Nyonya
N
|
yonya. Orang-orang sering memanggilnya begitu, ia sendiri
hanyalah sebuah alat. Alat yang dapat mengerjakan banyak hal yang dimintakan
padanya. Dan kelebihan lainnya dari banya alat yang ada di muka bumi ini. Ia
dapat berjalan sendiri serta bicara
gagal manusia layaknya, kepintarannya hampir sama dengan komputer.
Tidak jelas bagaimana mulanya
alat itu dipanggil Nyonya oleh orang-orang di sini. Atau mungkin karena ia lebih
sering mengerjakan banyak pekerjaan perempuan.
“Ya, mungkin saja, Mbak.” ujar
Nyonya suatu ketika padaku saat perihal namanya itu dipermasalahkan.
“Nyonya sendiri kurang begitu
paham apakah yang Nyonya kerjakan selama ini memang pekerjaan perempuan atau
wanita memang, kalau sudah berkaitan dengan perempuan banyak, masalah yang
Nyonya ketahui,” tutur Nyonya pula.
Nyonya sendiri, meski ia
dianugerahi kemampuan untuk berbicara sebenarnya, ia termasuk yang kurang suka
banyak orang. Tapi, jika sudah denganku! Wah, omongan Nyonya kadang nyerocos mirip dengan kereta api
berkecepatan tinggi.
”Perempuan itu tak ada bedanya
dengan rembulan,” ucap Nyonya ketika menyinggung soal perempuan.
Rembulan itu sukanya bersembunyi
di balik awan. Kemudian lebih banyak ia mengintip-intip isi jagad ini dari
balik persembunyiannya.
Begitu juga perempuan seringkali
menyembunyikan isi hati orang lain. Dalan kalau isi hatinya diketahui orang ia
cenderung tidak mau mengakuinya. “Ya, begitulah perempuan!” ujar Nyonya
sungguh-sungguh.
Tentang memilih perempuan, Nyonya
juga pernah bilang agar laki-laki sebaiknya tidak memilih perempuan untuk
istri, misalnya semata-mata karena kecantikannya saja. Kecantikan yang
ditunjukkan dengan senyumannya yang manis, tubuhnya yang indah dengan
lekukan-lekukan pinggul hanya terbalut kaos dan jeans ketat. Rambutnya yang
panjang menyebarkan bau harum yang menyengat.
Nyonya malah menyarankan
sebaiknya kaum laki-laki khususnya abangku, sebab Nyonya memberikan nasihat itu
memang ditujukan untuk abangku, agar melihat pada kepribadian yang dimiliki
oleh perempuan itu. Itu, kalau kita ingin menyayanginya.
“Kecantikannya itu tidak abadi
dan gampang pudar. Tetapi kepribadian akan begitu kekal terbawa sampai mati,“ ujar
Nyonya berkali-kali! Setiap ada perempuan berbicara denganku.
Matahari masih memancarkan sisa-sisa
sinarnya di sore ini. Angin sesekali bertiup kencang mengiringi datangnya musim
penghujan kali ini. Sejenak aku menatap jendela. Oh… ternyata Nyonya sudah berada
di beranda rumahku.
“Silakan, Nyonya.” Aku memersilakan
Nyonya ke dalam. ”Sehat-sehat saja hari ini, Nyonya?”
“Ya, syukurlah. Begitu doamu
jua”. Jawabannya tetap serta sebagaimana biasanya. Memang, setiap minggu sore
seperti ini, Nyonya selalu menyempatkan untuk datang ke rumahku sekadar
berbincang-bincang. Dan setiap minggu sore pula, aku dengan setia menunggu di
rumah, mendengarkan berbagai ocehan-ocehan, suka dan duka, yang terlontar dari
benak Nyonya.
“Wah, gembira sekali kemarin
rasanya,” Nyonya langsung saja menyampaikan apa yang di pikirannya.
Kemarin Nyonya dapat pesanan catering 500 kotak nasi untuk dua kantor
perusahaan swasta.
?Dan kami telah menandatangani
kontrak untuk satu tahun, terhitung dari Senin besok.”
“Ya, syukurlah kalau begitu, aku
tentu turut bergembira,” jawabku sembari menepuk-nepuk pundak Nyonya yang
terlihat amat bergembira hari itu. Ternyata semakin hari, semakin banyak saja
orang yang tidak makan siang di rumahnya masing-masing.
Tampaknya perempuan ini mulai
akan melepaskan uneg-unegnya yang lagi mengganjal. Nyonya sendiri merasa segala
ini adalah potret kehidupan zaman sekarang.
Nyonya diam sejenak dan kemudian
kembali berkata, “Semula hal ini disebabkan karena kini mulai banyak para istri
yang merelakan waktu mereka untuk bekerja di luar rumah. Kesibukan ini dilakukan semata-mata karena ingin
membantu suaminya untuk mencari nafkah guna menopang perekonomian keluarga.
Yang berakibat banyak para istri tidak ada di rumah ketika para suami dan
anak-anaknya makan siang.
Namun. seberapa pun wanita sibuk
di luar, dia akan tetap kembali ke rumahnya untuk mengurusi suami dan anaknya di rumah.
Dengan menyediakan makan siang mereka yang langsung dimasakkan oleh istrinya.
Suami yang mendambakan masakan istrinya atau anak-anaknya yang mengagungkan
masakan ibunya, tentu akan merindukan suasana seperti ini.
Eh,,,sesibuk apapun wanita tetap
memikirkan suaminya. Kecantikan perempuan yang didasari kecantikan alami maupun
kecantikan melalui olesan-olesan kosmetik, sepenuhnya diberikan untuk suami.
Kecantikan yang dapat dinikmati oleh seorang suami di saat-saat mereka
menghabiskan malam bersama dalam dunia malam mereka.
“Ya enggak!“
Nyonya berkata dengan nada agak keras.
Aku sendiri
tak berani mengomentarinya lagi, kecuali hanya manggut-manggut seperti orang
yang sakit ayan.
......
Aku baru saja selesai mandi pagi pada Minggu pagi menjelang
akhir bulan ini. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Nyonya di rumah
kecilku. Tak biasa ia datang sepagi ini, apalagi dengan mimik mukanya yang
begitu suram, tak secerah seperti biasanya.
“Tolong
aku, Mbak!“ Nyonya langsung menghampiri aku.
“Lho, ada apa?”
“Pokoknya tolonglah aku,” ujar
Nyonya yang sejenak terdiam. Sejak sekian tahun baru kali ini mendengar Nyonya
menyebut dirinya aku sebagai pengganti Nyonya.
Aku terdiam sejenak sembari
mencoba memahami apa sebenarnya yang
terjadi. Nyonyapun ikut diam, seperti memahami keterkejutanku itu. ”Ternyata
selama ini aku hanya diperalat,” Nyonya mendahului bicara setelah kami
sama-sama terdiam.
“Diperalat, bagaimana Nonya!” Aku
tetap tidak mengerti.
“Aku sudah merenungkannya tadi
malam, ternyata aku hanya diperalat.”
“Ya, diperalat bagaimana?” Aku bertanya dengan
pertanyaan yang sama.
Nyonya kemudian bicara panjang
lebar perihal kekecewaanku itu. Ia sendiri mengaku telah mengerjakan pekerjaan
yang dimintakan kepadanya sebaik mungkin. Bahkan hampir semua jenis pekerjaan
dan aktivitas sudah ia lakukan dengan sungguh-sungguh.
”Mulai tugas mencuci piring,
mencuci pakaian bayi, tas, dan celana tuan, membersihkan lantai dirumah tuan,
menyiapkan masakana untuk tuan dan
anak-anaknya, juga tamu-tamunya.
Sementara di luar sana aku juga
selalu ,mengerjakan dengan baik apa yang mereka inginkan. Mulai menyiapkan
makanan, segala jenis bunga hias untuk ruang kantor bagi para pemesan, sampai
menyiapkan kegiatan bakti sosial, bulan dana anak cacat, semua dilakukan dengan
penuh pengabdian.”
Pelan-pelan diiringi deru mobil
yang menghiasi jalan persis di pinggir jalan rumahku. Nyonya seperti terisak,
tak dapat menahan kedukaan dalam hati.
”Nyonya, sadar. Nyonya adalah
sebuah alat yang harus menurut apa yang dimaui orang lain. Tapi walaupun hanya
sebuah alat, toh tidak salah kalau Nyonya sendiri menjadi bagian penting dari
apa yang Nyonya kerjakan selama ini. Nyatanya mereka hanya memperalat Nyonya.
Hanya memperalat!”
“Siapa yang Nyonya anggap memperalat
Nyonya itu?”.tanyaku pula.
“ Ya, mereka-mereka itu,” jawab
Nyonya ketus.
“Mereka-mereka itu siapa?”
“ Pokoknya mereka-mereka itu.
Titik!” kali ini suara Nyonya benar-benar membelah langit.
Kembali aku tak berani
mengomentari ucapan Nyonya. Apalagi kali ini kata-katanya begitu lantang,
salah-salah nanti malah kemarahannya bisa beralih kepadaku.
Setelah mencoba tetap bersikap
tenang, aku kembali berkata, “Lalu, apa kira-kira yang bisa aku tolong untuk
Nyonya?”
“Masukkan saja Nyonya ke dalam
kulkas!”
“Lho, untuk apa?”
“Agar seluruh tubuhku kembali
dingin seperti semula, tidak kepanasan. Seperti yang Nyonya rasakan saat ini.”
“Oh, tidak mungkin Nyonya.
Tubuhmu bias jadi kaku dan beku bila aku memasukkanmu kedalam kulkas”.
“Tapi aku memerlukan pendingin
itu”.
“Ah, mungkin Nyonya hanya strees,
karena hampir tak ada istirahat”. Cobalah Nyonya pikirkan sekali lagi”, ujarku
mencoba menenangkannya”.
Sejurus Nyonya terdiam diri sembari
merenungkan sesuatu. Entah apa yang ia renungkan. “Oh, baiklah kalau begitu.”
Tiba-tiba Nyonya kembali mengeluarkan suaranya. ”Aku tak jadi memintamu memasukkanku
ke dalam kulkas. Tapi dengan syarat…”.
“Syarat apa
Nyonya?” Aku langsung memotong sebelum Nyonya sempat menyelesaikan
kata-katanya.
“Kau harus memenuhi permintaanku
yang satu ini sebagai permintaan terkhir.”
”Aku berjanji, Nyonya,” ujarku
setuju, meski aku sendiri tetap belum memahami apa maunya Nyonya ini.
“Baiklah, kalau begitu masukkan
saja Nyonya ke dalam mesin cuci, agar setelah itu hati dan jiwa Nyonya bisa
kembali bersih tidak sekusut hari ini. Nah, lakukanlah demi aku.”
Kupikir tidak begitu jelek bila
kuturuti saja kehendak Nyonya kali ini, di samping aku sendiri sudah berjanji
untuk memenuhinya. Tanpa banyak bicara, kubantu Nyonya memasukkan tubuhnya ke dalam
mesin cuci di belakang rumah yang hampir dua bulan ini tidak pernah kupakai
lagi.
“Nah, masuklah Nyonya, dan aku
akan tetap menunggumu di luar,” kataku sembari melepaskan tubuh Nyonya ke dalam
mesin itu.
Di beranda, matahari mulai naik.
Daun-daun berbisik-bisik diterpa angin yang membiaskan kesegaran. Kuhirup udara
dalam-dalam. Napas aku lepaskan dalam-dalam, sambil berdoa semoga Nyonya
mendapatkan apa yang dia inginkan dan menemukan kembali sesuatu yang hilang
dari dalam dirinya.
“Ah, Nyonya!” kataku dalam hati.
Sembari tak henti-hentinya menggelengkan kepalaku di teras rumah, kecuali pada
hari Minggu yang sebenarnya amat cerah. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar