Minggu, 24 Februari 2013

Cerpen : Budi Hatees



PENJARA

 


M
uak kali aku sama orang ini. Lagaknya bukan main. Macam bapaknya saja yang punya dunia ini.  Padahal bapaknya  itu koruptor.  Pastilah itu. Mana ada orang di negeri ini bisa kaya raya dan menguasai semua hal kalau bukan lantaran memanfaatkan jabatannya. Puiih! Muak kali aku.
Kalau saja di negara ini tak ada hukum, sudah aku tonjok hidungnya.  Tak cuma itu, aku juga ingin membuat  tanda biru legam di kelopak matanya. Dia akan sellau mengingat tanda itu sebagi peringatan atas sikapnya yang sombong. Tapi, tidak, ia tidak akan terima aku tonjok.  Ia akan mengadukanku ke polisi, dan ia mengadu sambil memberikan amplop kepada polisi. Dengan senang hati, polisi akan menangkapku. Polisi akan langsung membayangkan bahwa aku bisa menjadi anjungan tunai mandiri. Tiap kali mereka ingin uang, tinggal menggesekku.  Mampuslah aku.

*

Aku tak mau berhubungan lagi dengan polisi.  Terakhir berhubungan dengan aparat itu, uangku ludes  Rp20 juta hanya untuk mencabut perkara yang aku adukan.  Kalau tidak, aku dipenjarakan. Sinting.  Apa boleh buat? Apa yang bisa dilakukan orang miskin macam aku.
Peritiwa itu terjadi belum lama ini.  Ya, karena orang itu juga, orang yang membikin aku muak.  Ia anak seorang pejabat.  Aku mengadukannya ke polisi  karena menabrak skuter tuaku dari belakang  saat aku melintas di jalan raya.
Aku sadar skuterku tidak bisa mengebut,  mesin tuanya acap terbatuk. Oli sering bocor. Sedan BMW yang dibawanya ingin mengubah jalan raya sebagai arena balap.  Berkali-kali ia bunyikan klakson,  aku tidak serta merta member jalan. Aku gugup mendengar suara klakson itu, dan tak tahu di arah mana mobilnya karena kaca spionku tertutup oleh kardus yang aku bawa.  Kardus itu berisi barang yang harus aku kirimkan. Aku bekerja paruh waktu sebagai kurir.
Dan, tiba-tiba BMW itu menabrakku dari belakang. Tubuhku melambung di udara sebelum terjerembab di permukaan aspal.  Untung  ada helem. Aku tergeletak di jalan. Berusaha bangkit dengan kemarahan, melupakan rasa ngilu di tulang belulangku. BMW itu melesat dari sampingku sambil membunyikan klakson, mengebut seperti ditendang setan.  Aku memakinya sambil mengingat angka nomor polisinya.
Tak kuperdulikan luka-luka gores di tubuhku,  langsung melaporkan kasus tabrak lari itu ke polisi. Polisi menerima laporanku,  setelah menyebut aku harus bayar tariff sebesar Rp15.000. Mati aku, uang Rp15.000 itu berharga sekali bagiku. “Kalau tidak ada uang administrasi, tak ada laporan yang dibuat. Tak ada pengaduan, tak ada persoalan hukum,” kata petugas yang menerimaku.
Aku sodorkan Rp15.000. Dua uang tukaran Rp5.000, dan lima uang kertas tukaran Rp1000. Cuma itu uang di kantongku. Aku pun pulang. Skuterku ringsek. Aku terpaksa mendorongnya.
Kardusku penyot. Isinya berhamburan.  Untung bukan barang pecah belah. Tapi, aku harus memikirkan alasan yang logis kepada pemilik kardus agar ia bisa menerima kondisi kardusnya. Sayangnya, alasan yang aku buat tidak bisa diterimanya. “Kau ganti barangku,” katanya. “Kau tak amanah.”
Aku salah, memang, tak bisa menjaga barang yang harus aku antar. Tapi aku tak sengaja. Mestinya pemilik barang itu maklum. Ini kecelakaan. Aku tidak bisa meyakinkannya untuk paham kondisiku. Aku sudah tunjukkan luka lecet di lututku, dan aku bilang masih harus berobat.
“Aku tak mau tahu,” katanya.
Karena tak punya uang,  aku menelepon pemilik perusahaan jasa kurir dan menceritakan soal barang itu. Aku berharap ada kebijaksanaan, setidaknya pemimpin ikut meyakinkan pemilik barang bahwa barangnya baik-baik saja. Tapi, pemilik perusahaan malah menyalahkanku. “Mulai besok kau tak usah bekerja,” katanya.
            Mak jang. Mampuslah aku.

*

Muak kali aku sama orang itu. Anak pejabat itu, ia nyengir kuda ketika kami berpapasan di pintu masuk ke kantor polisi. Ia bersama seorang pria berpakaian parlente. Pria itu punya tatapan mata yang tajam. Serem kali. Berdenyut hatiku ketika pandangan kami bersiborok.
Anak pejabat itu dipanggil  polisi atas pengaduanku dalam kasus tabrak lari, aku juga dipanggil untuk memastikan bahwa dialah orang yang menabrakku. Aku datang terlambat, karena harus jalan kaki. Aku muncul setelah ia selesai diperiksa, dan kami berpapasan di pintu.  Aku tak mengenalnya, ia yang mengenaliku,  lalu mencibir. “Puih! Kau yang mengadukan aku ya?”  Nadanya jelas meremehkanku. “Jangan kau pikir aku akan tinggal diam.” 
            Aku tak mengerti. Pria yang disampingnya menatapku begitu tajam. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bau nafasnya luar biasa, meskipun bau farfumnya menghambur.  “Aku pengacaranya. Kami akan menggugatmu atas tuduhan pencemaran nama baik,” katanya.
            Mak jang, lemah lunglai tulang-belulangku.  Hampir aku terjatuh kalau tidak terdengar suara seseorang memanggilku dari dalam kantor polisi. Rupanya polisi yang menerima pengaduanku. Polisi itu menyuruhku duduk. Aku menurut.  Polisi itu membuka buku besarnya setelah menyingkirkan asbak dari atas meja.
“Kami sudah tindak lanjuti pengaduanmu,” katanya. “Kami sudah panggil pemilik BMW dengan nomor polisi yang kau sebutkan.”
            Hatiku senang. Aku mengangguk, menunggu sampai polisi itu selesai. Tapi, polisi itu tak melanjutkan kalimatnya. Ia memandangiku dengan cara yang aneh. Aku tak mengerti. “Ada apa, Pak?” tanyaku.
            “Kau yakin BMW itu yang menabrakmu?” tanyanya.
            “Ya. Aku yakin.”
            “Bagaimana kau bisa yakin. Bukankah banyak BMW yang seperti itu.”
            “Aku mencatat nomor polisinya. Aku sudh berikan kepada Bapak.”
“Kami sudah memeriksa BMW itu. Tak ada tanda-tanda sedan itu habis menabrak. Setidaknya ada goresan sedikit saja. Ternyata tidak ada.” Polisi itu diam, menatapku dalam-dalam. “Kau yakin BMW itu.”
            “Apa maksud pertanyaan ini?”
            “Kami harus memastikan segala sesuatunya. Kau tahu punya siapa itu?”
            Pertanyaan itu membuat aku tersinggung. Seharusnya aku bilang apa urusan aku mobil itu punya siapa. Tapi aku diam saja. Otakku cepat menangkap pasti ada yang tidak beres. Aku yakin persoalan ini tidak akan selesai.
            “Itu mobil pejabat,” kata polisi. “Kau serius itu mobil yang menabrakmu?”
            “Ya,” kataku, aku coba tetap tenang, meskipun emosiku mulai merambat ke tengkuk. “Aku sangat yakin.”
“Kau punya bukti?” tanyanya.
Kalimat itu membakar emosiku. Aku ingin bilang bahwa pertanyaan itu tak seharusnya diajukan polisi. Aku juga ingin bilang bahwa tugas dan tanggung jawab polisi untuk mencari bukti.  Aku rasakan bibirku gemetar. Aku bangkit dari duduk, hampir memakinya.  Tapi, tidak, pikiran jernihku langsung bekerja, aku diam saja. Seharusnya aku memang memakinya agar panas hatiku bisa reda. Aku malah keluar dari kantor polisi itu. Tak kuperdulikan suara polisi itu memanggil.  Aku terus melangkah. Takut emosiku betul-betul meledak.

*

SEHARI setelah itu, sepucuk surat dari kantor polisi datang. Isinya meminta aku ke kantor polisi sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik atas pengaduan orang itu. Hari itu juga aku harus berada di kantor polisi.
Sinting. Tubuhku gemetar begitu hebat.  Aku marah. Aku rasa sangat wajar bila aku marah. Kemarahan itu akan aku ledakkan di kepala polisi. Aku ingin kepala polisi itu meledak supaya ia tahu soal hokum. Polisi bodoh. Polisi tolol. Aku memaki-maki sepanjang perjalanan dari rumah kontrakanku ke kantor polisi.
Setiba di halaman kantor polisi, aku melihat sedan BMW diparkir. Aku kenali betul mobil itu, mobil yang menabrakku. Aku senang karena berpikir polisi sudah berhasil menangkapnya. Aku percepat langkahku, tak sabar ingin melabrak orang itu.
Begitu aku masuk, kulihat orang itu bersama pria yang sama. Mereka duduk di bangku di hadapan polisi. Polisi yang kemarin juga, duduk sambil merokok. Asap rokok mengepul. Mereka terlihat bercakap-cakap. Sekali-sekali tertawa. Begitu aku masuk, mereka diam. Polisi bangkit dan menyuruhku mengambil kursi, dan duduk di hadapannya.
Orang itu dan pria yang menenaminya mencibir. “Kali ini kau akan mampus,” kata pria itu.
“Kau sudah terima surat panggilan itu?” tanya polisi begitu aku duduk. “Ini Bapak Sangkot, pengacara keluarga Bapak Maradenggan Haholongan. Beliau mengajukan gugatan pencemaran nama baik yang kau lakukan terhadap anak Bapak Maradenggan Haholongan.” Polisi member penjelasan, tapi telingaku tertutup oleh emosi yang membara di dadaku. “Korban Bapak ini…hm, siapa namamu?” tanya polisi kepada orang ini.
“Burju Haholongan.” Suaranya begitu memuakkan.
“Ya, Bapak Burju Haholongan. Kau menuduhnya menabrak skutermu dank au tak punya bukti menuduhnya. Perbuatanmu itu bisa digolongkan mencemarkan nama baik seseorang.”  Polisi diam sebentar, menatapku dengan sorot mata yang meremehkan sambil menyedot rokoknya. “Kau tahu apa hukuman untuk itu?”
Aku diam saja.  Orang ini dan pria yang mendampinginya senyum mengejek. Polisi itu mematikan rokoknya ke asbak. Ia menatapku lebih tajam. Kemudian ia lanjutkan kalimatnya: “Hukumannya penjara dan uang ganti rugi. Tapi, Bapak ini berniat baik, hanya menuntutmu ganti rugi sebesar Rp20 juta. Itu sebagai tanda perdamaian supaya persoalan ini tak sampai ke pengadilan.”
Aku terhenyak.

*


Muak kali aku sama orang ini. Lagaknya bukan main. Macam bapaknya saja yang punya dunia ini.  Padahal bapaknya  itu  koruptor.  Pastilah itu. Mana ada orang di negeri ini bisa kaya raya dan menguasai semua hal kalau bukan lantaran memanfaatkan jabatannya. “Puiih! “
 “Hei, kurang hajar. Kau meludahiku!” Suara itu menyentakkanku. Aku menoleh. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan kulit penuh tatto berdiri di hadapnku. Wajahnya sangar. “Kau baru di sini. Kau meludahiku. Kau sudah tahu apa tugas orang baru.”  Suaranya besar dan berat. “Jangan diam saja. Jangan menunduk! Kau lihat mata aku kalau aku sedang cakap!”
Aku tetap menunduk.  Wajahnya membuatku takut. Semakin ia bicara, semakin ketakutan aku. Tiba-tiba ia menghantam dadaku dengan tinjunya yang besar. Aku dengar suara “krek” pada tulang dadaku. Sakitnya minta ampun. Aku terhuyung-huyung dan membentur jeruji besi. Tanganku menggapai jeruji besi, berusaha menopang tubuhku agar tak jatuh. Pandanganku berkunang-kunang ketika hantaman berikutnya tiba di kepalaku. ***

Sipirok, i-2013

2 komentar:

  1. pak, gimana caranya ngirim naskah ke bapak yah?
    terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kirim ke suyadisan@yahoo.com saja ya. terima kasih.

      Hapus