Sabtu, 26 Januari 2013

CORONG : Suyadi San


 SOSIAL KEAGAMAAN DALAM PEMILUKADA


G
ENDERANG pertarungan politik pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Sumatera Utara tahun 2013 terus ditabuh. Meski jadwal kampanye belum ada, masing-masing kontestan sudah memraktikkannya. Penyelenggara pemilu tampaknya membiarkan hal itu.
Tak heran, tiap sudut kota, jalan dan gang, lorong dan kampung, deretan alat peraga  terpampang jelas. Kalau dimaksudkan sekadar sosialisasi pemilukada oleh para kontestan, boleh-boleh saja, demi meminimalisasi pemilih. Kalau malah menimbulkan antipati sehingga warga memboikot alias memilih golput? Wah, wah, wah…. Adakah itu dipikirkan mereka.
Kampanye hitam nyaris terang-benderang terjadi. Kubu yang ini, memburukkan kubu yang itu. Polarisasi bakal tak terhindarkan. Namun, bentuknya seperti udara : ada tapi tak terkata. Contoh terparah adalah munculnya sentimen keagamaan : ‘jangan pilih yang ini, sebab agamanya yang itu’. Ah!
Sebagaimana diketahui, empat orang Muslim akan saling bersikut menuju Sumut 1. Mereka yaitu Gus Irawan Pasaribu, Chairuman Harahap, Amri Tambunan, dan Gatot Pujo Nugroho. Mereka tak lupa menambahi nama mereka dengan huruf H (baca : Haji).  Sementara, Effendi Muara Sakti Simbolon dari non-Muslim membayangi perebutan kursi gubernur Sumatera Utara 2013-2018.
Andai pemilukada berlangsung berdasar latar belakang agama, maka masing-masing tokoh Muslim (Pasaribu, Harahap, Tambunan, Nugroho) akan mendapatkan 16,36 persen suara dari 12,9 juta jiwa warga Sumatera Utara. Simbolon akan meraih 31,40 persen. Sisanya sebesar 3 persen (Budha, Hindu, keyakinan lain) bisa menambahi suara mereka.
            Dalam konteks sosiologi, terdapat beberapa cara pandang terhadap peristiwa sosial-keagamaan. Pertama, pandangan politis yang melihat bahwa dinamika sosial yang terjadi digerakkan oleh persatuan kelompok sosial untuk memperebutkan kekuasaan.
Serangkaian peraturan, hukum, pertempuran, sanksi sosial, ternyata dimaksudkan untuk memerebutkan hegemoni politik atas yang lain. Agama menjadi bagian dari perebutan ini. Pemilukada Sumut kali ini tampaknya mengapungkan sentimen agama dan etnis untuk berebut kekuasaan.
Kedua, sudut pandang geografis. Mazhab ini ingin menjelaskan bahwa karakter dan perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh kondisi fisiknya. Karenanya, ajaran agama akan sangat dipengaruhi oleh lingkungannya : apakah ia lahir dan berkembang di daerah padang pasir, pertanian, pegunungan, daerah kutub, atau perkotaan? Apakah ia tumbuh di daerah damai atau perang, wilayah subur ataukah miskin?
Semua itu dianggap menentukan perilaku sosial masyarakat dan alam pikiran yang muncul. Dalam kasus pemilukada, adakah umat non-Muslim memilih calon Muslim atau sebaliknya. Apalagi, ada dua pasangan pelangi : Effendi Simbolon-Djumiran Abdi dan Amri Tambunan-R.E.Nainggolan.
            Ketiga, cara pandang Marxian yang melihat fenomena agama dari pola aktivitas ekonomi. Apakah ekonomi sebuah masyarakat tergolong pada mode pertanian, perdagangan, industri, kapitalisme ataukah sosialisme, kondisi ini sangat memengaruhi cara berpikir dan bertindak seseorang serta institusi sosial yang ada.
Lihat saja bagaimana perilaku calon yang memberikan “sesuatu” kepada orang lain yang bukan berasal dari latar belakang agamanya. Apalagi, kepada korban bencana alam semisal kebakaran, banjir atau sumbangan sosial lainnya. Ini jelas akan mendongkrak suara.
            Keempat, analisis Freudian yang berusaha menjelaskan bahwa perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh endapan bawah sadar akibat gejolak nafsu libido yang ditekan. Nafsu libido ini memiliki kekuatan dahsyat dan laten untuk mendapatkan penyaluran.
Fenomena ini bisa terlihat dari dampak tayangan televisi, internet, dan bahan-bahan cetakan yang menyajikan sadisme, pornografi, dan pornoaksi. Akibatnya, masyarakat Indonesia yang kelihatannya ramah dan religius ini, namun pada saat tertentu bisa demikian nekad. Hal ini yang perlu diwaspadai kontestan jika membawa isu sentimen keagamaan.
            Kelima, cara pandang historiko-filosofis yang mengatakan bahwa sebuah peradaban mengikuti hukum alam bagaikan pertumbuhan anak manusia. Ada masa kelahiran, pertumbuhan, puncak perkembangan, dan ada masa surut atau kematian. Hal ini dikembangkan aliran filsafat dan tradisi pemikiran Barat, dengan tokohnya Friedrich Hegel, Oswald Spengler, dan Arnold Toynbee.
Dalam kondisi pragmatis hari ini, peradaban Islam yang cemerlang harus terus berhadapan dengan globalisme yang membawa paham Marxian dengan segala macam kemudahan. Islam yang sangat ampuh menghempang perjuangan orientalis yang dibawakan Inggris dan Belanda masa kolonial, kini berhadapan dengan diri sendiri melalui media-media asing dan dunia maya-digital. Hm, Muslim vs Muslim akan kita lihat hasilnya.
            Keenam, teori teologi-eksistensialisme. Yakni, sebuah mazhab pemikiran yang menyatakan bahwa sejarah dan realitas sosial tak lebih dari eksistensi para tokoh elitenya. Di lingkungan teolog, pengaruh teori ini sangat kuat. Tak ayal, banyak calon yang berebut simpati tokoh pesantren, gereja, vihara, dan lainnya.
Ketujuh, pandangan Platonik-sufistik. Cara pandang yang lebih menekankan kebersihan spiritual dengan jalan menjauhi dunia. Panggung sejarah tak lebih dari mata rantai menuju dunia lain, mendekati Sang Pencipta alam semesta. Dunia adalah penjara, bagaikan tubuh yang memenjarakan ruh.
Menurut pandangan platonik-sufistik ini, tujuan akhir manusia adalah mencari kebahagiaan bersanding dengan Tuhan. Hati-hatilah dengan tipuan kegemerlapan dunia dengan segala bentuk dan manifestasinya, seperti harta, kedudukan, dan kekuasaan.  Aih…adakah yang meniru pandangan ini?
Begitulah kalau ada yang menggiring sentimen keagamaan dalam pemilukada kali ini. Semoga berguna.  ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar