SASTRA
MAHASISWA
S
|
epekan lalu, Minggu (22/1), seharian penuh saya mengamati
pertunjukan karya sastra di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU).
Puisi ditransformasi dalam beberapa bentuk seni pertunjukan, di antaranya,
musikalisasi, visualisasi, dramatisasi, dan tarinisasi.
Pelakunya tidak lain adalah mahasiswa calon guru. Ya,
mahasiswa calon guru bidang studi bahasa dan sastra Indonesia pada Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP). Tepatnya FKIP Universitas Islam Sumatera
Utara (UISU) dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Pementasan karya sastra versi mahasiswa ini merupakan
tugas akhir mata kuliah telaah puisi, telaah
drama, dan pengantar teori sastra. Sebagai pengampu mata kuliah tersebut pada
beberapa kelas, saya turut bertanggung jawab agar mahasiswa tidak hanya
mengenal teori, tetapi sekaligus dapat memraktikkannya di hadapan publik.
Ketiga mata kuliah yang saya ampu ini merupakan bagian
dari kelompok merespon karya-karya sastra dan keahlian program studi. Setelah
selesai perkuliahan tersebut, mahasiswa memang diharapkan memiliki pengetahuan
yang luas dan pemahaman yang dalam terhadap karya sastra.
Selain itu, juga menumbuhkan sikap menghargai karya
sastra dan mengembangkan
keterampilan bersastra dengan menampilkan bermacam-macam kreativitas
terhadapnya, serta menikmatinya, dalam membina sikap berbahasa dan bersastra
yang baik bagi calon guru.
Pada kuliah tatap muka, perkuliahan berlangsung menggunakan
media LCD dan naturalisasi media, dengan pendekatan ekspositoris, komunikatif,
persuasif, responding-simulatif, dan apresiatif. Lalu, metode yang digunakan
adalah paparan, tanya-jawab,
simulasi, dan kolaborasi pertunjukan.
Tahap penguasaan dan kemampuan materi selain dievaluasi
dengan ujian tengah semester (UTS) dan ujian akhir semester (UAS), juga
dievaluasi dengan tugas mandiri, skrip pertunjukan kelompok, telaah puisi/drama
kelompok, studi lapangan, dan kreativitas kelompok.
Khusus telaah drama maupun
telaah puisi, kedua mata kuliah ini pada dasarnya merupakan pengembangan dari
ranah apresiasi sastra. Karenanya, diperlukan seperangkat metode dan
pengetahuan mengenai seluk-beluk penelaahan, baik sebagai teks sastra maupun
teks pertunjukan, guna memersiapkan diri sebagai seorang apresiastor, penelaah,
kritikus sekaligus calon guru.
Mengapa
harus panggung pertunjukan? Itu tidak lain dengan tuntutan dunia pendidikan saat
ini. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) saat ini, pembelajaran
bahasa dan sastra lebih menekankan kepada proses pengalaman berbahasa. Bahasa
tidak hanya sebagai kaidah tata bahasa, juga sekaligus sebagai konteks social.
Untuk
itu, diperlukan berbagai perangkat pengetahuan dan pengalaman dari para
pendidik dalam membelajarkan bahasa. Di antaranya, melalui media tulis menulis
di media massa dan panggung pertunjukan. Tujuannya agar mampu mengapresiasi dan
menelaah karya sastra sesuai dengan kaidah dan persyaratan tertentu, sehingga
bisa memaknai karya sastra dengan baik.
Selain itu,
agar mahasiswa calon guru bahasa dan sastra Indonesia makin mencintai karya
sastra, sebagai sumbangan terbesar bagi dunia kesenian dan sastra di Indonesia
serta memberikan penilaian terhadap teks-teks sastra sehingga menambah bobot
karya itu sendiri di mata pengarang, seniman
maupun masyarakat.
Jika hal itu
tercapai, tentu saja mereka akan mampu memraktikkan nilai-nilai yang terkandung
dalam karya sastra di dalam kehidupan sehari-hari, terutama nilai-nilai moral,
kemasyarakatan, dan kemanusiaan di tengah proses pencarian jati dirinya.
Begitulah.
Mudah-mudahan saat menjadi guru bahasa dan sastra Indonesia nantinya, mereka
tidak terkejut jika menghadapi tuntutan zaman dan proses sertifikasi guru
mendatang. Semoga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar