Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen: Saiful Amri *Sabtu, 31 Desember 2011)



HATI MAMA

 

M
ama pindah rumah. Semua terasa pergi. Meninggalkanku dalam hati yang sepi.
Ada yang menggigil di sini. Menerima lambai langkah mama. Terasa berlalu sejuta kasih yang pernah terpatri. Lalu tiap detik menggema ucapan rindu di hati.
            Apa boleh buat. Ini mungkin yang tersurat dari-Nya. Aku hanya insan, tanpa daya menolak semua. Semoga ada hikmah atas apa yang sedang mendera hati. Anak,istri, orang tua, keluarga, sama pentingnya dalam hidupku. Sama kucinta dalam hati. Tapi pola pikir berbeda. Tak semua harus terpahami.
            Mama pindah tak jauh. Masih satu kampung denganku. Setiap hari pun aku bisa datang. Tapi goresan luka di hatinya, itu yang membuatku beristighfar di atas sajadah.
Siang ini aku tugas setengah hari. Kubuka pintu rumah. Tak ada orang. Ruang tamu dan dapur melompong. Tak ada bekakas apapun di rumah. Semua telah diangkut mama. Seakan tak tersisa jejak di sini. Ah, mengapa hati ini begitu kehilangan?
Memang sejak berumah tangga sepuluh tahun yang lalu pun kami tak pernah membeli perabotan rumah. Kalau kubeli, rumahku tak muat. Sebelum semuanya pergi, penghuni rumah ini sangat padat. Perabot milik mama  pun terlalu banyak. Semuanya perabot tua. Aku tak berani memusnahkannya. Mama bilang, perabot-perabot itu pusaka. Yang namanya pusaka, tak boleh ditelantarkan. Harus tetap dipakai atau dijaga. Kalau tidak, kualat!
 Rumah tumpangan dari adik iparku ini terlalu kecil untuk ukuran kami. Anakku dua orang, ditambah istriku, ditambah mama, ditambah dua orang abangku, ditambah seorang gadis anak pemilik rumah sekaligus keponakanku. Semuanya harus dijejal di rumah ini.
Rumah ini hanya berkamar dua. Panjang ruang tamu hanya enam meter dan lebarnya tiga meter. Ruang tamu dan dapur sama besarnya. Di dapur didirikan lagi kamar untuk si gadis. Kalau malam,ruang tamu disulap menjadi tempat tidur kedua anakku.  Kalau kami beli perabotan rumah, di mana diletakkan?
 Sekarang rumah ini kosong. Setelah mama mengangkut semua bersama luka hatinya. Anak pemilik rumah pun pergi. Dia memilih tinggal dengan Nang Borunya. Itu tak mengosongkan rumah dan hatiku. Kedua abangku tak lagi di sini. Itu pun tak menyepikan hatiku. Tapi, mama ikut tinggal di rumah sewa bersama kedua abangku. Itulah yang membuat kesunyian panjang. Pun rasa bersalah tak berkesudahan menyesak pada hatiku. Beribu kali kusesali hati. Apa masih ada gunanya?
            Masih kuingat jelas percakapanku dengan mama dua bulan yang lalu.
           
“Ya sudah. Kalau kau tak snaggup menanggung mamak,biar mamak menyewa rumah saja. Dari dulu pun aku miskin. Kitakan orang miskin. Beginilah!” ucap mama yang saat itu sedang tak enak hati.
“Mamak di sini saja. Biarkan orang itu dua saja yang menyewa. Aku tak pernah mengusir mama. Iparku pun pernah berpesan, mamak jangan sampai pindah. Mamak sudah dianggapnya sebagai namboru kandung. Bukan dianggap sebagai pihak luar lagi.!” balasku.
“Tapi mamak tak sampai hati. Abang-abangmu itu masih lajang. Siapa yang membimbing mereka? Mereka masih perlu bimbingan!” balas mama pula.
“Tapi Bang Mulya dan Bang Pian sudah tua, Mak. Biarlah orang itu dua mandiri. Bang Mulya udah lima puluh tahun. Bang Pian udah empat puluh lima tahun. Jangan mamak anggap masih anak kecil!” bantahku.
“Bang Mulya takkan mau kawin karena cacat fisiknya. Bang Pian baru diceraikan biniknya. Apa kau tak kasian!” bentak mama. Aku terdiam beberapa saat. Memilih kata yang tepat untuk kuucapkan. Aku memaklumi, memang sulit bertukar pikiran dengan mama. Itu karena kerentaannya. Tapi, pengapnya suasana di rumah dan keluhan istriku setiap menjelang tidur, membuat aku harus mengungkapkan apa yang ada di hatiku. Istriku merasa tak cocok dengan tingkah kedua abangku. Mereka tak beranak istri, tingkahnya pun memang tak tentu-tentu. Itu menambah pengapnya suasana di rumah.
“Memang aku kasihan, Mak. Tapi rumah ini sudah tak muat. Gajiku saja selalu terutang. Mana sanggup aku menanggung makan mereka. Lagi pula… aku malu, Mak. Malu sama keluarga istriku. Di rumah tumpangan ini hanya keluarga kita yang menjadi beban. Bang Mulya dan Bang Pian tak pernah mau membantu belanja istriku. Bayangkan mamak. Gajiku saja sudah habis terpotong hutang. Jadi kita semua dikasi makan istriku.”
“Istrimu saja tak pernah mengeluh. Kau pulak yang mengeluh. Dasar kau yang tak ikhlas menanggung orang tua. Udah mamak pindah aja. Memang anak mamak tak ada yang ngerti sama orang tua! Terserah kau aja!” Mama marah. Aku terdiam. Lalu mama menangis. Aku merasa sangat berdosa. Dalam hati aku beristighfar. Tak sampai hati aku melukai hati mama. Tapi mama telah menangis. Mungkin malaikat telah menorehkan catatan hitam di bahu kiriku. Astaghfirullah!
Mama tambah menangis. Aku tambah diam. Sejuta dosa terasa menghantam kepala dan hatiku.
 Maka kuputuskan saja menuruti apa maunya mama. Kurasa itu lebih baik untuk mama.  Walau bukan untukku.
Berkali-kali mama kularang. Dia bersikeras ingin pindah bersama Bang Mulya dan Bang Pian. Tapi aku masih tak yakin apakah Bang Mulya dan Bang Pian bisa menghidupi mama. Sudahlah. Mama tak bisa dilarang. Istriku tak berkata apa-apa. Dia memang tak pernah mengusir mama, hanya selalu mengeluhkan belanja dapur. Dia tak sanggup kalau harus menanggung Bang Mulya dan Bang Pian. Menurutnya, itu bukan kewajibannya. Yang wajib hanyalah menanggung mertua.
“Kalau mertua, itu memang tugas kita, Bang! Tapi Bang Mulya dan Bang Pian, itu bukan kewajiban. Tak tahan aku belanjanya, Bang! Utangku tambah banyak. Abang aja tak pernah gajian! Abang bilanglah sama orang itu dua. Kasi aku uang belanja! Itu aja, Bang. Kalau sempit, masih bisa kutahan. Perut?” kata istriku saat kami akan tidur.
“Udah kupesan, tapi orang itu dua bandal. Tak didengarnya cakapku!” timpalku.
“Ya, sudah. Kalau mau nyewa, nyewalah! Yang penting aku tak pernah mengusir mertua! Ibuk pun aneh! Untuk apa ikut sama orang itu dua!”
“Aku tak berani memberikan saran itu sama mamakku. Aku lebih takut sama durhaka daripada sama kau!” ucapanku pedas. Istriku merasakanya. Ia terdiam. Dalam hati aku merasakan bebannya. Ah, posisi ini sangat sulit. 
Ada satu sisi yang tak pernah cocok buat mama. Semua sikap istriku selalu dilihat dari sisi negatifnya. Aduh, di mana sisi pembelaan yang dapat kuberikan untuk mama. Mama selalu bersalah sikap. Ada saja kekurangan istriku yang dilebihkannya,
“Cucian menumpuk. Sudah kubereskan semua! Istrimu itu tak pandai mengurus rumah!” katanya sesekali.
“Takut kali istrimu. Dia belanja dapur sendiri. Apa dia pikir aku mau korupsi uang belanja! Sifatnya tak bagus. Kau nasehati dia!” katanya di hari yang lain.
“Memang aku sudah jadi budak kalian. Dari belanja dapur sampai masak dan nyuci, urusanku! Istrimu pulang kerja tenang-tenang. Kalau pun kerja, cuma ngerjai borongannya aja. Biar dapat duit. Duit aja yang ada di otaknya. Tak pernah peduli sama kerja dapur!” omelnya setiap kali aku pulang cepat dan istriku belum sampai di rumah!” ucap mama di lain hari lagi. Kurasa, aku harus memberi pandangan pada mama. Kubalas ucapannya,
“Mak. Istriku itu capek. Masalah cucian, tak usah mamak cuci. Kami sama-sama tukang cari duit. Siapa yang punya kesempatan, dialah yang mengerjakan. Mamak tak usah menyentuhnya. Memang tak pernah kami suruh!”
“Cakapmu sama orang tua, tak pernah enak. Mentang-mentang sudah punya istri, kau tak pernah membela orang tua! Kau tak bayangkan capeknya orang tua!” bentak mama. Aku memang sudah biasa dibentaknya. Namanya masih punya mama. Tapi keinginan untuk beradu argumen masih belum berhenti.
“Aduh, Mak. Kami tak pernah membebankan pekerjaan apapun sama mamak. Mamak aja yang tak mau diam. Tapi mamak mengeluh jugak!”
“Ya, sudah. Udah tau mamaksekarang. Kau berat sama istri. Tak usah berpanjang cakap. Istrimuitulah yang hebat!” Begitu ucapan mama. Aku tak menimpali. Semakin lama semakin banyak saja pertentanganku dengan mama. Mungkin semakin besar pula dosaku. Hatiku semakin tak nyaman. Jelas, apa yang kuperbuat tak pernah menyenangkan hati mama. Aku pun tak dapat memaksa mama agar senang padaku. Itu hak dia. Tugasku hanya berbakti padanya. Tapi inilah hasilnya. Kegagalan telah tampak. Apa lagi yang harus kuperbuat.
Andaikata ayah masih hidup, tentu takkan seperti ini. Aku yakin ayah akan dapat menjadi penengah. Ketegasan ayah tentu akan dapat mengatasi mama. Sosok ayah sangat kurindukan. Tapi ayah telah berpulang. Leleh air membuat mataku berkaca. Aku dalam kebingungan yang memerlukan kebijaksanaan.
Mama pindah juga. Ia terluka padaku. Menurutnya, merekku jelek. Menurutku, tak ada anak yang baik bagi mama. Semua saudaraku pun tak pernah mendapat catatan baik darinya. Inilah perbedaan itu. Aku yakin, Allah maha bijaksana. Itu peganganku.
Mama sudah pindah rumah. Terasa kosong dan sepinya rumah ini. Aku pulag tengah hari. Mama tak lagi membukakan pintu untukku. Tak perlu kubunyikan klakson sepeda motorku. Kubuka sendiri pintu dengan kunci yang ada di tanganku. Kosong. Tak ada apa-apa di rumahku. Istriku belum pulang kerja. Keponakanku memang tak lagi di rumah ini. Kedua anakku ke rumah neneknya. Tak ada yang menyapaku. Lalu aku menangis sendiri. Entah apa yang kusedihkan. Mama pindah rumah atas kemauannya sendiri. Tapi aku serasa memikul dosa. Ke mana kubuang dosa ini?
Terasa pergi semuanya. Berpuluh tahun aku tak pernah pisah dengan mama. Kami selalu serumah sejak aku dilahirkan hingga usia rumah tanggaku yang ke sepuluh ini. Kini, Aku seperti tertirikan. Padahal, bulan lalu mereka pergi dengan pamit.Kosong. Hatiku kosong. Sama kosongnya dengan isi rumahku. Semoga sholat zuhurku dapat mengisi batin siang ini. Benarlah, kehilangan akan mendekat setelah semua pergi. Mama, maafkan aku. Aku belum berbakti padamu. Aku belum pernah menyelam dalam hatimu.
Aku terdiam. Tak sebuah kerja pun kulakukan. Sekarang aku selalu rindu pada mama. Seperti bayi yang ingin menyusu. Terasa sekarang, bahwa pertengkaran dengan mama sudah menjadi bumbu hidupku. Sehari tak kulihat wajah renta mama, terasa hilang semangat hidupku. Ternyata, aku sangat membutuhkan mama.
Sepeninggal mama, kedua anakku tak pernah betah tinggal di rumah. Pulang sekolah langsung saja mereka ke rumah neneknya. Istriku pun begitu, malah nimbrung di rumah kontrakan mama. Anehnya, kedua abangku kini bergiat memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah mama. Mungkin inilah hikmah itu.
Dua tahun berlalu. Dua tahun itu juga aku lebih sering tidur sendiri di rumahku. Dua tahun juga anak dan istriku membebani mama di rumah kontrakan. Rumah yang kutempati ini sepertinya protes dengan apa yang terjadi. Laeku menyuruh aku menjual rumah ini. Aku berharap keuntungan dari penjualan rumah. Ketika ditanya orang yang ingin membeli rumah ini, asal saja kusebutkan,
“Memang mau dijual. Harganya seratus juta!” Padahal, Laeku cuma minta enam puluh juta. Mungkin itulah jalan agar dapat kembali serumah dengan mama. Tak tanggung, aku mendapat untung hampir empat puluh juta. Kubeli rumah di pedesaan. Aku dapat rumah dengan empat buah kamar. Rumah itu kubayar kontan seharga enam puluh lima juta.
Sekarang aku punya hutang dua puluh lima juta di koperasi tempat kerjaku.Tak apa, itu sangat kecil dibanding kesepianku tanpa mama. Dibanding kedamaianku setiap kali memandang rambut-rambut putihnya. Sekarang, apapun yang diomelkan mama adalah indah bagiku. ***



Bandar Setia, November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar