Minggu, 17 Februari 2013

Cerpen : Ria Jelia Saragih



Haruskah Aku


S
emalam pangeran itu meninggalkan aku. Dia terlihat senyum dengan tepi mulut sebelah bawah dan atas dengan belahan seksinya itu. Angin sangat kencang sekali. Badai menimpa hati. Rindu mulai bergolak. Gusar memuncak. Marah, marah, dan marah, tetapi kepada siapa?
*
Putih-putih mulai jatuh dengan perlahan dan menyebar di bumi. Musim hujan sudah datang. Dalam termangu aku berada pada wadah berukuran tiga kali empat meter yang terlihat mungil dengan susunan benda di dalamnya. Termasuk rak buku, lemari, dan tempat tidur.
Temaram lampu kamar, membingkai bayangannya. Sesaat, aku hanya menangkap nuansa haru dengan butiran air dari bola matanya. Paras yang menyiratkan selaksa cahaya seperti membentang kehidupan kegelapan dengan sinarnya. Dia tak bersuara, melihat aku dalam kesedihan. Aku tahu, dia sedang melihatku. Tetapi aku tidak melihatnya. Kehadirannya dapat kurasakan dengan kalbu. Begitu dekat, sangat dekat.
*
Aku masih meringkuk dalam penghangat badan, dengan kumpulan benang berwarna-warni layaknya pelangi di pagi hari. Mataku tersorot pada wajahnya yang penuh kearifan, menempel dinding kamar. Tiba-tiba, kulihat segumpal kerinduan dari matanya. Mata yang membuatku bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai semenit, gerakan jariku ingin menyentuhnya. Aku pun bangkit dan berdiri dari tidur.
“Aku merindukanmu. Ini terlalu cepat untukku.”
Lagi-lagi aku terenyuh.
*
Kemarin pangeran itu meninggalkan aku. Dia terlihat senyum dengan tepi mulut sebelah bawah dan atas dengan belahan seksinya itu. Angin sangat kencang sekali. Badai menimpa hati. Rindu mulai bergolak. Gusar memuncak. Marah, marah, dan marah, tetapi kepada siapa?
Mentari mengobarkan dunia. Keceriaannya adalah sambutan terindah saat orang-orang sedang beraktivitas. Aku masih terhimpit terista. Peristiwa itu benar-benar membuatku terperanjat. Secerdas itu dia sembunyikan luka. Kini melekat dalam otak. Terjiplak dalam sendi.
Sekiranya ini bukan terang kelihatan, maka aku akan meracik perbuatan dengan jariku sendiri. Akan kulatih kedua tanganku untuk merawatmu melawannya. Tetapi Allah punya rencana. Kau tinggalkan semua. Dalam pedih aku sendiri menjadi serpihan yang tak bisa terlupakan.
“Kau terindah. Tetapi, tak bisa kumiliki. Di bawah senyuman kamboja aku melihatmu, Kasih.”
Aku terisak-isak.
*
Hari berganti wujud dengan macam karakter. Suasana masih saja dalam benak. Angin kembali menyambut aku yang menikmati pagi sebelum mentari membuka mata. Aku melatih kaki dengan langkah pasti. Semangat itu muncul seiring waktu yang menyita kehidupan untuk memikirkannya.
“Aku harus bangkit. Aku sangat menyayangimu. Bukan berarti aku terus memikirkanmu. Aku punya hidup. Kau juga tenang di sana. Aku harus membuka hati dan pikiran. Semangat!”
Aku pekik.
Kedua kaki mulai bersahabat pada sepanjang kota. Terasa lelah, aku mulai berjalan perlahan melewati pohon ditambah angin yang sepoi. Tali yang berada pada sepatu kiriku terlepas dari ikatan manisnya. Di bawah batang yang tinggi, menyatu dengan jutaan daun yang usianya cukup tua itu aku berhenti. Mencoba mengikat dengan benda yang berutas-utas panjang dibuat yang bermacam-macam bahan itu. Kesulitan pun kutemukan. Karena kedua jariku penuh dengan barang. Sosok itu tiba di hadapanku. Tak percaya, tetapi aku membutuhkan bantuannya. Ia menawarkan diri untuk menyentuh genggamanku, terjalinlah komunikasi tanpa perkenalan.
“Kamu merasa terganggu? Kalau ia biar saya pergi saja.”
“Ah, tidak.”
“Boleh saya bantu?”
“Em…Baiklah. Maaf merepotkan kamu.”
“Kamu cantik ya. Tetapi kenapa terlihat tegang? Apa aku aneh? Anggap saja aku teman lama. Karena kita bertemu hanya sekali ini saja.”
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Bukankah dunia ini seakan sempit.”
“Kamu pantas bicara seperti itu. Tetapi perasaan tidak bisa dimainkan. Dari awal aku di sini, aku sudah terkesan padamu dan terkesan dengan wangian yang kamu kenakan. Aku terkesan dengan kedua bola matamu. Aku juga terkesan dengan wajah merona kamu.”
“Lalu ?”
“Justru itu aku tidak ingin berkenalan. Kalau kita saling kenal dan tidak lagi bertemu itu hanya menyisakan bayangan.”
“Mengapa kita tidak berusaha untuk saling mengenal, untuk berusaha bertemu?”
“Karena pertemuan pertama akan merasakan penasaran dan pertemuan kedua akan merasakan rasa rindu. Dan aku tidak ingin merindu.”
“Maksudnya?”
“Biar takdir mempertemukan kita. Aku akan mengingat wajah kamu.”
Mataku tersorot ke samping saat kendaraan keras menerkam hati. Saat itu juga aku kehilangan dia. Dia pergi menyisakan suasana syahdu. Rangkaian sajaknya selalu mengelilingi pikiranku. Wajahnya seakan melekat dalam otakku. Rasanya seakan ingin bertemu. Masih saja teringat. Bayangannya semakin dekat. Rasa semakin berkobar. Aku melanjutkan lari dengan kedua kaki menuju rumah.
*
Angka hitam kalender seakan merah seketika. Liburan pun dimulai. Perjalanan itu membuatku lelah. Senyuman nenek membuatku hilang penat. Sambutan jangkrik nikmati suasana malam. Rautan raksasa yang berada di atas bersama cahaya kecil kerlap-kerlip itu ikut membangun hawa. Aku menyukai wadah itu. Merasa puas, aku jatuhkan tubuh di tempat empuk yang berukuran dua setengah meter kali dua meter dengan kumpulan kapas dalam bentuk estetik yang dipersiapkan nenek untukku. Mata mulai nyaman dan enggan membuka. Aku pun tertidur pulas.
*
Mentari mengeluarkan cahayanya. Seperti biasa aku langkahkan kedua kaki untuk berlari kampung. Aku mulai tertarik pada udaranya. Kesejukan hati mulai menyatu dalam diri. Aku merasa tenang dengan kesegaran yang telah kudapat. Langkahku terhenti mendadak. Di balik orang-orangan sawah aku menatapnya. Diakah itu? Benarkah itu dia?
Cahaya mentari mulai terik. Panasnya seakan membakar. Aku meninggalkan tempat yang serba hijau itu untuk kembali ke rumah nenek. Waktuku terbatas berolah raga sebab nenekku sendirian. Aku mulai memikirkan dia lagi. Senyuman itu membuatku hilang akal.
*
Senja tiba. Langit seakan bermagis dengan kegelapan yang bersahabat dengan penerang raksasa seperti kuning telur itu. Titik-titik cahaya menambah keindahan putih-putih yang membalut biru sehingga kebiruan. Lantunan ayat-ayat suci jadi bervariasi dengan nada yang berbeda. Perkumpulan remaja di desa itu pun usai. Aku bertemu kembali padanya. Dia menatapku dan melangkahkan kaki dengan mata indah itu, terjalin perkenalan yang sesungguhnya.
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Karena takdir mempertemukan kita. Aku berlibur ke rumah nenekku. Aku pamit pulang dulu. Assalammualaikum.”
“Walaikumsalam.”
Sendiri. Tersenyum. Bahagia. Aku mulai gila olehnya. Peristiwa itu membuat aku ingin mengenalnya lebih dalam. Sepertinya aku sudah mulai membuka diri untuk masuk dalam kehidupanku. Hari-hariku mulai tertemani olehnya. Hingga ia mengajarkan kebaikkan padaku.
“Sudah beberapa kali aku tidak mendengarmu tadarus membaca Al-Qur’an?”
“Aku belum lancar membaca Al-Qur’an.”
“Nanti aku ajarkan!”
“Kamu serius?”
“Ada satu hal lagi yang ingin aku sampaikan. Aku menemukan diriku di hatimu.”
 “Kalau boleh aku tahu, seberapa dalam kau melihatnya?”
“Aku tidak bisa melihatnya. Karena itu terlalu dalam. Yang ada ketulusan cinta yang sekarang hidup di dasar hatimu.”
“Aku janji. Aku akan menjaga kebahagiaan yang telah kamu berikan dalam hidupku.”
*
Waktu berjalan dengan putaran yang sudah ditentukan. Dia menyambutku dengan caranya. Tak hentinya ia mengajariku membaca ayat suci dengan nada yang elok. Semakin dekat semakin nyaman.
Dalam termangu aku lontarkan secuil senyuman. Berfikir lebih dalam. Bahagia muncul ketika aku mengenalnya. Inikah penggantinya?
“Dia patut jadi imam dalam hidupku. Semoga ini yang terakhir. Amin.”
Lagi-lagi aku berharap.
*
Detik berlalu. Hujan runtuh ke bumi. Tidak kalah halnya dengan aku. Aku kehilangan lagi. Jiwaku tersayat. Hatiku merintih. Truk itu menabrak keretanya. Kutemukan kedua cincin dengan balutan pita unik dari kumpulan padi yang dibentuknya. Hancur harapanku ingin bersamanya. Mati rasa. Di manakah keadilan itu? Mengapa harus aku?
“Ini tidak mungkin. Tidakkkkkkk…!”
Aku histeris.
*
Semalam pangeran itu meninggalkan aku. Dia terlihat senyum dengan tepi mulut sebelah bawah dan atas dengan belahan seksinya itu. Angin sangat kencang sekali. Badai menimpa hati. Rindu mulai bergolak. Gusar memuncak. Marah, marah, dan marah, tetapi kepada siapa?  ***


Penulis, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar