Cerpen : R.Yulia
M
|
alam seperti tulang-tulang yang
menua dengan cepat. Menyisakan suara-suara aneh seperti berkeretak. Juga decap
mulut-mulut tak terlihat yang tengah sibuk mengunyah. Melumat cahaya bulan dan
menyimpannya di balik rerimbunan awan hitam yang murung. Pekat, tak lebih tak
kurang. Senyap, lembab. Bahkan jangkrik pun lupa mengerik
Aku
merapikan kembali tirai jendela yang barusan kusibak. Senyap dan gelap, tak
punya daya tarik untuk menahanku termangu di kusen dan mengintip keluar lebih
lama. Aku menggeser posisi sedikit ke kiri dan kembali berbaring, miring.
Pandanganku
jatuh. Lantai keramik di tengah malam begini, di tengah embusan pendingin
ruangan selama nyaris enam jam, tentulah sangat dingin. Aku dapat merasakannya,
meski berada di atas ranjang. Kemungkinan itu dengan segera menepikan keinginan
untuk beringsut. Kutarik kembali selimut hingga menutup ke pangkal leher.
Tak
lama, suara langkah yang diseret bergegas mendekati kamar. Aku buru-buru
mengatupkan mata dan memiringkan tubuh ke kanan, membelakangi pintu yang
sebentar lagi akan terkuak.
Pintu
dibuka perlahan. Aku menunggu. Pintu ditutup dan langkah-langkah berat mendekat
ke ranjang. Lalu, seseorang yang membaringkan tubuh beratnya di sampingku
membuat ranjang bergoyang sesaat.
"Kau
sudah tidur?" Hening. Aku enggan menjawab dan memilih tetap berpura-pura.
Namun, aku dapat merasakan tatapannya yang tertuju lurus ke wajahku.
"Baiklah,
aku juga akan tidur. Selamat malam."
Ranjang
kembali bergoyang seirama tubuh di sampingku yang menggeser posisi baringnya
Aku membuka mata. Ia memunggungiku.
Aku
menatap punggung telanjang itu. Punggung liat yang mengilap oleh keringat yang
tak lagi berbulir-bulir seperti dua jam sebelumnya. Kukira, keringat yang lekat
dan merembes perlahan ke seprai itu, juga bukan keringat yang kulihat dua jam
yang lalu. Kali ini hanya keringat tipis, yang barangkali didapatnya dari kamar
sebelah.
Aku
mengeluh perlahan, menyembunyikannya dalam-dalam ke bantal.
Ia
hanya setengah jam bersamaku, namun menghabiskan waktu empat kali lebih lama di
kamar sebelah. Aku menggigit bibir dengan kuat; berharap rasa sakit yang
mencekik hati dan menjalar hingga ke paru-paru, yang membuat nafasku tersumbat
dan punggung tanganku berkeringat,
lenyap!
Aku
memejamkan mata dan menyurukkan kepala semakin dalam ke bantal. Kusisakan
sedikit celah untuk hidungku. Aku masih ingin bernapas, tak ingin mati.
Setidaknya untuk saat ini.
Dua
jam lalu, ia di kamar ini. Di ranjang yang sekarang ia tiduri. Bersamaku. Kami
berhadapan dan saling memandang. Aku tersenyum. Dia juga. Ia menyentuh ujung
rambutku. Aku menghitung dalam derap nafas yang memburu. Kupandang ia dengan
berpundi-pundi rasa.
"Hari
ini kita tak punya lebih banyak waktu ketimbang kemarin." Suara itu
seperti dentang lonceng yang menggema dari jarak sedepa. Memekakkan telinga.
"Aku
tahu.."
"Lantas,
mengapa menghabiskan waktu hanya untuk saling berpandang?"
Diam.
Aku tak hendak menjawab. Demikian pula ia. Kukira lelaki itu mengerti apa yang
kuinginkan, ternyata tak. Ia melakukan apa yang memang selalu ia lakukan. Semua
berlangsung seperti kemarin, kemarin dan kemarinnya lagi. Tak ada yang berbeda.
Termasuk perasaanku, sebelum dan sesudahnya, yang dingin mengeras seperti
daging hamburger malang, yang kuabaikan cukup lama di lemari pembeku.
Kami
bercinta tanpa salam. Hanya selayang ciuman yang singgah di wajah dan lelaki
yang tergesa menjemput sudah. Dia, selalu tergesa, dibuntuti jarum jam yang
berdetak-detak gelisah dan kehilangan gairah. Dan semua selesai. Seperti biasa,
dalam beberapa kerjapan mata dan geledar jantung sesaat. Setelahnya, ia pergi
dengan ayun langkah berlomba menuju kamar sebelah. Aku, sendiri mendekap
geletar.
Semua
berjalan berulang di malam-malam berikut, hingga tubuhku gagu. Tak lagi bisa membedakan
antara kewajiban dan kenikmatan. Sama. Semua sama, tak lebih tak kurang.
Seperti menyesap secangkir kopi instan.
Lalu,
sesuatu terjadi di Jum'at pagi yang mendung. Ketika secangkir teh panas yang
barusan kuseduh, kuletakkan perlahan di atas tatakan. Sendok stainless
yang mengilap turut kusertakan. Kupandang dengan cermat. Sebutir gula yang
tertinggal di bibir cangkir, kujumput cepat. Secepat sebuah teriakan singgah ke
liang pendengaranku.
"Tiddaaaakkkk!!"
Parau. Suara itu seperti raungan gagak hitam yang pernah kulihat suatu ketika.
Entah di mana.
Aku
menoleh. Asalnya dari balik pintu kamar yang berada pada satu tarikan garis
lurus dari tempatku berpijak. Hatiku berdegup, menunggu. Gelisah, seperti katak
yang melompat-lompat.
Tak
hendak salah menduga, kubuka jendela lebar-lebar. Udara pagi yang lembab,
menjilat wajahku. Semilir angin menghela tarian di helai-helai rambutku. Semua
hal biasa, termasuk matahari yang masih terperangkap di belahan bumi lain.
Namun, ada sesuatu yang berbeda. Entah, apakah di perasaanku, di rumah ini atau
di pekarangan.
Sepi
ini tak biasa. Tak ada pagi yang selengang ini.
Bukan,
ini juga bukan tentang awan nimbus yang hadir mengusung gerimis. Teriakan tadi,
mengapa terhenti? Aku tertegun. Suara itu; suaranya. Tatapanku lurus menghujam
pintu kamar yang masih terkatup. Seseorang di dalam sana, tadi meraung parau.
Aku tercekat. Pikiranku tersesat. Perempuan itu ....
Perempuan
itu mati. Aku mendesis resah.
Ya, perempuan di kamar sebelah mati. Ia pergi
bersama waktu yang mengantar akad. Sudah masanya. Ia pergi dengan tangisan tak
terputus dari seorang lelaki. Lelakiku.
Aku
ikut terseret dalam pusaran kesedihan yang memerah airmata. Aku menangis, meski
tak merasa memiliki tautan bahkan getaran saat ia ada. Ia tak menginginkanku
sejak awal. Dan sebaliknya, aku tak terlampau berharap dan berusaha untuk
diterima. Aku menangis, dengan pikiran mengabut. Entah, entah untuk apa.
Tujuh
malam aku memeluknya, lelaki yang bersimbah airmata. Ia menangis di
dadaku, membanjiri bajuku dan ranjang
dengan penyesalan. Tujuh malam aku mendengarkan kisahnya, tentang perempuan di
kamar sebelah; yang rahimnya menjadi tempat bergelung sepanjang musim
pembentukan. Yang darahnya telah menumbuhkan daging dan menghidupkan seluruh
indera. Yang mengantarkannya menjadi lelaki pengisi ranjangku. Tujuh malam aku
berdendang lirih, merajut penghiburan, demi agar lelaki itu tertidur tanpa
mimpi. Karena mimpi hanya akan membuat airmatanya menitik dari celah pejaman.
Selepas
tujuh malam, waktu mengalir lebih bernyawa. Hidup. Aku merasa terlahir
bersamanya. Kami menghabiskan berjam-jam yang kami miliki. Di ranjang, sofa,
mobil dan kamar sebelah. Tawaku merekah senantiasa, seperti dipladenia di
beranda.
Namun,
semua hanya bertahan setahun. Kamar sebelah kembali berpenghuni. Seorang bayi
lelaki mungil yang beberapa masa sebelumnya menghuni rahimku. Bayi yang tak
pernah lelah menangis dan menjerit. Ia
pengisi kamar sebelah yang sangat dimanja, lebih dari penghuni sebelumnya.
Kamar itu berwarna, penuh dengan mainan beragam bentuk dan ukuran. Kamar itu
mengembalikan kesunyian yang dulu pernah memasungku.
Lelakiku
kembali sibuk. Ia menghabiskan waktu di kamar sebelah, berkali-kali lipat
lamanya. Ia tak mengizinkanku
untuk sekedar mengganti popok, terlebih bercanda lama dengannya. Tugasku hanya
berkaitan dengan satu hal yang tak bisa ia berikan, ASI.
Begitulah,
kami hanya bertemu saat bayi lelaki itu menyusu. Ia duduk di hadapanku dengan
wajah sumringah, bercahaya. Matanya dipenuhi pantulan kristal indah. Aku
menatapnya, tapi ia tidak. Pantulan kristal itu bertaut dengan binar yang
nyaris serupa di sosok mungil yang tengah berada di pangkuanku. Aku, menepi
dalam gamang.
Waktu
bergulir, dengan jutaan cerita yang hanya memuat aku sebagai peran
pendamping. Dua lelaki di rumah ini,
mereka bertumbuh bersama meski dengan kematangan usia yang berbeda. Mereka
berdua tertawa dan berbicara sepanjang waktu yang tersisa. Mereka bahkan tak
sempat melihat sulur-sulur putih yang mulai bersilang-tumbuh dengan rambut hitamku,
juga keriput halus di sudut mata. Mereka bicara, aku mendengar. Kata-kataku
hanyalah pengulangan jawaban, hari ke hari. Kalimatku kehilangan pikat dan
intonasi. Aku, menahun bertahan dan memilikinya nyaris utuh hanya selama lima
belas menit. Tak lebih, tak kurang.
Seorang
perempuan, ah ya...seorang perempuan. Ia hadir. Dan aku harus berterima kasih
untuk keberadaan perempuan itu. Tak begitu cantik, tak begitu ramah, juga tak
terlalu pintar. Tapi ia merenggut lelaki muda yang dua puluh lima tahun lalu menyusu
padaku. Ia mengosongkan kamar sebelah. Mengembalikan milikku; lelaki yang telah
membingkai wajahnya dengan janggut putih keperakan.
Tak
lama. Semua hanya bertahan semusim. Sepertinya nasibku adalah nasib yang tak
paham, tak mengenal kehendak tuan.
Kamar
sebelah, kembali berpenghuni. Perempuan. Ya, seorang perempuan. Lebih muda
sedikit dariku, lebih montok, lebih wangi dan lebih lama menahan suamiku di
kamar sebelah.
Ya..ya,
ini memang menjengkelkan. Meski perempuan itu, hadir atas restuku. Restu yang
keluar dari bibir dengan setengah putus asa.
"Menikahlah.." Kalimat itu meluncur
dengan kepahitan setara empedu. Kuteguk kembali dengan mata terpejam.
Ia
menatapku, terkesima.
"Kau
yakin, Sayang?"
Aku
mengangguk. Apalagi?
"Bawalah
ia ke rumah ini."
Sepasang
mata di depanku mencelat, bibirnya menganga.
"Kau
yakin, Sayang?"
Aku
mengangguk. Hatiku remuk dalam genggamannya yang hangat. Kubiarkan ia
mendekapku, membelai rambutku dan mengusap perlahan punggungku. Mungkin hanya
seperti ini saja lagi yang sanggup kami lakukan. Berdekapan. Aku sudah terlalu
uzur untuk melakukan ritual penyatuan raga. Tapi ia tidak.
Pagi
ini aku bangun lebih pagi. Setelah mandi, kusisir rambutku lamat-lamat seraya
memerhatikan detil wajah yang terpantul dalam cermin. Aku tersenyum, menarik
beberapa garis halus dari tepi-tepi bibir. Sepertinya, tak baik untukku
berlama-lama di depan cermin.
Kuseduh
teh di dalam poci dan menuangkan beberapa sendok gula ke dalamnya. Kuletakkan
poci di nampan, berikut tiga cangkir porselen putih. Aku menoleh ke pintu kamar
yang berada satu garis lurus dengan tempatku berpijak. Kudengar suara-suara
lirih dari baliknya. Aku mengembuskan nafas dan memutuskan untuk duduk,
menunggu.
"Aku
ingin pindah ke kamar belakang." kataku sembari menyesap teh.
Dua
pasang mata di depanku membundar. Aku mengangguk.
"Ya,
pindahlah ke kamar depan. Aku bosan di sana." Aku menujukan kalimat itu
pada sosok dalam jangkauan pandang. Perempuan itu.
"Tapi.."
"Tak
apa. Aku hanya butuh kamar yang tak terlampau luas." Selaku cepat, sebelum
lelaki di depanku menyelesaikan kalimatnya. Ah, ia telah melenyapkan cambang
dan kumisnya. Aku berlalu setelah menyelesaikan tegukan akhir, tak memberi
ruang untuk pertanyaan tambahan.
*****
Malam
seperti gemericik air di selokan depan, menenangkan. Aku tengadah di sisi
jendela, merasakan semilir angin yang menyusup ke pori-pori. Dingin, tapi
membuatku nyaman. Bulan ranum, membulat sempurna. Ah.., mengapa tak terpikir
sedari dulu? Batinku menggerutu.
"Tutuplah
jendela itu, Sayang. Sudah larut. Angin malam tak baik untukmu." Seseorang
dari balik punggungku menutup tirai. Lalu ia menuntunku ke ranjang. Kami
berjalan dengan lambat, menikmati setiap langkah gemetar yang terayun.
Kami
tiba di ranjang, berbaring bersisian dengan tangan saling menggenggam.
"Hari
ini kita memiliki lebih banyak waktu dari kemarin."
Aku
menoleh.
"Kenapa?"
Ia
menoleh, tak lama kemudian mengubah posisi baringnya menjadi miring.
Menghadapku.
"Entahlah.
Ranjang ini selalu membuatku ingin berlama-lama."
Aku
menyimpan senyum.
"Ranjang
ini membangkitkan kerinduan." Tatapannya melayang jauh. Jauh sekali.
Lelaki
di sampingku, melepaskan jemarinya dari genggaman. Ia menatapku lama, sebelum
mendekat dan berkata, "Hari
ini waktu kita tak terbatas pada pudarnya bulan atau terbitnya matahari,
Sayang." Aku terkekeh dalam hati seraya memejamkan mata. Mata lelakiku
juga terpejam. Matilah hari, mantraku mengapung di udara, seiring mendinginnya
udara tiba-tiba. Dingin. Semua dingin. Membekukan remah-remah bahagia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar