PENJARA
M
|
uak
kali aku sama orang ini. Lagaknya bukan main. Macam bapaknya saja yang punya dunia
ini. Padahal bapaknya itu koruptor. Pastilah itu. Mana ada orang di
negeri ini bisa kaya raya dan menguasai semua hal kalau bukan lantaran
memanfaatkan jabatannya. Puiih! Muak kali aku.
Kalau saja di negara ini tak ada hukum, sudah aku
tonjok hidungnya. Tak cuma itu, aku juga ingin
membuat tanda biru legam di kelopak
matanya. Dia akan sellau mengingat tanda itu sebagi peringatan atas sikapnya
yang sombong. Tapi, tidak, ia tidak akan terima aku tonjok. Ia akan mengadukanku ke polisi, dan ia mengadu sambil memberikan
amplop kepada polisi.
Dengan senang
hati, polisi akan
menangkapku. Polisi akan langsung membayangkan bahwa aku bisa menjadi anjungan tunai
mandiri. Tiap kali mereka ingin uang, tinggal menggesekku. Mampuslah aku.
*
Aku tak mau
berhubungan lagi dengan polisi. Terakhir berhubungan dengan aparat itu, uangku ludes Rp20 juta hanya untuk mencabut perkara yang aku adukan. Kalau tidak, aku dipenjarakan. Sinting. Apa boleh buat? Apa yang bisa dilakukan orang
miskin macam aku.
Peritiwa itu terjadi belum lama ini. Ya, karena orang itu juga, orang yang membikin
aku muak. Ia anak seorang pejabat. Aku mengadukannya ke polisi karena menabrak skuter tuaku dari belakang saat aku melintas di jalan raya.
Aku sadar skuterku tidak bisa
mengebut, mesin tuanya acap terbatuk.
Oli sering bocor. Sedan BMW yang dibawanya ingin mengubah jalan raya sebagai
arena balap. Berkali-kali ia bunyikan
klakson, aku tidak serta merta member
jalan. Aku gugup mendengar suara klakson itu, dan tak tahu di arah mana
mobilnya karena kaca spionku tertutup oleh kardus yang aku bawa. Kardus itu berisi barang yang harus aku
kirimkan. Aku bekerja paruh waktu sebagai kurir.
Dan, tiba-tiba BMW itu menabrakku
dari belakang. Tubuhku melambung di udara sebelum terjerembab di permukaan
aspal. Untung ada helem. Aku tergeletak di jalan. Berusaha
bangkit dengan kemarahan, melupakan rasa ngilu di tulang belulangku. BMW itu
melesat dari sampingku sambil membunyikan klakson, mengebut seperti ditendang
setan. Aku memakinya sambil mengingat
angka nomor polisinya.
Tak kuperdulikan luka-luka gores di
tubuhku, langsung melaporkan kasus
tabrak lari itu ke polisi. Polisi menerima laporanku, setelah menyebut aku harus bayar tariff
sebesar Rp15.000. Mati aku, uang Rp15.000 itu berharga sekali bagiku. “Kalau
tidak ada uang administrasi, tak ada laporan yang dibuat. Tak ada pengaduan, tak
ada persoalan hukum,” kata petugas yang menerimaku.
Aku sodorkan Rp15.000. Dua uang
tukaran Rp5.000, dan lima uang kertas tukaran Rp1000. Cuma itu uang di
kantongku. Aku pun pulang. Skuterku ringsek. Aku terpaksa mendorongnya.
Kardusku penyot. Isinya
berhamburan. Untung bukan barang pecah belah.
Tapi, aku harus memikirkan alasan yang logis kepada pemilik kardus agar ia bisa
menerima kondisi kardusnya. Sayangnya, alasan yang aku buat tidak bisa
diterimanya. “Kau ganti barangku,” katanya. “Kau tak amanah.”
Aku salah, memang, tak bisa menjaga barang
yang harus aku antar. Tapi aku tak sengaja. Mestinya pemilik barang itu maklum.
Ini kecelakaan. Aku tidak bisa meyakinkannya untuk paham kondisiku. Aku sudah
tunjukkan luka lecet di lututku, dan aku bilang masih harus berobat.
“Aku tak mau tahu,” katanya.
Karena tak punya uang, aku menelepon pemilik perusahaan jasa kurir
dan menceritakan soal barang itu. Aku berharap ada kebijaksanaan, setidaknya
pemimpin ikut meyakinkan pemilik barang bahwa barangnya baik-baik saja. Tapi,
pemilik perusahaan malah menyalahkanku. “Mulai besok kau tak usah bekerja,”
katanya.
Mak jang. Mampuslah
aku.
*
Muak kali aku sama orang itu. Anak pejabat itu, ia nyengir kuda ketika
kami berpapasan di pintu masuk ke kantor polisi. Ia bersama seorang pria
berpakaian parlente. Pria itu punya tatapan mata yang tajam. Serem kali.
Berdenyut hatiku ketika pandangan kami bersiborok.
Anak pejabat itu dipanggil polisi atas pengaduanku dalam kasus tabrak
lari, aku juga dipanggil untuk memastikan bahwa dialah orang yang menabrakku.
Aku datang terlambat, karena harus jalan kaki. Aku muncul setelah ia selesai
diperiksa, dan kami berpapasan di pintu.
Aku tak mengenalnya, ia yang mengenaliku, lalu mencibir. “Puih! Kau yang mengadukan aku
ya?” Nadanya jelas meremehkanku. “Jangan
kau pikir aku akan tinggal diam.”
Aku tak mengerti. Pria
yang disampingnya menatapku begitu tajam. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Bau
nafasnya luar biasa, meskipun bau farfumnya menghambur. “Aku pengacaranya. Kami akan menggugatmu atas
tuduhan pencemaran nama baik,” katanya.
Mak jang, lemah lunglai
tulang-belulangku. Hampir aku terjatuh
kalau tidak terdengar suara seseorang memanggilku dari dalam kantor polisi.
Rupanya polisi yang menerima pengaduanku. Polisi itu menyuruhku duduk. Aku
menurut. Polisi itu membuka buku
besarnya setelah menyingkirkan asbak dari atas meja.
“Kami sudah tindak lanjuti
pengaduanmu,” katanya. “Kami sudah panggil pemilik BMW dengan nomor polisi yang
kau sebutkan.”
Hatiku senang. Aku
mengangguk, menunggu sampai polisi itu selesai. Tapi, polisi itu tak
melanjutkan kalimatnya. Ia memandangiku dengan cara yang aneh. Aku tak
mengerti. “Ada apa, Pak?” tanyaku.
“Kau yakin BMW itu yang
menabrakmu?” tanyanya.
“Ya. Aku yakin.”
“Bagaimana kau bisa
yakin. Bukankah banyak BMW yang seperti itu.”
“Aku mencatat nomor
polisinya. Aku sudh berikan kepada Bapak.”
“Kami sudah memeriksa BMW itu. Tak
ada tanda-tanda sedan itu habis menabrak. Setidaknya ada goresan sedikit saja.
Ternyata tidak ada.” Polisi itu diam, menatapku dalam-dalam. “Kau yakin BMW
itu.”
“Apa maksud pertanyaan
ini?”
“Kami harus memastikan
segala sesuatunya. Kau tahu punya siapa itu?”
Pertanyaan itu membuat
aku tersinggung. Seharusnya aku bilang apa urusan aku mobil itu punya siapa. Tapi
aku diam saja. Otakku cepat menangkap pasti ada yang tidak beres. Aku yakin
persoalan ini tidak akan selesai.
“Itu mobil pejabat,”
kata polisi. “Kau serius itu mobil yang menabrakmu?”
“Ya,” kataku, aku coba
tetap tenang, meskipun emosiku mulai merambat ke tengkuk. “Aku sangat yakin.”
“Kau punya bukti?” tanyanya.
Kalimat itu membakar emosiku. Aku
ingin bilang bahwa pertanyaan itu tak seharusnya diajukan polisi. Aku juga
ingin bilang bahwa tugas dan tanggung jawab polisi untuk mencari bukti. Aku rasakan bibirku gemetar. Aku bangkit dari
duduk, hampir memakinya. Tapi, tidak,
pikiran jernihku langsung bekerja, aku diam saja. Seharusnya aku memang
memakinya agar panas hatiku bisa reda. Aku malah keluar dari kantor polisi itu.
Tak kuperdulikan suara polisi itu memanggil.
Aku terus melangkah. Takut emosiku betul-betul meledak.
*
SEHARI setelah itu, sepucuk surat dari kantor polisi datang. Isinya
meminta aku ke kantor polisi sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik
atas pengaduan orang itu. Hari itu juga aku harus berada di kantor polisi.
Sinting. Tubuhku gemetar begitu
hebat. Aku marah. Aku rasa sangat wajar
bila aku marah. Kemarahan itu akan aku ledakkan di kepala polisi. Aku ingin
kepala polisi itu meledak supaya ia tahu soal hokum. Polisi bodoh. Polisi tolol.
Aku memaki-maki sepanjang perjalanan dari rumah kontrakanku ke kantor polisi.
Setiba di halaman kantor polisi, aku
melihat sedan BMW diparkir. Aku kenali betul mobil itu, mobil yang menabrakku.
Aku senang karena berpikir polisi sudah berhasil menangkapnya. Aku percepat
langkahku, tak sabar ingin melabrak orang itu.
Begitu aku masuk, kulihat orang itu
bersama pria yang sama. Mereka duduk di bangku di hadapan polisi. Polisi yang
kemarin juga, duduk sambil merokok. Asap rokok mengepul. Mereka terlihat
bercakap-cakap. Sekali-sekali tertawa. Begitu aku masuk, mereka diam. Polisi
bangkit dan menyuruhku mengambil kursi, dan duduk di hadapannya.
Orang itu dan pria yang menenaminya
mencibir. “Kali ini kau akan mampus,” kata pria itu.
“Kau sudah terima surat panggilan
itu?” tanya polisi begitu aku duduk. “Ini Bapak Sangkot, pengacara keluarga
Bapak Maradenggan Haholongan. Beliau mengajukan gugatan pencemaran nama baik
yang kau lakukan terhadap anak Bapak Maradenggan Haholongan.” Polisi member
penjelasan, tapi telingaku tertutup oleh emosi yang membara di dadaku. “Korban
Bapak ini…hm, siapa namamu?” tanya polisi kepada orang ini.
“Burju Haholongan.” Suaranya begitu
memuakkan.
“Ya, Bapak Burju Haholongan. Kau
menuduhnya menabrak skutermu dank au tak punya bukti menuduhnya. Perbuatanmu
itu bisa digolongkan mencemarkan nama baik seseorang.” Polisi diam sebentar, menatapku dengan sorot
mata yang meremehkan sambil menyedot rokoknya. “Kau tahu apa hukuman untuk itu?”
Aku diam saja. Orang ini dan pria yang mendampinginya senyum
mengejek. Polisi itu mematikan rokoknya ke asbak. Ia menatapku lebih tajam.
Kemudian ia lanjutkan kalimatnya: “Hukumannya penjara dan uang ganti rugi.
Tapi, Bapak ini berniat baik, hanya menuntutmu ganti rugi sebesar Rp20 juta.
Itu sebagai tanda perdamaian supaya persoalan ini tak sampai ke pengadilan.”
Aku terhenyak.
*
Muak kali aku sama orang
ini. Lagaknya bukan main.
Macam bapaknya saja yang punya dunia ini.
Padahal bapaknya itu koruptor. Pastilah itu. Mana ada orang di negeri ini
bisa kaya raya dan menguasai semua hal kalau bukan lantaran memanfaatkan
jabatannya. “Puiih! “
“Hei, kurang hajar. Kau meludahiku!” Suara itu
menyentakkanku. Aku menoleh. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan kulit
penuh tatto berdiri di hadapnku. Wajahnya sangar. “Kau baru di sini. Kau meludahiku.
Kau sudah tahu apa tugas orang baru.”
Suaranya besar dan berat. “Jangan diam saja. Jangan menunduk! Kau lihat
mata aku kalau aku sedang cakap!”
Aku tetap menunduk. Wajahnya membuatku takut. Semakin ia bicara,
semakin ketakutan aku. Tiba-tiba ia menghantam dadaku dengan tinjunya yang
besar. Aku dengar suara “krek” pada tulang dadaku. Sakitnya minta ampun. Aku
terhuyung-huyung dan membentur jeruji besi. Tanganku menggapai jeruji besi,
berusaha menopang tubuhku agar tak jatuh. Pandanganku berkunang-kunang ketika
hantaman berikutnya tiba di kepalaku. ***
Sipirok, i-2013
pak, gimana caranya ngirim naskah ke bapak yah?
BalasHapusterima kasih.
kirim ke suyadisan@yahoo.com saja ya. terima kasih.
Hapus