Minggu, 24 November 2013

REVITALISASI TAMAN BUDAYA



Oleh : O.K. Sahril


R
umusan dari Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2013 yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tanggal 10—12 Februari 2013 di Sawangan, Jawa Barat, di antaranya mengenai keberadaan taman budaya.
Salah satu pembahasan yang menarik dalam kegiatan tersebut, yaitu mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010—2015 bidang kebudayaan. Ada tiga agenda prioritas, yaitu (1) Fasilitasi sarana pengembangan, pendalaman, dan pergelaran seni budaya; (2) Jumlah warisan budaya dunia  dan cagar budaya nasional  yang ditetapkan dan dikelola secara terpadu (kumulatif); dan (3) Jumlah museum yang memenuhi standar pelayanan dan pengelolaan (Museum yang direvitalisasi).
            Pada forum ini juga disampaikan mengenai pengakuan UNESCO terhadap beberapa warisan budaya Indonesia; yaitu dari segi Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage), terdiri atas (1) Kompleks Candi Borobudur (1991); (2) Kompleks Candi Prambanan (1991); (3) Situs Manusia Purba Sangiran (1996); dan (4) Lanskap Budaya Bali (Subak) (2012).
            Warisan Alam Dunia (World Natural Heritage), terdiri atas (1) Taman Nasional Ujung Kulon di Banten (1991); (2) Taman Nasional Komodo di NTT (1991); (3) Taman Nasional Lorentz di Papua (1999); dan (4) Hutan Hujan Tropis Sumatera (2004).
            Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural Heritage), terbagi dua kategori, yaitu Intangible Cultural Heritage of Humanity, terdiri atas (1) Wayang (2003); (2) Keris (2005); (3) Batik (2009); dan (4) Angklung (2010). Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguarding, terdiri atas (1) Tari Saman (2011); dan Noken budaya rajut Papua (2012).
            Sementara itu Warisan Budaya dalam proses pengajuan ke UNESCO, yaitu (1) Pemukiman Tradisional Tana Toraja; (2) Pemukiman Tradisional Nias Selatan; (3) Bekas Ibukota Majapahit di Trowulan; (4) Kompleks Percandian Muara Jambi; (5) Lukisan Dinding Gua Prasejarah di Maros-Pangkep; (6) Kompleks Percandian Muara Takus; (7) Tenun; (8) Jamu; (9) Musik Dangdut; dan (10) Keretek.
            Sedangkan untuk revitalisasi cagar budaya, difokuskan pada situs Sangiran, situs Trowulan, situs Cirebon, situs percandian Muaro Jambi, dan situs pengasingan Bung Karno di Ende-Flores.
            Suatu yang menarik pada Rembuk Nasional ini adalah mengenai revitalisasi Taman Budaya. Permasalahan yang muncul secara nasional yaitu data dan informasi awal kondisi taman budaya saat ini belum lengkap, dan belum adanya kepastian kesanggupan SKPD dalam pengelolaan taman budaya. Oleh sebab itu, solusi yang ditawarkan oleh peserta Rembuk Nasional ini yaitu menentukan taman budaya yang akan direvitalisasi dan meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan untuk pelaksanaan revitalisasi taman budaya.
Taman Budaya merupakan salah satu bentuk upaya yang komperehensif dalam melindungi dan melestarikan nilai-nilai budaya. Keberadaannya dianggap perlu, mengingat arus globalisasi, perkembangan teknologi informasi yang pesat, serta interaksi antar bangsa di dunia dapat memicu bergeser dan menurunnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Hingga saat ini, terdapat 25 Taman Budaya di seluruh Indonesia.
Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu, Taman Budaya perlu direvitalisasi atau direaktivasi agar mampu menjawab permasalahan pelestarian, perlindungan, dan pengembangan kebudayaan.
Pengembangan Taman Budaya merupakan salah satu upaya dalam pelestarian kebudayaan. Taman Budaya tidak hanya dapat digunakan untuk perlindungan dan pelestarian kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan sebagai sarana pengembangan.
Kebudayaan perlu dikembangkan agar dapat memiliki nilai secara ekonomi, untuk itu diperlukan suatu kreativitas, Taman Budaya merupakan etalase budaya-budaya setempat dan ruang publik sebagai sarana dalam mengekspresi dan mengapresiasi hasil budaya. Pengembangan ruang publik sangat penting sebagai syarat pengembangan zona kreatif.
Taman Budaya sudah ada sejak tahun 70-an, namun dalam perjalanannya hingga saat ini memiliki banyak persoalan sehingga belum mampu mengakomodasi dasar tujuan dari pengembangan Taman Budaya itu sendiri. Untuk itu, diperlukan revitalisasi atau reaktivasi.
Dalam pengembangan Taman Budaya, diutamakan pada program dokumentasi dan pengarsipan, peningkatan dan pengembangan kemampuan literasi, dukungan terhadap ekspresi, apresiasi, eksperimentasi dan eksplorasi ide, fasilitas jejaring dan kolaborasi kreatif, revitalisasi infrastruktur dan fasilitas, serta penguatan institusi.
Pengembangan Taman Budaya merupakan upaya pelestarian kebudayaan. Selain dapat digunakan untuk perlindungan dan pelestarian kebudayaan, tetapi dapat juga digunakan sebagai sarana pengembangan. Kebudayaan perlu dikembangkan agar dapat memiliki nilai secara ekonomi. Oleh sebab itu, pemerintah daerah harus mendorong dengan cara memperbanyak pergelaran-pergelaran, pertemuan, festival yang dilakukan di taman budaya.

Meneroka TBSU
Di Provinsi Sumatera Utara, posisi Taman Budaya menempati yang sangat strategis, berada di inti kota. Posisi ini membuat banyak pihak sangat tergiur menjadikan lokasi Taman Budaya ini sebagai tempat kegiatan lainnya yang lebih mengarah kepada faktor ekonomi. Sehingga, belakangan ini muncul tarik-menarik kepentingan berkaitan dengan taman budaya ini.
Fenomena yang terjadi di Sumatera Utara ini juga nyaris sama terjadi di berbagai kota yang ada taman budayanya di Indonesia. Oleh sebab itu, dari ajang Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan yang lalu, permasalahan ini dibahas cukup maraton.
Beberapa utusan daerah mengusulkan kepada pemerintah agar keberadaan Taman Budaya yang selama ini berada di posisi eselon tiga (III), dinaikkan menjadi eselon dua (II). Sehingga, dibutuhkan penambahan satu SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) baru di tingkat Pemerintah Provinsi.
Selama ini posisi Taman Budaya berada di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, yaitu hanya sebatas UPTD (Unit Pelaksana Teknis Daerah) atau sebatas bidang dengan posisi eselon III. Jika diubah menjadi eselon II, posisi Taman Budaya setara dengan dinas atau badan lainnya yang ada di tingkat Pemerintah Provinsi. Dengan demikian, dari segi anggaran juga dapat ditingkatkan.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan Taman Budaya ini, yaitu belum seluruhnya ada peraturan yang dipergunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan fasilitasi sarana kebudayaan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan percepatan penyusunan peraturan yang memayungi fasilitasi sarana kebudayaan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Di samping itu, diperlukan pula upaya mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan perubahan terhadap PP 41 dan 43 terkait kewenangan dan nomenklatur SKPD Bidang Kebudayaan.
Beberapa waktu yang lalu juga, ada informasi bahwa Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) akan mendapat bantuan dana hibah dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sesuai Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif, berkaitan dengan program revitalisasi taman Budaya, tetapi memang sampai saat ini belum terealisasi.
Terlepas dari masalah revitalisasi Taman Budaya, sebenarnya ada dua tugas pemerintah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2013 ini bersama pemangku kebudayaan, seniman, pemerhati, praktisi, dan akademisi dalam menyahuti RPJM 2010—2015 Bidang Kebudayaan, yaitu membantu pemerintah pusat dalam hal mengusulkan Pemukiman Tradisional Nias Selatan, beserta Tenunan Ulos ke UNESCO sebagai Warisan Budaya. 
Akhirnya, sebagai wadah yang telah menyediakan ruang bagi hidupnya seni dan budaya serta senimannya, sebagaimana gagasan awal pendirian Taman Budaya yaitu untuk rumah budaya dan sekaligus garda depan pengawal pelestarian dan pengembangan seni dan budaya di tingkat provinsi, terlepas dari masalah merelokasi, perlu dipertahankan keberadaannya. ***


Penulis, adalah penikmat budaya dan peneliti pada Balai Bahasa Sumatera Utara, Kemdikbud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar