Minggu, 24 Februari 2013

ESAI : M. Raudah Jambak



MENGASAH KEPRIBADIAN BERSASTRA DI DARUL AMAN

 

B
anyak penulis berpikir bahwa menulis adalah pekerjaan gampang. Hanya tinggal menghidupkan komputer, membuka microsoft word, kemudian menuliskan ide-ide segar yang ada dalam pikiran. Terutama bagi penulis yang yang bergiat dalam ranah sastra. Menulis dengan wawasan sastra inilah yang disebut kemudian dengan nama: pengarang. Pengarang sastra. Baik bergenre puisi, cerpen, bahkan novel sekalipun. Namun, di balik itu semua tahukah seorang penulis akan wawasan mengenai tulisannya?
Demikian yang dikemukakan oleh Arie A. Nasution ketika Omong-Omong Sastra di Darul Aman beberapa waktu yang lalu (17/2/13). Bersama Muharrina Harahap, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra.
Senada dengan Arie, Muharrina juga  mempersoalkan bagaimana proses kreatif Mahasiswa dalam bersastra. Persoalan Wawasan dalam bersastra menjadi pembicaraan yang asyik ketika kita masuk ke dalam wilayah pemahamannya. Hal ini mengingatkan saya tentang pembahasan sastra oleh Lustantini Septiningsih, yang mengatakan bagaimana pentingnya sastra sebagai media mengoptimalkan pembentukan karakter bangsa.
Mahasiswa (sastra) sebagai bagian dari masyarakat adalah ujung tombak ke depan bagaimana sastra ini tersosialisasi, sekaligus memiliki kemampuan sebagai pembawa pesan bagaimana sastra mampu membentuk karakter bangsa menjadi lebih baik.   
Sikap hidup pragmatis dari sebagian besar masyarakat Indonesia dewasa ini mengakibatkan terkikisnya nilai luhur budaya bangsa. Demikian pula budaya kekerasan dan anarkisme sosial turut memperparah kondisi sosial budaya bangsa Indonesia. Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius seakan terkikis dan tereduksi gaya hidup instan dan modern.
Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para demonstran yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar, dalam berunjuk rasa yang ditayangkan di televisi. Fenomena itu dapat menjadi representasi melemahnya karakter bangsa ini, yang terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi mulia.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, situasi yang demikian itu jelas tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, cendekia, berbudi pekerti luhur, berderajat mulia, berperadaban tinggi, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan yang Maha Esa.
Oleh karena itu, dibutuhkan paradigma pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada karakter bangsa, yang tidak sekadar memburu kepentingan kognitif (pikir, nalar, dan logika), tetapi juga memperhatikan dan mengintegrasi persoalan moral dan keluhuran budi pekerti. Hal itu sejalan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan kejiwaan yang berorientasi pada pembentukan karakter bangsa itu dapat diwujudkan melalui pengoptimalan peran sastra. Untuk membentuk karakter bangsa ini, sastra diperlakukan sebagai salah satu media atau sarana pendidikan kejiwaan. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Banyak pilihan genre sastra yang dapat dijadikan sarana atau sumber pembentukan karakter bangsa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:623) menjelaskan bahwa karakter adalah sifat atau ciri kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Karakter merupakan nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Karakter juga merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat suatu keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.
Berkaitan dengan karakter, Saryono (2009:52—186) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa.
Genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis adalah genre sastra yang mengandung nilai keindahan, keelokan, kebagusan, kenikmatan, dan keterpanaan yang dimungkinkan oleh segala unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Dalam idiom estetis Jawa Kuno, genre sastra yang mengandung nilai literer-estetis disebut kalangwan (Zoetmulder, 1985).
Karya sastra klasik atau karya sastra yang menjadi sastra kanon (belle lettres) mengandung nilai literer-estetis. Misalnya, puisi Taufiq Ismail (2008a) yang terkumpul dalam Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1 Himpunan Puisi 1953—2008 mengandung nilai literer-estetis dengan seperangkat peranti puitis (diksi, rima, alur, gaya, majas, tema, dan amanat) yang terpadu secara baik.
Dengan nilai literer-estetis yang termuat dalam sastra kanon tersebut, diharapkan karakter bangsa yang terbentuk adalah insan Indonesia yang memiliki rasa keindahan, ketampanan, dan keanggunan dalam berpikir, berkata, dan berperilaku sehari-hari.
Genre sastra yang mengandung nilai humanistis adalah genre sastra yang mengandung nilai kemanusiaan, menjunjung harkat dan martabat manusia, serta menggambarkan situasi dan kondisi manusia dalam menghadapi berbagai masalah. Kisah klasik Ramayana dan Mahabarata, misalnya, menyajikan berbagai pengalaman hidup manusia, seperti tragedi, maut, cinta, harapan, loyalitas, kekuasaan, makna dan tujuan hidup, serta hal yang transendental.
Nilai kemanusiaan yang begitu tinggi dalam karya sastra klasik tersebut sering ditulis ulang (direproduksi) oleh penulis kemudian. Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata (1983) dan Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Aji Darma (2004) ditulis berdasarkan kisah Ramayana yang penuh nilai kemanusiaan tersebut. Kehadiran karya sastra semacam itu diharapkan dapat membentuk kearifan budaya bangsa Indonesia yang memiliki rasa perikemanusiaan yang adil, beradab, dan bermartabat.
Genre sastra yang mengandung nilai etis dan moral dalam karya sastra mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan moral, misalnya Ramayana, Mahabarata, Wulangreh (Pakubuana IV), Wedhatama (Mangkunegara IV), dan Kalatidha (R.Ng. Ranggawarsito), sudah dianggap sebagai penyimpan dan perawat norma etis dan moral yang ideal bagi masyarakat. Simpanan dan rawatan norma etis dan moral tersebut dapat dijadikan wahana pembentukan karakter bangsa yang lebih mengutamakan etika dan moral dalam bersikap dan bertindak sehari-hari.
Sastra religius-sufistis-profetis adalah genre sastra yang menyajikan pengalaman spiritual dan transendental. Genre sastra yang demikian itu telah lama ada sehingga Mangunwijaya (1982) menyatakan bahwa pada awalnya semua karya sastra adalah religius. Semua sastra pada awalnya digunakan sebagai sarana berpikir dan berzikir manusia akan kekuasaan, keagungan, kebijaksanaan, dan keadilan Tuhan yang Maha Esa.
Kerinduan manusia kepada Tuhan, bahkan hubungan kedekatan manusia dengan Tuhan, telah lama ditulis dalam karya sastra para sufi, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri, Al Halaj, Amir Hamzah, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, dan Danarto. Taufiq Ismail (2008b) dalam bukunya, Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 4 Himpunan Lirik Lagu 1972—2008, telah menulis ratusan sajak religius-sufistis-profetis, termasuk 23 balada para nabi dan rasul, yang dinyanyikan oleh Bimbo, Haddad Alwi, Armand Maulana, Gita Gutawa, dan Chrisye. Kehadiran sastra tersebut dapat membentuk karakter bangsa Indonesia sebagai insan yang religius, penuh rasa berbakti, beriman, dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menjadikan sastra sebagai pembentukan karakter bangsa, tidak serta-merta hal itu dapat terwujud. Untuk mengoptimalkan peran sastra tersebut, kemauan apresiator sangat menentukan keberhasilan. Apabila apresiator tidak memiliki kemauan, segan membaca dan mengapresiasi karya sastra, bahkan sekadar membaca dan setelah itu dilupakan, tentu sulit diharapkan sastra mampu secara optimal berperan membentuk karakter bangsa.
Sebaliknya, apabila ada kemauan yang teguh dari seorang apresiator untuk berapresiasi secara total dan optimal, setelah sastra dibaca, lalu dipahami maknanya, dimengerti, dan selanjutnya dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, tentu karakter bangsa akan terbentuk sesuai dengan nilai kebajikan yang termuat dalam sastra. Karakter bangsa yang diharapkan terbentuk adalah terjalinnya harmoni hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, makhluk lain, dan dirinya sendiri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar