Sabtu, 09 November 2013

Sastra, Mimbar Umum



M
imbar Umum baru saja berulang tahun ke-68. Harian ini dikenal sebagai koran tertua di Indonesia. Pernah pula dimasukkan ke dalam kategori Koran Wali Songo, istilah yang digunakan untuk menyebut sembilan koran tertua dan masih terbit di Indonesia. Surat kabar ini terbit 6 November 1945, didirikan oleh Udin Siregar dan Imballo Siregar di Medan. Saat pertama didirikan, koran ini dipimpin M. Saleh Umar (Surapati), A. Wahab Siregar pemimpin redaksi, A. Halim redaktur pelaksana.
Pada Agresi Militer I Belanda, Mimbar Umum diungsikan ke Tebingtinggi. Namun, tetap dibreidel Belanda, karena menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Koran ini diterbitkan kembali oleh Arif Lubis pada 6 Desember 1947  atas persetujuan Udin Siregar selaku pemilik.
Pemberian nama “Mimbar Oemoem” era Arif Lubis ini  tidak terlepas persetujuan Kepala Pemerintahan Belanda di Medan Dr. Van de Velde, karena dianggap menyuarakan umum. Motto MIMBAR OEMOEM era 1947 adalah “Harian Indonesia, diterbitkan tiap-tiap pagi”. Penerbitan pertama koran ini hanya beroplah 300 eksemplar dan dicetak di Percetakan Indonesia di Jalan Sei Rengas Medan milik Udin Siregar.
Tekad Arif Lubis saat memimpin Mimbar Umum itu dapat terlihat dalam surat tertulis ketika koran ini merayakan HUT pada 1983 : “Kapal Mimbar Umum ini tetap akan kami layarkan terus. Walaupun di tengah-tengah badai dan sambaran petir. Tujuan kami tetap, melayarkan kapal, kami ini ke ….. Pulau Indonesia Merdeka.”
Pembreidelan  koran ini belum selesai. Pada 24 Februari 1965 melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 17/SK/M/1965, izin penerbitan harian MIMBAR UMUM bersama koran lainnya di Medan dicabut pemerintah karena dianggap berhaluan Barisan Pendukung Soekarno (BPS) yang melawan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada 1 April 1965 Mimbar Umum kembali terbit, namun menggunakan nama lain, yakni ANGKATAN BERSENJATA di bawah pimpinan Mayor BHT Siagian. Seluruh fasilitas Mimbar Umum beserta para awaknya bekerja pada harian milik TNI Angkatan Darat ini. Tampilan harian nonkomunis ini tidak ubahnya koran Mimbar Umum dan laku bak kacang goreng.
Mimbar Umum memasuki era baru saat Arif Lubis menyerahkan seluruh aset koran ini kepada Hasbullah Lubis, pemilik percetakan FA Hasmar di Jalan M. Yacob Medan. Selanjutnya, Hasbullah Lubis mengamanahkan kepemimpinan koran kepada putra sulungnya, M. Fauzi Lubis, sampai sekarang. Motto Mimbar Umum era Hasbullah Lubis ini adalah “Harian Pagi Pembawa Suara Independen” dan diterbitkan PT Penerbitan Keluarga.
Sejak 1 Oktober 1989, berganti logo dan berwarna ketika dikelola Surya Paloh. Mimbar Umum masuk dalam Media Indonesia Group. Motto berubah menjadi “Menggelorakan semangat pengabdian dan mencerdaskan bangsa”. Pada 2000, Mimbar Umum kembali ke pangkuan Fauzi Lubis.
Mimbar Umum tidak terlepas dalam sejarah sastra di Indonesia. .Muhammad Saleh Umar alias Surapati adalah salah satunya. Sajak-sajak tokoh pejuang pers ini kerap dibacakan dalam lomba baca puisi di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi. Surapati juga dikenal sebagai tokoh pergerakan yang menyokong pendirian kelompok drama Diguliana  pada 1930-an. Naskah dramanya juga sering dipentaskan grup teater Dai Toa Jamato Gekidan pada zaman Jepang.
Sejumlah sastrawan terkemuka juga pernah bekerja di koran ini. Ini bisa dilihat dari buku Leksikon Susastra Indonesia yang diterbitkan Balai Pusataka (2000). Mereka, di antaranya (secara alfabetis), Amir Hasan Lubis (Buyung Saleh), Aoh K. Hadimadja, Asmar Ayip Bungga, BY. Tand, Harun Al  Rasyid, Rusli A. Malem, Laswiyati Pisca, L.K. Ara, Sides Sudyarto DS, Suyadi San, Taguan Hardjo, dan Zainal Arifin AKA.
Banyak sastrawan Indonesia juga menulis di harian ini. Dalam sejarahnya pula, Mimbar Umum juga tercatat sebagai media yang melahirkan sastrawan pemula pada masanya. Itu lantaran koran ini tetap membuka rubrik budaya, yang berturut-turut diasuh Aoh K. Hadimadja, A.A. Bungga, Taguan Hardjo, L.K. Ara, Rusli A. Malem, Zaldi Purba, Harun Al rasyid, dan Suyadi San.
Anehnya lagi, saat koran ini tidak membuka rubrik khusus budaya sejak masuk ke dalam Media Indonesia Group, Sides Sudyarto DS selaku redaktur eksekutif yang juga penyair ini, diam-diam menyisip rubrik puisi bernilai sastra dan cerita pendek serta esai budaya pada halaman tertentu. Sides Sudyarto pula yang sering menjadikan kantornya sebagai ruang diskusi bagi para seniman dan sastrawan Medan.
Media ini pernah menjadi pusat informasi dan “lading” kegiatan Omong-omong Sastra era 1970-1990-an, Forum Keprihatinan Sastra (FKS), Forum Lingkar Pena Sumatera Utara, dan Komunitas Puisi Malam (Pualam) RRI Medan.
Beberapa sastrawan muda yang dilahirkan Mimbar Budaya ini, di antaranya, Harta Pinem, Romulus ZI Siahaan, Sahril, Thomson HS, Suyadi San, Syaiful Hidayat, Yulhasni, Aishah Basar, S. Ratman Suras hingga M. Raudah Jambak, Hasan Al Banna, Jones Gultom, Siti Aisyah, Elidawani Lubis, Yunita Sari, dan sebagainya.
Atas jasa-jasanya terhadap bahasa dan sastra, Balai Bahasa Medan Depdiknas RI memberikan Anugerah Bahasa/Sastra. Piagam penghargaan ini diserahkan langsung oleh Kepala Pusat Bahasa Dr. Dendy Sugono di Hotel Dhaksina Medan pada 2006, disaksikan Ketua PWI Sumatera Utara H. Muchyan AA.
Demikianlah. ***

      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar