Jumat, 01 November 2013

Emak Akan Datang (Sabtu, 19 Oktober 2013)

Cerpen : Rifan Nazhif



A
ku tak lagi menemukan keceriaannya sejak sebulan lalu dia berkunjung ke rumahku. Kali itu tak ada yang lebih mewah yang dapat kuhidangkan untuknya. Hanya setoples kacang kulit, segelas air putih, dan musik saksepon yang sengaja kubiarkan bersuara halus lembut memenuhi seantero ruang tamu.
Dia mengatakan emaknya akan datang dari kampung ke kota ini dalam waktu tak kurang empat bulan ke depan. Itulah yang membuat hatinya risau. Padahal sebagai pendengar yang baik, aku merasakan ucapannya itu aneh. Emaknya akan datang dari kampung.
Apa yang mesti dirisaukan? Bukankah itu kebanggaan yang meletup-letup karena seorang pejuang yang telah melindunginya sembilan bulan, melindungi dan membesarkannya sehingga dewasa dan menikah, dan beranak pinak, akan datang memberikan kehangatan? Sungguh bodoh dia menjadi risau. Kalau saja bisa bermohon, aku berharap Emakku mengunjungiku setiap pekan. Tapi kau tahu itu tak bisa. Sangat tak bisa. Emakku telah pergi menghadap-Nya sepuluh tahun lalu.
“Mungkin kalau ada keajaiban, aku ingin Emak baru datang ke mari dua atau tiga tahun lagi.” Mata lelaki itu berkaca-kaca. Dia adalah temanku yang kuceritakan barusan. Namanya Son. Son Barlian tepatnya.
Aku mengupas kulit kacang, kemudian menggeletukkan isinya di sela gigi. Kasihan sekali Son. Tapi aku bingung bagaimana cara membantunya menghilangkan rasa risau itu. Risau akan kedatangan Emaknya? Ah, ajaib. Sangat ajaib!
“Kenapa kau berbicara demikian? Apa kau takut Emakmu melihat istrimu lebih subur dari saat kau bawa dia ke kampung?”
Dia menggeleng.
“Apa karena anakmu nakal, dan takut dia akan menakali neneknya?”
“Sama sekali tidak. Dia anak yang baik.”
“Lalu, apa yang membuatmu risau sekali? Kedatangan seorang Emak adalah berkah dari Allah, Son.”
Hari berikutnya dia menemuiku dengan wajah lebih kusut dari hari pertama dia mengutarakan rasa risaunya. Dia berniat meminjam uang. Jumlahnya lumayan besar, apalagi bagiku yang sehari-harinya hidup dari honor tulisan dan royalti dari sebuah novelku.
“Lima juta?”
“Iya, ada keperluan untuk menyambut Emakku.”
“Memangnya mau pesta segala?”
“Emakku akan berangkat haji!”
“Oh, begitu. Aku ingin membantu. Tapi kau tahu kondisi keuanganku, kan? Lagi pula aku sedang menunggu kelahiran anakku yang nomor tiga.”
Dia pun tak berbicara lagi.
Sesekali aku kemudian bertemu dia ketika shalat Maghrib berjamaah di musholla. Dia hanya menyapaku dengan senyuman yang sangat dipaksakan. Aku kemudian bertamu ke rumahnya. Tapi dia tak ada. Kata istrinya, sejak pukul enam pagi, Son sudah menghilang dari rumah. Pukul enam sore baru pulang. Kemudian bles, Son permisi ke musholla, lalu pulang selepas Isya.
“Lalu pekerjaannya sebagai tukang cuci motor di tempat cucian Mang Liban, bagaimana?” Aku menatap istrinya yang hanya bisa tertunduk sedih.
“Aku tak tahu. Mungkin dia tetap bekerja di sana, mungkin juga tidak. Dia sangat susah diajak bicara belakangan ini.”
Aku sangat merindukan Son yang dulu. Son yang selalu membawaku segudang kreativitas. Son yang membuatku sangat bergairah ketika menulis cerita. Dia seolah pencetus imajinasi yang lebih kuat dari berbatang rokok dan bergelas kopi. Dia yang bisa membuatku menuliskan cerita mengharu-biru, juga sebaliknya membuat pembaca tertawa terbahak-bahak. Aku rindu semua itu. Aku rindu dia yang muncul tanpa pamrih di rumahku. Baginya bertemu aku dan berbincang ngalor-ngidul, bisa menutupi sumpek di kepalanya.
Karena tak ingin dibalut pertanyaan-pertanyaan seperti setan yang bergentayangan di sekelilingku, senja ini aku meluncur ke rumah Son. Hasilnya, aku hanya bertemu istri dan kedua mertuanya. Aku kemudian meluncur ke mushola, sosoknya tak ada. Mushola hanya dihuni nazir masjid dan lelaki tua yang sedang membaca Al Qur’an dengan terbata-bata. Ahai, ke mana gerangan lelaki itu?
Aku sebentar menunggu Maghrib tiba. Berbentar-bentar selanjutnya melaksanakan shalat berjamaah. Lalu aku berjalan membelah malam yang gemerlap lampu-lampu. Mendatangi setiap tempat di mana aku dan Son sering bertemu dan berbincang-bincang (tentunya selain di rumahku). Sayang, dia tak juga kutemukan. Hingga saat menikmati kacang rebus di persimpangan jalan protokol, seseorang menggamit lenganku. Dia Ang. Penyair yang sudah hampir enam bulan tak bertemu aku.
“Ke mana saja selama ini, Ang?”
Dia tanpa basa-basi mencomot empat-lima butir kacang rebus dari bungkus koran berbentuk kerucut yang kupegang erat-erat.
“Ke mana saja? Aku yang seharusnya bertanya ke mana saja kau selama ini.” Dia melempar kulit kacang ke selokan. “Kau belum dengar berita kematian Son, kan?”
“Kematian, Son? Ah, jangan bercanda.”
“Dia mati gantung diri!”
“Ah, yang benar? Kau bercanda lagi.”
Dia mengambil lebih banyak kacang rebus dari bungkus koran berbentuk kerucut yang tak kupegang erat-erat lagi, karena isinya tinggal beberapa.
“Tiga minggu lalu dia mati gantung diri di rumahnya.”
“Hah? Tapi aku beberapa kali bertemu dia. Aku juga bertemu istri dan kedua mertuanya. Kenapa Son melakukan itu?”
Ang mengatakan mungkin aku sering berhalusinasi karena imajinasiku terlalu liar dan menerjang ke mana-mana. Katanya Son nekad bunuh diri akibat dia malu menyambut kedatangan Emaknya. Bagaimanapun, setelah hampir lima belas tahun meninggalkan kampung halaman, dia tetap tak menjadi apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dia masih melarat di rumah mertua. Kalau Emaknya tiba di Palembang, mau diinapkan di mana dia? Di rumah mertua? Apakah tak hanya menimbulkan permasalahan yang semakin berbelit? Bagaimana pula dengan biaya makan-minum Emaknya?
Ah, aku merasa bersalah tak meminjaminya uang lima juta rupiah itu. Setidak-tidaknya dengan uang itu dia bisa mengontrak rumah dan tak malu menyambut Emaknya. Tapi sekarang ini, apa yang harus kulakukan?
“Supaya kau tahu, istri, anak dan kedua mertua Son, telah minggat ke daerah lain demi membunuh malu.”
“Jadi yang kutemukan selama ini, siapa?”
Tanganku terhenti di atas tuts mesin tik merek brother. Suara bisik-bisik antara seorang lelaki berseragam putih-putih dan seorang perempuan gembrot, menyita imajinasaku.
Si lelaki berseragam putih-putih berkata ,”Jadi ini untuk kali ke sekian suamimu menuliskan cerita yang sama?”
“Ya!” Perempuan gembrot itu menjawab dengan bisikan yang lebih pelan.
“Dengan tokoh yang sama?”
“Ya!”
“Dengan masalah yang sama?”
“Tepat! Dia melakukannya untuk memperoleh honor dari perusahaan penerbitan yang memuat cerita-ceritanya. Karena tak sampai empat bulan lagi, Emaknya akan berkunjung dari kampung.
Jemariku kaku. Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi setelah sebuah jarum suntik menyentuh lengan ini. ***


---sekian---

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar