HATI MAMA
M
|
ama pindah rumah. Semua terasa pergi. Meninggalkanku dalam
hati yang sepi.
Ada yang menggigil di sini. Menerima lambai
langkah mama. Terasa berlalu sejuta kasih yang pernah terpatri. Lalu tiap detik
menggema ucapan rindu di hati.
Apa
boleh buat. Ini mungkin yang tersurat dari-Nya. Aku hanya insan, tanpa daya
menolak semua. Semoga ada hikmah atas apa yang sedang mendera hati. Anak,istri,
orang tua, keluarga, sama pentingnya dalam hidupku. Sama kucinta dalam hati.
Tapi pola pikir berbeda. Tak semua harus terpahami.
Mama
pindah tak jauh. Masih satu kampung denganku. Setiap hari pun aku bisa datang.
Tapi goresan luka di hatinya, itu yang membuatku beristighfar di atas sajadah.
Siang ini aku
tugas setengah hari. Kubuka pintu rumah. Tak ada orang. Ruang tamu dan dapur
melompong. Tak ada bekakas apapun di rumah. Semua telah diangkut mama. Seakan
tak tersisa jejak di sini. Ah, mengapa hati ini begitu kehilangan?
Memang sejak
berumah tangga sepuluh tahun yang lalu pun kami tak pernah membeli perabotan
rumah. Kalau kubeli, rumahku tak muat. Sebelum semuanya pergi, penghuni rumah
ini sangat padat. Perabot milik mama pun
terlalu banyak. Semuanya perabot tua. Aku tak berani memusnahkannya. Mama bilang,
perabot-perabot itu pusaka. Yang namanya pusaka, tak boleh ditelantarkan. Harus
tetap dipakai atau dijaga. Kalau tidak, kualat!
Rumah tumpangan dari adik iparku ini terlalu
kecil untuk ukuran kami. Anakku dua orang, ditambah istriku, ditambah mama,
ditambah dua orang abangku, ditambah seorang gadis anak pemilik rumah sekaligus
keponakanku. Semuanya harus dijejal di rumah ini.
Rumah ini
hanya berkamar dua. Panjang ruang tamu hanya enam meter dan lebarnya tiga
meter. Ruang tamu dan dapur sama besarnya. Di dapur didirikan lagi kamar untuk
si gadis. Kalau malam,ruang tamu disulap menjadi tempat tidur kedua
anakku. Kalau kami beli perabotan rumah,
di mana diletakkan?
Sekarang rumah ini kosong. Setelah mama
mengangkut semua bersama luka hatinya. Anak pemilik rumah pun pergi. Dia
memilih tinggal dengan Nang Borunya.
Itu tak mengosongkan rumah dan hatiku. Kedua abangku tak lagi di sini. Itu pun
tak menyepikan hatiku. Tapi, mama ikut tinggal di rumah sewa bersama kedua
abangku. Itulah yang membuat kesunyian panjang. Pun rasa bersalah tak berkesudahan
menyesak pada hatiku. Beribu kali kusesali hati. Apa masih ada gunanya?
Masih
kuingat jelas percakapanku dengan mama dua bulan yang lalu.
“Ya sudah. Kalau kau tak snaggup
menanggung mamak,biar mamak menyewa rumah saja. Dari dulu pun aku miskin. Kitakan
orang miskin. Beginilah!” ucap mama yang saat itu sedang tak enak hati.
“Mamak di sini saja. Biarkan
orang itu dua saja yang menyewa. Aku tak pernah mengusir mama. Iparku pun
pernah berpesan, mamak jangan sampai pindah. Mamak sudah dianggapnya sebagai namboru kandung. Bukan dianggap sebagai
pihak luar lagi.!” balasku.
“Tapi mamak tak sampai hati.
Abang-abangmu itu masih lajang. Siapa yang membimbing mereka? Mereka masih
perlu bimbingan!” balas mama pula.
“Tapi Bang Mulya dan Bang Pian
sudah tua, Mak. Biarlah orang itu dua mandiri. Bang Mulya udah lima puluh tahun. Bang
Pian udah empat puluh lima
tahun. Jangan mamak anggap masih anak kecil!” bantahku.
“Bang Mulya takkan mau kawin
karena cacat fisiknya. Bang Pian baru diceraikan biniknya. Apa kau tak kasian!”
bentak mama. Aku terdiam beberapa saat. Memilih kata yang tepat untuk
kuucapkan. Aku memaklumi, memang sulit bertukar pikiran dengan mama. Itu karena
kerentaannya. Tapi, pengapnya suasana di rumah dan keluhan istriku setiap
menjelang tidur, membuat aku harus mengungkapkan apa yang ada di hatiku.
Istriku merasa tak cocok dengan tingkah kedua abangku. Mereka tak beranak
istri, tingkahnya pun memang tak tentu-tentu. Itu menambah pengapnya suasana di
rumah.
“Memang aku kasihan, Mak. Tapi
rumah ini sudah tak muat. Gajiku saja selalu terutang. Mana sanggup aku
menanggung makan mereka. Lagi pula… aku malu, Mak. Malu sama keluarga istriku.
Di rumah tumpangan ini hanya keluarga kita yang menjadi beban. Bang Mulya dan
Bang Pian tak pernah mau membantu belanja istriku. Bayangkan mamak. Gajiku saja
sudah habis terpotong hutang. Jadi kita semua dikasi makan istriku.”
“Istrimu saja tak pernah
mengeluh. Kau pulak yang mengeluh. Dasar kau yang tak ikhlas menanggung orang
tua. Udah mamak pindah aja. Memang anak mamak tak ada yang ngerti sama orang
tua! Terserah kau aja!” Mama marah. Aku terdiam. Lalu mama menangis. Aku merasa
sangat berdosa. Dalam hati aku beristighfar. Tak sampai hati aku melukai hati
mama. Tapi mama telah menangis. Mungkin malaikat telah menorehkan catatan hitam
di bahu kiriku. Astaghfirullah!
Mama tambah menangis. Aku tambah
diam. Sejuta dosa terasa menghantam kepala dan hatiku.
Maka kuputuskan saja menuruti apa maunya mama.
Kurasa itu lebih baik untuk mama. Walau
bukan untukku.
Berkali-kali mama kularang. Dia
bersikeras ingin pindah bersama Bang Mulya dan Bang Pian. Tapi aku masih tak
yakin apakah Bang Mulya dan Bang Pian bisa menghidupi mama. Sudahlah. Mama tak
bisa dilarang. Istriku tak berkata apa-apa. Dia memang tak pernah mengusir
mama, hanya selalu mengeluhkan belanja dapur. Dia tak sanggup kalau harus
menanggung Bang Mulya dan Bang Pian. Menurutnya, itu bukan kewajibannya. Yang
wajib hanyalah menanggung mertua.
“Kalau mertua, itu memang tugas
kita, Bang! Tapi Bang Mulya dan Bang Pian, itu bukan kewajiban. Tak tahan aku
belanjanya, Bang! Utangku tambah banyak. Abang aja tak pernah gajian! Abang
bilanglah sama orang itu dua. Kasi aku uang belanja! Itu aja, Bang. Kalau
sempit, masih bisa kutahan. Perut?” kata istriku saat kami akan tidur.
“Udah kupesan, tapi orang itu dua
bandal. Tak didengarnya cakapku!” timpalku.
“Ya, sudah. Kalau mau nyewa,
nyewalah! Yang penting aku tak pernah mengusir mertua! Ibuk pun aneh! Untuk apa
ikut sama orang itu dua!”
“Aku tak berani memberikan saran
itu sama mamakku. Aku lebih takut sama durhaka daripada sama kau!” ucapanku
pedas. Istriku merasakanya. Ia terdiam. Dalam hati aku merasakan bebannya. Ah,
posisi ini sangat sulit.
Ada satu sisi yang tak pernah cocok buat
mama. Semua sikap istriku selalu dilihat dari sisi negatifnya. Aduh, di mana
sisi pembelaan yang dapat kuberikan untuk mama. Mama selalu bersalah sikap. Ada saja kekurangan
istriku yang dilebihkannya,
“Cucian menumpuk. Sudah
kubereskan semua! Istrimu itu tak pandai mengurus rumah!” katanya sesekali.
“Takut kali istrimu. Dia belanja
dapur sendiri. Apa dia pikir aku mau korupsi uang belanja! Sifatnya tak bagus.
Kau nasehati dia!” katanya di hari yang lain.
“Memang aku sudah jadi budak
kalian. Dari belanja dapur sampai masak dan nyuci, urusanku! Istrimu pulang
kerja tenang-tenang. Kalau pun kerja, cuma ngerjai borongannya aja. Biar dapat
duit. Duit aja yang ada di otaknya. Tak pernah peduli sama kerja dapur!”
omelnya setiap kali aku pulang cepat dan istriku belum sampai di rumah!” ucap
mama di lain hari lagi. Kurasa, aku harus memberi pandangan pada mama. Kubalas
ucapannya,
“Mak. Istriku itu capek. Masalah
cucian, tak usah mamak cuci. Kami sama-sama tukang cari duit. Siapa yang punya
kesempatan, dialah yang mengerjakan. Mamak tak usah menyentuhnya. Memang tak
pernah kami suruh!”
“Cakapmu sama orang tua, tak
pernah enak. Mentang-mentang sudah punya istri, kau tak pernah membela orang
tua! Kau tak bayangkan capeknya orang tua!” bentak mama. Aku memang sudah biasa
dibentaknya. Namanya masih punya mama. Tapi keinginan untuk beradu argumen
masih belum berhenti.
“Aduh, Mak. Kami tak pernah
membebankan pekerjaan apapun sama mamak. Mamak aja yang tak mau diam. Tapi
mamak mengeluh jugak!”
“Ya, sudah. Udah tau
mamaksekarang. Kau berat sama istri. Tak usah berpanjang cakap. Istrimuitulah
yang hebat!” Begitu ucapan mama. Aku tak menimpali. Semakin lama semakin banyak
saja pertentanganku dengan mama. Mungkin semakin besar pula dosaku. Hatiku
semakin tak nyaman. Jelas, apa yang kuperbuat tak pernah menyenangkan hati
mama. Aku pun tak dapat memaksa mama agar senang padaku. Itu hak dia. Tugasku
hanya berbakti padanya. Tapi inilah hasilnya. Kegagalan telah tampak. Apa lagi
yang harus kuperbuat.
Andaikata ayah masih hidup, tentu
takkan seperti ini. Aku yakin ayah akan dapat menjadi penengah. Ketegasan ayah
tentu akan dapat mengatasi mama. Sosok ayah sangat kurindukan. Tapi ayah telah
berpulang. Leleh air membuat mataku berkaca. Aku dalam kebingungan yang
memerlukan kebijaksanaan.
Mama pindah juga. Ia terluka
padaku. Menurutnya, merekku jelek. Menurutku, tak ada anak yang baik bagi mama.
Semua saudaraku pun tak pernah mendapat catatan baik darinya. Inilah perbedaan
itu. Aku yakin, Allah maha bijaksana. Itu peganganku.
Mama sudah pindah rumah. Terasa
kosong dan sepinya rumah ini. Aku pulag tengah hari. Mama tak lagi membukakan
pintu untukku. Tak perlu kubunyikan klakson sepeda motorku. Kubuka sendiri
pintu dengan kunci yang ada di tanganku. Kosong. Tak ada apa-apa di rumahku.
Istriku belum pulang kerja. Keponakanku memang tak lagi di rumah ini. Kedua
anakku ke rumah neneknya. Tak ada yang menyapaku. Lalu aku menangis sendiri.
Entah apa yang kusedihkan. Mama pindah rumah atas kemauannya sendiri. Tapi aku
serasa memikul dosa. Ke mana kubuang dosa ini?
Terasa pergi semuanya. Berpuluh tahun
aku tak pernah pisah dengan mama. Kami selalu serumah sejak aku dilahirkan
hingga usia rumah tanggaku yang ke sepuluh ini. Kini, Aku seperti tertirikan.
Padahal, bulan lalu mereka pergi dengan pamit.Kosong. Hatiku kosong. Sama
kosongnya dengan isi rumahku. Semoga sholat zuhurku dapat mengisi batin siang
ini. Benarlah, kehilangan akan mendekat setelah semua pergi. Mama, maafkan aku.
Aku belum berbakti padamu. Aku belum pernah menyelam dalam hatimu.
Aku terdiam. Tak sebuah kerja pun
kulakukan. Sekarang aku selalu rindu pada mama. Seperti bayi yang ingin
menyusu. Terasa sekarang, bahwa pertengkaran dengan mama sudah menjadi bumbu
hidupku. Sehari tak kulihat wajah renta mama, terasa hilang semangat hidupku.
Ternyata, aku sangat membutuhkan mama.
Sepeninggal mama, kedua anakku
tak pernah betah tinggal di rumah. Pulang sekolah langsung saja mereka ke rumah
neneknya. Istriku pun begitu, malah nimbrung di rumah kontrakan mama. Anehnya,
kedua abangku kini bergiat memenuhi kebutuhan sehari-hari di rumah mama. Mungkin
inilah hikmah itu.
Dua tahun berlalu. Dua tahun itu
juga aku lebih sering tidur sendiri di rumahku. Dua tahun juga anak dan istriku
membebani mama di rumah kontrakan. Rumah yang kutempati ini sepertinya protes
dengan apa yang terjadi. Laeku menyuruh aku menjual rumah ini. Aku berharap
keuntungan dari penjualan rumah. Ketika ditanya orang yang ingin membeli rumah
ini, asal saja kusebutkan,
“Memang mau dijual. Harganya
seratus juta!” Padahal, Laeku cuma minta enam puluh juta. Mungkin itulah jalan
agar dapat kembali serumah dengan mama. Tak tanggung, aku mendapat untung
hampir empat puluh juta. Kubeli rumah di pedesaan. Aku dapat rumah dengan empat
buah kamar. Rumah itu kubayar kontan seharga enam puluh lima juta.
Sekarang aku punya hutang dua
puluh lima juta di koperasi tempat kerjaku.Tak apa, itu sangat kecil dibanding
kesepianku tanpa mama. Dibanding kedamaianku setiap kali memandang
rambut-rambut putihnya. Sekarang, apapun yang diomelkan mama adalah indah
bagiku. ***
Bandar Setia, November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar