kepalaku di teras rumah, kecuali pada hari Minggu yang sebenarnya amat cerah. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar