Cerpen : Rifan Nazhif
A
|
ku tak lagi menemukan
keceriaannya sejak sebulan lalu dia berkunjung ke rumahku. Kali itu tak ada
yang lebih mewah yang dapat kuhidangkan untuknya. Hanya setoples kacang kulit,
segelas air putih, dan musik saksepon yang sengaja kubiarkan bersuara halus
lembut memenuhi seantero ruang tamu.
Dia
mengatakan emaknya akan datang dari kampung ke kota ini dalam waktu tak kurang
empat bulan ke depan. Itulah yang membuat hatinya risau. Padahal sebagai
pendengar yang baik, aku merasakan ucapannya itu aneh. Emaknya akan datang dari
kampung.
Apa yang
mesti dirisaukan? Bukankah itu kebanggaan yang meletup-letup karena seorang
pejuang yang telah melindunginya sembilan bulan, melindungi dan membesarkannya
sehingga dewasa dan menikah, dan beranak pinak, akan datang memberikan
kehangatan? Sungguh bodoh dia menjadi risau. Kalau saja bisa bermohon, aku
berharap Emakku mengunjungiku setiap pekan. Tapi kau tahu itu tak bisa. Sangat
tak bisa. Emakku telah pergi menghadap-Nya sepuluh tahun lalu.
“Mungkin
kalau ada keajaiban, aku ingin Emak baru datang ke mari dua atau tiga tahun
lagi.” Mata lelaki itu berkaca-kaca. Dia adalah temanku yang kuceritakan
barusan. Namanya Son. Son Barlian tepatnya.
Aku mengupas
kulit kacang, kemudian menggeletukkan isinya di sela gigi. Kasihan sekali Son.
Tapi aku bingung bagaimana cara membantunya menghilangkan rasa risau itu. Risau
akan kedatangan Emaknya? Ah, ajaib. Sangat ajaib!
“Kenapa kau
berbicara demikian? Apa kau takut Emakmu melihat istrimu lebih subur dari saat
kau bawa dia ke kampung?”
Dia
menggeleng.
“Apa karena
anakmu nakal, dan takut dia akan menakali neneknya?”
“Sama sekali
tidak. Dia anak yang baik.”
“Lalu, apa
yang membuatmu risau sekali? Kedatangan seorang Emak adalah berkah dari Allah,
Son.”
Hari
berikutnya dia menemuiku dengan wajah lebih kusut dari hari pertama dia
mengutarakan rasa risaunya. Dia berniat meminjam uang. Jumlahnya lumayan besar,
apalagi bagiku yang sehari-harinya hidup dari honor tulisan dan royalti dari
sebuah novelku.
“Lima juta?”
“Iya, ada
keperluan untuk menyambut Emakku.”
“Memangnya
mau pesta segala?”
“Emakku akan
berangkat haji!”
“Oh, begitu.
Aku ingin membantu. Tapi kau tahu kondisi keuanganku, kan? Lagi pula aku sedang
menunggu kelahiran anakku yang nomor tiga.”
Dia pun tak
berbicara lagi.
Sesekali aku
kemudian bertemu dia ketika shalat Maghrib berjamaah di musholla. Dia hanya
menyapaku dengan senyuman yang sangat dipaksakan. Aku kemudian bertamu ke
rumahnya. Tapi dia tak ada. Kata istrinya, sejak pukul enam pagi, Son sudah
menghilang dari rumah. Pukul enam sore baru pulang. Kemudian bles, Son permisi ke musholla, lalu
pulang selepas Isya.
“Lalu
pekerjaannya sebagai tukang cuci motor di tempat cucian Mang Liban, bagaimana?”
Aku menatap istrinya yang hanya bisa tertunduk sedih.
“Aku tak
tahu. Mungkin dia tetap bekerja di sana, mungkin juga tidak. Dia sangat susah
diajak bicara belakangan ini.”
Aku sangat
merindukan Son yang dulu. Son yang selalu membawaku segudang kreativitas. Son
yang membuatku sangat bergairah ketika menulis cerita. Dia seolah pencetus
imajinasi yang lebih kuat dari berbatang rokok dan bergelas kopi. Dia yang bisa
membuatku menuliskan cerita mengharu-biru, juga sebaliknya membuat pembaca
tertawa terbahak-bahak. Aku rindu semua itu. Aku rindu dia yang muncul tanpa
pamrih di rumahku. Baginya bertemu aku dan berbincang ngalor-ngidul, bisa
menutupi sumpek di kepalanya.
Karena tak
ingin dibalut pertanyaan-pertanyaan seperti setan yang bergentayangan di
sekelilingku, senja ini aku meluncur ke rumah Son. Hasilnya, aku hanya bertemu
istri dan kedua mertuanya. Aku kemudian meluncur ke mushola, sosoknya tak ada.
Mushola hanya dihuni nazir masjid dan lelaki tua yang sedang membaca Al Qur’an
dengan terbata-bata. Ahai, ke mana gerangan lelaki itu?
Aku sebentar
menunggu Maghrib tiba. Berbentar-bentar selanjutnya melaksanakan shalat
berjamaah. Lalu aku berjalan membelah malam yang gemerlap lampu-lampu.
Mendatangi setiap tempat di mana aku dan Son sering bertemu dan
berbincang-bincang (tentunya selain di rumahku). Sayang, dia tak juga
kutemukan. Hingga saat menikmati kacang rebus di persimpangan jalan protokol,
seseorang menggamit lenganku. Dia Ang. Penyair yang sudah hampir enam bulan tak
bertemu aku.
“Ke mana saja
selama ini, Ang?”
Dia tanpa
basa-basi mencomot empat-lima butir kacang rebus dari bungkus koran berbentuk
kerucut yang kupegang erat-erat.
“Ke mana
saja? Aku yang seharusnya bertanya ke mana saja kau selama ini.” Dia melempar
kulit kacang ke selokan. “Kau belum dengar berita kematian Son, kan?”
“Kematian,
Son? Ah, jangan bercanda.”
“Dia mati
gantung diri!”
“Ah, yang
benar? Kau bercanda lagi.”
Dia mengambil
lebih banyak kacang rebus dari bungkus koran berbentuk kerucut yang tak
kupegang erat-erat lagi, karena isinya tinggal beberapa.
“Tiga minggu
lalu dia mati gantung diri di rumahnya.”
“Hah? Tapi
aku beberapa kali bertemu dia. Aku juga bertemu istri dan kedua mertuanya.
Kenapa Son melakukan itu?”
Ang
mengatakan mungkin aku sering berhalusinasi karena imajinasiku terlalu liar dan
menerjang ke mana-mana. Katanya Son nekad bunuh diri akibat dia malu menyambut
kedatangan Emaknya. Bagaimanapun, setelah hampir lima belas tahun meninggalkan
kampung halaman, dia tetap tak menjadi apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dia masih
melarat di rumah mertua. Kalau Emaknya tiba di Palembang, mau diinapkan di mana
dia? Di rumah mertua? Apakah tak hanya menimbulkan permasalahan yang semakin
berbelit? Bagaimana pula dengan biaya makan-minum Emaknya?
Ah, aku
merasa bersalah tak meminjaminya uang lima juta rupiah itu. Setidak-tidaknya
dengan uang itu dia bisa mengontrak rumah dan tak malu menyambut Emaknya. Tapi
sekarang ini, apa yang harus kulakukan?
“Supaya kau
tahu, istri, anak dan kedua mertua Son, telah minggat ke daerah lain demi
membunuh malu.”
“Jadi yang
kutemukan selama ini, siapa?”
Tanganku
terhenti di atas tuts mesin tik merek brother.
Suara bisik-bisik antara seorang lelaki berseragam putih-putih dan seorang
perempuan gembrot, menyita imajinasaku.
Si lelaki
berseragam putih-putih berkata ,”Jadi ini untuk kali ke sekian suamimu menuliskan
cerita yang sama?”
“Ya!”
Perempuan gembrot itu menjawab dengan bisikan yang lebih pelan.
“Dengan tokoh
yang sama?”
“Ya!”
“Dengan
masalah yang sama?”
“Tepat! Dia
melakukannya untuk memperoleh honor dari perusahaan penerbitan yang memuat
cerita-ceritanya. Karena tak sampai empat bulan lagi, Emaknya akan berkunjung
dari kampung.
Jemariku
kaku. Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi setelah sebuah jarum suntik menyentuh
lengan ini. ***
---sekian---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar