Sabtu, 02 Februari 2013

ESAI : Winarti



Ini tentang Imajinasi (2)

 

T
ulisan ini adalah bentuk apresiasi saya terhadap imajinasi mahasiswa saya, Alkausar R. Sinulingga atau yang memiliki nama pena Araska Sastranegara Sinulingga. Awalnya tak ada terpikir untuk melanjutkan tulisan terdahulu yang berjudul “Ini tentang Imajinasi” yang dimuat di media ini pada Sabtu, 29 Desember 2012. Namun, setelah si Araska – demikian saya suka memanggilnya- menuntaskan janjinya pada saya untuk mengisahkan awal mula lahirnya puisi dia yang berjudul  “Menantimu”, benarlah bahwa dia memang melibatkan saya dalam proses kreatif pembuatan puisi lembut tersebut.
            Setelah perbincangan kami pada Senin, 14 Januari 2013, saya merasa perlu mendiskusikan kembali arah puisi “Menantimu” sebab beberapa jam kemudian ada debat pendapat yang menghantam-hantam benak. Pendapat yang sepertinya dia harus tahu. Mengapa saya mesti mendebatkannya di benak saya sendiri? karena puisi ini terilhami dari novelet saya yang belum lama ini diluncurkan di auditorium Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, “Jus Alpukat”, sehingga saya merasa perlu mengungkapkannya agar ia bisa membawa ungkapan saya ini saat ia akan atau telah menjadi pencinta sastra yang hebat.
            Ada baiknya untuk menyegarkan ingatan pembaca, saya akan melampirkan kembali puisi “Menantimu” karya Araska Sastranegara Sinulingga.
           
Menantimu
           
Inginku pelajari bait-bait kata yang kau kirim padaku lewat rindu
            Sebab, aku ingin mengeja makna isyarat mata terakhir kita berpandang dahulu
            Setelah sekian lama kita direnggut gelombang waktu yang jemu
            Terpisah jarak dua benua: Australia-Indonesia
            We, kutahu kau takkan biarkan potongan-potongan waktu menghempas rindu
            Lewat sorot di hitam kekal matamu meninggalkan aku
            Mata yang berkata bahwa kau kan kembali tepat waktu
            Ketika cintaku telah mapan menafkahimu

            Saya akan membedah tiap larik, apakah puisi ini mewakili kisah gadis berkulit asia yang bernama Ainaya yang dipenasari oleh seorang suvervisor hotel bernama Firsal atau bukan? Kita perhatikan larik pertama:
            “Inginku pelajari bait-bait kata yang kau kirim padaku lewat rindu”
            Saat Ainaya pergi meninggalkan Indonesia tak ada sepatah dua patah kata pun yang diucapkan olehnya meski Firsal sudah berpatah-patah kata untuk mencegahnya agar jangan pergi meninggalkan Medan, Indonesia. Kecuali sebuah perkataan, “Obati memar wajahmu dengan jus alpukat.” Hanya itu.
            Pun ketika Ainaya sudah masuk di ruang tunggu, hanya tinggal menunggu lepas landas ke benua tetangga, tiba-tiba Firsal meneleponnya dan mengatakan bahwa ayahnya masuk rumah sakit karena shock berat ditinggal Ainaya. Lagi-lagi Firsal melobi dengan patahan-patahan kalimatnya agar Ainaya tidak pergi meninggalkan ayah tirinya yang sangat menyayangi dan mengharapkannya agar tetap berada di sampingnya dan lagi-lagi Ainaya tak ada berkata, sekadar berkata “hallo” pun Ainaya tak bersedia. Yang ada hanya hening. Lantas, di manakah alasan bait-bait kata rindu itu terbit? Apanya yang rindu?
            “Sebab, aku ingin mengeja makna isyarat mata terakhir kita berpandang dahulu
            Setelah sekian lama kita direnggut gelombang waktu yang jemu”
            Ainaya adalah seorang gadis yang gila belajar dan terkesan angkuh. Dia “dingin” sekali. Jika dia mau melihat seseorang dengan matanya yang indah itu adalah hal yang sangat ajaib. Ketika di pintu masuk keberangkatan luar negeri, dia sama sekali tak menatap Firsal yang mencegahnya agar jangan pergi. Dia tetap memaku matanya pada sebuah pandangan dan pandangan itu bukan ke arah Firsal. Jika pun Firsal ingin mengeja makna mata Ainaya yang ada hanyalah hampa.  
Kemudian, Firsal dan Ainaya baru bertemu beberapa minggu saat setahun setelah Ainaya  berhasil menamatkan studinya di Melbourne, Australia. Lalu, mengapa Araska memakai kata waktu di sini?
“Terpisah jarak dua benua: Australia-Indonesia”
Potongan larik ini dapatlah diterima karena memang Ainaya lima tahun berada di Australia dan dia kembali lagi ke Australia dengan rencana akan melanjutkan studinya ke jenjang master. Dia lebih memilih meneruskan hobinya belajar dan menulis novel. Tapi jarak tak ada masalah jika Ainaya tak punya rasa apa-apa. Yang menjadi permasalahan adalah buat Firsal yang menetap di Indonesia.
“We, kutahu kau takkan biarkan potongan-potongan waktu menghempas rindu”
Terlalu percaya diri sekali Firsal karena merasa sok dirindu, sementara Ainaya tidak punya rasa itu. Yang ada hanya rasa tak begitu suka pada Firsal karena Firsal hadir ke dunia sebagai pria yang terlampau ramah untuk membagi wajah senyumnya ke siapa saja dan ke waktu apa saja. Senyum Firsal tidak proporsional. Seharusnya Firsal membagi senyum istimewanya untuk seseorang saja, bukan untuk semua orang yang berpandang. Begitu menurut Ainaya.
“Lewat sorot di hitam kekal matamu meninggalkan aku
Mata yang berkata bahwa kau kan kembali tepat waktu”
Dari mana asal muasal Firsal bisa menyimpulkan bahwa Ainaya akan kembali? Ainaya yang saya ciptakan adalah gadis yang suka fotografi, suka mendesain busana, suka menulis, yang ingin sekali meninggalkan Indonesia dalam waktu yang lama dan malah ia tak ingin kembali ke Indonesia lagi karena ada orang yang tak menginginkan keberadaannya dan ia ingin menjauh dari cinta lamanya. Dista.
“Ketika cintaku telah mapan menafkahimu”
Lagi-lagi Firsal terlalu “gede rasa”. Ada kata “cinta” di larik Araska. Ini menunjukkan si Firsal adalah orang yang terlalu gampang menyebut kata cinta. Cinta itu sangat sakral, kata cinta jangan diobral, kesannya sangat murahan. Jika sudah begitu, dia akan menjadi sebuah kata yang gampang dijual dan dibeli oleh siapa saja, sehingga cinta tak lagi menempati posisinya yang agung.
Ini ulasan apresiasi saya. Meski begitu, saya sama sekali tak mematahkan puisi karya Araska, yang ada malah saya bangga. Kehadiran “Jus Alpukat” justru mampu mengundang imajinasinya untuk menyalakan api baru dalam dunia kepenulisannya, mampu membuatnya menelurkan karya-karya yang lain, mampu menggerakkan hatinya untuk mencipta, dan membangkitkan dunia imajinasinya hingga berwujud. Maka benarlah yang dikatakan oleh Mohammad Diponegoro –pemenang Sayembara Menulis Dewan Kesenian Jakarta 1975- bahwa dunia menulis adalah alam di dasar karang, makin dalam kita menyelam dengan minat tajam, maka makin asik dan terpukau kita oleh keindahan dan kekayaannya. Semakin banyak “membaca” maka akan semakin mendapatkan referensi imajinasi baru dan segar dalam penciptaan karena memang dunia sastra tetap membutuhkan imajinasi dan sensitivitas yang tinggi.
Toh, anak muda Sidikalang ini memunculkan nama baru, tokoh baru, alur baru, dan kisah baru dalam “Menantimu”. Meski lagi-lagi saya terus memunculkan tanda tanya baru, mengapa dia memilih nama si We? Pendek sekali nama ini. Sebuah nama yang hadir di teater of mind saya adalah seorang gadis yang berperawakan dan berkarakter tak jauh berbeda dengan Ainaya yang membuat pria yang melihatnya ingin tahu tentang dia.
Puisi yang terdiri atas delapan larik ini ternyata dibuatnya dalam sekejap saja, tak membutuhkan banyak waktu berjam-jam apalagi berhari-hari. Ternyata pula lahir dari informasi yang saya utarakan di kelas tentang novelet baru saya berjudul “Jus Alpukat”: setting Indonesia dan Australia, Ainaya gadis yang punya sorot mata tajam, dia cantik, suka belajar, terkesan angkuh, dan banyak pria yang menyukainya. Sepertinya informasi itu hanya demikian, sangat singkat saya utarakan. Sehingga wajar jika ada yang tak menyambung antara isi novelet karya saya dengan puisi karyanya. Intinya puisi “Menantimu” punya warna baru meski lahir karena terinspirasi dari karya lain.
Sejak perbincangan di tanggal 14 Januari itu pula saya menjadi sedikit tahu proses kreatif menulisnya bahwa karya-karya manisnya sebagian besar lahir dari mendengar meski belum membacanya hingga selesai karena ketika itu “Jus Alpukat” belum beredar.
“Araska, saya tunggu diskusi sastra kita lagi. Si We-mu itu tampaknya akan menggemparkan Medan.”  ***




Penulis adalah dosen FKIP UMSU, memiliki nama pena Win RG.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar