Ini tentang
Imajinasi (2)
T
|
ulisan
ini adalah bentuk apresiasi saya terhadap imajinasi mahasiswa saya, Alkausar R.
Sinulingga atau yang memiliki nama pena Araska Sastranegara Sinulingga. Awalnya
tak ada terpikir untuk melanjutkan tulisan terdahulu yang berjudul “Ini tentang
Imajinasi” yang dimuat di media ini pada Sabtu, 29 Desember 2012. Namun,
setelah si Araska – demikian saya suka memanggilnya- menuntaskan janjinya pada
saya untuk mengisahkan awal mula lahirnya puisi dia yang berjudul “Menantimu”, benarlah bahwa dia memang
melibatkan saya dalam proses kreatif pembuatan puisi lembut tersebut.
Setelah perbincangan kami pada
Senin, 14 Januari 2013, saya merasa perlu mendiskusikan kembali arah puisi
“Menantimu” sebab beberapa jam kemudian ada debat pendapat yang
menghantam-hantam benak. Pendapat yang sepertinya dia harus tahu. Mengapa saya
mesti mendebatkannya di benak saya sendiri? karena puisi ini terilhami dari
novelet saya yang belum lama ini diluncurkan di auditorium Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara, “Jus Alpukat”, sehingga saya merasa perlu mengungkapkannya agar
ia bisa membawa ungkapan saya ini saat ia akan atau telah menjadi pencinta
sastra yang hebat.
Ada baiknya untuk menyegarkan
ingatan pembaca, saya akan melampirkan kembali puisi “Menantimu” karya Araska
Sastranegara Sinulingga.
Menantimu
Inginku
pelajari bait-bait kata yang kau kirim padaku lewat rindu
Sebab,
aku ingin mengeja makna isyarat mata terakhir kita berpandang dahulu
Setelah
sekian lama kita direnggut gelombang waktu yang jemu
Terpisah
jarak dua benua: Australia-Indonesia
We,
kutahu kau takkan biarkan potongan-potongan waktu menghempas rindu
Lewat
sorot di hitam kekal matamu meninggalkan aku
Mata
yang berkata bahwa kau kan kembali tepat waktu
Ketika
cintaku telah mapan menafkahimu
Saya akan membedah tiap larik, apakah puisi ini mewakili kisah gadis
berkulit asia yang bernama Ainaya yang dipenasari oleh seorang suvervisor hotel
bernama Firsal atau bukan? Kita perhatikan larik pertama:
“Inginku
pelajari bait-bait kata yang kau kirim padaku lewat rindu”
Saat
Ainaya pergi meninggalkan Indonesia tak ada sepatah dua patah kata pun yang
diucapkan olehnya meski Firsal sudah berpatah-patah kata untuk mencegahnya agar
jangan pergi meninggalkan Medan, Indonesia. Kecuali sebuah perkataan, “Obati
memar wajahmu dengan jus alpukat.” Hanya itu.
Pun
ketika Ainaya sudah masuk di ruang tunggu, hanya tinggal menunggu lepas landas
ke benua tetangga, tiba-tiba Firsal meneleponnya dan mengatakan bahwa ayahnya
masuk rumah sakit karena shock berat
ditinggal Ainaya. Lagi-lagi Firsal melobi dengan patahan-patahan kalimatnya
agar Ainaya tidak pergi meninggalkan ayah tirinya yang sangat menyayangi dan
mengharapkannya agar tetap berada di sampingnya dan lagi-lagi Ainaya tak ada berkata,
sekadar berkata “hallo” pun Ainaya tak bersedia. Yang ada hanya hening. Lantas,
di manakah alasan bait-bait kata rindu itu terbit? Apanya yang rindu?
“Sebab,
aku ingin mengeja makna isyarat mata terakhir kita berpandang dahulu
Setelah
sekian lama kita direnggut gelombang waktu yang jemu”
Ainaya
adalah seorang gadis yang gila belajar dan terkesan angkuh. Dia “dingin”
sekali. Jika dia mau melihat seseorang dengan matanya yang indah itu adalah hal
yang sangat ajaib. Ketika di pintu masuk keberangkatan luar negeri, dia sama
sekali tak menatap Firsal yang mencegahnya agar jangan pergi. Dia tetap memaku
matanya pada sebuah pandangan dan pandangan itu bukan ke arah Firsal. Jika pun
Firsal ingin mengeja makna mata Ainaya yang ada hanyalah hampa.
Kemudian,
Firsal dan Ainaya baru bertemu beberapa minggu saat setahun setelah Ainaya berhasil menamatkan studinya di Melbourne,
Australia. Lalu, mengapa Araska memakai kata waktu di sini?
“Terpisah
jarak dua benua: Australia-Indonesia”
Potongan
larik ini dapatlah diterima karena memang Ainaya lima tahun berada di Australia
dan dia kembali lagi ke Australia dengan rencana akan melanjutkan studinya ke
jenjang master. Dia lebih memilih meneruskan hobinya belajar dan menulis novel.
Tapi jarak tak ada masalah jika Ainaya tak punya rasa apa-apa. Yang menjadi
permasalahan adalah buat Firsal yang menetap di Indonesia.
“We,
kutahu kau takkan biarkan potongan-potongan waktu menghempas rindu”
Terlalu
percaya diri sekali Firsal karena merasa sok dirindu, sementara Ainaya tidak
punya rasa itu. Yang ada hanya rasa tak begitu suka pada Firsal karena Firsal
hadir ke dunia sebagai pria yang terlampau ramah untuk membagi wajah senyumnya
ke siapa saja dan ke waktu apa saja. Senyum Firsal tidak proporsional.
Seharusnya Firsal membagi senyum istimewanya untuk seseorang saja, bukan untuk
semua orang yang berpandang. Begitu menurut Ainaya.
“Lewat
sorot di hitam kekal matamu meninggalkan aku
Mata
yang berkata bahwa kau kan kembali tepat waktu”
Dari
mana asal muasal Firsal bisa menyimpulkan bahwa Ainaya akan kembali? Ainaya
yang saya ciptakan adalah gadis yang suka fotografi, suka mendesain busana,
suka menulis, yang ingin sekali meninggalkan Indonesia dalam waktu yang lama
dan malah ia tak ingin kembali ke Indonesia lagi karena ada orang yang tak
menginginkan keberadaannya dan ia ingin menjauh dari cinta lamanya. Dista.
“Ketika
cintaku telah mapan menafkahimu”
Lagi-lagi
Firsal terlalu “gede rasa”. Ada kata “cinta” di larik Araska. Ini menunjukkan
si Firsal adalah orang yang terlalu gampang menyebut kata cinta. Cinta itu
sangat sakral, kata cinta jangan diobral, kesannya sangat murahan. Jika sudah
begitu, dia akan menjadi sebuah kata yang gampang dijual dan dibeli oleh siapa
saja, sehingga cinta tak lagi menempati posisinya yang agung.
Ini ulasan
apresiasi saya. Meski begitu, saya sama sekali tak mematahkan puisi karya
Araska, yang ada malah saya bangga. Kehadiran “Jus Alpukat” justru mampu
mengundang imajinasinya untuk menyalakan api baru dalam dunia kepenulisannya,
mampu membuatnya menelurkan karya-karya yang lain, mampu menggerakkan hatinya
untuk mencipta, dan membangkitkan dunia imajinasinya hingga berwujud. Maka
benarlah yang dikatakan oleh Mohammad Diponegoro –pemenang Sayembara Menulis
Dewan Kesenian Jakarta 1975- bahwa dunia menulis adalah alam di dasar karang,
makin dalam kita menyelam dengan minat tajam, maka makin asik dan terpukau kita
oleh keindahan dan kekayaannya. Semakin banyak “membaca” maka akan semakin
mendapatkan referensi imajinasi baru dan segar dalam penciptaan karena memang
dunia sastra tetap membutuhkan imajinasi dan sensitivitas yang tinggi.
Toh,
anak muda Sidikalang ini memunculkan nama baru, tokoh baru, alur baru, dan
kisah baru dalam “Menantimu”. Meski lagi-lagi saya terus memunculkan tanda
tanya baru, mengapa dia memilih nama si We? Pendek sekali nama ini. Sebuah nama
yang hadir di teater of mind saya
adalah seorang gadis yang berperawakan dan berkarakter tak jauh berbeda dengan
Ainaya yang membuat pria yang melihatnya ingin tahu tentang dia.
Puisi
yang terdiri atas delapan larik ini ternyata dibuatnya dalam sekejap saja, tak
membutuhkan banyak waktu berjam-jam apalagi berhari-hari. Ternyata pula lahir
dari informasi yang saya utarakan di kelas tentang novelet baru saya berjudul
“Jus Alpukat”: setting Indonesia dan Australia, Ainaya gadis yang punya sorot
mata tajam, dia cantik, suka belajar, terkesan angkuh, dan banyak pria yang
menyukainya. Sepertinya informasi itu hanya demikian, sangat singkat saya
utarakan. Sehingga wajar jika ada yang tak menyambung antara isi novelet karya
saya dengan puisi karyanya. Intinya puisi “Menantimu” punya warna baru meski
lahir karena terinspirasi dari karya lain.
Sejak
perbincangan di tanggal 14 Januari itu pula saya menjadi sedikit tahu proses
kreatif menulisnya bahwa karya-karya manisnya sebagian besar lahir dari
mendengar meski belum membacanya hingga selesai karena ketika itu “Jus Alpukat”
belum beredar.
“Araska,
saya tunggu diskusi sastra kita lagi. Si We-mu itu tampaknya akan menggemparkan
Medan.” ***
Penulis
adalah dosen FKIP UMSU, memiliki nama pena Win RG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar