Haruskah Aku
S
|
emalam
pangeran itu meninggalkan aku. Dia terlihat senyum dengan tepi mulut sebelah
bawah dan atas dengan belahan seksinya itu. Angin sangat kencang sekali. Badai
menimpa hati. Rindu mulai bergolak. Gusar memuncak. Marah, marah, dan marah,
tetapi kepada siapa?
*
Putih-putih mulai jatuh dengan perlahan
dan menyebar di bumi. Musim hujan sudah datang. Dalam termangu aku berada pada wadah
berukuran tiga kali empat meter yang terlihat mungil dengan susunan benda di dalamnya.
Termasuk rak buku, lemari, dan tempat tidur.
Temaram lampu kamar, membingkai
bayangannya. Sesaat, aku hanya menangkap nuansa haru dengan butiran air dari
bola matanya. Paras yang menyiratkan selaksa cahaya seperti membentang
kehidupan kegelapan dengan sinarnya. Dia tak bersuara, melihat aku dalam
kesedihan. Aku tahu, dia sedang melihatku. Tetapi aku tidak melihatnya.
Kehadirannya dapat kurasakan dengan kalbu. Begitu dekat, sangat dekat.
*
Aku masih meringkuk dalam penghangat
badan, dengan kumpulan benang berwarna-warni layaknya pelangi di pagi hari. Mataku
tersorot pada wajahnya yang penuh kearifan, menempel dinding kamar. Tiba-tiba,
kulihat segumpal kerinduan dari matanya. Mata yang membuatku bergidik
menatapnya lebih lama. Tak sampai semenit, gerakan jariku ingin menyentuhnya.
Aku pun bangkit dan berdiri dari tidur.
“Aku merindukanmu. Ini terlalu cepat
untukku.”
Lagi-lagi aku terenyuh.
*
Kemarin pangeran
itu meninggalkan aku. Dia terlihat senyum dengan tepi mulut sebelah bawah dan
atas dengan belahan seksinya itu. Angin sangat kencang sekali. Badai menimpa
hati. Rindu mulai bergolak. Gusar memuncak. Marah, marah, dan marah, tetapi
kepada siapa?
Mentari mengobarkan dunia. Keceriaannya
adalah sambutan terindah saat orang-orang sedang beraktivitas. Aku masih
terhimpit terista. Peristiwa itu benar-benar membuatku terperanjat. Secerdas
itu dia sembunyikan luka. Kini melekat dalam otak. Terjiplak dalam sendi.
Sekiranya ini bukan terang kelihatan,
maka aku akan meracik perbuatan dengan jariku sendiri. Akan kulatih kedua tanganku
untuk merawatmu melawannya. Tetapi Allah punya rencana. Kau tinggalkan semua.
Dalam pedih aku sendiri menjadi serpihan yang tak bisa terlupakan.
“Kau terindah. Tetapi, tak bisa
kumiliki. Di bawah senyuman kamboja aku melihatmu, Kasih.”
Aku terisak-isak.
*
Hari berganti wujud dengan macam
karakter. Suasana masih saja dalam benak. Angin kembali menyambut aku yang
menikmati pagi sebelum mentari membuka mata. Aku melatih kaki dengan langkah
pasti. Semangat itu muncul seiring waktu yang menyita kehidupan untuk
memikirkannya.
“Aku harus bangkit. Aku sangat
menyayangimu. Bukan berarti aku terus memikirkanmu. Aku punya hidup. Kau juga
tenang di sana. Aku harus membuka hati dan pikiran. Semangat!”
Aku pekik.
Kedua kaki mulai bersahabat pada sepanjang
kota. Terasa lelah, aku mulai berjalan perlahan melewati pohon ditambah angin
yang sepoi. Tali yang berada pada sepatu kiriku terlepas dari ikatan manisnya.
Di bawah batang yang tinggi, menyatu dengan jutaan daun yang usianya cukup tua
itu aku berhenti. Mencoba mengikat dengan benda yang berutas-utas panjang
dibuat yang bermacam-macam bahan itu. Kesulitan pun kutemukan. Karena kedua
jariku penuh dengan barang. Sosok itu tiba di hadapanku. Tak percaya, tetapi
aku membutuhkan bantuannya. Ia menawarkan diri untuk menyentuh genggamanku,
terjalinlah komunikasi tanpa perkenalan.
“Kamu merasa terganggu? Kalau ia biar
saya pergi saja.”
“Ah, tidak.”
“Boleh saya bantu?”
“Em…Baiklah. Maaf merepotkan kamu.”
“Kamu cantik ya. Tetapi kenapa terlihat
tegang? Apa aku aneh? Anggap saja aku teman lama. Karena kita bertemu hanya
sekali ini saja.”
“Kenapa kamu bicara seperti itu?
Bukankah dunia ini seakan sempit.”
“Kamu pantas bicara seperti itu. Tetapi
perasaan tidak bisa dimainkan. Dari awal aku di sini, aku sudah terkesan padamu
dan terkesan dengan wangian yang kamu kenakan. Aku terkesan dengan kedua bola
matamu. Aku juga terkesan dengan wajah merona kamu.”
“Lalu ?”
“Justru itu aku tidak ingin berkenalan. Kalau
kita saling kenal dan tidak lagi bertemu itu hanya menyisakan bayangan.”
“Mengapa kita tidak berusaha untuk saling
mengenal, untuk berusaha bertemu?”
“Karena pertemuan pertama akan merasakan
penasaran dan pertemuan kedua akan merasakan rasa rindu. Dan aku tidak ingin
merindu.”
“Maksudnya?”
“Biar takdir mempertemukan kita. Aku
akan mengingat wajah kamu.”
Mataku tersorot ke samping saat
kendaraan keras menerkam hati. Saat itu juga aku kehilangan dia. Dia pergi
menyisakan suasana syahdu. Rangkaian sajaknya selalu mengelilingi pikiranku.
Wajahnya seakan melekat dalam otakku. Rasanya seakan ingin bertemu. Masih saja
teringat. Bayangannya semakin dekat. Rasa semakin berkobar. Aku melanjutkan
lari dengan kedua kaki menuju rumah.
*
Angka hitam kalender seakan merah
seketika. Liburan pun dimulai. Perjalanan itu membuatku lelah. Senyuman nenek
membuatku hilang penat. Sambutan jangkrik nikmati suasana malam. Rautan raksasa
yang berada di atas bersama cahaya kecil kerlap-kerlip itu ikut membangun hawa.
Aku menyukai wadah itu. Merasa puas, aku jatuhkan tubuh di tempat empuk yang berukuran
dua setengah meter kali dua meter dengan kumpulan kapas dalam bentuk estetik
yang dipersiapkan nenek untukku. Mata mulai nyaman dan enggan membuka. Aku pun
tertidur pulas.
*
Mentari mengeluarkan cahayanya. Seperti
biasa aku langkahkan kedua kaki untuk berlari kampung. Aku mulai tertarik pada
udaranya. Kesejukan hati mulai menyatu dalam diri. Aku merasa tenang dengan
kesegaran yang telah kudapat. Langkahku terhenti mendadak. Di balik orang-orangan
sawah aku menatapnya. Diakah itu? Benarkah itu dia?
Cahaya mentari mulai terik. Panasnya
seakan membakar. Aku meninggalkan tempat yang serba hijau itu untuk kembali ke rumah
nenek. Waktuku terbatas berolah raga sebab nenekku sendirian. Aku mulai
memikirkan dia lagi. Senyuman itu membuatku hilang akal.
*
Senja tiba. Langit seakan bermagis
dengan kegelapan yang bersahabat dengan penerang raksasa seperti kuning telur
itu. Titik-titik cahaya menambah keindahan putih-putih yang membalut biru
sehingga kebiruan. Lantunan ayat-ayat suci jadi bervariasi dengan nada yang
berbeda. Perkumpulan remaja di desa itu pun usai. Aku bertemu kembali padanya.
Dia menatapku dan melangkahkan kaki dengan mata indah itu, terjalin perkenalan
yang sesungguhnya.
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Karena takdir mempertemukan kita. Aku
berlibur ke rumah nenekku. Aku pamit pulang dulu. Assalammualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Sendiri. Tersenyum. Bahagia. Aku mulai
gila olehnya. Peristiwa itu membuat aku ingin mengenalnya lebih dalam.
Sepertinya aku sudah mulai membuka diri untuk masuk dalam kehidupanku.
Hari-hariku mulai tertemani olehnya. Hingga ia mengajarkan kebaikkan padaku.
“Sudah beberapa kali aku tidak mendengarmu
tadarus membaca Al-Qur’an?”
“Aku belum lancar membaca Al-Qur’an.”
“Nanti aku ajarkan!”
“Kamu serius?”
“Ada satu hal lagi yang ingin aku
sampaikan. Aku menemukan diriku di hatimu.”
“Kalau boleh aku tahu, seberapa dalam kau
melihatnya?”
“Aku tidak bisa melihatnya. Karena itu
terlalu dalam. Yang ada ketulusan cinta yang sekarang hidup di dasar hatimu.”
“Aku janji. Aku akan menjaga kebahagiaan
yang telah kamu berikan dalam hidupku.”
*
Waktu berjalan dengan putaran yang sudah
ditentukan. Dia menyambutku dengan caranya. Tak hentinya ia mengajariku membaca
ayat suci dengan nada yang elok. Semakin dekat semakin nyaman.
Dalam termangu aku lontarkan secuil
senyuman. Berfikir lebih dalam. Bahagia muncul ketika aku mengenalnya. Inikah
penggantinya?
“Dia patut jadi imam dalam hidupku.
Semoga ini yang terakhir. Amin.”
Lagi-lagi aku berharap.
*
Detik berlalu. Hujan runtuh ke bumi.
Tidak kalah halnya dengan aku. Aku kehilangan lagi. Jiwaku tersayat. Hatiku
merintih. Truk itu menabrak keretanya. Kutemukan kedua cincin dengan balutan
pita unik dari kumpulan padi yang dibentuknya. Hancur harapanku ingin
bersamanya. Mati rasa. Di manakah keadilan itu? Mengapa harus aku?
“Ini tidak mungkin. Tidakkkkkkk…!”
Aku histeris.
*
Semalam pangeran itu meninggalkan aku.
Dia terlihat senyum dengan tepi mulut sebelah bawah dan atas dengan belahan
seksinya itu. Angin sangat kencang sekali. Badai menimpa hati. Rindu mulai
bergolak. Gusar memuncak. Marah, marah, dan marah, tetapi kepada siapa? ***
Penulis,
mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar