Jumat, 01 Februari 2013

Cerpen : Gatot Zakaria Manta (Sabtu 10 Desember 2011)



Halte Kesunyian

 


A
ku bayangkan sebuah bus sedang melaju dengan kecepatan tinggi dari Surabaya, entah dari Terminal Bungurasih atau Osowilangun. Bus itu biasa saja. Dengan cat yang berkilau, namun menyisakan beberapa karatan –bahkan lubang –di bagian lantai. Suara dentingan logam yang berbahaya keluar dari salah satu bagian bus yang tak diketahui. Setiap bus melewati tanjakan atau jalan rusak yang banyak tersebar di sepanjang Surabaya-Lamongan atau jika berjalan lebih dari 80 Km per jam.
Di atas bus itulah, di tengah-tengah penumpang yang tak seberapa banyak, seorang perempuan sedang berusaha memenuhi janjinya bertemu denganku. Dia datang dari Surabaya hanya untuk menemuiku di halte bus ini.
Aku pikir kami tak pernah berjanji apa-apa karena memang kami tidak pernah bicara. Kata-kata tak pernah cukup menunjukkan perasaan yang sebenarnya. Berapa banyak kata-kata disalahartikan dan disalahpersepsikan, entah sengaja atau tidak. Banyak kata yang ambigu, dan di sisi yang lain kekurangan makna untuk mengartikan sesuatu yang lebih besar. Dan untuk perempuan itu, aku pikir manusia harus mampu membuat kata yang lebih besar artinya dari kata cinta. Karena aku bayangkan hati perempuan itu tengah penuh dengan rasa cinta sekarang. Cinta yang mungkin tertuju padaku dan seolah-olah jika dia jatuh cinta maka perempuan itu pasti jatuh cinta padaku. Meski tanpa kata-kata. Tanpa suara.
Dia mungkin sedang duduk di sebelah jendela. Matanya yang teduh seolah memberitahuku bahwa dia suka sekali melihat pemandangan yang melintas sekilas di depan mata. Dari matanyalah, aku terkadang melihat jajaran tambak luas dengan warna hijau yang nyaman. Ada juga pohon mangga, pisang, dan pohon kecoklatan berbatang besar yang aku duga adalah pohon asam. Kelihatannya dia tak pernah pergi ke pantai atau gunung, karena aku tak pernah melihat pemandangan itu tergambar dari kedua matanya yang seperti cermin, memantulkan setiap hal yang dia lihat. Namun sesekali aku juga melihat awan-awan mendung di atas aspal. Asap hitam yang pekat, yang keluar ketika kendaraan mengantre di jalanan yang sempit.
Tapi dari semua hal yang aku selami dari matanya, yang paling sering aku lihat dan paling aku suka adalah suasana langit malam yang kelam. Tak ada bintang, apalagi bulan. Segera aku tahu bahwa langit gelap seperti itu adalah pemandangan yang paling dia suka dan menunjukkan bahwa dia mungkin suka kesendirian.
Tiba-tiba sebuah corak batik yang tidak pernah kulihat sebelumnya terbersit dalam pikiranku. Ah, iya. Dia pasti sedang mengenakan batik. Ya, perempuanku sangat menyukai batik. Setiap kami bertemu,.dia selalu terlihat anggun dalam busana batik yang dikenakannya. Meski dengan corak yang berbeda-beda, namun setiap pakaiannya selalu menampakkan lehernya yang jenjang, tanpa cacat.
Aku sedang duduk di sebuah halte bus, dan memandang ke arah Timur. Dari arah itulah perempuanku akan datang dengan naik bus, dan hanya akan naik bus. Seolah tak ada kendaraan lain yang lebih layak, lebih agung, lebih besar, untuk membawa perempuanku dari Surabaya menuju Lamongan.
Jika dia datang nanti, kaki kirinya akan menyentuh permukaan jalan terlebih dahulu. Yang pertama dia lakukan adalah memindah posisi tas punggungnya, dari dadanya ke tempat yang seharusnya. Sering aku menduga alasannya memakai tas di dadanya ketika berada di dalam bus. Mungkin dia berjaga-jaga dengan tangan-tangan jahil yang bisa saja melakukan sesuatu pada tas itu jika ditaruh di punggung. Ya, membawanya di dada akan membuat tas itu lebih bisa diawasi.
Entah berada di mana bus yang membawa perempuanku itu sekarang. Aku bayangkan saja bus itu sedang berada di Gresik, sedang terjebak kemacetan karena jalan yang sempit. Ah, semoga dia mendapati bus yang ber-AC. Tak apa jika bus itu berkarat lantainya, bahkan berlubang sekalipun. Yang penting perempuanku tidak akan kepanasan jika terjebak dalam kemacetan. Tidak akan ada keringat sebesar biji jagung keluar dari wajahnya sehingga dapat merusak riasannya yang telah tipis itu.
Ah, mungkin lebih baik jika dia sedikit berkeringat. Garis-garis keindahan wajahnya akan jelas terlihat jika wajah itu basah. Pipi yang kemerahan melekat pada tulang yang sedikit menonjol membuat paras cantiknya seperti bercahaya dibasahi butiran-butiran keringat itu. Bibir yang  basah, leher yang basah, dan hal yang serupa juga akan terjadi pada hatiku.
Ketika dia turun dengan kaki kirinya terlebih dahulu, kemudian menapak di jalan beraspal, kemudian memindah posisi tas punggungnya, kemudian mengusap keringat yang tak seberapa banyak di keningnya dengan punggung tangannya, maka hal yang aku rasakan berikutnya adalah kesunyian. Seolah dunia hanya aku yang sedang duduk di halte ini dan dia yang aku bayangkan baru turun dari bus. Namun bus itu akan segera menghilang, beserta penumpang yang ada di dalamnya, sekalian pedagang kacang-permen dan mungkin juga pengamen. Hal yang serupa terjadi orang-orang yang sedari tadi juga bersama diriku di halte kecil ini. Mereka akan hilang satu persatu, tak bersisa. Dan akhirnya hanya ada aku dan perempuan yang aku bayangkan itu.
Tak seperti hari-hari sebelumnya, aku akan menyapanya kali ini. Sapaan yang hangat, yang aku rasa bisa menguapkan setiap bulir kecemasan dan penantian.
“Emm, menunggu seseorang?”
Dia pasti tersipu, kemudian menggeleng pelan. Aku tahu maksudnya. Dia pasti malu denganku, karena dia sadar bahwa justru dirinyalah orang yang sedang ditunggu itu. Namun aku tak akan menyiksanya lebih lama dengan rasa malu itu. Aku akan mempersilakannya untuk duduk di sampingku, di halte kecil ini.
Namun dia tidak sedang duduk bersamaku sekarang. Tidak juga baru turun dari bus atau menyeka keringat yang menghiasi wajahnya. Orang-orang akan tetap ada di sekelilingku di halte ini. Beberapa perempuan muda akan tetap berdiri di pojokan, mengobrol dan tak sungkan tertawa keras. Pedagang kacang-permen akan masih duduk mengangkangi keranjangnya tak jauh dari becak-becak yang mangkal. Lalu di kiri dan kananku, berbagai macam orang akan duduk atau berdiri sambil sesekali menatap layar ponsel atau jam tangan atau menatap ke arah Timur.
Aku tak pernah menduga kalau sejalan dengan terbitnya matahari dari arah itu, terbit pula harapanku tentang cinta. Begitu matahari terbit, aku akan datang ke halte ini dan menunggu perempuanku datang untukku. Tak akan ada kejenuhan, karena aku yakin bahwa penantian pun adalah bagian dari pertemuan. Semua rasa penat karena menunggu akan terguyur oleh kesejukan saat dapat menatap wajahnya yang sendu dan masuk ke matanya yang teduh.
Tapi kali ini berbeda. Penantianku hampir mencapai puncaknya, namun perempuanku tidak juga tiba. Senja sudah bersiap-siap turun dengan cahayanya yang kemerah-merahan, siap mengubah warna hitam jalanan menjadi seperti logam. Kalau sudah begitu, bus-bus seperti akan berubah menjadi perahu-perahu yang berlayar di sebuah kali keemasan, lengkap dengan tali pancang dan layarnya. Padahal, perempuanku sudah berjanji untuk datang padaku dengan menggunakan bus, dan hanya dengan bus. Bukan perahu, bukan kapal.
Namun aku memang tak pernah berharap banyak pada janji yang tak pernah terucapkan. Janji itu hanya menelusup begitu saja dalam kepalaku, dan aku begitu yakin bahwa janji itu berasal dari perempuan yang sampai sekarang masih aku bayangkan masih berada di dalam sebuah bus untuk menuju ke halte ini. Perempuan terindah yang membuatku jatuh cinta tanpa berkata-kata. Perempuan paling manis yang membuat halte kecil ini jadi tempat romantis.
Ah, penantian panjang ini memaksaku mengingat masa-masa indah dengannya untuk bisa membuatku bertahan. Dan tentu saja jika merunut jalinan cerita kami, masa terindah itu hadir saat pertama kali aku bertemu dengannya. Pagi yang kekuningan, sehabis hujan sehingga meninggalkan jejak tergenang yang tak pernah habis meski sering terlindas oleh roda-roda kendaraan. Aku merekam setiap detik pertemuan kami dengan baik. Bau parfumnya, baju batiknya, leher jenjangnya, dan suara kecilnya ketika sedikit terjengkang saat turun dari bus. Hatiku memutuskan bahwa aku harus jatuh cinta padanya.
Meski perempuan itu hanya berdiri sekilas di halte ini, namun pikiranku telah bergerak sangat panjang dan jauh ke masa depan. Aku membayangkan usaha-usahaku untuk mendapatkannya. Bagaimana aku harus mengumpulkan keberanian untuk menyapanya, berbincang ringan dengannya, kemudian diakhiri dengan meminta nomor teleponnya. Ah, jika nomor sudah ditangan pasti sangat mudah mendapatkan dirinya.
Diawali dengan sapaan-sapaan ringan, sedikit demi sedikit aku akan semakin dekat dan bisa masuk ke dunianya. Meskipun sebenarnya hanya dengan menatap matanya saja, aku serasa masuk ke dunia yang lain. Dunia yang penuh dengan keindahan, dan hanya ada dia. Jika kami semakin dekat, maka mau tidak mau pasti ada hubungan yang tercipta di antara kami. Entah sahabat, entah kekasih, entah hubungan kasih sayang lain. Kami belum akan mengetahuinya, sehingga akan datang waktu bagiku untuk menegaskan posisi hubungan kami selanjutnya.
Namun kami tak pernah saling sapa, tak pernah berbicara, tak pernah bertukar nomor telepon, dan tak pernah berjanji. Aku menyalahkan waktu tentu saja. Begitu eratnya dia mengekang perempuanku sehingga begitu turun dari bus dia akan segera beranjak pergi. Tak ada cukup waktu untuk saling bicara, atau sekedar menawarinya sapu tangan untuk menghapus keringat. Semua lebih mirip omong kosong.
Senja sudah menyemburat di Barat. Pemandangan yang begitu indah sebenarnya, namun aku tak pernah mengalihkan pandanganku dari arah yang sebaliknya. Sementara itu, di dalam mataku bus-bus telah berubah menjadi perahu-perahu dengan kecepatan tinggi sambil menggaruk-garuk air.
Aku tetap berada di halte ini, masih membayangkan seorang perempuan sedang berada di dalam sebuah bus untuk memenuhi janji yang tak pernah ada padaku. Entah di mana. ***

Lamongan, 5 Juli 2011


Penulis lahir di Lamongan, 30 Maret 1990. Penikmat anime dan anggota situs kepenulisan Kemudian.com.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar