M
|
imbar Umum baru saja berulang tahun ke-68. Harian ini dikenal sebagai koran tertua di
Indonesia. Pernah pula dimasukkan ke dalam kategori Koran Wali Songo, istilah yang digunakan untuk menyebut sembilan
koran tertua dan masih terbit di Indonesia. Surat kabar ini terbit 6 November
1945, didirikan oleh Udin Siregar dan Imballo Siregar di Medan. Saat pertama
didirikan, koran ini dipimpin M. Saleh Umar (Surapati), A. Wahab Siregar pemimpin redaksi, A. Halim
redaktur pelaksana.
Pada Agresi Militer I Belanda, Mimbar Umum diungsikan ke
Tebingtinggi. Namun, tetap dibreidel Belanda, karena menyuarakan
kemerdekaan Indonesia. Koran ini diterbitkan kembali oleh Arif Lubis pada 6
Desember 1947 atas persetujuan Udin Siregar
selaku pemilik.
Pemberian nama “Mimbar Oemoem” era Arif Lubis ini
tidak terlepas persetujuan Kepala Pemerintahan Belanda di Medan Dr. Van
de Velde, karena dianggap menyuarakan umum. Motto MIMBAR OEMOEM era 1947 adalah “Harian Indonesia, diterbitkan
tiap-tiap pagi”. Penerbitan pertama koran ini hanya beroplah 300 eksemplar dan
dicetak di Percetakan Indonesia di Jalan Sei Rengas Medan milik Udin Siregar.
Tekad Arif Lubis saat memimpin Mimbar Umum itu dapat terlihat dalam
surat tertulis ketika koran ini merayakan HUT pada 1983 : “Kapal Mimbar Umum ini tetap akan kami layarkan terus. Walaupun di
tengah-tengah badai dan sambaran petir. Tujuan kami tetap, melayarkan kapal,
kami ini ke ….. Pulau Indonesia Merdeka.”
Pembreidelan
koran ini belum selesai. Pada 24 Februari 1965 melalui Surat Keputusan
Menteri Penerangan Nomor 17/SK/M/1965, izin penerbitan harian MIMBAR UMUM bersama koran lainnya di
Medan dicabut pemerintah karena dianggap berhaluan Barisan Pendukung Soekarno
(BPS) yang melawan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada 1 April 1965 Mimbar Umum kembali terbit, namun menggunakan nama lain, yakni ANGKATAN BERSENJATA di bawah pimpinan
Mayor BHT Siagian. Seluruh fasilitas Mimbar
Umum beserta para awaknya bekerja pada harian milik TNI Angkatan Darat ini.
Tampilan harian nonkomunis ini tidak ubahnya koran Mimbar Umum dan laku bak kacang goreng.
Mimbar
Umum memasuki era baru
saat Arif Lubis menyerahkan seluruh aset koran ini kepada Hasbullah Lubis,
pemilik percetakan FA Hasmar di Jalan M. Yacob Medan. Selanjutnya, Hasbullah
Lubis mengamanahkan kepemimpinan koran kepada putra sulungnya, M. Fauzi Lubis,
sampai sekarang. Motto Mimbar Umum
era Hasbullah Lubis ini adalah “Harian Pagi Pembawa Suara Independen” dan
diterbitkan PT Penerbitan Keluarga.
Sejak 1 Oktober 1989, berganti logo dan berwarna
ketika dikelola Surya Paloh. Mimbar Umum
masuk dalam Media Indonesia Group. Motto berubah menjadi “Menggelorakan
semangat pengabdian dan mencerdaskan bangsa”. Pada 2000, Mimbar Umum kembali ke
pangkuan Fauzi Lubis.
Mimbar Umum tidak terlepas dalam sejarah sastra di Indonesia.
.Muhammad Saleh Umar alias Surapati adalah salah satunya. Sajak-sajak tokoh
pejuang pers ini kerap dibacakan dalam lomba baca puisi di sekolah-sekolah
maupun perguruan tinggi. Surapati juga dikenal sebagai tokoh pergerakan yang
menyokong pendirian kelompok drama Diguliana
pada 1930-an. Naskah dramanya juga sering dipentaskan grup teater Dai
Toa Jamato Gekidan pada zaman Jepang.
Sejumlah sastrawan terkemuka juga pernah bekerja
di koran ini. Ini bisa dilihat dari buku Leksikon
Susastra Indonesia yang diterbitkan Balai Pusataka (2000). Mereka, di
antaranya (secara alfabetis),
Amir Hasan Lubis (Buyung Saleh), Aoh K. Hadimadja, Asmar Ayip Bungga, BY. Tand,
Harun Al Rasyid, Rusli A. Malem, Laswiyati
Pisca, L.K. Ara, Sides Sudyarto DS, Suyadi San, Taguan Hardjo, dan Zainal
Arifin AKA.
Banyak sastrawan Indonesia juga menulis di harian
ini. Dalam sejarahnya pula, Mimbar Umum
juga tercatat sebagai media yang melahirkan sastrawan pemula pada masanya. Itu
lantaran koran ini tetap membuka rubrik budaya, yang berturut-turut diasuh Aoh
K. Hadimadja, A.A. Bungga, Taguan Hardjo, L.K. Ara, Rusli A. Malem, Zaldi
Purba, Harun Al rasyid, dan Suyadi San.
Anehnya lagi, saat koran ini tidak membuka rubrik
khusus budaya sejak masuk ke dalam Media
Indonesia Group, Sides Sudyarto DS selaku redaktur eksekutif yang juga
penyair ini, diam-diam menyisip rubrik puisi bernilai sastra dan cerita pendek
serta esai budaya pada halaman tertentu. Sides Sudyarto pula yang sering menjadikan
kantornya sebagai ruang diskusi bagi para seniman dan sastrawan Medan.
Media ini pernah menjadi pusat informasi dan “lading”
kegiatan Omong-omong Sastra
era 1970-1990-an, Forum Keprihatinan Sastra
(FKS), Forum Lingkar
Pena Sumatera Utara, dan Komunitas Puisi Malam (Pualam) RRI Medan.
Beberapa sastrawan muda yang dilahirkan Mimbar Budaya ini, di antaranya, Harta
Pinem, Romulus ZI Siahaan, Sahril, Thomson HS, Suyadi San, Syaiful Hidayat, Yulhasni,
Aishah Basar, S. Ratman Suras hingga
M. Raudah Jambak, Hasan Al Banna, Jones Gultom, Siti Aisyah, Elidawani Lubis, Yunita
Sari, dan sebagainya.
Atas jasa-jasanya terhadap bahasa dan sastra,
Balai Bahasa Medan Depdiknas RI memberikan Anugerah Bahasa/Sastra. Piagam
penghargaan ini diserahkan langsung oleh Kepala Pusat Bahasa Dr. Dendy Sugono
di Hotel Dhaksina Medan pada 2006, disaksikan Ketua PWI Sumatera Utara H.
Muchyan AA.
Demikianlah. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar