Oleh : Kiki Fitria
H
|
ati itu bagaikan
kaca mata. Kalau kita menggunakan kaca mata yang bening, apa yang kita lihat
akan tampak apa adanya. Yang putih akan jelas putihnya, yang coklat muda akan
jelas warna aslinya. Namun kalau kita menggunakan kaca mata hitam, apa yang
kita lihat tidak akan sesuai aslinya. Yang putih akan kelihatan abu muda dan
warna coklat muda akan menjadi coklat tua.
Demikian
juga hati, kalau hati jernih, kita akan melihat realita itu apa adanya,
sementara kalau hati kita kotor atau hitam, kita akan melihat realita itu tidak
seperti sebenarnya. Karena itu, mulia tidaknya seseorang tidak dilihat dari
tampilan lahiriahnya tapi dari performa batiniah atau hatinya.
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat rupa dan harta-harta kamu tapi melihat hati dan
perbuatanmu.” (H.R. Muslim).
Al
Qurtubi berkata, “Ini sebuah hadits agung yang mengandung pengertian tidak
diperbolehkankannya bersikap terburu-buru dalam menilai baik atau buruknya
seseorang hanya karena melihat gambaran lahiriah dari perbuatan taat atau
perbuatan menyimpangnya.
Ada
kemungkinan di balik pekerjaan saleh yang lahiriah itu, ternyata di hatinya
tersimpan sifat atau niat buruk yang menyebabkan perbuatannya tidak sah dan
dimurkai Allah swt. Sebaliknya, ada kemungkinan pula seseorang yang terlihat
teledor dalam perbuatannya atau bahkan berbuat maksiat, ternyata di hatinya
terdapat sifat terpuji.
Sesungguhnya
perbuatan-perbuatan lahir itu hanya merupakan tanda-tanda dhanniyyah (yang
diperkirakan) bukan qath’iyyah (bukti-bukti
yang pasti). Karena itu, tidak diperkenankan berlebih-lebihan dalam menyanjung
seseorang yang kita saksikan tekun melaksanakan amal saleh, sebagaimana tidak
diperbolehkan pula menistakan seorang muslim yang kita pergoki melakukan
perbuatan buruk atau maksiat.
Rasulullah
saw. bersabda dalam riwayat lain,
“Ali bin Abi
Thalib r.a. menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiada satu hati pun
kecuali memiliki awan seperti awan menutupi bulan. Walaupun bulan bercahaya,
tetapi karena hatinya ditutup oleh awan, ia menjadi gelap. Ketika awannya
menyingkir, ia pun kembali bersinar.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Hadits
ini memberikan ilustrasi yang sangat indah. Hati manusia itu sesungguhnya
bersih atau bersinar, namun suka tertutupi oleh awan kemaksitan hingga sinarnya
menjadi tidak tampak. Sebab itu, kita harus berusaha menghilangkan awan yang
menutupi cahaya hati kita. Bagaimana caranya?
1.
Introspeksi diri
Introspeksi
diri dalam bahasa arab disebut Muhasabatun Nafsi, artinya mengidentifikasi apa
saja penyakit hati kita. Semua orang akan tahu apa sebenarnya penyakit qalbu
(hati) yang dideritanya itu.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(Q.S.Al-Hasyr 59 : 18)
2.
Perbaikan Diri
Perbaikan
diri dalam bahasa populer disebut taubat. Ini merupakan tindak lanjut dari
introspeksi diri. Ketika melakukan introspeksi diri, kita akan menemukan
kekurangan atau kelemahan diri kita. Nah, kekurangan-kekurangan tersebut harus
kita perbaiki secara bertahap. Alangkah rugi kalau kita hanya pandai
mengidentifikasi kelemahan diri tapi tidak memperbaikinya.
“Hai
orang-orang yang beriman, Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkah kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,..”
(Q.S.At-Tahrim 66:8)
3.
Tadabbur Al Qur’an
Tadabbur
Al Qur’an artinya menelaah isi Al-Qur’an, lalu menghayati dan mengamalkannya.
Hati itu bagaikan tanaman yang harus dirawat dan dipupuk. Nah, di antara pupuk
hati adalah tadabbur Qur’an. Allah menyebutkan orang-orang yang tidak mau men-tadabburi
Qur’an sebagai orang yang tertutup hatinya. Artinya, kalau hati kita ingin
terbuka dan bersinar, maka tadabburi Qur’an.
“Mengapa
mereka tidak tadabbur (memperhatikan) Al-Qur’an, ataukah hati mereka terkunci
atau tertutup.” (Q.S.Muhammad 47 : 24)
4.
Menjaga Kelangsungan Amal Saleh
Amal
saleh adalah setiap ucapan atau perbuatan yang dicintai dan diridoi Allah swt.
Apabila kita ingin memiliki hati yang bening, jagalah keberlangsungan amal
saleh sekecil apapun amal tersebut. Misalnya, kalau kita suka rawatib, lakukan
terus sesibuk apapun, kalau kita biasa pergi ke majelis ta’lim, kerjakan terus
walau pekerjaan kita menumpuk. Rasulullah saw bersabda,
“Beramallah
semaksimal yang kamu mampu, karena Allah tidak akan bosan sebelum kamu bosan,
dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang kontinyu
(terus-menerus) walaupun sedikit.” (H.R. Bukhari)
5.
Mengisi Waktu dengan Zikir
Zikir
artinya ingat atau mengingat. Dzikrullah artinya selalu mengingat Allah.
Ditinjau dari segi bentuknya, ada dua macam zikir. Pertama, zikir Lisan,
artinya ingat kepada Allah dengan melafadzkan ucapan-ucapan zikir seperti
Subhannallah, Alhamdulillah, Allahu
Akbar, Laa Ilaaha illallah, dll. Kedua, Zikir Amali, artinya zikir (ingat)
kepada Allah dalam bentuk penerapan ajaran-ajaran Allah swt. dalam kehidupan.
Misalnya, jujur dalam bisnis, tekun saat bekerja, dll. Hati akan bening kalau
hidup selalu diisi dengan zikir lisan dan amali.
“Hai
orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”
(Q.S.Al-Ahzab 33 : 41-42)
6.
Bergaul dengan Orang-Orang Saleh
Lingkungan
akan memengaruhi perilaku seseorang. Karena itu, kebeningan hati erat juga
kaitannya dengan siapakah yang menjadi sahabat-sahabat kita. Kalau kita
bersahabat dengan orang yang jujur, amanah, taat pada perintah Allah, tekun
bekerja, semangat dalam belajar. Diharapkan kita akan terkondisikan dalam
atmosfir (suasana) kebaikan.
Sebaliknya,
kalau kita bergaul dengan orang pendendam, pembohong, pengkhianat, lalai akan
ajaran-ajaran Allah, dikhawatirkan kita pun akan terseret arus kemaksiatan tersebut.
Kerena itu, Allah swt. mengingatkan agar kita bergaul dengan orang-orang saleh
seperti dikemukakan dalam ayat berikut.
“Dan
bersabarlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di waktu pagi
dan petang, mereka mengharapkan keridoan-Nya, dan janganlah kamu palingkan
kedua matamu dari mereka karena menghendaki perhiasan hidup dunia. Dan
janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya; dan adalah keadaan itu melewati
batas.” (Q.S. Al-Kahfi 18 : 28)
7.
Berbagi Kasih dengan Fakir, Miskin, dan Yatim
Berbagi
cinta dan ceria dengan saudara-saudara kita yang fakir, miskin, dan yatim
merupakan cara yang sangat efektif untuk meraih kebeningan hati, sebab dengan
bergaul bersama mereka kita akan merasakan penderitaan orang lain.
8.
Mengingat Mati
Modal
utama manusia adalah umur. Umur merupakan bahan bakar untuk mengarungi
kehidupan. Kebeningan hati berkaitan erat dengan kesadaran bahwa suatu saat
bahan bakar kehidupan kita akan menipis dan akhirnya habis. Kesadaran ini akan
menjadi pemacu untuk selalu membersihkan hati dari awan kemaksiatan yang
menghalangi cahaya hati. Rasulullah saw. menganjurkan agar sering berziarah
supaya hati kita lembut dan bening.
9.
Menghadiri Majelis Ilmu
Hati
itu bagaikan tanaman, ia harus dirawat dan dipupuk. Di antara pupuk hati adalah
ilmu. Karena itu, menghadiri majelis ilmu akan menjadi media pensucian hati.
Rasulullah saw. menyebutkan bahwa Allah swt. akan menurunkan rahmat, ketenangan,
dan barakah pada orang-orang yang mau
menghadiri majelis ilmu dengan ikhlas.
10.
Berdo’a kepada Allah swt
Allah
swt Maha Berkuasa untuk membolak-balikan hati seseorang. Karena itu, sangat
logis kalau kita diperintahkan untuk meminta kepada-Nya dijauhkan dari hati
yang busuk dan diberi hati yang hidup dan bening. Menurut Ummu salamah r.a,.
do’a yang sering dibaca Rasulullah saat meminta kebeningan hati adalah: “Ya Muqallibal quluub, tsabbit qalbii ‘alaa
diinika” (Wahai yang membolak-balikkan qalbu, tetapkanlah hatiku berpegang
pada agama-Mu).
Jadi,
hati merupakan panglima untuk seluruh anggota jasad kita. Kalau hati bening,
kelakuan kita pun akan beres. Tapi kalau hati kita busuk, seluruh amaliah pun
busuk. ***
(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah dan
Komunikasi IAIN-SU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar