AGAMA DAN
MODERNISASI
D
|
unia modern terdapat di setiap
Negara. Namun dalam banyak bagian di dunia ini, negara dan bangsa yang hidup
berdampingan sering mengalami kekhawatiran satu sama lain. Banyak negara,
seperti Jepang, mengklaim terdiri dari satu suku bangsa guna memiliki satu
identitas nasional yang menggabungkan semuanya.
Namun klaim
ini biasanya terjadi karena adanya
perbedaan identitas kepentingan secara nasional sebagaimana dipikirkan
orang-orang keturunan Jepang dan Korea, atau bagian besar dari
kelompok minoritas Kristen maupun Muslim di negara itu.
Di
negara-negara lainnya, seperti Sri Langka, Turki maupun Bosnia,
sebagian besar kelompok minoritas berjuang menciptakan pemisahan diri mereka
dari negara-bangsa. Banyak negara pula, seperti Indonesia dan Amerika Serikat,
menekankan adanya keharmonisan di antara perbedaan agama dan kelompok etnik.
Kenyataan,
rata-rata kelompok di negara tersebut saling berebut menguasai identitas nasional. Identitas agama beserta
perbedaannya sering berada di dalam berbagai perdebatan dan bahkan
dipertentangkan.
Dalam berbagai
peristiwa, banyak negara di dunia yang menggabungkan beberapa kekuatan
komunitas agama besar dan pluralisme
keberagamaan ini bertambah meningkat. Kelompok Muslim menjadi meningkat di
antara banyaknya kelompok minoritas meski mereka tidak pernah memainkan peran
publik.
Di Amerika
Serikat, misalnya, mereka menyiapkan diri lebih banyak berkuasa daripada
orang-orang Episcopalian. Bahkan,
komunitas Muslim ini diharapkan dapat menyusul orang-orang Yahudi yang terlebih
dahulu ‘menguasai’ negeri Paman Sam itu.
Di Perancis,
kaum Muslim membentuk kekuatan besar kedua kelompok agama setelah Katholik.
Sedangkan Kristen Protestan dengan cepat meningkat menguasai Jepang dan Brazil, seperti
di negara-negara lainnya.
Keberagaman keagamaan menunjukkan
ketajamannya dan acap kali memecahkan sejumlah pertanyaan mengenai kehidupan
publik suatu bangsa. Berkaitan itu, berbagai persoalan patut dipertanyakan
untuk menguji kekuatan keberagaman keagamaan (pluralistas agama) itu di dalam
Negara-negara modern hari ini.
Beberapa
pertanyaan yang perlu dilontarkan, di antaranya, apakah kontribusi yang
dihasilkan pluralitas keagamaan itu dalam kebijakan publik dan kehidupan
sosial? Dapatkah mempersatukan identitas bangsa yang berdampingan di depan umum
terjadi dalam agama yang berbeda?
Jika bisa,
dapatkah negara menghindari keberpihakan kepada satu agama daripada yang agama
lainnya? Dari manakah menyeleksi satu di antara banyak elemen, yang
memperhatikan moralitas dan keabsahan suatu keadaan yang umum terjadi?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut memfokuskan pada masalah kebijakan publik; sedangkan pertanyaan yang lain berupa masalah
studi empirik. Misalnya, apakah langkah-langkah, jika banyak, kelompok-kelompok
minoritas agama berbuat menyesuaikan diri dari model-model agama maupun budaya
bangsa?
Bagaimanakah
tingkat perjuangan kaum minoritas dapat memperoleh pengakuan seperti kebenaran
beragama dan berbudaya? Apakah perubahan yang terjadi di dalam doktrin agama,
atau secara praktis, dalam batas-batas pengakuan bersama anggota-anggota
kelompok mereka dan lainnya?
Dalam perebutan kursi nomor satu di Sumatera Utara
saat ini, politisasi keagamaan tampaknya tak terhindarkan. Kemunculannya secara
laten dapat memengaruhi stabilitas suara yang diperebutkan. Nah, mampukah suara
minoritas meringsek pertahanan kaum mayoritas untuk memimpin provinsi 12,9 juta
jiwa ini? ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar